Laman

Rabu, 13 Maret 2013

Bestfriend? Hmmm.. Part 4



Author          : Andini Ekaputri Nur’Aulia 
                        : Rere Nurlie

            Andrew berusaha mengatur napasnya dan debaran jantungnya yang meliar. Mimpi itu benar-benar terasa seperti nyata. Dirinya menikah dengan Gwen? Gwen Lucynda Evelyn, gadis tengil yang notabene adalah sahabatnya sendiri? Ha! Mustahil sekali pemirsa! Bagaimana bisa seorang sahabat menjadseorang pasangan? Benar-benar tidak mungkin, bukan?


            Andrew meremas rambutnya dan mengerang pelan. Laki-laki itu turun dari kasurnya dan berjalan menuju dapur. Dibukanya kulkas dan diambilnya sebotol air dingin yang langsung ditenggaknya tanpa jeda. Andrew kemudian melempar botol tersebut dan menarik napas panjang.
            “Kenapa gue bisa mimpi nikah sama si Gwen, ya?” Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sekali lagi, laki-laki itu menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan lagi. Dadanya bergemuruh hebat. Seperti ada palu yang mengentak-entak dadanya. Rasanya sangat sesak. Tapi jenis sesak yang membuatnya ingin selalu tersenyum.


            “Holy shit!” umpat Andrew pelan. “Gue nggak mungkin suka sama sahabat gue sendiri, kan?”


            Pertanyaan itu menggantung di udara dan di benaknya. Tanpa sadar seulas senyum tercetak di bibirnya. Tatapannya menerawang. Andrew kemudian menarik kursi di dapur dan duduk dengan bertopang dagu. cowok itu kembali menghela napas panjang.


            “Hhhh… aneh emang mimpinya, tapi… kalau dipikir-pikir, Gwen lumayan menarik juga. Minus kelakuan tomboynya itu. Coba aja kalau dia sedikit lembut dan feminin, Gwen pasti keliatan manis dan cantik….”
Andrew yang baru tersadar dengan ucapannya barusan langsung meringis dan menjitak kepalanya sendiri.


            “Begoooo! Andrew Janson Maynard, elo bener-bener lagi nggak waras! Otak lo lagi konslet ya sampai bisa-bisanya lo bilang kalau Gwen itu cantik?! Inget, Ndrew, inget, Gwen itu sahabat lo. Dari dulu sampai sekarang dan untuk selamanya….”
           

            Andrew terengah-engah dan menghembuskan napas panjang. “Lama-lama gue sinting beneran nih!”


♥♥

            Gwen mengusap peluh di pelipisnya. Baru saja dia bermimpi aneh. Dia bermimpi sudah menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dia kenali wajahnya. Gwen memejamkan kedua matanya dan berusaha mengingat-ingat kembali mimpinya. Nihil. Gadis itu tetap saja tidak bisa mengingat siapa laki-laki yang telah mengucapkan ijab Kabul disebelahnya itu.
           

            Gwen mendesah berat dan melirik jam berbentuk Tweety yang tergantung di dinding kamarnya. Sudah lewat tengah malam. Sudah pukul setengah dua pagi. Masih terlalu pagi untuk menelepon seseorang. Tapi, Gwen merasa dia harus menelepon orang tersebut. Hanya dia yang bisa menenangkan dan menjernihkan pikiran Gwen saat ini. Gwen mengangguk yakin dan mengambil ponselnya yang diletakkan di bawah bantalnya. Gadis itu kemudian menekan angka satu dan langsung terhubung dengan nomor Andrew.


            “Halo?” sapa Gwen ragu ketika nada sambung di ponselnya telah berganti dengan sebuah suara bernada berat dan serak. Gwen jadi merasa bersalah dan tidak enak hati karena dia yakin tidur Andrew sudah terganggu oleh teleponnya.


            “Kenapa, Gwen?” tanya Andrew pelan. Tanpa Gwen sadari, Andrew tengah tersenyum di ujung sana. Andrew sendiri tidak tahu kenapa dia bisa tersenyum hanya karena mendengar suara gadis itu. Padahal selama ini, sudah tidak terhitung lagi dia mendengar suara cempreng khas sahabatnya itu dan baru kali ini Andrew tersenyum ketika mendengarnya.
           

            “Ganggu, nggak?” tanya Gwen takut-takut. Andrew menggeleng pelan. Sadar bahwa sahabatnya itu tidak bisa melihat tindakannya, Andrew berkata,           “Santai aja, Gwen, kayak yang baru kenal sama gue, aja….”
            Gwen tersenyum kecil dan menghela napas. “Ndrew… gue… gue abis mimpi….”
Andrew mengerutkan keningnya dan mengambil buah apel yang berada di atas meja di depannya. Laki-laki itu kemudian menggigit buah apel tersebut dan kembali memusatkan perhatiannya pada Gwen.


            “Mimpi apa?”
            Gwen menggeleng. Kemudian gadis itu bersuara ketika tahu gelengan kepalanya tidak bisa dilihat oleh Andrew. “Nggak tau...,” jawabnya ragu.


            “Dih….” Andrew kembali mengunyah buah apel nan ranum di tangannya.    “Kok lo bisa aneh banget gitu, sih, Gwen? Masa mimpi sendiri aja nggak tau?”
            Gwen yang mendengar suara kunyahan Andrew kontan mengerutkan keningnya. “Lo lagi makan, ya, Ndrew?”
            “Ho-oh… lagi makan apel, gue. Sumpah, lagi pada demonstrasi ini cacing-cacing dalam perut gue, Gwen.”
           

            Gwen mencibir dan memutar kedua bola matanya. Takjub akan kelakuan Andrew yang selalu makan di tengah malam seperti ini namun tidak pernah mengubah bentuk tubuhnya yang tegap dan atletis itu.
            “Gue mimpi nikah, Ndrew….”
            Andrew yang mendengar itu langsung terbatuk-batuk dan menyemburkan apel yang sedang dikunyahnya. Laki-laki itu buru-buru mengambil air dalam kulkas dan langsung meneguknya dengan cepat. Gwen yang menyadari bahwa Andrew tersedak langsung panik.
           

            “Halo? Halo?! Ndrew? Heh, monyet yang suka nongol di cibubur, lo baik-baik aja, kan?” tanya Gwen. Mendengar rentetan pertanyaan Gwen membuat Andrew mendengus kesal dan menarik napas panjang setelah yakin bahwa tidak ada potongan apel yang tersangkut di tenggorokannya.
            “Gue ganteng kayak gini lo bilang monyet? Wah, Gwen, untung lo sahabat gue, kalau nggak, gue pites, lo!” gerutu Andrew. Di seberang sana, Gwen tertawa geli.
            “Bercanda, Ndrew….”
            “Balik lagi ke topik awal….” Andrew mengambil jeda beberapa saat sebelum melanjutkan. “Lo beneran mimpi nikah, Gwen? Sama siapa?”
            “Itu dia, Ndrew….”
            “Itu dia? Dia siapa, maksud lo?”
            Gwen mendengus dan mencoba meredam kekesalan yang mendadak terbit akibat kelolaan Andrew yang tak hilang – hilang juga.
           

            “Maksud gue, itu dia, gue nggak tau gue nikah sama siapa, Ndrew!”


            Andrew menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ada yang janggal disini. Kemarin juga sewaktu Andrew pertama kali mendapatkan mimpi bahwa dia tengah menikah dengan seorang gadis, Andrew tidak mengenali siapa gadis itu. Tapi nyatanya malam ini, sesuatu yang tidak diduganya muncul. Laki-laki itu kini tahu siapa yang tengah dinikahinya dalam mimpinya kemarin malam. Gadis itu… Gwen. Mengingat mimpinya, dia mendadak seperti menelan biji apel dan tersangkut di tenggorokan.
           

            “Mmm, Gwen… lo percaya nggak kalau… kalau….” Andrew tidak menyelesaikan kalimatnya. Apa yang akan dikatakan Gwen kalau gadis itu tahu bahwa Andrew pernah memimpikannya menikah dengan gadis itu?
           

            “Kalau apa, Ndrew?”
            Andrew tergeragap bingung hendak bicara apa dan langsung menggeleng tegas. “Eh, nggak apa-apa kok, Gwen.”
           

            Andrew melirik jam yang menggantung di dinding ruangan tersebut. Sudah pukul dua lewat. Sudah lewat tengah malam. Tiba – tiba ide konyol melintas di otaknya seperti komet.
           
            “Gwen, mau ketemuan, nggak?”
            Gwen terbelalak dan langsung menoleh ke arah jam Tweety miliknya. “Ketemuan gundulmu! Lo nggak liat sekarang jam dua lewat, Ndrew? Kita harus sekolah nanti pagi, tau!” seru Gwen tertahan. Gadis itu menajamkan kedua telinganya untuk mengetahui apakah seruannya beberapa saat lalu telah menimbulkan keributan. Gwen mendesah lega ketika mendapati bahwa keadaan tenang, aman dan damai sentosa.
           

            “Yah, Gwen… sebentar aja… ayolah, masa lo tega sih sama gue?” Andrew merajuk dengan nada manja. “Please?”
           

            Gwen menggigit bibir bawahnya. Rasanya ada yang aneh dengan jantungnya. Entah mengapa Gwen merasa jantungnya berdebar melebihi batas normal yang seharusnya. Rasanya aliran darahnya terserap keluar. Rasanya dia ingin melompat dan bertemu dengan Andrew secepatnya. Astaga! Apakah hal ini wajar? Demi Tuhan, dia dan Andrew adalah sahabat. Tidak mungkin dia menyukai Andrew. Itu sangat tidak mungkin! Sahabat tidak akan pernah menjadi sepasang kekasih. Demi Tuhan, Gwen, buang pikiran itu jauh-jauh! Ucapnya dalam hati sambil menepuk – nepuk pipinya pelan.


            “Halo? Gwen? Belum mati, kan?” Andrew bertanya lagi ketika tak ada tanda – tanda kehidupan di seberang sana.
            Gwen mencibir. “Sialan lo!” umpat Gwen ketus dan membuat Andrew tertawa.
            “Gimana? Sebentar aja. Soalnya nggak tau kenapa tiba-tiba gue kangen banget sama lo, nih!”
           

DEG!

            Barusan Andrew bilang apa? Kangen? KANGEN?!
           

            “Ndrew?”
            “Hmm?”


            “Lo nggak lagi kesambet setan yang suka mangkal di pohon mangga depan rumah lo, kan? Mengingat ini sudah jam dua pagi dan menurut buku yang gue baca kegiatan supranatural itu selalu terjadi antara pukul dua hingga tiga dini hari. Gue yakin seratus persen kalau lo lagi kerasukan sekarang….”
Andrew terbahak mendengar ucapan Gwen itu.

             “Sejak kapan lo baca buku, Gwen? Jangankan buku supranatural, komik aja lo malas baca!” Ejeknya dan Gwen merengut. Mengetahui sahabatnya merajuk, dia tertawa dan melanjutkan, “Tenang, Gwen… gue rajin sholat, ngaji, puasa, dan zakat. Tinggal naik haji aja yang belum gue lakuin karena uang gue belum cukup untuk pergi ke sana. Gue sehat, kok, Gwen… mental dan fisik. Jangankan setan, kucing aja liat gue terpesona kok!”


            Dih, ngelantur banget nih bocah. Apa coba hubungannya setan sama kucing yang terpesona sama dia?


            Gwen menghembuskan napas panjang dan tersenyum lebar. Rasanya sangat menyenangkan mendengar suara Andrew, entah kenapa.


            “Oke. Cuma sebentar aja ya ketemuannya?” Gwen memberi syarat pada Andrew. “Mau ketemuan dimana?”


            “Biar gue yang ke rumah lo. Terus kita nongkrong di atas genteng rumah lo, seperti biasa.” Ucapnya dan entah Gwen ketularan sinting atau gimana, setuju dengan ucapannya.



♥ ♥


            “Dingin?”


            Gwen meringis dan menggeleng. Dirapatkannya jaket yang dikenakannya. Lebih tepatnya jaket milik Andrew yang disampirkan di tubuhnya. Sekarang sudah pukul setengah tiga dini hari dan beberapa menit yang lalu, Andrew baru saja tiba di rumahnya. Andrew mengendarai motor gedenya dengan kecepatan sedang. Karena jalanan yang lengang, laki-laki itu hanya menghabiskan waktu sepuluh menit untuk pergi ke rumah Gwen.


            “Biasa gue, mah… lo inget nggak waktu itu kita climbing? Waktu itu kan hawanya lebih dingin daripada sekarang, Ndrew.”


            Andrew menoleh dan mengacak rambut Gwen, membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya. “Iya, dan lo bikin gue khawatir setengah mampus karena lo sok-sokan kuat nahan dingin dan akhirnya malah kehabisan napas gara-gara asma lo kumat.”


            Gwen tersenyum kecil dan menatap bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.
            “Gwen….”
            “Hm?” gumam Gwen tanpa menatap Andrew. Gadis itu sangat terpesona dengan keindahan langit malam. Apalagi Cuma berduaan dengan Andrew, membuat hatinya merasa gimaanaaa.. gitu.
            “Inget kan kalau gue pernah bilang gue lagi suka sama cewek?”Seketika, pandangan Gwen teralihkan dari langit dan menatap Andrew dengan kening berkerut. Gadis itu mengangguk dan memiringkan kepalanya.


            “Lo mau tau, siapa orangnya?”
           

            Gwen menelan ludah susah payah. Rasanya ada sebuah batu yang mengganjal di tenggorokannya, menghimpit dadanya, membuatnya sulit bernapas. Gwen mengambil napas panjang dan membuangnya. Kenapa tiba-tiba hanya untuk bernapas saja rasanya teramat sulit baginya?


            “Siapa, emang?” tanya Gwen setelah berhasil menemukan suaranya kembali. dia bertanya dengan nada cuek, seolah apa yang baru saja diucapkan oleh Andrew tidak penting baginya. Padahal dalam hati, jantungnya berdetak tak keruan.
            “Tiara….”


            “Hah? HAH?! WHAT?!”


            “Ti… ara?” tanya Gwen terbata. Andrew menoleh. Keduanya saling tatap dalam diam. Perlahan, kepala Andrew mengangguk.
            “Kenapa? Kok kayak kaget, gitu? Cemburu?”
           

            Gwen mengerjapkan mata dan langsung membuang muka. Mengubah ekspresinya agar mencibir. Padahal dalam hatinya seperti ada yang terbanting keras dan serpihannya jatuh mengenainya. Sakit... “Dih, pede! Mau lo suka sama Tiara, kek, Shabrina kek, Puput atau semua cewek-cewek yang histeris kalau ngeliat lo dan ingin mencekik gue hidup-hidup karena gue dekat sama lo dan jelas-jelas mereka tau kalau gue itu sahabat lo, I DON’T CARE!”


            Andrew menahan senyum dan menghela napas. Ditatapnya bintang yang bertaburan di langit hitam di atasnya. Entah kenapa dia merasakan ada sedikit nada tak suka dari sahabatnya itu.


            “Yakin lo nggak peduli kalau gue suka sama orang lain?”


            Gwen tidak menjawab. Gadis itu sibuk mengatur ritme hentakkan jantungnya agar debarannya tidak bisa didengar oleh cowok disampingnya ini.


            “I don’t know, Gwen… gue mulai ngerasa ada yang perlahan berubah antara gue dan Tiara. Udah lama hingga akhirnya yakin kalau gue suka sama dia.”


            Kini, Gwen memusatkan perhatiannya kepada Andrew. Laki-laki itu menundukkan kepalanya dan menatap lekat-lekat mata Gwen. Andrew terpana. Bersahabat dengan Gwen selama ini, baru kali ini Andrew menyadari bahwa gadis itu memiliki mata yang indah. Tanpa sadar, Andrew mengelus sebelah pipi Gwen. Pipi itu terasa begitu lembut sekaligus dingin di telapak tangannya yang besar dan hangat.


            Gwen menahan napas. Baru kali ini dia bertatapan dengan intens dengan sahabatnya sendiri. Sahabatnya yang menurutnya sangat gokil, aneh, ramah dan mudah bergaul. Sahabat yang selalu ada untuknya, kapanpun dan dimanapun dia berada serta dalam kondisi seburuk apapun.


            “Maksud… lo?”


            Gwen tidak mengenyahkan tangan Andrew yang berhenti di pipinya yang putih. Gadis itu terhanyut dengan perlakuan Andrew. Andrew tersenyum lembut dan dengan gerakan cepat, tanpa diduga oleh Gwen sebelumnya, Andrew melingkarkan kedua lengannya yang kokoh pada tubuh Gwen. Menyalurkan kehangatan pada tubuh gadis itu yang sudah menggigil kedinginan. Sama seperti ketika waktu itu mereka climbing, kali ini pun Gwen tidak ingin mengakui keadaan yang sebenarnya. Bahwa ternyata, gadis itu menggigil kedinginan.
           
            Gwen semakin tidak bisa bernapas. Dia tidak membalas pelukan Andrew. Gwen bisa merasakan hangat napas dan detakan jantung Andrew pada tubuhnya. Jantungnya sendiri sepertinya sudah sekarat dan harus diganti dengan jantung model terbaru. Jantung dengan keuntungan yang sangat bagus, yaitu anti deg-degan.


            “Why you make it so hard, Gwen? Is it hard to confess that you’re cold?” bisik Andrew lembut dan makin menguatkan pelukannya. Dengan senyum tipisnya, Gwen kemudian melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Andrew.


            Astaga, bagaimana ini?


            Sepertinya, dia, Gwen Lucynda Evelyn telah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.


            Oh, God… apakah itu bahkan mungkin untuk terjadi?

            “ANDREEEW!”  Terdengar suara geram penuh kemarahan dari bawah. Otomatis, Andrew dan Gwen menoleh ke bawah dan tersentak. “LO NGAPAIN PELUK-PELUK ADIK GUE DI ATAS GENTENG PAGI BUTA BEGINI?! BELUM PERNAH NGERASAIN DIGORENG BOKAP GUE, YA?!”


            “Mati gue!”
            Andrew dan Gwen langsung melepaskan pelukan mereka masing-masing dan nyengir kuda ke arah Rere, kakak perempuan Gwen yang melotot sangar pada mereka.
            “Turun!”  Bentaknya dengan rambut acak – acakan khas orang bangun tidur, mata melotot ke arah mereka yang sekarang sedang turun dengan gaya seolah - olah ketahuan nyolong ayam kampung. Andrew yang lebih dulu menginjak tanah langsung hendak memegang pinggang Gwen ingin membantu, namun mendadak tangannya dipukul oleh ranting pohon dengan keras entah nemu dimana.
            “Jangan sentuh – sentuh adek gue!” Ucap Rere posesif *ketahuan gak ikhlas* Sambil melirik Andrew yang hanya cengar – cengir. Tak tau harus merespon apa.
            Gwen turun dan menatap kakaknya dan Andrew bergantian, “Tumben lo bangun kak. Ada apa?”
            Mendadak Rere bersin. Udara dingin membuatnya bersin berkali – kali karna hidungnya memang sensitif. “Gue mau ambil minum...” Dia berhenti karna bersin lagi. Membuat hidungnya memerah. “Trus dengar ada orang ngomong gitu di atas genteng. Gue mikir, hanya maling konyol yang berdiskusi di atas atap tentang barang apa saja yang mau diambil. Yaudah gue keluar dan melihat lo pada pelukan di atas genteng! Ckkckck... emang gak bisa nunggu besok yah jadi harus pelukan sekarang?” Ucapnya dan bersin lagi.
            Andrew tersenyum dan melepas jaketnya lalu hendak menyampirkan ke badan Rere. Namun ditolaknya. “Iya kak,. Entah kenapa adek lo yang satu ini ngangenin... banget.” Dia melirik Gwen dan mengedipkan mata. Sukses membuatnya memerah malu.
            Nih anak kalau merona manis juga yah. ntar ah... kapan – kapan gue godain lagi kalau sumpek.” Batinnya dalam hati
            Rere melirik ke arahnya. Saatnya mengusir makhluk hidup satu ini kembali ke habtitatnya sebelum dia bersin sepanjang pagi yang berujung bedrest. “Ok, gue tau adek gue ini cantik mengingat gue juga cantik,” Ucapnya dengan nada narsis dan bersin lagi karna udara jam 3 pagi yang semakin dingin. Sedangkan besok dia kuliah. “Tapi,mending lo pulang sekarang deh, Ndrew. Apa kata tetangga ntar lo disini di pagi buta pelukan dengan adek gue? Untung gue yang liat, coba bokap atau nyokap yang liat, lo beneran digoreng! Kalau gak tahan juga, ntar lulus SMA lo nikahin aja adek songong gue. Gue ikhlas dilangkahin.” Ucapan Rere membuat mereka tersentak. Apalagi Andrew yang baru saja memimpikan Gwen menikah dengannya. Entah kenapa membuatnya merinding.
            “Gue diusir, Gwen.” Andrew melirik sahabatnya yang daritadi diam sribu bahasa. Hanya menjadi penonton diantara mereka. “Lo memang pantas diusir sih! Kasian kakak gue bersin mulu dekat lo. bau sih...” Ejeknya membuat rambutnya diacak Andrew.
            “Iyaa... gue pulang dulu kak. Bye kak Rere, Gwen.” Andrew memutuskan pamit dan keluar dari rumah Gwen dan mendorong motornya hingga keluar komplek dan menjalankannya.
            Rere langsung masuk rumah dengan hidung memerah karna selalu bersin. Meninggalkan Gwen yang tetap berdiri di  luar. Menatap kepergian Andrew dengan perasaan seolah – olah ada yang hilang dari hatinya. Entah apa, dia tak tau. Sambil memegang dadanya dia masuk dalam rumah dan mengunci pintu. Memutuskan tidur kembali.

“Satu kata yang sulit terucap… hingga batinku tersiksa…
Tuhan tolong aku jelaskanlah, perasaanku berubah jadi cinta…
Tak bisa hatiku merapikan cinta, karena cinta tersirat bukan tersurat…
Meski bibirku terus berkata tidak, mataku trus pancarkan sinarnya…
Apa yang kita kini tengah rasakan, mengapa tak kita coba ‘tuk satukan…
Mungkin cobaan untuk persahabatan… atau mungkin semua takdir Tuhan…”


(Zigaz-Sahabat Jadi Cinta)

♥ ♥

          Gwen tiba di sekolah dengan napas ngos – ngosan. Dia hampir saja terlambat sedikiitttt lagi karna telat bangun. Sudah beberapa hari ini dia selalu bermimpi tentang dia menikah dengan seseorang tapi dia tak tau siapa pria yang menikahinya. Dia samar – samar mendengar suaranya saat mengucapkan ijab kabul, dan dia ingat suara siapa itu, tapi hatinya ragu untuk meyakininya.
            “Gue mimpi nikah, tapi nikah dengan siapa?”
            Asyik melamun, tau – tau dia melihat Andrew asyik mengobrol dengan Tiara dan Andini, sangat akrab. Entah kenapa dia tak suka melihatnya ketika Tiara dengan santai melingkarkan tangannya di pundak Andrew dan cowoktak melakukan apa – apa. Seolah santai saja dirangkul oleh cewek secantik Tiara. Ok, itu biasa karna dia pun pernah ribuan kali dipeluk Andrew dengan posisi itu. Tapi dia entah kenapa tak terima ketika Tiara yang melakukannya. Membuat pengakuan Andrew tentang perasaannya pada Tiara terngiang jelas di telinganya. Membuatnya manyun.
            “Ngapain sih pelak – peluk di depan umum?! Gak sopan banget deh! tapi... bukannya gue juga kayak gitu? Kok..”
           
            Andrew menoleh ke arahnya dan tersenyum sambil melambaikan tangannya membuat Tiara menoleh dan melepas rangkulannya dan melambaikan kedua tangan kearahnya dengan heboh. Gwen membalasnya dan hendak menyusul, namun langkahnya terhenti ketika ada yang memanggilnya, dia menoleh dan tersenyum ketika Sandy menghampiri dan mengajak berdiskusi tentang perlombaan basket Putri yang akan diikutinya dua minggu lagi.

♥ ♥

          Berkali – kali mata Andrew selalu melirik ke arah lapangan basket. Dia melihat Gwen tertawa dan sesekali wajahnya serius dengan Shandy. Entah membahas apa, dia tak tau dan tak peduli. Dia hanya tak ingin cewek itu menepuk – nepuk pundak Shandy seperti dia sering menepuk pundaknya. Tertawa keras seperti yang sering dilakukannya saat bersamanya, apapun itu, dia tak mau Gwen melakukannya dengan Shandy.
            “kenapa gue jadi posesif akut begini?”
            Sadar bahwa Andrew tak fokus lagi, Tiara mengikuti arah mata Andrew dan tau siapa yang membuat sahabatnya sekarang sedang mengepal tangannya menahan emosi.
            “Cemburu nih ceritanya?” Godanya ketika Andrew melirik ke seberang sana berkali – kali. seolah memberi sinyal pada Shandy yang kadang menoleh ke arahnya agar segera menyingkir sebelum dia yang turun tangan.
            Andrew menoleh ke arah Tiara yang cekikikan melihat tingkahnya. “Kata siapa? Sotoy deh.”
            Andini ikut – ikutan menggodanya. “Masa sih? Kalau gak, kenapa lo selalu lirik Gwen dan menatap Shandy seolah – olah lo sedang melirik Jo? Dia kan gak ngapa – ngapain Gwen. Cuma ngajak ngobrol aja.”
            “Iya juga yah. ngapain juga gue kayak gini? aneh deh...”
            Andrew angkat bahu. Dia melirik Gwen yang sekarang memegang tangan Shandy dan menarik – nariknya pelan. Seperti yang sering dilakukannya ketika ingin sesuatu dan menagih pada Andrew untuk dibelikan. Membuatnya tak tahan lagi melihatnya.
            “Gue mau nyamperin Gwen.” Ucapnya dan bergegas menghampiri sahabatnya yang bingung dengan kedatangannya. aplagi Shandy yang merasa terganggu karna dia menaruh hati pada Gwen sejak lama dan ingin mendekatinya. Namun gagal total karna Andrew selalu berada dimana – mana. Seperti sekarang.
            “Coba liat..” Andini menunjuk Andrew yang sekarang merangkul Gwen dengan posesif dan menatap Shandy dengan tajam sesekali menimpali. Membuat Tiara nyengir.
            “Gue bilang juga apa? Mereka itu lama – lama saling naksir! Tapi ego terlalu tinggi untuk ngaku! Gemas juga lama – lama!”
            Andini mengangguk menyetujui. Walaupun dia hanya akrab dengan Tiara, tapi dia bisa melihat bahwa Andrew dan Gwen itu bukan hanya bersahabat biasa. Ada sesuatu yang istimewa. Mereka tak bisa merasakan namun orang lain bisa melihatnya. “Lo pengen tau gak gimana cara menyatukan mereka?” Ucapnya dan Tiara mengangguk. “Apa?”
            Dia langsung membisikkan idenya dan mereka terkikik penuh konspirasi sambil menatap Andrew yang menatapnya heran. Namun Tiara hanya merespon dengan kedipan mata.  Sudah saatnya menyatukan pasangan aneh ini menjadi pasangan kekasih. Begitu pikirnya dan dia langsung mengiyakan dan memutuskan membahasnya lebih panjang lagi dengan Andini di kelas.

            Di Balkon sekolah, Jo asyik melihat semuanya dari atas sambil memakan apel. Dia menggigit ujungnya dan menatap Gwen yang asyik tertawa itu lalu melirik apelnya lagi. Seringai napsu terpampang di wajah innocentnya dan menggigit apelnya lagi. “Gue akan gigit lo seperti apel, perlahan – lahan, namun akan habis hingga tinggal ampasnya doang. Setelah itu,” Dia membuang apelnya yang sudah habis ke bak sampah. “Lo akan gue buang. Seperti cewek yang lain” Ucapnya sinis dengan ide yang menari – nari di atas kepalanya.

♥ ♥

          Gwen duduk di kursinya dengan Andrew yang asyik mengobrol dengan temannya. Dia asyik membolak – balik buku dan mencatatnya. Saking asyiknya, dia tak sadar guru pelajaran pertama masuk ke kelasnya diikuti seorang cewek manis, berambut panjang, berkulit kuning langsat dan tatapannya tak lepas dari Andrew saat masuk hingga berdiri di depan. Lalu beralih ke dirinya dan melempar senyum. Membuatnya terdiam.
            “Dia siapa?” Tanya Gwen namun Andrew hanya terpaku. sorot matanya terlihat tak percaya dengan apa yang dilihatnya di depan.
            “Lo mau tau siapa dia?” Tanya Andrew ketika gadis itu memperkenalkan dirinya. Gwen bisa melihat tatapan mata Andrew mengikuti kemana arahnya berjalan dan duduk di kursinya yang berjarak dua langkah ke belakang darinya.   “Dia Arny. Kan tuh cewek udah memperkenalkan dirinya tadi?” Jawabnya dan kaget ketika cewek itu, Arny menoleh ke belakang dan tersenyum ke Andrew lalu meliriknya sekilas dan berbalik ke depan.
            “Dia... cinta pertama gue, dan..”
            “Dan... apa?” Tanyanya lagi. Mendadak hatinya tak tenang.
            “Dia mantan pacar gue waktu kelas 1 SMA yang gue putusin waktu itu. Lo ingat kan?” Lanjutnya lagi dan Gwen melongo ke arahnya.

            What?!

            Arny. Yah, dia ingat sekarang. pacar dan cinta pertama Andrew yang terpaksa  diputusinya karna cewek itu pindah keluar negeri dan Andrew tak sanggup long distance dengan jarak sejauh itu. Tapi... kenapa dia kembali lagi? Apa ada yang ketinggalan? Kalau ada, apa?

            Bagaimana kalau yang tertinggal disini itu adalah Andrew? Sahabatnya sendiri? Sanggupkah?

Teaser Bestfriend? Hmmm... Part selanjutnya. *baru rencana. gatau bikin apa gak.*
            “Gue merasa dilupakan!” Gwen langsung melemparkan bom  waktu kearah Tiara yang saat itu asyik menyusun beberapa cerita untuk mading mereka. Gwen memutuskan mengungsi kerumah Tiara karna tak tahan dengan apa yang dirasakannya sekarang. Pagi tadi yang cerah, dia disuguhkan pemandangan Arny asyik mengobrol dengan Andrew di taman sekolah. Sangat mesra hingga hatinya entah kenapa merasa terbakar. Tatapan yang tak pernah ditunjukkan Andrew padanya itu sangat jelas terpancar saat dia berduaan dengan Arny. Seperti orang pacaran dan yang lainnya ngontrak. Termasuk dirinya.
            Tiara memutuskan menghentikan pekerjaannya dan melirik Gwen yang duduk di ranjangnya dengan melipat tangan ke dada. Dia tersenyum geli. “Lo cemburu liat Andrew dengan Arny? Wajar kalii.. kan mereka mantan pacar yang sengaja putus karna keadaan.”
            “Gue gak cemburu!” Gwen berteriak dan meremas – remas boneka Tiara yang dipegangnya dengan gemas. Saking gemasnya, hampir saja dia ingin mengguntingnya dan menghamburkan isi boneka itu ke lantai. Mendadak, hatinya semakin sakit saja.
            “Apa wajar...” Dia terdiam. Matanya menatap Tiara yang fokus ke arahnya sekarang. Sorot mata sahabatnya sangat pengertian. Berbanding terbalik dengan tatapan matanya yang kata kakaknya akhir – akhir terlihat lelah. “Kalau pada akhirnya, gue suka dengan dia sedangkan dia merasa nyaman dengan persahabatan ini?”
           
            “Dan apa wajar gue cemburu karna Andrew suka sama lo? bukan sama gue, sahabatnya sendiri?”


Hullaa... saya balik lagi. Kalau ada yang ngomel kenapa lama lanjutin Gwen – Andrew, silahkan omel dengan Kak Andini. :D karna dialah pelaku utama kenapa jadi sengaret ini. Aku baru lanjutin karna sibuk sana – sini, maklum... :D kalau ada yang nanya mana Ando – Lista, jangan tagih sekarang yah, soalnya otakku asyik dengan cerita lain. Heheheeee.. kalau ada yang nagih part 5, silahkan tagih *lagi* dengan kak Andini. Ohohohohohoo... mumpung si kakak yang satu itu lagi galau akut dan butuh pencerahan hidup. Jadi silahkan kalian ganggu dia saja. Hahahahaaa...  jangan ganggu saya dulu yah. oke?*ngilang* Siapin boneka vodoo beserta jarum kalau – kalau ada yang berani neror*