Laman

Sabtu, 02 Maret 2013

Jatuh cinta sama lo?! NO WAY! PART 15 - SUNSHINE AFTER RAIN


“Za, bikinin gue makanan dong, Gue lapar.” Sambil mengelus wajah Erza dan mencium pipinya sebagai ucapan terima kasih dari seorang Putra untuk Erza.

Erza yang tak siap dengan “Serangan Siang bolong” ala Putra, hanya bisa menunduk malu untuk menyembunyikan semburat merah di wajahnya yang putih bersih.
“Iya. Gue ke dapur dulu yah.” sambil berdiri dan membawa baskom serta obat-obatan dan secepat kilat pergi ke dapur sebelum wajahnya semakin merah, mengalahkan kepiting direbus tujuh hari tujuh malam

Putra yang melihat tingkah Erza yang pengen ngilang itu, hanya tersenyum simpul sambil rebahan dan menatap langit-langit kamar, berharap ada sepercik kenangan yang disembunyikan, terpampang jelas di langit-langit kamar yang kusam dan penuh jaring laba-laba itu.
“Kayaknya gue bisa ingat sama Lo Za. Tapi gimana caranya supaya gue beneran ingat sama lo? masa gue harus bonyokin wajah lagi? Entar ilang wajah ganteng gue.” Sambil menatap tajam langit-langit kamar, dia bergumam narsis yang dijamin buat Erza muntah darah.



Sementara Putra asyik rebahan di kamar, Erza malah asyik sibuk wara-wiri mencari bahan makanan apa yang bisa dia masak, sekalian menghilangkan debaran jantung yang marathon karna ulah Putra.
“Kayaknya gue harus jauhin tuh kunyuk deh! Sebelum gue mati muda karna jantung gue dag dig dug mulu!.” Sambil mengomel panjang lebar dan senyum yang selalu tersungging di bibirnya yang tipis setiap dia teringat perlakuan Putra kepadanya, seperti seorang Putri yang selalu diimpikan oleh banyak cewek seumuran dirinya yang di selamatkan oleh Pangeran Tampan.


Selama setengah jam “perang” didapur, akhirnya kelar juga masakannya, hanya semangkok mie goreng, namun dicampur dengan bumbu-bumbu kesengsem dan malu-malu ala cewek kesengsem, bikin rasanya misterius.


Tok…tok…tok… bunyi ketokan pintu membuyarkan lamunan Erza akan Putra. bergegas dia lari menuju pintu dan tersenyum ketika dia membuka pintu, Nanda tersenyum manis, namun wajahnya terpampang jelas agak bingung.


“Eh Nand, ada apa?.” Dengan wajah heran melihat Nanda kebingungan sambil mengacak rambutnya yang agak panjang dan ikal itu.
“Eum…Anu… Putra mana Za? gue mau ngambil sepeda yang dia pinjam, Udah ditagih ama yang punya.”
“Oh… sepeda itu yang lo maksud? Ada tuh dikamar, mau gue panggilin?.”
“Yup. Gak usah Za, gue bentar aja kok. by the way, lo kapan pulang?.”
“minggu depan Nand, kenapa?.”
“Enggak, gue kangen aja entar sama lo. hahaha…” sambil tertawa memamerkan giginya yang putih.
“Hahaha… apaan sih lo. eh, masuk yuk.” sambil mempersilahkan Nanda masuk dalam rumah.

merasa tak enak, akhirnya Nanda masuk dalam rumah dan duduk diruang tamu. Erza pun langsung masuk dapur untuk bikin minuman dan keluar lagi sambil membawa minuman yang dia bikin lalu duduk berhadapan. dan sebentar saja, mulai terlibat obrolan seru.

“Eh Nand, lo cerita dong soal hidup lo gitu. lo masih playboy gak?.” tanya Erza diselingi tawa  karna dia penasaran dari dulu, siapa yang jadi pacar Nanda sekarang, mengingat statusnya waktu SMP adalah playboy cap Komodo.
“apa yang harus gue ceritakan Za? wah… Sorry Za, gue sekarang setia sama satu cewek.” curhat Nanda yang membuat Erza semakin penasaran.
“Wah… siapa cewek yang ketiban sial pacaran sama lo?,” Tanya Erza sambil menghindar ketika bantal kursi tamu melayang gemas kearahnya.
“Bukan pacaran sih, Gue naksir sama dia, tapi gak tau deh gimana perasaan tuh cewek. soalnya dia rada-rada cuek gitu. dan, dia sahabat gue sejak SMP.” Sambil mengucapkan kata terakhir itu, dia menatap Erza dan tersenyum manis, membuat gadis itu salah tingkah.

“Kenapa gue jadi gugup begini? kenapa gue jadi ngerasa dia… Ah… gak mungkin.”


asyik-asyiknya saling bertatapan, Putra keluar dari kamar Erza sambil mengucek matanya yang merah karna ketiduran dan wajahnya yang memar sana-sini, memancing pertanyaan bagi yang melihat, termasuk Nanda.
“wajah lo kenapa Put?,” tanya Nanda ketika melihat Putra duduk disamping Erza dan menatapnya tajam, seolah-olah ingin memakannya hidup-hidup.
“habis berantem sama Tikus, Thanks atas sepedanya yah.” Jawab Putra yang masih menatap Nanda lurus dengan tatapan seolah-olah ingin mengusirnya karna seenaknya duduk bareng Erza dan saling menatap disaat dia ketiduran.


Merasa hawa yang dingin mendadak panas dengan kedatangan Putra, Nanda pun berdiri dari duduknya dan berjalan keluar diikuti Erza dibelakangnya “Gue pulang dulu yah Za, Sore gimana? Bisa?.” Dengan wajah penuh harap dan agak ingin menjauh karna Putra selalu menatapnya, seolah-olah dia sebentar lagi akan menculik Erza.
“Ketemu Rani? Tentu saja! Gue kangen sama dia. coba aja gue bisa bawa pulang, udah gue anggap adek dirumah! Lo tau kan gue suka sama anak-anak?.” Sambil tersenyum menatap Nanda, yang buat Putra merasa, bahwa dia hanya seujung kuku mengetahui sifat Erza dibandingkan Nanda, cowok yang sekarang entah kenapa dia jadikan saingan sejak pertama kali bertemu dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka yang serapuh kertas usang menjadi tak berbentuk lagi, rusak permanen.


“Tau dong! Gue masih ingat sifat lo dulu! Anna, Anak Kepsek ampe lo culik dari kantor terus lo gendong sampai ke kelas dan dia tak mau pulang kalo lo juga gak pulang! Apa sih yang gak gue lupa soal lo Za?.” Nanda tertawa sambil mengacak-acak rambut sahabatnya dan tertawa bersama, tanpa menyadari Putra ada disekitar mereka, menatap Erza yang tersenyum dan tertawa, bukan karna dirinya, dan itu membuatnya agak sedikit sakit.


“Seharusnya gue jadi Guru TK aja kali yah. hahaha…”
“Kalo lo jadi guru TK, yang ada anak-anaknya pada lo bawa pulang semua! Gue kan tau lo Za. eh, gue pulang dulu. Ntar gue sms deh kalo mau jemput lo. bye.” Sambil mengayuh sepedanya dan melambaikan tangan ke arah Putra yang berdiri mematung didepan Pintu dan balas melambaikan tangan ketika melihat Erza melambaikan tangannya sambil tersenyum manis, membuat dia teringat masa-masa SMP dulu.



Sepeninggal Nanda, Erza pun berbalik dan melihat Putra berdiri sambil melipat tangannya di dada dan menatapnya tajam, seolah-olah dia baru saja melakukan sesuatu yang sangat fatal dan tak dia ketahui.
“Kenapa Put?.” Tanya Erza bingung.

“ini anak kenapa bangun tidur jadi gak jelas gini? Apa dia kena amnesia yang kedua gara-gara dihajar Ferdi?.”
“Enggak papa. Makan yuk, gue lapar.” Sambil berbalik memunggungi Erza dan berjalan menuju dapur.

Erza pun hanya mengangkat bahu dan berjalan mengikuti Putra.
                                   

                                                ♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥



“Za…” Panggil Putra ketika melihat Erza hanya melamun menatap dirinya dan menatap piring secara bergantian sambil memainkan sendok, tanpa menyentuh makanan.
Erza menjawab hanya dengan tatapan kosong tanpa arti, membuat Putra akhirnya menyuapkan makanan dipiringnya  dan ujung sendoknya menyentuh ke mulut tipis gadis itu, sehingga Erza kaget sambil mengerjap-ngerjapkan mata, tanda dia balik ke dunia nyata setelah asyik bermain di dunia khayal.
“Eh… anu… gue bisa makan sendiri Put,” Kata Erza kikuk mendorong sendok yang sudah menyentuh mulutnya kearah Putra dengan wajah malu.
“Udah gue suapin aja, ayo buka mulutnya.” Dengan gerakan lembut namun agak memaksa dia mendorong sendok kembali  ke mulut Erza, dengan wajah terpaksa namun dihati jumpalitan, dia membuka mulutnya perlahan sambil terus menatap Putra, entah apa yang dicarinya dibalik tatapan hijau terang yang mengusik alam sadarnya dan menutup matanya pasrah.


“and everytime I close my eyes and think about that,
I’ve got you, and you’ve got me too.”

melihat sikap Erza seperti terhipnotis, dia perlahan meletakkan sendok kepiringnya dan mencondongkan tubunya kea rah Erza, jarak demi jarak dia lewati, setiap hela napas Erza yang terdengar, seolah memacu dirinya untuk melakukan hal itu, dan ketika jarak tak terpisahkan lagi, meja makan hanyalah pembatas semu antara mereka. Wajah saling berdekatan, napas  saling membaur, perlahan Putra semakin mendekat dan mendekat hingga…


“Erza, lo kenapa gak nyu…” ruangan rusuh mendadak hening seketika ketika Arny disusul yang lain melihat Putra hendak mencium Erza, dan gadis itu menutup matanya, seolah-olah pasrah saja menerima perlakuan apapun dari Putra.


sadar hal itu, Erza langsung membuka matanya dan kaget melihat jarak Putra dengan dirinya hanya berbatasan hidung. dengan wajah memerah dia mendorong Putra untuk mundur, namun gagal karna Putra memegang kedua tangannya yang mendorong lengannya dan mencium pipinya hingga semburat merah merona pun keluar dari wajah mulus Erza, seperti Matahari terbit.


“Ckckck… bingung apa yang mau gue komentar, by the way, wajah lo kenapa Put? habis berantem dengan siapa?” Restu sambil  geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang tak berubah meski amnesia, mendadak heran melihat ada bilur lebam di pelipis dan pipi Putra.
“Berantem sama Tikus Tanah.” Jawab Putra asal dengan sejuta perasaan dihati, jengkel, karna gagal kesekian kalinya, malu, karna kepergok dan bingung, karna kenapa dia selalu ingin dan ingin menyentuh bibir gadis itu, seolah-olah itu sebagai candu dalam dirinya semenjak bertemu kembali, dan candu itu takkan dia dapatkan dari Selvi.
“Lo sendiri kenapa gak nyusul kami Za? temanin Putra memburu Tikus Tanah juga?.” Dengan tatapan tajam namun berbanding terbalik dengan wajahnya yang melongo habis, membuat Erza hendak tertawa melihat wajah Arny yang dimatanya, seperti badut Ancol.
“Gue…”
“Lo tau apa yang gue takutin kan Res setiap liat Ferdi? Dan itu terjadi. Tuh cowok sialan nongol!”  sambil mengunyah makanannya dengan tenang, namun hatinya diamuk emosi yang membuatnya ingin membunuh setiap mengucap nama cowok sialan yang selalu membangunkan “macan tidurnya”.
“HAH? Terus?,” Kata Restu penasaran lalu tanpa permisi duduk disamping Erza, dan yang lainnya mengitari meja.

Erza menghela napas pasrah, seolah tak ingin mengingat kejadian yang membuatnya merasa dilecehkan, sambil menutup matanya, dia menceritakan secara runtut kejadian itu dan tangannya terkepal menahan emosi yang bergolak di dadanya, merutuki dirinya sendiri kenapa lemah untuk kesekian kalinya dihadapan cowok bajingan macam Ferdi itu.


Putra langsung mengelus tangan terkepal  yang sangat dia lindungi baik jiwa dan raganya itu, baginya, tak ada satu orangpun yang bisa menyakiti gadis ini, termasuk dirinya, walau dia merasa, sudah banyak memberikan luka menganga disetiap sudut hati gadis itu, secara tak sengaja.

“Apa dosa gue sama tuh setan jadi dia kayak gini ma gue?,” Tanya Erza dengan suara bergetar dan menahan tangis ketika selesai menceritakan peristiwa yang sangat dia ingin buang jauh-jauh dari cerita hidupnya.

Arny dan yang lainnya langsung memeluk Erza dari belakang, sedangkan Putra masih saja mengelus tangan terkepal itu dengan sarat ketenangan dan Restu terdiam, bingung antara ingin meluk, takut dihajar Putra, ingin menghibur, dia bingung bagaimana caranya. Akhirnya dia memilih cara aman dan sarat penuh makna yang terkandung, diam, tak bicara apa-apa.


“Karna lo terlalu cantik dimata cowok sinting macam dia Za, makanya dia jadi kayak Macan liar setiap liat lo.” Dengan wajah penuh berpikir Restu menjawab pertanyaan Erza yang entah sudah berapa kali gadis itu pikirkan, namun tak jua dia temukan jawabannya, sampai detik ini.


Putra terdiam mendengar jawaban Restu, seolah mengiyakan dan entah kenapa menjadi ketakutan tersendiri bagi dirinya yang akhir-akhir ini, dia tak bisa tenang ketika Erza tak ada disampingnya sedetik saja, seolah-olah pusat dunianya selama ini mendadak hilang, dan membuat perputaran rotasi hidupnya kacau balau.

“Mungkin gue harus berubah jelek aja kali yah, biar dia gak tergila-gila dengan gue lagi. biar gue tenang jalanin hidup.” Sambil tersenyum getir dia menatap teman-temannya satu-persatu, mencari jawaban memuaskan dari pertanyaannya melalui mata mereka yang sedari tadi menatapnya.

“Lo gak perlu berubah jelek untuk menghindar dari dia Za, gue selalu ada di samping lo . dan tak akan gue biarkan cowok manapun, apalagi Ferdi, menyentuh lo.” dengan wajah penuh tekad yang membara dihatinya, dan terpatri jelas di mata tajamnya itu. Agar Erza yakin dengan ucapannya.


“Terakhir lo ngomong gitu, keesokan harinya lo malah ninggalin gue. apa gue bisa pegang kata-kata lo itu sekali lagi?.”
“Lo pengen Ferdi gue apain Za? Lo gak usah ikut!,” Kata Restu galak ketika melihat Putra semangat ’45 mendengar ucapannya barusan sambil mengepalkan tangannya penuh nafsu.

“Kok lo gitu sih?! Sahabat macam apa lo itu?,”
“Lo gak sadar apa wajah lo bonyok sana-sini karna siapa?! Gue tau lo persis kalo marah gimana kalapnya, meskipun tragisnya, lo lupa sama gue. jadi mending gue aja yang hajar dia, atas nama lo dan Erza. Gimana?.” Sambil mencoba bernegoisasi dengan sahabat labilnya ini.
“Males! Entar image heroik gue di mata Erza ilang karna lo wakilin gue, gue kan juga pengen jadi pahlawan di mata dia.” Dan melirik Erza dengan tatapan menggoda, yang buat gadis itu menundukkan wajahnya malu.

Restu hanya menepuk dahinya dengan ekspresi stress, Arny melongo dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala antara heran dan takjub mendengar ucapan Putra yang rada-rada kekanakan namun tatapan matanya saat melirik Erza bikin jumpalitan yang melihatnya. So sweet….

“Udah…udah… daripada tambah ngaco lo ngomong, mending lo makan aja deh! Gue mau ke kamar.” Sambil berdiri dengan wajah masih menyiratkan semburat kemerahan, Erza berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu dan memegang dadanya yang masih bergemuruh kencang karna ulah Putra tadi.

“Aish… Gila beneran gue karna tuh kunyuk! Ngapain juga dia ngomong gitu?! tanpa bilang gitu juga dia udah jadi pahlawan di hati gue. eh… kok gue jadi tambah ngaco sih?! AISH!.” Sambil memukul kepalanya pelan, Erza menghela napas berat seolah-olah setiap napas yang dia keluarkan, mempunyai berat berton-ton.

“Za… Gue boleh masuk?,” Tanya Arny dibalik pintu, membuat lamunan Erza akan kebimbangannya yang semakin hari semakin menggila, buyar.
“Masuk aja Ny, kamar gak gue kunci.”


Arny masuk ke kamar Erza sambil melihat di sekelilingnya, dan menatap Erza yang menatapnya dengan mata kosong, yang terlihat hanyalah kebimbangan.
“Lo kenapa Za?,” Tanya Arny sambil duduk disamping Erza.

“Gue kelihatan kacau banget yah?,”
“Banget! Kenapa? Lo mikir masalah siang tadi itu?.”
“Iya… salah satunya itu. Tapi ada yang lebih gue pikirin daripada sekedar Ferdi ngancurin hidup gue lagi.”

“Putra?,” Tebak Arny pelan supaya yang bersangkutan tak mendengar dan Erza mengangguk.
“Apalagi yang lo pikirin Za? dia putus dengan Selvi, tak ada lagi yang gangguin hubungan kalian berdua.”
“Gue tau, Tapi ada sesuatu yang gue gak bisa jelaskan dengan kata-kata, namun mengganggu pikiran gue.”
“Apaan?,”
“Gue gak tau Ny, tapi yang jelas, Gue ragu. Ragu dengan semua sikapnya ke gue. jujur, sikapnya yang sekarang ini buat gue teringat masa lalu gue dengan dia. setiap gue ingin membalas perlakuan dia, gue langsung ingat dia ninggalin gue, pulang bawa pacar baru dan ciuman didepan gue. itu buat gue menghindar, gue tak ingin jatuh dilubang yang sama, kesakitan yang sama. Karna dia.” sambil menghela napas berat, Erza menyandarkan kepalanya di bahu Arny, sekedar melepas beban masalahnya.

“Gue ngerti perasaan lo. tapi Za, apa lo gak mau ngasih kesempatan sekali lagi untuk Kak Putra? Gue liat dia beneran sayang sama lo Za.”
“Gue gak bisa Ny. Setiap gue ingin memberi kesempatan untuk dia, Gue langsung disadarkan oleh perlakuan dia yang nyakitin hati gue. itu yang buat gue menghindar dan cenderung angkuh sama dia. gue sengaja kayak gitu, untuk lindungin hati gue agar gak dia sakitin lagi Ny.”

Arny terdiam mendengar curhatan Erza, dan membayangkan gimana kacaunya bila di posisi Erza yang satu sisi masih menyayangi Putra namun disisi lain, dia takut disakiti.

“Kalau misalnya, usaha lo hindarin dia berhasil dan dia menyerah terus balikan sama Selvi, Lo ikhlas Za menerima semua ini?.” Pertanyaan Arny yang simple, namun menusuk ke akar masalah membuat Erza terdiam cukup lama.

“Gue… Ikhlas. Berarti dia bukan milik gue, berarti dia…” kata-kata Erza terhenti dan diganti oleh tangisan yang menjadi jawaban untuk Arny, bahwa dalam hatinya yang paling dalam,  Erza takkan bisa melepas Putra, walau dimulut dia menyangkal hal itu.

“Kalau sampai itu terjadi, gue… akan pergi meninggalkan dia Ny. Agar dia bahagia dengan apa yang dia pilih, dan gue akan selalu berdoa kepada Tuhan, agar gue bisa lebih bahagia dengan orang lain. jauh dari dia lakukan selama ini ke gue.” Lanjut Erza disela tangisnya yang semakin menyayat hati, tanda bahwa dia tak rela, namun tak ingin mengakuinya.

“Syut…Udah Za. Gue ngerti perasaan lo. Za… kalau lo sayang sama dia, buang rasa ragu lo itu. gue gak ingin keraguan lo selama ini ke dia, yang menurut lo senjata paling ampuh untuk lindungin hati lo, malah balik menjadi senjata mematikan untuk menyakiti hati lo lagi. Gue tau itu berat, sangat berat malah, tapi harus dicoba, sebelum perlahan-lahan, dia meninggalkan lo, dan lo takkan bisa memohon Sang Waktu untuk mengembalikan ke masa yang dulu dan mengubah semuanya. Gue, dan semua yang sayang sama lo, tak ingin hal itu terjadi Za. tak ingin hal itu akan jadi luka permanen di hati lo. karna kami tau rapuhnya hati lo kayak gimana.” Sambil memberi penjelasan Arny mengelus kepala Erza yang masih terisak di bahunya.


Erza terdiam mendengar ucapan Arny, dia membenarkan semua yang Arny ucapkan, namun entah kenapa, hatinya masih terasa sakit setiap teringat perkataan dan perbuatan yang dilakukan Putra didepan matanya.

“Gue akan coba Ny. Thanks sudah mau dengarin curhat gue. tapi Ny… gue ingin lo berjanji sama gue.” Sambil menghapus air matanya yang masih menetes, dia menatap Arny dengan tatapan sendu.

“Lo mau gue janji apa Za?,” Tanya Arny bingung.
“Gue mohon dengan sangat, kalo Putra nyakitin hati gue sekali lagi, bahkan lebih sakit dari ini, lo jangan halangi gue untuk pergi.

Arny sempat terdiam mendengar ucapan Erza, namun akhirnya dia mengangguk “ Ok. gue akan lakuin yang lo minta Za.”


Erza tersenyum dan memeluk Arny, tanpa menyadari bahwa dibalik pintu, Putra mendengar semuanya dan tangisan gadis itu, semakin menyayat hatinya.
“Gue janji Za, gue gak akan pernah nyakitin lo lagi. bahkan, kalo itu sampai terjadi, gue yang akan menahan lo pergi. Bukan Arny, bukan siapapun.” Dengan suara berbisik lirih, Putra bertekad akan melakukan apapun agar gadis yang sukses membuat hidupnya amburadul tetap disampingnya, walau dia tak tau alasannya kenapa.

Mendadak telinga Putra langsung tegak dan hatinya entah kenapa terbakar cemburu ketika mendengar Erza sekarang ditelpon Nanda dan sesekali terdengar tawa dari mulut gadis itu.

“Ok… Ok… jemput aja Nan, Gue nunggu lo dari tadi.”
“Ok Tuan Putri. Lo kenapa Za? Habis nangis?.”

“Iya… habis tergores pisau dapur. Sakit banget.” Dusta Erza agar Nanda tak ribut sendiri apabila tau kalau dia menangis karna Putra.

“Lo gak hati-hati sih. Yaudah gue ketempat lo dulu yah, bye sweet honey.” Sambil menyelipkan panggilan kesayangan Erza waktu SMP.  Karna menurut Kamus Playboy professional ala Nanda, Erza itu cantik banget kalo dilihat sekilas, tapi kalau dipandang lama, cantik dan wajah manisnya keluar dan bikin dia betah memandang lama-lama.

“Hahaha… apaan sih lo Nand. Bye juga sweet darling.” Balas Erza sambil tertawa ketika menyebut panggilan sayang Nanda waktu SMP dan memutuskan telpon.


“Dari Nanda yah?,” Tanya Arny ketika  melihat Erza menutup telponnya dan merias diri agar tak kelihatan kalau dia baru saja nangis hebat.

“Iya… dia ngajak gue ketempat Rani. Lo mau ikutan Ny?,” tawar Erza.

“Enggak Za. gue capek banget habis sosialisasi. By the way… Lo ama Nanda beneran Cuma sahabatan aja? gak ada hubungan lebih?.”

Mendengar pertanyaan Arny, Putra semakin mendekatkan telinganya di balik pintu dengn wajah deg-degan, karna sejujurnya dia juga penasaran, ada hubungan apa Nanda dengan Erza dibalik persahabatan yang sering diucapkan keduanya.


Erza kaget mendengar pertanyaan Arny, dengan wajah tersipu-sipu, dia mencoba menjawab pertanyaan Arny “Eum… Lo janji jangan bilang siapa-siapa yah, apalagi sama Putra. habis entar.” Sambil menatap Arny dengan wajah memelas.
“Lo kira gue gila apa jadi seenaknya bocorin rahasia sabahat gue sendiri ke cowok yang sangat lo cintai itu? Ya enggak lah!.”


Erza hanya tersenyum sambil mengingat masa Putih Birunya dengan wajah sumringah “Gue waktu SMP sahabatan sama Nanda, dia teman sebangku gue dan dia tau gue banget. Saat gue dijahilin kakak kelas cewek yang resenya minta ampun, dia di depan gue, ngelindungin gue, saat gue ditembak kakak kelas berkali-kali sampai gue bosan nolaknya, dia mau jadi pacar bohongan gue. saat gue nyulik anak Kepsek karna gue suka sama anak kecil, dia rela diomelin Kepsek yang kehilangan anak itu dan keliling sekolah yang luasnya ampun-ampunan untuk mencari gue! dalam sejarah hidup gue yang masih sangat labil itu, Gue jatuh cinta pada pandangan pertama, sama Nanda.” Sambil wajah malu-malu kucing, khas anak remaja baru terkena virus cinta monyet, Erza menatap Arny yang melongo habis. Tanpa menyadari, dibalik pintu yang tertutup rapat, Putra lemas mendengar pengakuan Erza yang sudah dia duga semenjak bertemu dengan Nanda, namun tak menyangka bahwa itu terjadi.


“Erza suka sama Nanda? Sampai saat ini? Gue harap jangan…”

“Terus Za? Lo sempat pacaran sama Nanda gak? wah… sahabat gue ternyata… hahahha.” “Eum… sempat sih selama 1 tahun sebelum dia pindah. Tapi lo tau kan pacaran anak SMP kayak gimana? Gak pernah serius. Jadi gue pacaran sama dia, kayak gue temenan gitu, soalnya kami memang sudah sangat akrab, jadi gak kelihatan, palingan Cuma nama panggilan aja yang menandakan kami pacaran. Yang lo dengar tadi, itu nama panggilan kami waktu pacaran. Gue aja kaget kenapa dia manggil gue kayak gitu. hahaha.”


Kring…Kring… bunyi sepeda diluar membuat Erza berhenti cerita, dan menoleh ke jendela yang langsung  teras rumah “Bentar yah Nand, tunggu sedetik lagi, ok?,” sambil kedipkan matanya nakal dan tertawa.
“Ok Tuan Putri, apa sih yang enggak buat lo?.” Sambil tertawa Nanda dan membuat Erza yang melihat, tersipu.


“Cie…. Tadi nangis hebat, sekarang kesengsem… CLBK non?.” Goda Arny melihat Erza asyik memperbaiki riasan matanya agar tak terlalu bengkak.
“hahaha… apaan sih lo. udah…udah… entar Putra tau habis deh gue!,” sambil memperingatkan Arny yang masih tertawa.
“Kan gak papa juga Za kalo dia tau, sesekali tuh kak Putra dkasih peringatan kalo lo terlalu beharga untuk dia lepas begitu saja.”
“Bukannya gitu, gue males aja berantem sama dia, bikin kepala mau pecah! Udah keras kepala, egois, bikin sengak lahir bathin lagi!.” sambil menggerutu dia menyebutkan beberapa julukan untuk Putra dengan tulus hati, iklas luar dalam.
“Tapi lo sayang kan? buktinya gitu-gitu, lo nangis karna dia, hahahaha.” Goda Arny yang langsung dibalas dengan lemparan bantal.

“Apaan sih lo? Udah gue mau…” Kata Erza terhenti ketika membuka pintu, dia melihat Putra berdiri didepan kamarnya sambil menatapnya antara kaget dan ada sebersit cemburu terlihat jelas dimatanya.

“Mau kemana?,” Tanya Putra dingin, sedingin di Kutub Utara.
“Ke tempat Rani sama Nanda, kenapa?.” Dengan suara tak kalah dinginnya.
 “Gue ikut,”
“Ya sudah ikut aja kalo lo tahan gue jadiin obat nyamuk karna gue cuekin,” Jawab Erza cuek sambil berjalan melewati Putra.


“Mata lo kenapa bengkak Za? habis nangis? Nangisin siapa? Gue kan?,” Tanya Putra narsis namun telak membuat Erza terdiam. Dengan wajah penuh mencibir dia berbalik dan menatap Putra “ Gue nangis karna lo? mending gue nangisin Kelinci gue mati daripada nangisin lo! buang-buang air mata aja!,” Elak Erza.
“Ah… masa sih? Kok gue ngerasa lo nangisin gue yah? keliatan aja tuh disorot mata lo penuh dengan nama gue. iya kan Arn?.” Sambil melirik Arny yang baru saja  keluar dari kamar Erza.

“Gue gak tau kak,” Jawab Arny singkat, namun bermakna ingin kabur sejauh mungkin sebelum mulutnya nyerocos mengeluarkan hal-hal yang membahayakan dirinya.
“Udah ah, ngomong sama lo bikin gue tambah gak jelas! Gue pergi dulu yah, bye Arn, Bye Put,” Kata Erza sambil berlari mendatangi Nanda yang setia menunggunya diluar.

“Yuk,” Ajak Nanda ketika melihat Erza datang dan langsung dibalas dengan Erza duduk diboncengan sambil memeluk erat pinggang Nanda yang sudah mengayuh sepedanya meninggalkan rumah menuju tempat Rani.

Putra yang melihat semua itu di depan pintu, hatinya sakit sendiri, andai waktu berbaik hati padanya, dia  ingin meminta sedikit kenangan bersama Erza, dan menjaganya dengan sepenuh hati agar tak lepas lagi.

“Heum Erza…Erza… lo pake pellet apa sih jadi bikin gue gak keruan begini?,” Keluh Putra sambil mengacak rambutnya tak gatal dan menutup pintu.

☺☺☺☺☺



“Kakak…” Teriak Rani riang didepan Pintu ketika melihat kedua malaikat pelindungnya, Erza dan Nanda datang menjenguknya.
“Hai sayang,” Kata Erza langsung turun dari boncengan dan memeluk Rani dengan penuh sayang, Nanda yang melihat itu, hanya tersenyum sambil memarkir sepedanya.


Rani langsung menghampiri Nanda dan tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dengan senyum tersungging. “Kakak, gendong Rani dong.” Pintanya mendadak yang buat mereka saling berpandangan.
“Tentu saja, apasih yang enggak buat Rani, Adek yang paling kakak sayangi ini?.” Sambil menggendong Rani yang tersenyum riang dan membawanya ke kamar diikuti Erza dibelakangnya.


“Rani manja yah sekarang,” Kata Erza sambil mengepang rambut Rani yang sudah panjang dan membuatnya tambah cantik.
“Hehehe… Rani lagi seneng kak masalahnya,” Jawab Rani dengan senyum semakin manis dilihat.
“Seneng kenapa sayang? Punya pacar yah sekarang?,” Goda Erza yang langsung dilempar Nanda dengan bantal.
“Hush! anak kecil ditanya soal pacaran! Wah… perusak generasi lo Za,” Jawab Nanda sambil tertawa melihat Erza manyun.

“Ibu Odah baru aja bawa adek kecil kak! Rani bakal punya adek! Hore!.” Dengan senyum dibibirnya, dia menari-nari mengelilingi Erza dan Nanda secara bergantian.
“Beneran Ran? Ibu Odahnya dimana sekarang? Kakak pengen liat.”
“Rani anterin aja gimana kak keruangan Ibu Odah? Tadi sih ada dikantor, gak tau sekarang adeknya dibawa kemana. Lucu kak… Rani gemes pengen gendong, tapi gak dibolehin sama Ibu Odah.”

Baru saja Rani mengusulkan ide cemerlangnya, datang Ibu Odah sambil menggendong bayi yang membuat mata Erza bersinar-sinar penuh kegirangan, seperti anak kecil dikasih permen. Membuat Nanda yang melihat tingkah Erza, tertawa geli.
“Ibu dengar tadi ada yang pengen gendong Sinta, kamu yah Erza?,” Tanya Ibu Odah sambil tersenyum ketika melihat antusias Erza tentang anak-anak.
“Iya bu, boleh kan?,” Tanya Erza penuh harap.

Ibu Odah menyerahkan bayi perempuan yang baru seminggu dia adopsi ke gendongan Erza dan membuat gadis itu tersenyum senang sambil memandang Nanda dan duduk disampingnya.

“Gue serasa jadi ibu gendong bayi Nand. Ditambah Rani dan lo, klop deh.” Sambil bercanda dengan bayi digendongannya yang ketawa kegirangan melihat ekspresi lucu dari wajahnya.

“Wah… lo mending habis KKN nikah aja deh Za, daripada lo bikin hal yang enggak-enggak, repot entar,”
“Maksud lo? wah… gue tau otak lo Nand. Tenang… gue gak akan kayak gitu kok, hahaha.”


Ibu Odah tersenyum melihat Rani tertawa riang sambil mencubit pipi bayi kecil itu,  dia melihat jiwa Rani yang dulu terkurung kini bebas seperti burung terbang diangkasa, tiada beban yang menghimpit tubuhnya yang mungil dan bersih dari rajahan tangan-tangan berlumur dosa.


“Nak Erza ada bawa kamera gak? Biar ibu fotoin kalian bareng Rani,” Tawar Ibu Odah yang buat Rani kegirangan.
“ayo Foto Ibu… foto Rani sama kakak Erza dan kakak Nanda juga adek Sinta.”


untungnya Erza selalu bawa kamera yang bisa langsung cetak itu kemana-mana. sambil menggendong dia menyerahkan kameranya ke Ibu Odah.
“Disini bu pencetnya. Nanti hasil fotonya keluar lewat bawah ini,” Kata Erza memberikan penjelasan singkat.


Rani langsung ambil posisi duduk diantara Erza yang menggendong anak Ibu Odah dan Nanda yang merangkul pundaknya dan mereka tersenyum manis. terlihat seperti keluarga bahagia yang baru saja dikaruniai seorang anak, walau dalam kenyataannya, bohong belaka.


“Lo bawa kamera gak Nan? Foto bareng sama Ibu Odah yuk? Gue gak enak nih foto bareng anaknya, emaknya jadi juru foto.” Sambil bisik-bisik setelah asyik berpose ria ala keluarga Cemara.
“Bawa dong! Bentar gue siapin dulu,” Kata Nanda seraya bangkit dan menyiapkan kamera yang dimaksud kemudian menyettingnya.

“Ayo Ibu foto bareng, udah Nanda siapin. Itung-itung sebagai kenangan terakhir dari kami untuk ibu. Nanti dicuci terus Nanda kirim ke Ibu.” Sambil membujuk Ibu Odah untuk foto bareng dengan Erza dan Rani.

Ibu Odah pun malu-malu kucing Garong duduk disamping Erza yang masih menggendong anaknya dan Rani yang duduk dipangkuan Nanda. Dan tak ada yang tau pasti, bagaimana reaksi Putra melihat foto Erza bareng Nanda kayak gini.

“Makasih bu atas foto barengnya dan bisa gendong si kecil Sinta. Dadah sayang.” Sambil mencium puncak kepala Sinta yang seolah-olah tersenyum kearahnya dan memegang kedua pipinya dengan tangan yang mungil.

“Baru kali ini Ibu liat dia mau digendong sama orang lain selain Ibu, biasanya nangis kenceng banget. Sama Nak Erza malah anteng aja. ckckkck…”
“maklumlah bu, ngebet pengen punya anak si Erza ini. Ckckck.” Sahut Nanda yang membuat Erza tersipu malu.
“Ngebet pengen dinikahin sama Mas Nanda kayaknya, iya kan Nak Erza?,” Kata Ibu Odah yang membuat mereka melongo.

“Bu.. bukan… Bu bukan… Erza udah punya pacar, saya sahabat dia Bu. bukan pacarnya.” Elak Nanda cepat sebelum salah paham.
“Oh… Ibu kira kamu pacaran sama Nak Erza, habis kesini selalu berdua, maaf yah. habis kalian terlihat serasi sih, yang satu cantik, dan yang satu ganteng. Sama-sama sayang anak-anak lagi.” Puji Ibu Odah yang buat Erza semakin menundukkan wajahnya malu dan Nanda yang sekarang merangkul pundak Erza.


“hahahaha… nanti kapan-kapan saya ajak pacar Erza bu, permisi.” Kata Nanda sambil mengayuh sepedanya dan Erza langsung duduk sambil berpegangan erat di pinggangnya dan melambaikan kedua tangannya ke Rani dan Ibu Odah yang semakin lama semakin menghilang karna jauhnya jarak mereka.


sepanjang perjalanan, mereka hanya diam sambil bermain dengan perasaan masing-masing, entah apa yang mereka pikirkan, namun yang jelas, tak ada canda tawa yang menemani perjalanan malam mereka untuk sekedar menjadi penawar diantara sepinya hutan-hutan yang mereka lalui dan sangat menyeramkan, apalagi Erza yang parno dengan hal-hal gelap.


“Za,,, Gue boleh ngomong bentar?,” Kata Nanda memecah kesunyian yang dirasa sangat menyiksa batinnya ketika sudah tiba didepan rumah Erza dan memegang tangan gadis itu.
“Boleh… mau ngomong apa Nand? Mau ngomong didalam atau diluar?,”
“disini aja Za. Za… Gue 6 hari lagi harus pulang ke Jogja Za, Gue boleh ngomong sesuatu?.”
“Apaan Nanda? Lo boleh ngomong apapun sama gue,”
“Lo mau gak jadi pacar gue? Gue ngerasa, setelah bertemu dengan lo, gue menemukan apa yang gue cari selama ini, dan itu ada di lo Za.”

Erza kaget bukan kepalang mendengar pengakuan Nanda yang tak diduga, sebenarnya, semenjak ada Nanda, hidupnya yang kelabu karna Putra, menjadi sedikit bewarna dan membuatnya tersenyum lagi. tapi… Ini terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa Nanda bisa melupakan sakitnya akan Putra.

“Lo tau kan gue udah ada yang punya Nand?,” Pancing Erza sekedar mengetes apakah Nanda sama seperti yang lainnya, tertipu bahwa pacarnya adalah Putra.

“Lo gak bisa bohongin gue, karna gue anak Psikologi, sahabat lo yang tau pribadi lo dan gue,mantan pacar lo yang pertama. lo gak pacaran kan sama dia?.”

Erza terdiam mendengar penjelasan Nanda yang sangat benar itu, mengetahui Erza bimbang, dia menghela napas dan menatap Erza dalam, mencari dibalik matanya yang coklat terang itu, apakah ada namanya terpatri samar dilubuk hati gadis itu diantara kuatnya nama Putra disana.
“Gue gak maksa lo untuk jawab sekarang Za, nanti gue akan temuin lo dan minta jawaban itu, apapun keputusan lo gue terima, dan gue mohon dengan sangat, terima gue Za.”


Erza menghela napas berat dan menatap Nanda, mencari apakah cowok dihadapannya ini serius menyayanginya, atau karna menyukai apa yang dia punya. Belum sempat Erza menjawab, pintu rumah terbuka.
“Gak masuk Za? Harinya dingin banget. Masuk aja Nand kalo pengen ngobrol,” Kata Putra dengan wajah tenang namun dihatinya bergejolak ingin menarik Erza dari sisi Nanda.
“Gue mau pulang aja Put. Thanks yah atas tawarannya, Za… pikirkan baik-baik. Gue pulang dulu, bye.” Sambil mengelus kepala Erza dengan penuh sayang, dia mengayuh sepedanya dan pulang, meninggalkan Erza dalam kebimbangan.


Erza pun masuk dalam rumah dengan tampang bingung diikuti Putra dari belakang yang menutup pintu.

“Arny dan yang lain kemana Put?,” Tanya Erza ketika melihat hanya mereka berdua dirumah.
“Lagi keliling katanya. Apa jawaban lo atas Nanda tadi?.” Tanpa kata pembuka apalagi basa-basi, Putra langsung membahas inti masalah yang buat Erza gelagapan.
“Ja… jawaban apa sih? Ngaco lo.  Udah gue mau tidur, bye Putra.” sambil masuk kamar dia menutup pintu dan menatap langit-langit kamarnya penuh bimbang dihati sambil memeluk kalung pemberian Putra yang selalu dia kenakan.

“apa yang harus gue jawab? Siapa yang gue pilih? Penantian atau cinta baru?,”

“Huft… mending gue tidur aja deh. Siapa tau gue ketemu jawabannya dalam mimpi.” Dan dia pun berjalan menuju kasurnya sembari menepuk-nepuk bantal. Setelah dirasa empuk, Erza pun tertidur pulas.


                                      ⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂

Sudah 5 hari pasca “Penembakan” Nanda pada Erza. Selama itu jugalah Erza terlihat lesu, wajahnya selalu diliputi awan bingung dan bimbang. Makan yang enak pun jadi tak enak kalo udah mampir ke mulutnya, bawaannya pengen merenung dan merenung, mencari jawab yang pas untuk Nanda seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami, susah.


“ Apa yang harus gue pilih? Gue sayang sama lo, tapi gue gak ingin nyakitin lo, karna gue belum sepenuhnya bisa nerima cowok lain isiin hati gue yang udah berubah jadi Es.” Sambil bergumam sendiri, Erza menatap foto Nanda dengan dirinya yang sedang tersenyum dan semakin membuatnya bingung.

“Sesungguhnya ku ingin dirimu.

Ntuk cairkan hatiku yang beku
Tapi aku, belum siap
Aku jadi dilemma.


Aku tak mau menyakitimu
Karna hati ini masih ragu
Tapi aku, butuh cinta
Aku jadi dilemma.”


*Intan – dilemma*

Putra yang barusan lewat dari kamar Erza yang terbuka lebar dan melihatnya  termenung di meja belajar, juga ikutan diam dan berharap, gadis itu tak menerima Nanda, karna entah kenapa, dia tak rela dan merasa, bahwa Erza adalah miliknya, hak paten yang tak bisa dimiliki orang lain, kecuali dirinya, dan terikat dengannya seumur hidup dalam Suratan Takdir yang tersirat di perasaannya.


“Halo… Ada apa Nand?,” Tanya Erza yang membuat lamunannya buyar, membuat Putra waspada di balik dinding.
“Ke tempat Rani yuk, terakhir kali nih. lo ada rencana jalan?.” Sambil harap-harap cemas agar Erza tak menolaknya jalan, seperti kemaren-kemaren pasca dia menyatakan perasaannya, dan dia tau konsekuensinya apa, persahabatan selama 4 tahun akan jadi taruhannya.

“Boleh. Gue lagi sumpek masalahnya. Lo jemput gue atau gimana?.”
“Ya jemput lo dong! Mana tega gue biarin sahabat gue jalan nyamperin gue? tunggu bentar yah Za. I love you.” Sambil berkata begitu, Nanda mematikan ponselnya, agar dia tak mendengar jawaban Erza atas ucapannya yang dinilai bikin gadis itu semaput kebingungan.


Erza yang mendengar jelas ucapan Nanda, terdiam sambil menatap ponsel dan foto mereka secara bergantian, dengan seulas senyum yang hanya dirinya dan Tuhan yang tau apa maksudnya.
“Mungkin… gue sudah nemukan jawabannya. Gue harap, keputusan gue benar.” Batinnya dalam hati.
Erza pun bergegas menutup pintu kamarnya dan berganti pakaian secepat kilat sambil berharap, apapun keputusannya nanti, takkan berakibat buruk pada dirinya.


“Lo bisa gak gausah mondar-mandir kayak setrika arang didepan gue? Stres gue liatnya!.” Dengan ekspresi stress banyak tugas, semakin stress meliat Erza bolak-balik masuk kamar.
“Daripada lo semakin stress liat gue, mending lo kerjain tugas dikamar aja deh!.” Dengan ekspresi tak kalah stressnya, Erza menatap Putra yang duduk diruang tamu dengan bergelimpangan buku.
“Lo mau kemana? Rapi bener? Ketemu Nanda yah? kapan bosannya sih lo sama dia? Gue aja bosan liatnya.” Pertanyaan beruntun sarat introgasi ala Putra, membuatnya mendadak blank.
“Emang kenapa kalo mau ketemu Nanda? Dia kan sohib gue, jadi gak bakalan bosen. Malah kangen terus, pengen…” Katanya terhenti ketika melihat Nanda didepan rumah dengan Ontel pinjaman kesayangannya.


“Gue pergi dulu yah, bilang sama yang lain. bye.” Dengan langkah terburu-buru dia bergegas keluar rumah, namun tangan kanannya ditarik Putra dan didorongnya kedinding dan terkurung karna Putra berdiri didepannya dengan tatapan cemburu.
“Pengen apa Za?,” Tanya Putra posesif sambil mengurung Erza yang pucat pasi dengan kedua tangannya yang dia letakkan disisi kiri dan kanannya.
“Pengen… ada aja!,” Kata Erza ketus sambil menginjak kaki Putra dengan keras dan bergegas keluar menghampiri Nanda sebelum disantap oleh Monster berwujud Manusia ganteng kayak Putra.

Putra menatap Erza yang kabur dengan tampang mengingat-ingat, karna dia merasa sering jadi korban injakan kaki gadis itu. Dan tersenyum sinis ketika melihat Erza memegang pinggang Nanda erat dan hatinya semakin terbakar cemburu.

“Daripada Nanda, lo mending milih gue Za, kan gue lebih ganteng dari dia.” Sambil bergumam narsis campur cemburu dihati, Putra melanjutkan tugasnya yang takkan ada kata kelar.

╳╳╳╳╳╳╳


“Za…” Kata Nanda ketika mereka sudah pulang dari tempat Rani sekalian pamitan karna besok takkan bisa mampir lagi.
Erza sibuk dengan pikirannya yang nelangsa karna sebentar lagi harus ikutan pergi meninggalkan Jogja, meninggalkan desa yang dia tinggal sekarang dan meninggalkan Rani, gadis yang sudah dia anggap adeknya sendiri. Dan meninggalkan semuanya.
“Erza Noor Asifa… my honey my sweety, lo masih hidup kan?,” Tanya Nanda karna tak ada tanda-tanda Erza ada diboncengannya.
“Apaan sih lo panggil gue kayak gitu? NORAK!,” Katanya sambil mencubit pinggang Nanda dengan gemas.
“Aduh…duh… sakit Za. lo nyubit apa nyiksa? Buset dah! Habis lo dipanggil berkali-kali gak dengar! Lo mikirin apa sih?.”
“Gue mikirin Rani Nand, gue ngerasa kehilangan dia banget. Gue sayang sama Rani. Coba aja gue boleh ajak dia pulang, udah gue ajak dan gue anggap adek. Lo tau kan gue suka sama anak kecil Nand?.”


“Lo mikirin Rani segitunya, lo mikirin gue gak Za? Gue juga gak ingin pisah Za, pisah dari lo.” Batin Nanda.
Nanda hanya diam sambil tersenyum mendengar setiap penjelasan berapi-api Erza soal Rani sambil menyiapkan mentalnya untuk mendengar jawaban dari mulut gadis yang sukses membuatnya tergila-gila selama 3 bulan ini.


“Za…” Kata Nanda ketika sudah mengantar Erza didepan rumahnya yang sudah siap-siap ingin kabur.
“Ada apa Nanda?,” Tanya Erza yang tau maksud Nanda memanggilnya dan mendekat.
“Gue… suka sama lo Za. gue tau ini salah dari awal karna suka sama lo, sahabat gue sendiri. Tapi… semakin gue mencoba mengubah perasaan gue menjadi biasa aja, semakin sakit Za. Gue…”
“Nanda… gue tau, tapi…”

Nanda yang tau apa jawaban selanjutnya dari mulut gadis itu, tersenyum sedih “Gue tau, gue memang gak bisa jadi seseorang yang berarti buat lo, sorry kalo gue berharap terlalu banyak Za.”
“Bukan itu maksud gue Nand… Gue… juga… suka… sama… lo tapi…” dengan terputus-putus Erza mengucapkan beberapa kata yang keluar dari lidahnya yang mendadak kelu.
“Lo serius? Tapi apa Za? Lo ragu sama gue? Lo merasa gak yakin dengan hubungan jarak jauh ini?,” Kata Nanda terperangah mendengar jawaban dari Erza dan menatap gadis itu dalam, mencari jawaban jujur dari sorot matanya yang terlihat berat.

Erza mengangguk pasrah mendengar setiap tebakan Nanda. Seolah lidahnya tak sanggup berkata lebih banyak lagi dan membiarkan Nanda mengetahuinya dengan caranya sendiri.
“Kita coba dulu Nan... Gue sayang sama lo Nan, Lo cinta pertama gue, tapi gue ragu dengan hubungan yang akan kita jalani nanti.” Sambil balas menatap Nanda
“Dan dengan perasaan gue sendiri Nand. karna gue bukan hanya sayang sama lo, tapi dengan Putra gue juga sayang, gue gak bisa milih.” Lanjutnya dalam hati.
“Aku akan buktiin kalau jarak jauh takkan membuat kita ikutan jauh Erza… aku sayang sama kamu dan makasih udah ngasih aku kesempatan dan aku akan membuktikan bahwa keraguanmu salah. I love you Erza Noor Assifa, My Sweet Darling.” Dengan wajah lega dia mengecup kening Erza dengan tulus, dan mencintai gadis yang dihadapannya dengan segala kekurangan yang dia miliki, bukan kesempurnaan yang melekat ditubuhnya yang menyilaukan mata dan berusaha mengikis keraguan yang terpatri kuat dihatinya, dengan caranya sendiri.
“Jika kau punya sejuta alasan untuk ragu dengan perasaanku, aku akan tunjukkan sejuta cara bahwa kau salah meragukan perasaanku.”
“I love you too, Nanda.” Sambil memeluk Nanda, dengan segenap perasaan yang dia miliki untuk cowok dihadapannya, walau separuh hatinya masih diliputi keraguan.

Nanda menatap Erza dalam dengan tatapan sayang dan mencium kedua pipi gadis itu hingga wajah gadis dihadapannya memerah malu. Dan Nanda mengelus pipi Erza yang terasa halus ditangannya dan dia merasakan napas Erza mulai memburu disetiap elusan tangannya, tanda gugup dengan perlakuannya namun pasrah dengan menutup matanya.

merasa tak ada yang melihat kecuali binatang malam, Bulan, Bintang yang bersinar cerah yang menjadi saksinya dan Tuhan yang menyaksikan dua anak manusia dimabuk cinta, Nanda mendekatkan wajahnya kearah Erza, semakin dekat… semakin dekat… dan…

“Ehm… Erza, lo kapan datangnya? Kok gue gak dengar? Oh… ada Nanda yah? masuk aja Nand, eh… tapi udah malam banget nih, jadi besok aja yah masuknya.” Dengan tatapan ingin membunuh Putra berdiri didepan pintu namun berbanding terbalik dengan wajahnya tenang yang sukses menggagalkan rencana Nanda yang sudah dibikin sepersekian detik dan membuat jantung Erza serasa jumpalitan.
mampus gue! mampus!,” batin Erza.
“Gak usah Put, gue langsung pulang kok. soalnya besok subuh gue balik ke Jogja, bye Putra, bye sayang, I love you.” Dan mencium kening Erza dengan penuh sayang yang sukses buat Putra merasa ingin mendatangi cowok itu dan menghajarnya babak belur.
“Ok Nand, moga kita ketemu lagi yah.” Dengan wajah ramah namun palsu “Itu kalo lo masih hidup Nand,” lanjutnya dalam hati.
“Good bye Nanda, Love you too.” Dan mencium pipi Nanda sebagai ciuman perpisahan dan Nanda pun pulang kerumah dengan hati senang.

melihat Nanda sudah menghilang dari pandangan, Erza langsung masuk kerumah diikuti Putra yang langsung menutup pintu dengan cara membanting.

“Lo kenap… Aduh!,” Kata Erza terputus berubah kesakitan karna didorong Putra kedinding dan dia terkurung oleh tatapan Putra yang seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.
“Lo pacaran sama Nanda? Sejak kapan? Kenapa gue gak tau?,”
“Emang penting buat lo tau? Mana Arny dan yang lainnya?,”
“Lo gak usah ngalihin pembicaraan deh! Lo pacaran sama Nanda?!.” Setiap kalimat yang terucap dari mulut Putra, dipenuhi cemburu.
“Emang kenapa kalo gue pacaran atau enggak sama Nanda? Apa urusan lo?!,”
“Gue gak suka! Your life, is mine!,”

“Gue nanya deh, lo siapa gue? Nyokap gue? Bokap gue? enggak kan? Jadi… lo gak usah sok larang gue pacaran sama siapa, cinta sama siapa, dan jadi milik siapa!  What?! My life is yours?! Cuih!.” Dengan tatapan penuh emosi, Erza membuang ludah ketika mengucapkan kata terakhir itu.
“Lo itu hanya milik gue Erza Noor Assifa, selamanya akan selalu jadi milik gue, walau gue amnesia begini, hati gue gak ikutan amnesia Erza! Gak ada yang boleh milikin lo, bukan Nanda, bukan siapapun! Ngerti?!.”
“Lo salah omong Putra Eduardo Pradipta yang terhormat, seharusnya lo ngomong begini “Selvi milik gue dan selamanya akan selalu jadi milik gue!” lo kira gue apaan? Barang yang bisa lo milikin dan lo buang jauh-jauh kalo bosan?! Minggir! Gue gerah!.”  Dengan emosi di ubun-ubun, dia mendorong Putra kasar agar menjauh, namun karna Putra sudah kerasukan emosi, Dia memegang pergelangan kedua tangan Erza yang mendorongnya dan dicengkramnya erat hingga gadis itu kesakitan.
“Lepasin gue! lepas! Sakit Putra… sakit,” Kata Erza sambil menggigit bibirnya karna semakin dia melawan melepas cengkraman tangannya yang mengepal, semakin erat putra mencengkramnya.
“Lo hanya jawab pertanyaan gue sayang, Lo pacaran sama Nanda kan? apa susahnya sih ngomong iya atau tidak? Gue gak bego Erza… semakin lo gak mau ngomong, gak akan gue lepasin! Biar lo tidur bareng gue!.”
“OGAH! Kalo lo gak bego, kenapa lo maksa gue untuk menjawab pertanyaan yang gak penting itu?! Lo udah liat sendiri kan? Gue pacaran sama Nanda! PU…” Bentakannya terhenti ketika bibirnya terkatup oleh bibirnya Putra yang semakin meruntuhkan pertahanannya yang sudah rusak dan membuat kenangan demi kenangan yang dia kubur dalam-dalam, melesak keluar dan menjejali otaknya.

Putra hanyut oleh serangan mendadak yang dia lancarkan sendiri, membuat Erza pasrah dengan melemahkan kepalan tangannya yang dia cengkram dan sekilas, puzzle kenangan yang dia cari, datang bertubi-tubi  menyerang benaknya,memaksa masuk dalam otaknya dan membuatnya kesakitan. namun dia bertahan, agar bisa mengingat seluruhnya. Semakin intensif dia mencium Erza, semakin sakit kepalanya, semakin hendak habis Oksigen yang tersedia di Paru-Paru mereka.
“Gue akan memberikan apa yang seharusnya lo dapatkan dari Nanda tadi, Erza Noor Asifa. ” Sebelum Erza sempat menjawab, Putra mencium bibirnya dengan penuh lembut dan nafsu menggebu-gebu, seolah tak membiarkannya menghirup napas yang semakin susah dia dapatkan.

“Mmph…mmph…” Desah Erza kehabisan napas sambil mendorong tubuh Putra agar menjauhinya, sebelum semuanya tak bisa dikontrol lagi.

Putra melepas ciumannya dan menatap Erza dalam “Kenapa Za lo terima Nanda?,”
“Karna gue sayang sama dia dan dia tak sebejat lo! Minggir!,” Jawab Erza histeris sambil mendorong Putra dengan sisa kekuatannya yang terkuras habis.
“Gue gak lihat itu dimata lo Za. Gue amnesia, gue akuin itu, tapi gue bisa mengingat semuanya Za. perlahan-lahan, tapi mengingat lo begini, buat gue sadar kalo ini percuma, selamat atas jadian lo sama Nanda, semoga awet. Anggap aja itu ciuman terakhir gue untuk lo, Erza.” Sambil berkata begitu, dia masuk kekamar dan menutup pintunya, diikuti Erza yang langsung masuk kamar dan terduduk lemas dibelakang pintu dengan air mata yang mengalir deras di pipinya

“Apakah keputusan gue salah? Gue sayang sama lo Putra, gue cinta sama lo, tapi gue gak bisa menunggu lo terus menerus tanpa kejelasan! Gue juga sayang sama Nanda, tapi…” Ucapannya terhenti oleh isakan tangis yang tak berhenti.


“Maafkan bila cintaku
Tak mungkin ku persembahkan seutuhnya
Maaf bila kau terluka…
karna ku jatuh… di dua hati.”

*Afgan – Cinta dua hati

“Sorry Put. Gue gak bisa milih. Lo gak pernah kasih gue kepastian.” Ucapnya sambil terisak ditempat tidur. Menangisi semuanya yang terjadi.


lelah menangis, akhirnya Erza jatuh tertidur sambil menitikkan air matanya yang terus menerus mengalir. Tanda bahwa disaat dia terlelap pun, takkan bisa menghentikan sakitnya.


“Have you ever tried sleeping with a broken heart?
Well, you could try sleeping in my bed

Lonely, own me nobody ever shut it down like you
You wore the crown
You made my body feel heaven bound
Why don't you hold me
Neeed me, I thought you told me
You'd never leave me.”



“Erza pacaran sama Nanda, Res.” Ucap Putra sendu sambil duduk didepan jendela dan menatap bulan dengan tatapan galau.

Restu hanya bisa terdiam mendengar ucapan Putra. Semua tanda tanyanya terjawab ketika dia baru masuk rumah diikuti yang lain, Erza lari sambil menangis di kamar, Putra seperti mayat hidup duduk didepan jendela. Seperti saat ini.


“Gue sayang sama dia, Restu.” Ucapnya dengan nada galau.
“I know.”

Putra pun terdiam lagi, memikirkan sebuah keputusan untuk mengubah semuanya.


“Ku harus pergi meninggalkan kamu.
Yang telah hancurkan aku.
sakitnya… sakitnya… oh sakitnya…

Cintaku… lebih besar dari cintanya…
harusnya kau sadar itu…
bukan dia… bukan dia…
tapi aku…


*Judika – bukan dia, tapi aku.*



“Res… kalo gue ninggalin Erza, lo setuju gak?” Tanyanya sambil menatap Restu. “Emang lo sanggup lakuin itu?” Tanyanya balik.


Putra pun terdiam mendengar jawaban Restu, lalu bertanya lagi. “Kalo gue balikan sama Selvi, lo setuju kan?” Tanyanya lagi yang membuat Restu langsung mengambil kesimpulan, Putra sudah gila.


“Lo mendingan cuci muka, sikat gigi, bersihin kaki sama tangan, terus tidur deh. Jangan ngomong ngelantur.” Ucap Restu sambil menarik Putra dari jendela dan menyuruhnya tidur.


“Res… Lo duduk sama siapa?” Tanya Putra tanpa mempedulikan perintah Restu.
“Sama Eva dan Arny. Kenapa?” Tanyanya ketika Restu sudah siap-siap hendak keluar kamar Putra.
“Gue tukeran tiket yah? Lo sama Erza, gue sama Arny.” Putusnya.

“Lo yakin Put? Gak… gue gak sanggup duduk disamping Erza yang galau karna lo.” Tolaknya.


Putra terlihat berpikir, membuat Restu menghela napas. “ Lo sebaiknya tidur aja Put. Tenangin otak lo. Jangan mikir aneh-aneh.” Sarannya dan menutup pintu kamar Putra.


Putra terdiam menatap pintu yang tertutup rapat. Seperti pintu kesempatan yang tertutup untuknya. Dia menghela napas. “Gue akan lakuin itu walau lo gak setuju, Res.” Ucapnya yakin dan kemudian tidur.


“So tonight, I'm gonna find a way to make it without you
Tonight I'm gonna find a way to make it without you
I'm gonna hold on to the times that we had tonight
I'm gonna find a way to make it without you.”

*Alicia Keys – Try to sleeping with a broken heart.



่่่่่


“Erzaa…. Buka pintunya Za! Lo ngapain sih?! Mas Novan udah datang tuh!” Teriak Arny sambil menggedor pintu karna Erza tak juga keluar kamar.


“Bentar… lo masuk aja Arn. Pintu gak dikunci.” Ucap Erza sambil sibuk membereskan kopernya dan tak mempedulikan Arny masuk sambil menggelengkan kepalanya melihat kondisi kamarnya yang dulu rapi, kini bertebaran tisu dimana-mana.


“Astaga Erza… kamar lo kayak kapal pecah deh. Banyak amet tisunya. Sini gue bantuin.” Ucap Arny sambil memunguti tisu-tisu yang menjadi saksi bisu apa yang dilakukan Erza selama 2 hari dikamar tanpa keluar, kecuali untuk makan, minum, mandi dan terakhir, mengucapkan selamat tinggal kepada Nanda yang pagi-pagi datang untuk pamitan kepadanya dan membuat Putra yang waktu itu melihat, galau.


“Makasih Arn.” Ucap Erza tulus sambil memasukkan buku-buku di kopernya yang terakhir.


“Arn… gue salah yah pacaran sama Nanda?” Tanyanya sambil menatap bunga Edelwis yang menjadi penghias meja belajarnya dengan tatapan sendu.

Arny menghentikan aksi bersih-bersihnya dan mendekati Erza yang bahunya sudah terisak. “Gak kok. Selama lo sayang sama dia, gak ada terpaksa. Gak salah Za. Kenapa lo tanyain hal itu?” Tanyanya sambil memutar tubuh Erza yang membelakangi dan memeluknya.


“Tapi kenapa Putra kayak gitu sama gue, Arn?” Tanyanya dengan terisak dibahu Arny.

Arny menatap mata Erza yang sayu dan lingkaran hitam dibawah kedua kelopak matanya, tanda dia kelelahan dan kurang tidur. “Mungkin dia gak bisa terima Za. Udahlah… jangan lo pikirin dia. Nanti Kak Putra bisa nerima kok.” Ucapnya walau dihati, pesimis berat.


Erza menghapus air matanya yang membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Semoga. Yuk kita keluar.” Ajaknya sambil membawa koper-kopernya dan meninggalkan Arny yang menatap Bunga pemberian Putra yang ditinggalnya.

“Lo gak salah pilih, Za. Hanya saja… lo gak bisa bedain rasa sayang kak Putra dengan Nanda. Itu saja.” Ucapnya pelan dan kemudian berlari menyusul Erza.





“Udah siap semuanya?” Tanya Restu ketika melihat Erza keluar dan mengangkat sendiri koper-kopernya di Bagasi belakang. Tanpa minta bantuan Putra yang baru saja masuk mobil.
Erza mengangguk dan menutup bagasi mobil. “Yuk.” Ajaknya ketika melihat Jessi dan Eva berdiri disampingnya.

“Lo dulu Za masuk. Kami mau ke toilet bentar.” Ucap Jessi lalu langsung masuk dalam rumah sambil menarik Eva.


“Kak Restu? Arny?” Tanyanya ketika melihat keduanya berdiskusi hebat, entah apa yang dibicarakan.
“Lo masuk aja dulu Za. Kami mau ngambil sesuatu didalam.” Ucap Arny sambil ikutan menarik Restu masuk rumah. Diikuti Mas Novan yang rupanya diperintahkan Arny untuk mengikutinya.


Erza menghela napas dan masuk dalam mobil kemudian duduk disamping Putra yang asyik menatap jendela dengan headset ditelinganya. Tak mempedulikan kehadirannya.


Cukup lama mereka diam, membuat Erza tak betah. “Put…” Panggilnya dengan harapan, Putra menoleh dan mengajaknya ngobrol. Seperti dulu.
“Hmmm…” Hanya itu respon Putra tanpa menatap Erza.

“Kabar lo gimana?” Tanya Erza. Sedetik kemudian, dia merutuki dirinya sendiri kenapa diantara banyaknya pertanyaan yang ada, dia malah menyanyakan hal itu.

“Putra menatapnya dengan tatapan susah diartikan. “Menurut lo, gue gimana?” Tanyanya balik membuat Erza terdiam.


“Sorry…sorry… kami lama yah?” Arny langsung datang sambil membawa barang-barang diikuti oleh Jessi dan Eva yang mendapat jatah duduk paling belakang. Membuat mobil seketika sesak karna barang Arny dan mau tak mau, Erza duduk berdempetan dengan Putra.

“Sudah siap semuanya kan?” Tanya Mas Novan ketika masuk mobil dan mulai menjalankan mesinnya.
“Siap Maas…” Koor Jessi dan Eva bersamaan.



Sepanjang perjalanan, Erza berusaha menahan kantuknya dengan duduk tegak dan tak mau menyenderkan tubuhnya ke Putra atau ke Arny. Namun, AC membuatnya tertidur dan terbangun karna kaget ketika Mas Novan ngerem mendadak. Membuat dia hampir maju kedepan kalau saja pinggangnya tak dipegang Putra.
“Lo senderan aja ma gue Za kalo tidur.” Kata Putra ketika sekian kalinya melihat Erza hendak tertidur.
“Gak usah. Makasih.” Ucap Erza sambil mengucek-ucek matanya.


Namun, tekad hanya tinggal tekad, Erza tertidur dengan posisi kepala menunduk. Sedangkan Mas Novan membawa mobil dengan kecepatan tinggi. Membuat Putra langsung menyentuh pundak Erza agar tidur disampingnya.


“Lo tau gak Za, keputusan lo itu nyakitin gue. Banget malah.” Putra berbisik dengan suara pelan ketika Erza tidur dipundaknya sambil mengelus rambutnya. hal yang paling disukainya.


Arny dan yang lain mendengar bisikan Putra hanya bisa menghela napas berat. tak tau harus berbuat apa selain berharap, semoga ada keajaiban yang mengembalikan hubungan mereka.
Sepanjang perjalanan menuju Jogjakarta yang seharusnya diisi dengan canda tawa atau ejekan, malah didominasi oleh kebisuan yang menyakitkan. Seolah-olah, kegalauan salah satu dari mereka, menular bagai virus yang tak ada obatnya.


“Kok kalian pada diam semua sih hari ini? Lagi sakit gigi bareng yah?” Tanya Mas Novan mencoba melucu untuk mengurangi kebekuan yang dirasa menyiksanya.
“Bukan sakit gigi pak. Tapi ada yang galau. Jadi nular deh.” Jawab Restu sambil melirik Putra yang bertopang dagu di balik jendela mobil dengan tatapan kosong.


“Lo nyindir gue Res?” Putra sinis seketika karna tersindir dan menghentikan renungan galaunya.
“Loh? Kok jadi lo merasa kesindir? Lo lagi galau yah?” Responnya balik yang buat Putra terdiam.
“Ape kate lo dah. Gue lagi males ngomong.”
“Kalo lo males ngomong, kenapa lo jawab pertanyaan gue?” Pancing Restu yang rupanya ingin mencari hiburan baru lewat mengajak Putra berantem.


“Lo kok jadi cowok bawel bener yah?             Kok bisa si Kathy pacaran sama lo?!” Jengkelnya.
“Karna gue ganteng. Jadi sebawel apapun gue, gak ngaruh.” Dengan nada polos Restu menjawab membuat yang lain mencibir.
“Dasar narsis!.” Cibir Jessi diangguki yang lain.
“Gue doain moga Katherine gak serangan jantung dengarnya.” Balas Arny diamini yang lain. Membuat Restu cekikikan.


Mas Novan yang mendengar pertengkaran mereka hanya tertawa. Kemudian dia melirik spion yang ditengah dan melihat Erza tertidur pulas dipundak Putra, seolah tak terganggu dengan kerusuhan teman-temannya.

“Mas Putra, kok kalo diperhatiin yah, Mbak Erza selalu tidur kalo perjalanan jauh. Dia mabuk darat mas?” Pertanyaan simple, namun bikin Putra cukup kebingungan dan ikut memperhatikan wajah tidur Erza yang dirasa menenangkannya.


“iya juga yah, kok gue baru nyadar sekarang yah?” Batinnya.



“Gak tau mas, Iya kali. Saya aja baru nyadar sekarang pas Mas Novan ngomong.”
“Kok Mas gak nyadar sih? Saya yang baru ketemu saja udah curiga. Bukannya mas pacarnya?” Pertanyaan beruntun diucapkan tanpa dosa oleh Mas Novan. Cukup membuatnya jatuh di titik terendah karna tak tau apa-apa soal Erza.
“Kata siapa saya pacarnya Erza? Dia udah punya pacar Mas. Anak Jogja juga.” Jawab Putra dengan perasaan sakit dihati ketika mengucapkan kalimat demi kalimat yang serasa menusuknya.
“Wah… saya kira Mas pacarnya Mbak Erza. Habis mesra sih waktu datang itu. Gak bisa dipisahkan.”



“Mas… Oleh-Oleh yang enak dari Jogja apa aja selain Bakpia?” Tembak Restu  dengan pertanyaan agar Mas Novan tidak mengintimidasi Putra dengan pertanyaan polos namun menusuk hati itu.
Mas Novan pun dengan semangat menjelaskannnya secara rinci, mulai dari sejarahnya hingga proses pembuatannya yang dia ketahui. Membuat Putra mengelus dada penuh syukur dan menatap Restu dengan tatapan terima kasih.


“Mas pengen saya antarin ke tempat Coklat Monggo itu? Itu sekarang jadi buah tangan setiap wisatawan yang ke Jogja selain Bakpia loh. Coklatnya asli impor dan Mas udah pernah ngerasain. Rasanya coklat asli! Beda dengan coklat yang dijual di supermarket.” Tawar Mas Novan dengan dipenuhi bumbu promosi yang cukup bikin para cewek ngiler dan melupakan diet untuk sementara waktu ketika mendengar nama Coklat.


“Coklat mas? Mau…” Teriak Jessi nyaring diikuti yang lain bagai simponi penggemar Coklat yang nyasar di area bukan penggemar Coklat.


Erza yang rupanya  agak terganggu dengan teriakan mereka, mengubah posisi tidurnya menjadi seperti memeluk guling dengan tangan melingkar di tubuh Putra yang kaget dengan tingkahnya. Namun tak diubahnya karna ingin merasakan pelukan gadis itu untuk terakhir kalinya sebelum dia benar-benar pergi dari hidupnya dan membiarkan Erza bersama dengan seseorang yang dia cintai.




“Mending entar aja kalo kita mampir lagi. Ini udah jam 2 siang. Jam berapa kita nyampe? Besok kita udah pulang, Nyonya-Nyonya yang cantik dan manis.” Kata Putra mengingatkan jadwal yang buat mereka kecewa.
“Iya sih… tapi…”
“Betul tuh kata Putra. Mending entar aja. Kalo kalian mau, teman gue ada yang jualan Coklat Monggo system Online tuh. Ntar gue pesanin.” Bujuk Restu yang terpaksa mereka setujui dan didalam otak mereka, tersimpan rencana untuk pergi ke Jogja bareng tanpa para cowok yang dirasa mengganggu.


Hembusan napas Erza yang tenang mengenai leher Putra menjadi siksaan tersendiri untuk tidak merespon dengan mengelus kepalanya atau membalas pelukannya. Arny yang melihat kegelisahan Putra karna posisi tidur Erza yang menggoda, hanya tersenyum dan berharap, mereka bersatu lagi.



“Tidurnya di hotel yang kemaren kan Put?” Tanya Restu sambil menoleh kebelakang dan melihat Posisi Erza, membuatnya ikutan nyengir melihat sahabatnya seolah tersiksa namun menikmati.
“Yup.”


Akhirnya perjalanan jauh pun selesai juga ketika mereka tiba didepan Hotel. Mereka pun langsung turun dari mobil dan membawa koper masing-masing, dibantu oleh Mas Novan yang jadi ikutan sibuk karna rencana Restu yang ingin membiarkan Putra berduaan dengan Erza dimobil.


“Kak… bangunin Erza yah. Gue mau urus Hotel dulu. Mas Novan, Bantuin angkat yah.” Perintah Arny ketika melihat Mas Novan hendak masuk mobil dan meninggalkan Putra yang bingung gimana caranya membangunkan Erza.


Putra terdiam lama menatap Erza yang masih tidur dipelukannya, seolah tak menyadari bahwa dirinya sakit karna keputusannya. “Nanda memang pantes buat lo Za. Dia gak kayak gue yang ngelupain lo, yang nyakitin dan bikin lo nangis. Lo gak pantes nangisin cowok Za, apalagi cowok jenis gue. Semoga lo bahagia.” Sambil berkata begitu, Putra melepas pelukan Erza ditubuhnya dan menyandarkannya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya dan semakin dekat jarak mereka, semakin napas mereka saling berbaur. Dan waktupun terasa berhenti untuknya ketika Putra mencium bibir gadis itu, sekali lagi. untuk yang terakhir kalinya.


“Never thought we'd have a last kiss.
 Never imagined we'd end like this.
 Your name, forever the name on my lips,”


*Taylor Swift – Last Kiss.*


Cukup lama Putra mencium bibir gadis itu. Hingga akhirnya dia melepaskannya dan menatap Erza yang masih tertidur. Dan Putra mencium kening, kelopak kedua bola matanya dan bibir kemerahan gadis itu. “Erza… It’s too late for this, but, let me saying, I love you.” Bisik Putra dan keluar dari mobil sambil membawa tasnya dan meninggalkan Erza seorang diri.


Erza membuka matanya ketika Putra sudah pergi meninggalkannya dan mengelus bibir serta keningnya, seolah ada yang menyentuhnya, namun dia tak tau siapa. Merasa sendirian di mobil dan takut terjadi apa-apa, akhirnya Erza bergegas keluar mobil sambil membawa kopernya.



“Kau tau perpisahan apa yang menyakitkan selain ditinggal mati seseorang yang kita cintai? Perpisahan dimana kita mencintai seseorang, namun dia mencintai yang lain. dan kita harus ikhlas berpisah dengannya, agar dia bahagia dengan apa yang dipilihnya.”


◌◌◌◌◌◌



“Akhirnya… tiba di hotel juga. Badan gue serasa remuk semua.” Ucap Erza penuh syukur ketika masuk kamar dan langsung rebahan diranjang. Membuat Arny gemas dan melempar bantal kearahnya.
“Lo tidur mulu dari tadi! Dasar Kebo lu Za.” Ejek Arny.

Sebelum Erza membalas ejekan Arny, ponselnya mendadak berdering dari tas ranselnya. Erza  yang mendengar buru-buru bangkit dari tidurnya dan tertegun ketika tahu siapa yang menelponnya, kemudian mengangkatnya.


“Hai sayang… udah nyampe Jogja yah?” Suara Nanda terdengar ramah dan penuh perhatian yang sangat membuat Erza seketika blank.
“Udah kok Sayang. Baru aja sih nyampe. Ada apa?”
“Jalan yuk sayang, kan kamu besok ke Jakarta, untuk hari ini deh.” Pinta Nanda dengan suara memelas membuat Erza tak bisa menolak.
“Ok sayang. Kamu jemput atau gimana nih?”
“Ya jemput dong! Emang aku cowok apaan tega biarin pacar yang paling aku sayangi selain keluargaku jalan sendiri? Tunggu bentar yah sayang, I love you.” Ucap Nanda dengan penuh sayang lalu memutuskan telponnya. Membuat Erza garuk-garuk kepala sambil menatap ponselnya yang kedap kedip ada pesan masuk.


Nanda, Cungkring’s Boy

“Kamu nginap dimana sayang? Aku lupa nanya tadi. Habis excited banget sih kamu di Jogja.” Pesan sms dari Nanda buat Erza tersenyum memaklumi sifatnya  yang ternyata masih sama, pelupa. Kemudian dia segera membalas sms Nanda dan terkirim.



“Arn…” Panggil Erza ketika melihat sahabatnya sekarang tiduran disampingnya.
“Lo mau jalan sama Nanda? Jalan aja Za. Gak papa kok. Kami ngerti.”
“Tapi…”
“Udah jalan sana. Lo mikirin siapa lagi?” Tanya Arny ketika melihat mendung dimata Erza.
“Enggak kok. Beneran gak papa? Lo nitip apaan?”


Tau siapa yang dipikiran sahabatnya, yang sukses membuat sahabatnya mempunyai sejuta ekspresi diwajahnya hanya sekali lihat, hanya seulas senyum yang bisa Arny tampilkan diwajahnya, “Iya… Erza sayang.  Gue nitip apaan yah? Gak usah deh, tas gue ntar meledak lagi kalo gue nitip. Hahaha.”


“Tas lo emang perlu meledak Ny. Wong lo bawa oleh-oleh kayak ngeborong isi toko!” Ejek Erza yang membuatnya ditimpuk bantal.
“Gue kan bawa oleh-oleh buat dibagi Za. daripada lo, beli oleh-oleh kayak dompet lagi krismon gitu, pelit! Udah gitu, tiap harga lo bandingin dan lo hitung berapa totalnya sebelum beli! Alamak…”
“Wajar dong Ny! Gue gak mau kelihatan boros dan pas sampai di Jakarta, barang yang gue beli gak berguna, kan uangnya sayang. Mending nabung.” Bela Erza ketika sifat terlalu irit jadi bulan-bulanan Arny.
“Lo nabung dimana Za?”


“Di perut! Ya nabung di Bank, Arny! Lo kira gue nyimpan uang di kendi terus gue kubur gitu?”
“Iya… kan siapa tau kalo gue kehabisan uang, gue bongkar rumah lo. Siapa tau ada. Hahaha…”


Sebelum Erza hendak membalas ejekan Arny dengan kata-kata yang sudah diketik diotaknya, mendadak hpnya bergetar karna ada sms. Dan dia membacanya kemudian meresponnya sambil tersenyum.


“Gue jalan dulu yah, Nanda udah didepan  katanya. Bye Arny.” Pamit Erza sambil mengambil tas ranselnya.
“Iya… Bye Paman Gober. Eh salah, Nona Gober. Hahahaha…” Ejeknya puas ketika melihat Erza memasang wajah merajuknya.

“Bangga bener yah liat teman merana! diputusin Kak Rico baru nangis darah berliter-liter!” Gerutunya sepanjang jalan ketika mendengar suara tawa Arny samar-samar terdengar yang cukup bikin merinding.  dan ketika di depan Café, dia melihat Putra keluar Café dengan merangkul cewek yang seksi dan bohay dari dirinya, yang jelas bukan Selvi, berjalan  kearahnya. Erza langsung menoleh pura-pura melirik yang lain ketika melihat kejadian dimana Putra mencium pipi cewek entah beruntung atau sial itu tepat melewatinya.

“Erza…” Panggil Nanda di depan Resepsionis ketika melihat Erza berdiri mematung didepan Café dengan tatapan kearah lain. Dan membuat Putra yang rupanya mendengar itu, ikutan menoleh kearahnya dengan tatapan mata yang dingin.


Erza yang mendengar suara Nanda, langsung ingin menghampiri namun urung ketika melihat Nanda rupanya lebih sukarela menghampirinya daripada dihampiri.


“Jalan sama siapa Put? Cewek lo yah?” Tanya Nanda ketika sudah berdiri disamping Erza sambil merangkul gadisnya  dan menatap cewek blasteran sangat cantik  dengan pakaian baju seperti kemben bewarna merah dan kentat hingga membentuk tubuhnya yang aduhai dan rok mini yang semakin membuat kakinya jenjang itu berdiri disamping Putra dengan tingkah terlalu agresif di banding cewek normal karna tak mau melepaskan lingkaran tangannya dipinggang Putra. dan sesekali mencium pipinya hingga Erza yang melihat itu tepat dihadapannya, panas dingin.


“Tuh cewek siapa sih? Gue gak terima dia main peluk Putra seenaknya! Eh… tapi gue siapa Putra jadi marah?” Batinnya.


Putra yang melihat ekspresi Erza sudah panas dingin, tersenyum sinis “Hahaha… ya begitulah… Eh… mau jalan sama Erza yah? Having fun yah. Gue mau jalan dulu ma dia, mau nyari kamar kosong. bye.” Suaranya berubah menjadi bisikan namun terdengar sangat jelas ketika mengucapkan kalimat terakhir itu ditelinga Nanda. Membuat Erza yang mendengar itu, langsung menarik tangan Nanda agar menjauh dengan wajah memerah menahan marah dan melotot ketika cewek yang menggandeng Putra, menatap penuh ejekan kearahnya, seolah meremehkan.

“Udahan yuk jalan, lapar nih.” Kata Erza dengan suara penuh paksaan karna tak tahan melihat cewek didepannya yang semakin merendahkan dirinya lewat tatapan tajamnya.

“Ayukh… sayangh… jalan lagi yukh…udah  gak tahan nih pengen cium kamuhhh… hmm…” Desah Cewek itu sambil mencium pipi dan leher Putra yang tersenyum manis kearahnya. dan Erza yang melihat itu, semakin menarik Nanda agar menjauh karna tak tahan.


Nanda yang mendengar itu tersenyum, entah apa artinya ketika mendengar bisikan Putra dan desahan cewek itu yang terdengar ajaib ditelinganya yang selalu digunakan untuk hal yang baik-baik. “Oh… semoga lo nemu yah. Gue mau jalan dulu ma Erza. Bye Put.” Pamit Nanda lalu merangkul tangan Erza keluar dari hotel.
Diikuti tatapan oleh mereka.


“Thanks Tasya atas bantuannya, sorry yah mendadak” Ucapnya penuh terima kasih sambil menatap  Anastasia, kakak Katherine yang sedang kuliah di Jogja semester Akhir  yang buru-buru melepas rangkulannya dan menatap sinis.

“Anytime Put. Lo bikin gue serasa jadi cewek murahan didepan tuh cowok. Ancur image baik gue.” Gerutunya sambil membenarkan bajunya yang dirasa menyiksa dan Putra langsung melepas jaketnya kemudian disampirkan ditubuhnya.
“Lo pakai  jaket gue aja deh. Gak enak sepupu gue dilirik cowok cowok. By the way, Lo cantik juga pake baju ini yah. Bikin… ” Goda Putra ketika melirik sepupunya jadi pusat perhatian karna pakaiannya yang mengundang iman dan tertawa ketika melihat sepupunya cemberut.
“What?! How dare you!” Gerutunya sambil memakai jaket Putra dan menjitaknya dengan sekuat tenaga yang mungkin, akan membuat Putra semakin amnesia.


Flashback…

“Tasya… lo dimana? Gue di Jogja nih, bantuin gue dong” Permintaan Putra bertubi-tubi tanpa jeda ketika Tasya mengangkat telponnya.
“Lo itu yah, udah nelpon disaat gue banyak tugas, neror lagi! Mau minta tolong apaan?”
“Sorry deh Tasya. urgent banget.”
“Kok gue ngerasa gak enak yah dibalik kata “urgent” lo? Ada apaan?” Tanya Tasya berlapis curiga mendengar nada suara Putra yang sangat dikenalnya, penuh kejutan yang membuatnya kehabisan napas dan rayuannya yang sukses membuatnya sebagai cewek dan sepupunya, bertekuk lutut untuk mengikuti ide Putra.


Putra langsung menceritakan tentang Erza dari awal hingga membuatnya galau tiada akhir dan idenya, sesuai perkiraannya,  disemprot Tasya dengan omelan yang notabene cewek baik-baik.

“ Gue prihatin sama masalah lo, tapi bukan berarti lo nyuruh gue jadi cewek gak bener kan?! Lo sepupu gue apa bukan sih?! Enggak! Gue gak mau!”
“Ayolah Tasya… sekali aja deh… gue pengen dia cemburu, Gitu doang Tasya, gak lebih. Suer deh. Terakhir kali deh… janji.”
“Lo bikin dia cemburu gak usah rusakin image gue dong!”
“Tapi Tasya… Cuma ini yang terpikir diotak gue. Please Tasya…”
“Otak lo mesum sih! Makanya itu doang yang ada dikepala lo!”
“biar Otak mesum, gue cowok baik-baik kale.  Anastasia Paleazzo, Cuma lo yang bisa gue andalin. Ayolah cantik… please help me. You’re my angel and my sun. just you baby. ” Rayu Putra yang buat Tasya garuk-garuk kepala.
“Iya! Baik untuk dimusnahkan! Lo sadar gak sih permintaan lo itu bikin gue jadi cewek gak benar!” Omelnya menjadi-jadi karna tak bisa menerima ide Putra dari sisi manapun.

“Sya… please Sya… Kita kan sepupu. Masa gak saling bantu sih? Lo gak kasihan sama gue Sya? Gue udah amnesia, kehilangan cewek yang gue sayangi, masa lo nambahin beban penderitaan gue sih?” Dengan suara memelas, Putra mengeluarkan jurus andalannya untuk merayu cewek seperti Tasya yang notabene takkan pernah bisa menolak keinginannya.
“Itu mah derita hidup lo Put, bukan derita hidup gue!”
“Tapi Sya… ayolah… please…” Ucapnya dengan nada memelas.  membuat Tasya menghela napas berat.

Heum….Ok deh…  Tapi ada syaratnya! Lo harus traktir gue makan dan nonton marathon di bioskop! Ok?” Pinta Tasya yang buat Putra melongo.
“Lo serius Cuma minta itu doang? Gue kira banyak. Hahaha.”
“Oh… lo mau gue pesan banyak? Ok deh, gue mau lo beliin Tas Hermes yang paling baru, traktir gue beli buku kuliah, terus lo traktir gue makan ditempat mahal, terus…” Tasya langsung mencerocos bak kereta api lewat.
“Stop Tasya! Lo mau buat gue gadai tiket pesawat supaya penuhin keinginan gila lo itu?! Lo kesini naek apaan? Taksi?”
“Bajaj! Yaiyalah gue bawa mobil! Lo oon gak sembuh-sembuh yah? Udah deh, alamat lo smsin aja, ntar gue samperin setengah jam lagi. Gimana?”
“Ok. Tasya… pake baju yang seksi yah, OK?”
“Sepupu saraf lo Put! Wokeh deh.”
“Thanks Tasya, you’re my beloved cousin.” Ucapnya penuh terima kasih.
“Iya… Gue jemput dimana nih?”
“Di Café hotel gue aja deh. Oke Tasya. Be careful yah.”
“Yup.”




“Woy! Lo kenapa ngelamun, Sya? Sambil liatin gue lagi! Ayooo… lo kesengsem sama gue kan sekarang? Ingat Tasya, kita saudara sepupu, ampe kiamat gak mungkin kita bisa pacaran.” Ucapnya narsis buat  Tasya tersadar dari lamunannya.
“Kalo cowok di Bumi ini udah pada musnah semua dan Cuma lo satu-satunya yang hidup, baru gue TERPAKSA naksir sama lo! Pede bener deh!” Gerutu Tasya dan sebuah jitakan mendarat mulus dikepalanya.
“Lo kok sekarang hobi jitak sih Tasya? Kathy aja gak segitunya sama gue.” Keluh Putra karna kepalanya yang malang selalu jadi sasaran jitak Tasya.



“Kathy itu ntar gue suruh jitak lo tiap menit, tiap detik! Kan dia nurut ama gue, kakaknya. Hahahaha…” Tawa Tasya yang sekilas membuat Putra teringat dengan Erza. Dan membuat wajahnya langsung murung.
“Lo tau gak Sya? Sifat lo itu mirip kayak sifat Erza. Sama-sama ngomel kalo gue narsis. Kalo gue narsis, lo jitak kepala gue kan? Kalo dia enggak. Dia mencibir panjang lebar gitu. Tapi gue suka. Sayang… gue ingatnya itu doang dari dia. Kasian banget kan gue?” Tanyanya hambar yang membuat Tasya prihatin dengan keadaan sepupunya. Ditambah dia tau keadaan Putra sebelum amnesia dan apa hubungannya dengan gadis yang dia temui tadi dari Katherine.


“Suatu saat nanti lo pasti ingat kok Put. Eh… kita makan yuk! Gue lapar nih. Udah gini aja, Lo traktir makan minumnya, gue nonton. Gimana? Itung-itung rayain lo mampir kesini, meskipun yah… ngerepotin gue akhirnya.” Ucapnya penuh kesinisan dikalimat terakhir membuat Putra tertawa.
“Suara lo kayak gak ikhlas banget gue mampir yah? Udah… gue traktir lo aja deh semuanya, lo Cuma bawa gue kemanapun yang lo pengen. Ok?” Tawar Putra yang buat Tasya langsung berbinar.

“Ok Putra! Yuk.” Ajak Tasya penuh semangat dan menggandeng Putra keluar hotel.




“Sayang… kok kamu kelihatan ngelamun sih? Ada apaan? Kamu sakit?” Tanya Nanda cemas duduk berhadapan dengan Erza  yang menatapnya focus namun pikiran kedunia lain.


“Itu cewek siapa Putra sih?! Putra juga nemu cewek itu dimana?! Arghhh!! Gue gak suka!”



“Erza…my beloved girl.” Panggil Nanda sambil mengelus pelan pipi Erza dan membuat gadis itu langsung sadar akan lamunannya dan wajahnya memerah malu.
“Eum… Anu…” Erza sambil menggaruk kepalanya tak gatal dan menggigit bibir bawahnya, tanda dia salting dengan perlakuan Nanda yang dirasa sangat manis untuknya.
“Ada apa sayang? Kamu ada masalah?” Tanya Nanda penuh perhatian sambil menatap dalam Erza, cewek yang paling disayanginya.
Erza hanya menggelengkan kepalanya sambil menunduk dan langsung meminum susu coklat kesukaannya sambil menatap jalan Marioboro yang dipadati oleh manusia. Mau tak mau membuatnya teringat tentang Putra, dan membuatnya galau.

“Minumnya pelan-pelan sayang… belepotan tuh. Sini ku bersihin.” Dengan penuh perhatian Nanda membersihkan sisa susu coklat Erza yang ada dibawah bibirnya dengan tangannya, membuat Erza semakin gugup dan malu.

“Ma…ka…sih…” Ucapnya terbata-bata saking malunya dan membuat Nanda tersenyum.

“Kamu pernah ke Angkringan ini Za sebelumnya? Ini Angkringan favoritku lo. Dan penjaganya ini, kenal banget sama aku. Hahaha…”
“Wah… Aku tau kenapa kamu dikenal baik sama pemiliknya, pasti kamu sering ngutang kan? Hahaha… Iya… sama Putra sih. Cuma berdua.” Ucap Erza penuh semangat ketika mengucapkan kalimat terakhir itu dan sedetik kemudian dia membelalakkan matanya karna sadar bahwa dihadapannya ini adalah Nanda, Pacarnya.


Nanda sadar dengan perubahan sifat Erza ketika menyebut nama Putra, hanya tersenyum walau dihati ada sepercik cemburu “Hahahha… aku anti ngutang Sayang… Cuma ngebon aja sih sering. Hahaha… Oh yah? Terus kamu ngapain aja ma Putra?” Pancing Nanda untuk melihat reaksi Erza.


Erza tak sadar dengan pertanyaan Nanda, semakin semangat menceritakannya dengan tatapan berbinar-binar, seolah perjalanan dengan Putra itu adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya dan semua orang harus tau itu. Membuat Nanda merasa terintimidasi oleh kehadiran Putra yang tak nampak disampingnya, namun melekat diingatan.


“Terus kamu senang?” Tanya Nanda untuk memberi jeda kepada Erza untuk bernapas karna saking semangatnya bercerita.
“Senang banget malah! Aku kan gak pernah naik Delman, terus dia ngajak naik Delman pas tau itu.” Erza pun tersenyum ketika mengingat hal itu. Tak menyadari Nanda dihadapannya mulai panas dingin.

“Kayaknya,Putra special banget yah buat kamu, Erza” Ucap Nanda dengan penuh penekanan setiap kalimatnya,  terdengar samar namun terasa bagi Erza yang langsung terdiam.

“Kenapa gue jadi keceplosan begini? Aduh…”

“Kamu cemburu sayang? Tenang aja sayang, dia Cuma temanku kok. Yang mesum. Hahaha…” Dengan suara berusaha tenang Erza menjawab ucapan Nanda sambil tersenyum dan mengelus pipinya. Seolah elusannya mengatakan, “Dia tak ada artinya di hidupku. Untuk saat ini.”


Nanda tersenyum mendengar ucapan Erza dan ikut meminum pesanannya dengan tenang sambil memegang tangan Erza yang mengelus pipinya kemudian menggenggamnya. Dan Erza menatapnya dengan pandangan, entah apa namanya. Susah dijelaskan. Namun cukup membuat Nanda salting.
“Kenapa sih lihatin aku terus? Entar kamu semakin tergila-gila dengan aku looo… Hahhaha…” Candanya sambil mengelus pipi Erza pelan kemudian mencubitnya. Membuat Erza merengut namun wajahnya merona malu.


“Ada ketemu Rani gak?” Tanya Nanda dan membuat Erza semangat menjawabnya. Melupakan segala kekakuan yang ada karna bingung dengan status dari bersahabat menjadi sepasang kekasih.


Semakin malam, semakin rame suasana Jogja yang dipenuhi oleh Mahasiswa dan membuat mereka lupa waktu. Nanda yang melirik Jam tangannya, langsung kaget melihat jarum jam menunjukkan angka 11 tepat. “Sayang, udah jam 11 nih. Pulang yuk.”
“Hah? Wah… gak terasa yah. Yaudah deh…” Jawab Erza lalu menghabiskan minumannya.


“Aku bayar dulu yah.” Kata Nanda sambil berdiri dari bangkunya dan CUP! Sebuah kecupan kilat mendarat bebas di bibir Erza yang membuat gadis itu kaget.
“Sorry… gak ada yang liat kan?” Respon Nanda dengan suara menggoda dan mengedipkan matanya ketika melihat Erza kaget.

Erza hanya menggelengkan kepalanya sambil mengelus bibirnya dan menatap Nanda di depan Kasir yang sesekali melirik dirinya. Membuatnya malu.


Setelah dirasa selesai urusan bayar-membayar, Erza pun menghampiri Nanda dan mereka pulang dengan naik motor CBR-X warna hitam punya Nanda.


“Gimana rasanya naik motor di Jogja Za?” Tanya Nanda dengan suara agak keras karna takutnya Erza tak mendengar dibelakangnya.
“Enak… tapi dingin…” Kata Erza sambil menikmati sepoinya angin malam menerpa wajahnya dan dia semakin mengentatkan pegangannya di pinggang Nanda yang agak ngebut membawa motornya.

Nanda hanya tersenyum mendengar jawabannya dan mengelus tangan Erza yang mengepal dipinggangnya dengan lembut dan semakin laju dia membawa motornya menuju Hotel tempat Erza menginap.



“Za… Udah sampai tuh. Kamu tidur yah?” Tanya Nanda karna tak mendengar suara Erza dibelakang.
“Enggak kok. Cuma gak nyangka aja bisa nyampe dengan selamat. Soalnya kamu ngebut sih bawa motor. Bikin jantungan tauk!” Kata Erza sambil turun dari motor Nanda dan memukul pundaknya pelan. Membuat cowok itu tertawa.
“Kalo aku bawa kamu, dijamin selamat Za. Aku gak mungkin kan nyelakain kamu  disini? Lagipula, Ini gak seberapa dengan ngebutnya aku kalo telat ngampus. Lebih cepat dari ini. Hahaha….”
“Dari dulu ampe sekarang, kamu tuh gak pernah berubah yah. Hobi telat. Diubah dong sifat kamu, ntar kamu celaka, kan repot sendiri.” Ucap Erza khawatir.
“Palingan kalo aku kecelakaan, kamu akan nyamperin aku kan?” Goda Nanda yang buat Erza tersenyum malu.
“Tergantung parah atau enggaknya. Kalo parahnya ampe kaki kamu diamputasi, baru aku datengin. Kalo enggak parah, Cuma lecet doang, ngapain?”
“Dasar jahat kamu yah! Besok ke Jakarta jam berapa?” Tanya Nanda sambil mengelus tangan Erza yang memegang tangan kirinya.
“Jam 10 pagi. Soalnya ketemu jadwal pagi sih.” Keluhnya ketika teringat jadwal pulang.
“Yasudah… kamu masuk dan tidur sana deh. Maaf yah aku gak bisa nganterin kamu. Nanti, aku pasti akan Ke Jakarta kok, nemuin kamu.” Hibur Nanda ketika melihat murung diwajah Erza dan mengelus pipinya.
“Beneran? Ok deh. See you. Makasih yah sayang udah temanin aku di Jogja. Aku senang banget.” Ucap Erza tulus dan berbalik masuk hotel, namun tangannya ditarik Nanda.


“Ada apa?” Erza memutar tubuhnya kearah Nanda dengan mimik bingung sambil melirik tangannya yang dipegangnya sambil tersenyum manis. “Imbalannya mana?” Tagih Nanda yang buat Erza mengerutkan keningnya. Kemudian dia tersenyum setelah tau maksudnya.
“Imbalan apaan? Oh… kamu sekarang kerja sampingan jadi tukang ojek yah?” Tebak Erza ngawur. Bikin Nanda semakin nyengir.
“Iya… Tukang ojek buat kamu aja kok. Ayooo.. Aku ingin ini nih sebagai imbalannya.” Kata Nanda sambil menunjuk pipinya sendiri, buat Erza yang tau apa maksudnya, malu.
“Ini jalan raya Nand, malu ntar ketahuan.” Tolak Erza sambil menggelengkan kepalanya.
“Tapi sepi Erza… ayolah… sekali aja….”
“Tapi Nand, bukannya tadi udah?” Erza mengingatkan kejadian di Angkringan tadi yang membuat pipinya semakin merona.
“Ya sudah deh kalo kamu gak mau, gak papa kok. Aku pulang dulu yah.” Ucap Nanda pura-pura kecewa dan melepas pegangan tangannya di tangan Erza. Membuat gadis itu serba salah.


Erza menghela napas berat sambil melirik kiri-kanan yang entah kenapa, menjadi sepi. Didukung keadaan yang sekarang lampu disekitar hotel agak remang-remang, Seolah-olah mendukung keinginan Nanda yang terakhir.


“Semoga gak ada yang lihat, semoga gak ada yang lihat. Amien.”


“Iya deh.” Kata Erza akhirnya mendekati Nanda yang sudah siap jalan dan mencium pipi kiri Nanda dengan jantung berdetak tak beraturan. Karna selama ini, dia jarang nyium cowok. Kalo dicium sih sering. Banget malah.


Nanda langsung memalingkan pipi kirinya yang dicium Erza dengan cepat dan memegang erat kedua lengannya dan mencium Erza dengan lembut dan sedikit paksaan karna Erza berusaha melepasnya dan tak membuka bibirnya utuh. Namun, Nanda yang entah belajar dari mana,  membuat Erza lemas dengan menghisap dan menggigit permukaan bibir tipisnya dan semakin menarik dirinya ke tubuh Nanda. hingga akhirnya, dia pasrah membuka bibirnya dan menutup matanya seraya berdoa, semoga aksi Nanda tak dilihat warga sekampung.

“Hhhmm… Nand… I can’t breath. hmm… Please stop. ” Desah Erza sambil berusaha mendorong Nanda menjauh karna kehabisan oksigen dan semakin menggigit bibirnya ketika Nanda beralih mencium lehernya dan menggigitnya pelan.


Nanda menatapnya lekat, lalu berbisik “ just a 20 minutes, dear. after this, I’ll let you breath.”Ucapnya sambil menggigit daun telinga Erza dengan pelan kemudian menciumnya kembali sebelum gadis itu memberi penolakan.


Setelah dinilai lama dan takut semakin beresiko karna berciuman panas di depan umum,  Membuat Nanda mau tak mau, melepas ciumannya di bibir Erza yang dirasa sangat menggoda untuknya dan memberikan penutup indah dengan menggigit bawah bibir gadis itu dan menjilatnya pelan. Membuat Erza meringis. lalu Nanda melepas pegangan tangannya di kedua lengan gadis itu sambil mengedipkan matanya ketika Erza membuka matanya dan menatapnya dengan wajah sangat memerah malu.
“Thanks yah sayang. I love you. Take care yah buat besok.” Ucap Nanda sambil mengecup bibir Erza dengan cepat dan tersenyum.
“Iya… Love you too. Aku masuk dulu yah.” Kata Erza langsung lari masuk dalam hotel. Meninggalkan Nanda yang tersenyum dengan tingkahnya dan akhirnya menjalankan motornya dengan kecepatan ngebut.



“Ingin ku bunuh pacarmu, saat dia cium bibir merahmu
didepan kedua mataku
aku cemburu.”


*Dewa 19 – Cemburu*


Lagu Dewa 19 dari koleksi album dimobil Tasya seolah sangat mewakili perasaan Putra yang melihat secara langsung aksi nekat seorang Nanda yang selama ini dia kira polos, ternyata lebih beringas daripada dirinya. Tasya yang juga melihat kejadian itu, langsung mematikan tape di mobilnya.  karna dia juga ikut merasakan perasaan Putra lewat lagu yang didengar.


“Put…” Tegur Tasya hati-hati ketika melihat sepupu labilnya hanya diam dan pandangan seketika kosong.
“Putra Eduardo Pradipta…” Ulang Tasya sambil mengguncang tubuh Putra yang tak merespon panggilannya.


“Gue mau ke Hotel dulu. Thanks ya Sya udah habisin uang gue.” Kata Putra seolah sadar dengan kelakuan Tasya dan menatapnya. Namun kosong.
“Are you Okay? Lo gue anterin masuk gimana? Gue takut lo ngamuk Put.”
“Really bad. Gausah Sya. Lo pulang sana. Cewek gak boleh malam-malam disini. Apalagi sama gue, habis lo entar.”  Kata Putra sambil turun dari mobil Tasya.


Tasya membuka spion mobilnya dan menatap Putra khawatir. “Beneran? Lo jangan ngamuk yah?”
“Iyah Mama Tasya… Udah pulang sana. Thanks yah udah temenin gue. Lo memang sepupu yang paling ngertiin Sya.” Ucap Putra tulus sambil mengacak rambut Tasya dan tertawa ketika gadis itu merengut.
“Kita Cuma beda 2 tahun Putra! Oke deh… kalo ada apa-apa telpon aja gue. Bye Put. Thanks for all of this. Sorry if I spend much your money.” Ucap Tasya sambil menarik hidung Putra dan menjalankan mobilnya meninggalkan sepupunya sendiri. Ditemani remang lampu jalanan yang seolah menjadi lampu dihatinya yang sudah durja, semakin menjadi.


Sepeninggal Tasya, Putra langsung masuk dalam hotel untuk melakukan satu hal, Tidur.


๘๘๘๘๘๘



“Lo kenapa Za? dikejar siapa? kenapa ngos-ngosan?” Tanya Arny beruntun dan kaget karna melihat Erza masuk kamar dengan ngos-ngosan dan wajah memerah malu sambil mengulum bibirnya.
“Wajah lo kenapa merah Za? Ayooo... Lo baru ngapain aja ma Nanda jadi merah gitu? Leher lo kenapa ada bekas gigitan tuh? Pasti...” Lanjutnya sambil memanyunkan mulutnya yang buat wajah Erza semakin merah.
“Lo tidur gih sana! Lo itu anak kecil Arn, jadi gak boleh tau apa yang gue lakuin sama Nanda.” Ejeknya sambil tertawa melihat wajah Arny mendadak cemberut.
“Gue punya KTP tauk! seenak dengkul bener lo bilang anak kecil! lagipula yah, gue udah pernah ngelakuinnya ma kak Rico! sering malah!” Ucap Arny berapi-api karna tak terima dibilang anak kecil sementang tubuhnya mungil kayak kurcaci. sedetik kemudian, dia sadar apa yang diucapkannya dan menutup wajahnya sendiri karna malu.


“Owh... pantesan awet. gak taunya....”Erza mengikik dengan nada puas karna melihat temannya malu.


“Tauk ah gelap!” Kata Arny sambil berjalan menuju ranjangnya dan tidur pulas. membiarkan Erza yang sekarang terdiam duduk di sisi kiri ranjang sambil mengelus bibirnya dan teringat akan kejadian tadi. dan wajahnya merah merona.


“AH! gue kenapa sih?! Udah Erza!.” Teriaknya pada diri sendiri karna selalu mengingat hal itu. pusing, akhirnya dia merebahkan dirinya disamping Arny dan tidur.

Pagi Hari. 06.00 wib, Jogjakarta.



“Za... Udah kelar kan semuanya?” Tanya Arny ketika melihat Erza sibuk membereskan kopernya sekali lagi. takut ada yang tertinggal.
“Sip. Keluar yuk.” Ajak Erza dengan memegang tiket pesawat ditangan kanannya, koper ditangan kirinya. diikuti Arny dibelakangnya.


Keluar dari kamar, Erza melihat Putra dengan yang lainnya asyik ngobrol didepan Cafe. membuat Erza teringat kejadian malam kemarin ketika Putra bersama cewek lain begitu mesranya. membuat emosinya naik ke ubun-ubun.


“Kenapa Za?” Tanya Restu bingung melihat Erza berjalan kearah mereka sambil menatap Putra dengan ekspresi pengen ngamuk.

Putra yang sadar diliatin Erza sedemikian rupa, Cuma tersenyum dingin dan menatap dalam cewek yang baru saja melintas dihadapannya ketika Erza berdiri didepannya.

“Tuh cewek cantik kan Za? seksi gimana gitu... Gue godain ah...” Kata Putra tanpa tau malu langsung menyusul cewek yang sukses mengalihkan dunianya itu. meninggalkan Erza yang melongo karna ditinggal pergi.


“Tuh anak kenapa sih Za? Kayaknya kumat lagi tuh penyakitnya.” Keluh Restu ketika melihat diseberang sana, Putra sukses mendekati cewek yang sekarang seperti kejatuhan durian runtuh karna didekatin Putra dan tukeran nomor ponsel. membuat Erza ingin melangkahkan kaki kearah mereka dan menjewer telinga Putra sampai putus kalo tak ingat bahwa dirinya sekarang bukan siapa-siapa dia lagi.


Putra dengan coolnya berjalan menghampiri mereka yang takjub dengan tingkahnya. Hatinya puas ketika melihat Erza menatapnya sinis, seolah dia bisa membaca tatapan Erza yang merupakan cermin hatinya bahwa dia cemburu dengan apa yang diperbuatnya. namun gengsi ngomong.


“Eh... Mas Novan datang tuh. udah Check Out kan?” Tanya Restu yang dijawab anggukan kayak anak itik nurut sama induknya.


Mereka pun menghampiri Mas Novan yang menunggunya di luar hotel dan berangkat menuju Bandara Adi Sutjipto.



“Arn... Lo duduk sama siapa?” Putra noleh ke Arny yang duduk disampingnya.
“Gue duduk sama Kak Restu dan Eva kak. kenapa?”
“Gue tukeran tiket dong. gue mau ngobrol sama Restu. ada yang mau diomongin. lo sama Erza. Gimana?” Tanya Putra yang buat Arny kaget.
“Tap...Tapi kak...”
“Ayolah Arn... Gue ada urusan sama Restu. lagipula Restu Ok aja kalo lo mau. please Arn.” Harap Putra sambil menatap Arny yang bingung, separo ingin mengiyakan, separo hatinya takut kalo keputusannya akan buat Erza terluka.


Erza yang mendengar dengan jelas permintaan Putra, menghela napas berat. “Udahlah Arn... Gue juga lagi pengen duduk bareng lo sama Jessi. udah lama gak bareng kalian.” Ujarnya seolah mengiyakan keinginan Putra untuk lepas darinya.


“Tap...Tapi Za...” Tolak Arny.
“Udahlah Arn... Gue lagi pengen sama lo dan Jessi. Lo gak mau gue duduk bareng kalian?” Tanya Erza balik dengan nada penuh intimidasi sambil berusaha tak menatap balik Putra yang sedari tadi menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
Arny yang merasa kalah, akhirnya menganggukkan kepalanya walau hatinya berat. “Iya deh kak.” Ucapnya pasrah sambil menukarkan tiket pesawatnya dengan punya Putra dan menghela napas berat. tak menyangka diposisi seperti ini.


Erza yang melihat itu, menatap Putra dan tersenyum samar kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain.


Akhirnya, Mereka pun sampai ke Bandara Sutjipto, tempat mereka datang dengan pengalaman yang kosong, dan kembali lagi dengan membawa sejuta pengalaman dan cerita, juga buah tangan untuk orang-orang yang mereka sayangi. Erza pun turun terakhir dari mobil dengan koper siap ditarik kemanapun dia mau. dan tersenyum kepada Mas Novan. “Makasih yah Mas udah mau nganterin kami.” Ucapnya tulus diikuti yang lain.
“Sama-sama Mbak Erza. saya juga senang karna bisa mengantar kalian ke tempat yang Mas tau. maaf kalau selama Mas kenal dengan kalian, ada tingkah Mas yang buat kalian sebal, jengkel dsb.”

Erza hanya tersenyum manis mendengar ucapan Mas Novan, “Enggak kok Mas. Erza malah gak ngerasa mas itu ngeselin. justru rame orangnya.” Pujinya yang buat Mas Novan serasa terbang  kalo tak melirik di belakang Erza, Putra melototinya.


“Ya sudah Mbak Erza, semuanya... hati-hati dijalan yah. Kalo mau ke Jogja lagi, telpon aja Mas. insyaallah Mas antarin kemanapun yang kalian mau.” Tawar Mas Novan kepada yang lainnya. membuat Arny, Jessi dan Eva kasak-kusuk dibelakang punggung Putra.
“Ntar kalo kita ke Jogja, Kita aja bertiga. gimana?” Tawar Jessi.
“Berempat dengan Erza dong!” Sahut Arny tak terima sahabatnya ditinggal.
“Iya... Kita berempat! Minus cowok! Ntar, Kita ke Mall yah... merana gue gak menginjakkan kaki di Mall Jogja.” Keluh Eva yang selama 3bulan, tidak meninggalkan jejak kaki di Mall manapun yang ada di Jogja. membuatnya galau.
“Otak lo mall mulu deh Va.” Keluh Jessi yang rupanya bosan setengah mampus mendengar galauan Eva yang sangat dihapalnya dan menjadi racun buat telinganya.


Disaat temannya kasak kusuk merencanakan perjalanan yang entah kapan terjadi itu, Erza mendorong kopernya dengan tatapan lesu, seolah tak ada lagi yang dapat membuatnya tersenyum. bahkan makanan sekalipun. membuat yang lain menghentikan percakapannya dan menepuk pundak Erza lembut agar semangat dan melangkahkan kaki menuju ruang tunggu.


“Gue beli cemilan dulu yah, lapar.” Pamit Erza kepada Arny dan yang lain ketika setengah jam menunggu pesawat.
“Jangan lama-lama Za. entar lo ketinggalan pesawat. 30 menit lagi kita berangkat.” Arny mengingatkan ketika Erza mulai berjalan keseberang membeli banyak cemilan berbau coklat, pelepas stres dan galaunya.


Erza pun celingak-celinguk mencari tempat strategis untuk duduk. ditempatnya sudah diduduki orang lain. ketika pandangannya ke arah Putra yang asyik membaca buku, dia melihat kursi kosong diantara Putra dan seorang gadis cilik yang wajahnya bikin Erza gemes setengah mati pengen nyubit sedang memandang Putra dengan tatapan penuh pesona. seolah Putra adalah pangeran baginya. membayangkan itu membuat Erza tersenyum geli dan duduk disamping Putra.


“Mau?” Tawar Erza ketika dia membuka bungkus cemilan yang isinya coklat itu ke Putra. tapi tak direspon.
“Yasudah kalo gak mau.” Dengan suara dingin karna dicuekin, Erza menjawab maksud acuhan Putra dan menawarkan ke lain.

“Adek mau gak?” Tawar Erza manis ke gadis cilik itu yang sedari tadi menatap cemilan yang dia pegang.


dengan wajah malu-malu namun bikin gemes, dia mengambil cemilan di tangan Erza sambil menatap senang dan mengadu pada ibunya yang duduk disampingnya bahwa dia dikasih cemilan.


“Bilang makasih sayang sama tantenya...” Kata Ibu gadis cilik itu dan dia menurut. “Makasih tante.” Ucap gadis cilik itu polos sambil memakan cemilan ditangannya cukup membuat Erza shock berat.


“Emang gue sekarang tua banget jadi dipanggil tante?” Gumamnya dengan suara sangat shock yang membuat Putra hendak tertawa, namun ditahannya.


“Kalo seumuran lo wajar kali dipanggil Tante. Gue aja dipanggil Om.” Sahut Restu yang duduk disebelah kiri Putra rupanya mempunyai telinga sangat tajam karna bisa mendengar gumaman Erza yang hampir kayak bisikan.

Erza hanya mangut-mangut mendengar jawaban Restu menatap gadis cilik dihadapannya dengan wajah terpesona.


“Gue pengen deh suatu saat nanti, punya anak secantik dia. kan enak bisa gue dandanin. tapi gue nikah dan bikinnya sama siapa?” Bisik Erza sambil mengelus rambut gadis itu.
“Bikinnya sama gue Za. Kan gue termasuk bibit unggul.” Ucap Putra yang membuat Erza menoleh ke arahnya dengan ekspresi kaget.
“Apa lo bilang?” Tanyanya seolah ingin memastikan bahwa tadi Putra ngomong. bukan imajinasinya.

Merasa keceplosan, Putra menatap Erza “Lupakan aja deh gue ngomong apa. gak penting buat lo ingat.” Dan kembali fokus membaca buku. tanpa mempedulikan hembusan napas kecewa Erza.


Suara Announcer terdengar nyaring membuat Erza tersadar dari khayalan dan mengelus rambut gadis cilik itu yang sekarang menghabiskan cemilan ditangannya “Kakak pulang dulu yah. Dadah manis.” Kata Erza pamit sambil mengacak dan mencubit pipi gadis itu, membuat Putra yang melihat kesenangan Erza terhadap anak kecil, tersenyum.


Erza pun naik ke pesawat diikuti yang lain, meninggalkan Jogja dan kenangan yang ada disetiap tempat dia hampiri. Dengan harapan semoga suatu saat nanti, dia bisa mampir kembali untuk membuat kenangan baru. *jadi kangen Jogja*



Putra rupanya tidak main-main dengan rencana yang dibuatnya. Dia duduk dengan Restu dan Eva. Membuat Erza yang duduk diapit Arny dan Jessi menghela napas berat sambil menatap Eva yang beruntung duduk disamping Putra dan  bercanda,  sesekali Putra menggodanya hingga wajah cantik Eva bersemu merah merona. Membuat Erza cemburu.


“Gue boleh nyender gak Arn dipundak lo?”Pinta Erza dengan suara sedih, membuat Arny tak bisa nolak.
“Silahkan Za.” Jawab Arny dan Erza langsung menyenderkan kepalanya di Pundak Arny dan tertidur.


๘๘๘๘๘๘


“Za... kita sudah sampai di Jakarta.” Kata Arny membangunkan Erza yang tertidur pulas disampingnya. dibantu Jessi.
“Za... ada cowok cakep tuh... bangun gih! ntar rugi lo gak liat!.” Kata Jessi sambil tertawa.


“Mana? Cakepan mana dengan Putra?” Kata Erza ngigau dengan mata belum terbuka seutuhnya. membuat Putra yang saat itu lewat didepan mereka, berhenti mendadak.


“Dia ngigau kak. udah jalan sana! lo bikin macet!” Usir Arny sambil mendorong Putra menjauh karna jalan dibelakang Putra tertahan.


“Cakepan dia sih… udah lo buka mata deh Za.” Kata Jessi yang rupanya kaget dengan jawaban Erza.


Erza pun membuka matanya dan mengedipkannya berkali-kali. Kemudian menatap mereka bergantian dengan tatapan bingung karna mereka menatapnya seolah dia baru saja berubah jadi hantu. “Apa?”
“Enggak. Yuk keluar.” Ajak Arny yang rupanya sadar dan langsung menarik mereka berdua turun dari pesawat


Erza pun menunggu kopernya nongol diruangan Bagasi sambil berdecak lidah karna kelamaan nunggu. Mengabaikan tatapan Putra yang menatapnya aneh dan sejuta pertanyaan muncul dikepalanya.


Ketika melihat kopernya keluar bareng dengan ransel Putra, Erza langsung ingin mengambilnya, namun keduluan Putra “ Koper lo berat. Entar jatuh, sakit deh. Kan kasihan lo ntar.” Kata Putra sambil mengangkat koper dan meletakkannya dihadapannya lalu berjalan keluar meninggalkan Erza yang melongo dibuatnya. Namun tersenyum dengan perlakuan manis itu. Sambil bersinandung dia menarik kopernya keluar, diikuti dengan yang lain.



“Sayang… aku kangen kamu.” Suara penuh mesra menyambut mereka di Pintu kedatangan kemudian memeluknya. Sukses membuat senyuman Erza berubah menjadi ekspresi ketidak percayaan ketika melihat Putra membalas pelukannya, bahkan mencium kening Selvi tepat dihadapannya. Membuatnya ingin mati saat itu juga.

“Aku juga kangen sama kamu sayang.” Balas Putra sambil menjawil hidung Selvi dan mengecup bibir Selvi kilat. Kakinya serasa lemas seketika dan langsung ditarik Arny ke pinggir karna menutupi jalan.


“Erza…” Kata Katherine dengan suara prihatin mendekati Erza. Dia tau semuanya dari awal keberangkatan hingga kenapa Putra ngajak Selvi balikan. Dari Restu.


Erza tak merespon Katherine. Tatapannya kosong dan seolah jiwanya pergi entah kemana. Hanya Raganya yang masih menginjak Bumi. Menunggu disemayamkan bersama sakit yang dia rasa. Erza pun langsung berjalan meninggalkan mereka, termasuk Putra yang menatap kepergiannya.


“Sekarang gue punya Selvi, Lo punya Nanda. Kita tak akan saling menunggu kan?” Bisik Putra ketika Erza lewat dihadapannya. Mengabaikannya.


Erza menghela napas berat, menahan air matanya yang hendak jatuh dan menatap Putra dengan tatapan yang diketahuinya, adalah tatapan tersakit yang pernah dia lihat dari Erza. “Se…moga… kita bahagia dengan apa yang kita pilih. Putra.” Dengan terbata-bata dan pasrah Erza mengucapkan itu dan Putra bersumpah demi apapun, dia melihat Erza meneteskan air matanya. Namun keburu dihapusnya.


“Kami pulang dulu yah. Bye semuanya.” Kata Reno langsung merangkul Erza dan melambaikan tangan kea rah yang lain. Diikuti Erza.
“Gue cabut dulu yah.” Kata Erza dengan suara agak serak dan cipika-cipiki dengan yang lain sebelum pergi.


“Sabar Za.” Ucap Arny prihatin. Karna diantara yang lain, Cuma dia tau gimana hancurnya hati sahabatnya itu.
“Gue kuat Ny.” Ucap Erza sambil tersenyum dan berjalan menghampiri Reno yang siaga menarik koper dan membawa tas ranselnya.


Sepanjang perjalanan menuju rumah, Erza hanya diam dan menatap keluar dengan pandangan kosong. Reno pun tak berani mengusiknya. Dia membiarkan Erza sendiri dan tenang. Karna dia tau sepupunya itu seperti apa.


๚๚๚๚๚




“Gue gak pernah sekangen ini dengan rumah kak.” Erza membuka pembicaraan ketika mereka tiba dirumah lalu keluar untuk mengambil barang-barangnya. Dibantu Reno.
“Gue juga gak pernah ngerasain sesepi ini ketika lo tak ada selama 3 bulan. Dek.” Kata Reno lembut sambil mengacak rambut Erza dan mereka masuk rumah bareng.


“Barang-barang lo gue taroh dimana dek?” Tanya Reno ketika melihat Erza terpaku di depan kolam renang.

“Udah berapa lama gue gak berenang sejak Putra pergi yah? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau.. empat tahun?” Batin Erza.


“Erza…” Ulang Reno ketika melihat gadis itu tak meresponnya.

“Ehm… Eh… bantuin masuk kamar yah kak. Berat banget tuh. Erza gak sanggup ngangkat.” Jawabnya dengan agak tergagap.


Reno sadar apa yang membuat sepupunya tergagap menjawab pertanyaannya tadi. Sadar siapa yang dipikirkan gadis itu. Hanya bisa tersenyum. “Ok deh. Dek… kalo ada masalah yang lo gak bisa tahan lagi, jam berapapun lo pengen cerita, ketok saja kamar gue. Gue siap dengar curhatan lo dek.” Sahut Reno sambil mengacak rambut panjang Erza dan mengangkat kopernya ke kamarnya. Meninggalkan sang pemilik kamar tersenyum samar dan melemparkan pandangannya ke kolam sebelum pergi menyusul kak Reno.



“Kak… Erza ada beliin oleh-oleh nih. Gatau muat apa enggak. Dicoba yah.” Ucap Erza ketika Reno berdiri di blakon dan menghampirinya sambil membawa bungkusan.


“Apaan? Wah… thanks yah dek. Pasti muat kok.” Jawab Reno sambil tersenyum.
“Iya kak. Kak… Erza mau ke bawah dulu yah. Udah lama gak berenang.” Izin Erza yang buat Reno kaget.
“Lo mau berenang? Serius?” Ucapnya tak yakin.


Erza hanya menganggukkan kepalanya dan keluar dari kamar menuju kolam. Meninggalkan Reno yang prihatin dengan keadaannya sekarang.


“Semoga lo kuat dek. Gue yakin lo bisa hadapin semua ini.” Bisik Reno sambil mengawasi Erza di tengah kolam. Hanya diam, tak ada gerakan.


Tanpa diketahui Reno, Erza sebetulnya menangis di kolam. Teringat semua perlakuan Putra di tempat ini,   hal yang paling dia rindukan, namun berbalik menyakitinya.

Erza pun menyelam.  menahan napas dalam air sekuat dia mampu. Agar semua sakit yang menghimpit perasaannya, larut bersama air mata yang terus menerus mengalir deras dan bercampur dengan air kolam renangnya yang dipenuhi kenangan Putra yang silih berganti memasuki alam pikirannya.


“Tak bisa, aku melupakanmu…
walau kau bukan milikku lagi.
Tak bisa, Aku hidup tanpamu
terbiasa… kau perhatikan aku.


Bagaimana… Nasib cintaku
Hatiku masih, hidup diragamu
masih saja, Aku menganggapmu
Aku pasanganmu…
Seperti dahulu.”


*Rini Idol : Mimpi besarku*

“Erza… Erza!” Teriak Reno cemas dari atas karna melihat Erza lama tak muncul dari air, sedangkan hujan turun dengan sangat deras.


Takut terjadi apa-apa dengan sepupunya, Reno bergegas turun ke bawah.




◌◌◌◌◌◌




“Erza… Erza… bangun Za…” Panggil Reno cemas di ruang tamu setelah menggendong Erza yang lemas di kolam renang karna tak sadarkan diri.


Perlahan, gadis itu membuka matanya dan melihat Reno langsung tersenyum dan memeluknya penuh syukur.
“Jangan lakuin hal bodoh kayak tadi yah?” Pinta Reno yang hanya dijawab anggukan lemah Erza.
“Sorry kak. Erza…” Ucapannya terhenti dan dia menangis tersedu-sedu dipelukan Reno.
“Kalo lo gak sanggup ngomong, nangis aja di pelukan gue. Gue mau kok.” Ucap Reno sambil mengelus rambut Erza yang basah dan semakin erat memeluk supaya dia tak kedinginan.


“Kenapa kak… semuanya…” Isaknya lemah dengan bibir bergetar karna kedinginan. lelah menangis, akhirnya dia tertidur di pelukan Reno.


Melihat Erza tertidur dipelukannya, dia langsung menggendongnya ke kamar dan memanggil Mpok Surti. “Mpok… gantiin baju Erza yah. Dia ketiduran tuh pake baju renang. Takutnya masuk angin.” Perintah Reno yang langsung dijawab senyuman oleh Mpok Surti.
“Siap Mas Reno.” Dengan gaya ala upacara 17an, Mpok Surti langsung masuk kamar Erza dan menutupnya. Meninggalkan Reno yang langsung masuk kamar dan tidur.



“Sorry Erza…” Hanya itu yang bisa diucapkan Putra ketika teringat bagaimana sakitnya Erza menatap dirinya pada saat dia bersama Selvi.
“Kak…” Panggil Katherine ketika melihat Putra termenung di balkon, padahal hari hujan deras.
“Kalo ada cara yang lebih lembut dari ini, akan gue lakuin Za. Asal gue gak pernah melihat tatapan lo seperti siang tadi. Tatapan lo bikin gue ngerasa bersalah banget Za.  Lo nyiksa gue.” Lanjutnya tanpa mengetahui, Katherine mendengar ucapannya dan ikutan melamun.

 “Kayaknya gue punya ide agar lo bersama Erza lagi kak. Tunggu tanggal mainnya.” Bisik Katherine penuh semangat  dengan ide menari-nari di kepalanya, siap untuk didiskusikan dengan pacar tersayang, Restu. Dan meninggalkan Putra yang masih galau.





ॢॢॢॢॢॢ



1 tahun setelah mereka selesai KKN, tak ada saling tegur, saling menggoda. Yang ada hanya kebisuan yang mendominasi mereka. Seolah-olah tak ada yang saling kenal.


“Halo sayang…” Erza mengangkat ponselnya yang berdering pada saat dia mengerjakan tugas di kelas berdua Putra dengan posisi duduk berjauhan.

Putra hanya bisa mengepal tangannya yang dingin ketika mendengar suara Erza yang terdengar manja dan wajahnya yang merah merona karna dirayu Nanda, semakin membuatnya emosi.


“Sayang…” Entah keberuntungan atau kesialan, Selvi langsung masuk dalam kelas Putra dan memeluk cowoknya dari belakang sambil meletakkan kepalanya di pundak lalu mencium pipi Putra. Membuat Erza yang melihat kejadian itu, langsung memalingkan wajahnya kea rah lain. Dan matanya terasa basah, namun ditahannya.


“Kamu kenapa sayang?” Tanya Nanda cemas karna suara Erza berubah menjadi agak serak, seolah dia menahan sesuatu.
“Aku gak papa kok sayang… beneran.” Ucapnya dengan suara berusaha normal agar tak ada yang curiga.
“Kamu sakit?” Tanya Nanda mulai curiga dengan perubahan suara Erza.
“Enggak kok sayang.”


“Putra… kita jalan yuk. Aku bosan lihat kamu selalu berkutat dengan buku. Kamu itu pacaran dengan buku atau denganku sih?” Ucap Selvi dengan suara agak keras dan dimanjakan agar Erza mendengar.  Dan usahanya berhasil. Karna Erza menatap kearahnya dengan tatapan terluka.

“Kamu aneh deh sayang, masa sama buku dicemburuin? Jalan? Aku nyelesain ini dulu yah. Sebentar lagi.” Ucap Putra lalu menepuk pipi Selvi dengan lembut. Membuat Erza yang melihatnya, langsung memalingkan wajahnya lagi.


“Nanda jauh lebih baik dan tak mesum kayak Putra. Lo dari dulu ingin itu kan?” Suara hatinya  Erza mengingatkan.

“Nanda memang jauh lebih dari Putra, tapi… ada sesuatu yang Nanda gak punya, tapi Putra sangat punya itu.” Suara hatinya yang lain membela Putra.


“Seandainya dia tau gimana sakitnya perasaan gue..” Bisik lirih Erza di telpon, membuat Nanda kaget.
“Erza, Kamu kenapa?” Suara Nanda terdengar di telpon, membuat Erza kaget dan langsung sadar dengan apa yang diucapnya.
“Mampus gue!” Rutuknya dalam hati.


“Apaan Nand? Enggak kok… enggak. Eh udah dulu yah sayang. Aku mau masuk kelas dulu. Bye. I love you. Muah.” Ucap Erza cepat agar Nanda tak bisa merespon dan langsung mematikan ponselnya.


Nanda, My Boy.
“Kamu kenapa sayang? Siapa yang sakitin kamu?” Pertanyaan Nanda bersarat khawatir terpampang jelas di pesan masuknya. Erza menghela napas sedih dan memilih mengabaikannya.


sesekali Putra melirik Erza dengan wajah cemas karna gadis itu terlihat murung dan pucat beberapa akhir ini. Selvi yang menyadari Putra tak focus padanya, langsung berdiri menutup akses Putra melirik Erza dengan tubuhnya. “Bagaimana sayang? Kita jadi jalan kan? Ayolah… sekalian merayakan 1 tahun kita balikan.” Rayu Selvi.


Sempat dilihatnya Erza berdiri dan langsung keluar dari kelas sambil berlari, membuat Putra terdiam dan menatap Selvi “Aku tak bisa sayang ternyata. Hari ini tugasku numpuk. Kamu kan tau  aku sebentar lagi mau lulus. Kapan-kapan aja yah? Aku janji deh… akan temanin kemanapun yang kamu mau.” Bujuknya ketika
melihat wajah Selvi merengut, namun tak menolak keputusannya.
“Yaudah deh. Aku keluar dulu. Bye sayang.” Ucapnya sambil hendak mencium pipi Putra, namun Putra berpaling kea rah lain, membuatnya tersenyum dan mengacak rambut Putra lalu keluar dari kelas.


Sepeninggal Erza dan Selvi, Putra melepas kacamatanya kemudian berjalan menuju jendela kelasnya yang mempunyai akses langsung ketaman. Dia melihat Erza duduk termenung sambil melempar batu ke kolam dengan tatapan kosong. Seperti dirinya. “Sampai kapan Za kita terus begini? Gue gak sanggup lagi.” Bisiknya kemudian memutuskan untuk keluar dari kelas.



१११११




Di Kampus UGM…


“Nand, kenapa lo?” Tegur sahabatnya ketika melihat Nanda, melamun di pohon yang rindang sambil memegang hpnya.
“Gue gak tau nih. pacar gue gak ada balas sms daritadi. bikin bingung aja.” Keluhnya sambil berharap Erza membalas pesannya, agar dia tenang.
“Ciee... siapa pacar lo? Si Erza kan? ckckck... sibuk kali. Eh... gue masuk kelas dulu yah. Bye Nanda.” Pamit temannya dan meninggalkan Nanda sendiri.


“Siapa dia yang lo maksud,Erza? Putra?  apa hubungan kita selama ini tetap tak bisa hapusin dia dari hidup lo? Apa gue udah terlambat?” Ucapnya lirih sambil menikmati angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya dan membuatnya teringat kejadian demi kejadian, dimana Erza selalu bersemangat setiap menyebut nama Putra hanya dengan sekali pancing, dimana dia bisa merasakan perbedaan yang sangat kontras antara memanggil namanya dengan sebutan sayang, dan nama Putra dengan sumpah serapah, namun tebersit entah apa namanya... perasaan sayang yang disembunyikan.


Flashback...

“Sayang…” Panggilnya mesra ketika Erza mengangkat telpon.
“Iya sayang… ada apa?”
“Aku kangen kamu… sangat kangen malah.” Gombalnya yang membuat gadis itu, tertawa di seberang sana.


“Erza… Ntar habis ini gue pinjam Flashdisk Putra dari lo yah.” Panggilan itu mengalihkan pembicaraan Erza dari Nanda, namun dapat mengubah semuanya yang disembunyikan.
“Flashdisk Putra yah kak? Oke deh. Tapi jangan diilangin yah Flashdisknya. Kan sayang. Hahahaa…” Jawabnya dengan nada riang, seolah-olah itu hal menyenangkan untuknya.

“Dari siapa sayang?” Tanya Nanda ketika dirasa Erza sudah berada jangkauannya.
“Dari kak Restu. Dia mau pnjam flashdisk Putra tapi keduluan Erza, yaudah deh. Padahal aku takut kak Restu minjem, soalnya punya Putra sering hilang sih. Kan sayang…” Jawabnya dengan nada penuh khawatir..
“Emang Flashdisk Putra segitu pentingnya yah jadi kamu khawatir banget kalo flashdisk dia hilang?”
“Penting banget malah Nand! Soalnya semua file-file dia ada disitu semua. Dia kalo hilang kelimpungan sendiri, jadi aku copy semua file dia di laptop. Jadi kalo ilang lagi, gak ribut lagi.” Jelasnya dengan penuh semangat, kontras pada saat mengangkat telpon Nanda.

“Oh… jadi Putra sangat istimewa banget untukmu yah sampai repot-repot bikin copyan segala.” Ucapnya dingin.

“Isti… Eh udah dulu yah sayang, aku mau masuk kelas dulu. Bye.” Ucap Erza cepat seolah menghindar dan langsung memutus telpon.



Nanda menghela napas berat ketika teringat percakapan kemarin itu. Membuat buktinya bertambah bahwa seberapa perhatian pun dia dengan Erza, takkan bisa mengubah posisi Putra dihati gadis itu.



seketika Nanda membelalakkan matanya maksimal ketika melihat seorang gadis, yang sangat dikenalnya lewat dihadapannya. Dia mengucek-ucek matanya agar memastikan matanya tak katarak mendadak. Kemudian berlari mendekatinya. “Lo?” Ucapnya shock  karna melihat penampilan gadis itu yang serba sopan. Berbeda pada saat dia pertama kali bertemu.
“Iya… ada apa yah?” Tanyanya seolah tau apa dipikiran cowok yang memegang tangannya dan tersenyum.
“Lo cewek yang bareng Putra kemaren di hotel kan?” Tanya Nanda shock.


Tasya tersenyum, kemudian berkata “Kayaknya kita harus bicara deh. Ada yang mau gue jelasin ke lo.”
“Tentang apaan?”
“Tentang semuanya yang gak lo ketahui. Itung-itung memperbaiki image gue yang ancur lebur didepan lo.” Ucapnya dengan nada jengkel di kalimat terakhir, membuat Nanda tersenyum.

“Boleh. Bagaimana kalo disini saja?” Tawarnya sambil menunjuk pohon tempat dia bergalau ria.


Tasya kelihatan berpikir, kemudian tersenyum “Bagaimana kalau di kantin? Gue belum makan soalnya.”
Nanda hanya mengangguk dan berjalan beriringan dengan Tasya. Cewek entah siapa baginya, namun yang dia yakini, akan membuka sekat yang selama ini menjadi pembatas yang tak terlihat, namun semakin menebal antara dirinya dan Erza.









“Mau?” Tawar Putra sambil menyerahkan sebotol Coca-Cola hingga mengenai pipi Erza. Dan membuat gadis itu kaget dan langsung beres-beres.

“Gue cabut dulu yah. Bye.” Ucapnya terburu-buru dan berjalan melewatinya, namun terhenti karna Putra memegang lengannya erat.
 “Sampai kapan lo menghindar Za?” Tanyanya dengan tatapan ke Erza yang berpaling kearah lain.

Erza terdiam dan menatap sekelilingnya dengan perasaan nanar, jujur dalam hatinya pun dia bertanya, sampai kapan akan menjalani hubungan yang menyiksa batinnya. Sampai kapan dia selalu berpura-pura bahwa Nanda adalah seseorang yang membuat hatinya selalu tersenyum. Karna pada kenyataannya, hatinya tersenyum hanya untuk satu nama, Putra. Cowok yang memegang tangannya sekarang.
“Jawab gue, Erza. Sampai kapan?” Tanyanya dan dengan sekali tarik, Erza sudah ada dihadapannya. Dan Putra mengangkat dagunya agar focus menatap kearahnya.


Erza menjawab dengan gelengan. “Jangan tanyakan ke gue. ijinin gue pergi, Putra. Nanti pacar lo marah kita berdua ditempat seperti ini. Lagipula, Gue udah punya pacar Put. Please…”


Putra melepas pegangannya di lengan Erza, lalu menatapnya “Lo gak akan bisa bohongin perasaan lo ke gue Za. Walau gue amnesia, gue mulai bisa ingat sama lo.” Ucapnya tenang. Namun membuat Erza kaget.

“Maksud lo?” Tanyanya bego, namun dijawab Putra dengan pergi meninggalkannya. Membuat Erza frustasi.

“Maksud lo apa Putra?!” Teriaknya. Walau dia tau percuma. Karna Putra semakin meninggalkannya.

“Lo tau Put, gue gak akan sanggup mengakhirinya. Meskipun gue ingin.” Ucapnya lirih sambil bersandar di pohon dan meneteskan air matanya.


Putra yang mendengar teriakan Erza dari kejauhan, hanya bisa tersenyum samar. “Kalo lo tak bisa mengakhiri ini, gue yang akan mengakhirinya, Erza.”



Setelah puas menangis, Erza pun berjalan meninggalkan taman dan memutuskan pulang kerumah. Mencari kedamaian.




♡♡♡♡♡♡



“Aku bisa terima, meski harus terluka
karna ku terlalu, mengenal hatimu.

Aku telah merasa, dari awal pertama.
Kau takkan bisa lama, berpaling darinya.”


Tasya terdiam setelah hampir separuh waktunya menjelaskan semua yang dia ketahui tentang Putra dan Erza kepada Nanda. Sampai merelakan kelas berikutnya agar semuanya jelas, tak ada yang saling merasa tersakiti karna ego masing-masing.
“Gue gak akan pernah nyangka kalo gue yang menghancurkan hubungan mereka.” Ucapnya lesu.
“Jangan salahin diri lo sendiri Nand. Nurut gue gak ada yang salah disini. Lo gak salah suka dan pacaran sama Erza, dan dia juga gak salah terima lo, Nand.” Hiburnya.
“Seharusnya gue dari dulu sadar, kalo hati dia bukan ntuk gue. tapi ntuk Putra.”
“Lo sadar, tapi lo gak peduli kan?” Tembak Tasya sambil menatap lekat Nanda, persis menginterogasi pasien. Membuat Nanda tersudut.


“Iya. Karna gue sayang sama dia. Dan sayang gue ternyata gak bahagiakan dia, tapi malah nyakitin.”


Tasya mendengar jawaban Nanda sambil memutar sedotannya dan bertopang dagu. “Terus lo mau bagaimana sekarang setelah tau masalah ini? Tetap pertahankan dia atau lo lepasin dan biarin dia sama sepupu gue?”


Nanda terdiam mendengar pertanyaan cewek didepannya ini. “Kalau gue pertahankan? Gue bisa buat dia lupakan Putra.”


Tasya menghela napas dan menatap Nanda “Gue tau lo akan jawab begini, Nanda. Gue gak bisa nyuruh lo untuk mutusin dia. Karna apa? Gue tau lo sayang sama dia. Banget malah. Tapi please, buka hati lo sedikit saja untuk melihat semuanya. Gue cewek, Nand. Dan gue tau perasaan Erza ma sepupu gue bagaimana. Dia sayang banget. Tapi bukan berarti dia gak sayang sama lo. Dia sayang, Cuma dia gak bisa artiin sayangnya itu. Lo gak buruk buat Erza Nand, tapi… dia sayangnya sama sepupu gue. walau ancur gimanapun.” Tasya menjelaskan dengan panjang lebar.

“Cinta tak harus memiliki, Nand. Gue tau lo sakit. Tapi perasaan gak bisa bohong. Sesayang apapun lo sama Erza, kalo dia sayang sama Putra, sayang lo gak ada artinya. Yang ada, dia semakin tersiksa karna dia bersalah selalu nyakitin lo dengan cara menyayangi cowok lain.” Lanjutnya membuat Nanda semakin terdiam. Membenarkan setiap perkataan Tasya.


“Gue… akan lepasin dia. Kalau itu, bisa membahagiakan Erza.” Putusnya dengan nada berat.


Tasya menggenggam tangan Nanda dan tersenyum. “Lo putusin dari hati lo Nand. Jangan ada kata terpaksa. Lakukan dengan ikhlas. Maka semuanya akan baik saja.” Ucapnya.


Nanda tersenyum mendengar ucapan Tasya. “Thanks yah. By the way, gue lupa nanya, nama lo siapa? Kok lo bisa tau nama gue?” Tanyanya beruntun.


Tasya mengulurkan tangannya kea rah Nanda “Nama gue Anastasia Paleazzo, lo panggil aja Tasya. Gue tau nama lo saat kita ketemu di hotel, Erza nyebut nama lo. Dan gue kaget aja ternyata kita satu kuliah. Lo ambil jurusan apa?


“Gue ambil Psikologi. Lo?” Tanya Nanda balik.
“Serius? Gue juga ambil Psikologi. Tapi mau semester akhir.” Jelas Tasya dan berikutnya, terjadi diskusi seru antara mereka.




११११११




Setelah satu jam berdiskusi dengan Tasya. Gadis itupun pamit. “Gue pulang dulu yah. See you.” Ucapnya ramah sambil berdiri dan tersenyum.

Nanda pun membalas senyumnya. “Yup. Hati-hati yah Sya. By the way, thanks udah ngasih tau semuanya.” Ucapnya tulus.

Tasya tersenyum ramah “Ya. Lo pikirin baik-baik Nand apa yang gue bilang.” Ingatnya dan meninggalkan Nanda yang termangu sendirian.


“Kalo gue gak bisa lepasin Erza, gimana Sya? Gue sayang sama dia.” Ucapnya sambil memikirkan sebuah keputusan dan mengingat semua omongan Tasya tentang hubungan mereka.


Asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nanda pun kaget dan tersenyum ketika tau siapa yang menelponnya. Disaat dia sudah yakin dengan keputusannya untuk mengikat gadis itu lebih erat lagi.


“Iya sayang…” Ucap Nanda mesra ketika mendengar suara lembut Erza menyapanya.
“Gak papa kok sayang. Aku kangen aja pengen nelpon kamu. Kamu sibuk yah? Udah makan belum?” Tanya Erza perhatian.

“Aku gak sibuk kok. Erza… kamu lagi ada dimana?”
“Aku dirumah sayang. Baru pulang. Ada apa?


Nanda menghela napas, “Sayang… aku boleh ngomong sesuatu?” Tanyanya.
“Boleh kok. Mau ngomong apa Nand?

“Kamu sayang gak sama aku?” Tanya Nanda yang cukup membuat Erza terdiam cukup lama ditelpon.


“A…ku sayang kok sama kamu. Kenapa? Kamu mikir aku selingkuh yah?” Tanyanya balik sambil melempar lelucon.


Nanda tersenyum mendengar jawaban Erza. “Enggak kok. Aku percaya kamu gak selingkuh. Bu the way… minggu depan aku mau kejakarta Za.” Jawab Nanda.
“Ke Jakarta? Ngapain?” Suara Erza terdengar cukup senang di telinga Nanda. Walau sebenarnya, Hati Erza tak berkata demikian.


Nanda terdiam cukup lama. Sambil memikirkan keputusannya sekali lagi. Semoga keputusan gue benar.”

“Aku mau melamar kamu, Erza Noor Assifa. Aku mau, kita tunangan. Kamu mau kan?” Tanyanya yakin bahwa Erza mau menerima lamarannya yang sangat tak romantic ini.


Erza langsung terdiam mendengar ucapan Nanda. Tak tau harus ngomong apa. “Aku…”


“Serius?” Erza tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Bahkan dalam hatinya berharap salah dengar.
            “Aku serius sayang. Will you?” Nanda mengulang lamaran itu sekali lagi. Dengan harapan dihati, pengabaian atas kenyataan yang menyakitkan dari Tasya.
            Erza terdiam mendengarnya. Matanya menatap langit, meminta jawaban.

            “Aku gak tau,Nand.” Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Bernada jujur, tak ada kebohongan.

            Nanda mendengar jawaban Erza, hanya bisa terdiam. Baginya, jawaban itu bermakna penolakan gadis itu secara halus. Namun dia tak ingin menyerah. Selama Erza dalam dekapannya, takkan ada yang bisa merebutnya, bukan Putra, bukan siapapun. Walaupun dalam hatinya berkata, sejak awal, dia kalah total dari Putra. Namun tak ingin mengakuinya. “Aku tau kamu ragu sayang. Minggu depan aku akan temui orang tuamu, yakinin hatimu.” Nanda mengucap pasti.

            Erza hanya bisa tersenyum walau tau Nanda takkan bisa melihat senyumnya itu. Bahkan dia tak ingin Nanda melihat senyumnya itu. “Kamu bakal nginap dimana, Nand?” Erza bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

            “Aku nginap dirumah tante Fanny di Senayan.”
            Erza mengangguk dan menarik napas dalam-dalam. Entah kenapa, malam ini membuatnya serasa susah bernapas bebas. “Oh begitu... Sayang, aku tidur dulu yah. Udah ngantuk nih. Bye sayang.” Pamitnya.

            “Bye juga sayang. Have a nice dream, my Lullaby. I love you.” Nanda mengucapkan selamat tidur dengan penuh sayang.
            “Have a nice dream too sayang.” Erza membalas ucapan Nanda dan mematikan ponselnya lalu melemparnya kekasur dan berjalan menuju balkon. Sekedar menghilangkan gundah yang semakin mengaduk-aduk hatinya.

            “Oh God, Moon, Stars, Please, Help me. Show the best way.” Harapnya sambil menatap langit malam yang cerah ditemani bulan sabit dan bintang.

            Asyik melamun,  Erza tak mendengar Reno masuk kekamarnya dan berdiri disampingnya. “Dek... Tidur yuk. Ntar sakit loh.” Reno merangkul Erza dan menariknya pelan agar menjauh dari balkon dan menutup pintu.

“Langitnya cerah yah kak. Gue pengen liat lagi. Sekaliiii... aja.”

“Ntar lo sakit Za. Lo kan gak tahan udara dingin. Mending lo tidur deh.” Bujuknya sambil menyuruh Erza tidur dan menyelimutinya lalu duduk disampingnya.

“Kak... Nanda tadi nelpon. Ngajak gue tunangan.” Curhatnya ketika Reno asyik mengelus rambutnya. Membuat dia teringat perlakuan Putra ketika mereka masih serumah. Ketika dia ketakutan atau susah tidur.
“Terus? Lo mau?” Reno menghentikan kegiatannya dan membiarkan Erza duduk disampingnya.
“Gue gak tau kak.” Erza menjawab sambil memilin tepi selimutnya dan mengulum bawah bibirnya.

“Kok gak tau Za?” Reno mengerutkan keningnya. Tak biasanya Erza ragu dengan keputusan yang tepat dihadapannya.

            Erza menjawab pertanyaannya dengan menangis dan membuat Reno berinisiatif memeluknya agar dia bisa menangis sepuasnya. Mencurahkan isi hatinya disetiap isakannya. Dan Reno menenangkannya tanpa banyak kata-kata.

“Putra yah?”

            Erza mengangguk dan menghapus air mata yang masih menetes pipinya dan melepas pelukannya lalu menatap Reno. “Erza... jujur sama gue sekali aja. Lo sayang siapa?” Reno mengajukan pertanyaan yang sudah setahun ini menjadi bayangan dalam hidupnya.

            Erza terdiam lalu menghela napas. “Gue gak bisa milih kak. Gue sayang keduanya.” Akunya.


            Reno tersenyum. Kemudian menggeleng. “Lebih tepatnya, lo sayang siapa?”

            “Gue sayang sama Putra kak.” Jujurnya. “Tapi.. gue juga sayang sama Nanda.” Lanjutnya terburu-buru.

            “Erza... Kalo lo sayang keduanya, kenapa lo lebih memilih Nanda? Apa karna dia mantan pacar lo waktu SMP? Atau karna dia sahabat lo yang baru ditemukan setelah hilang 4 tahun? Atau...” Reno sengaja menggantungkan pertanyaan terakhirnya dan tersenyum ketika Erza mengerutkan keningnya.

            “Atau apa kak.?”

          “Lo
lebih tau yang terakhir itu daripada gue, dek.”


            Erza menghela napas berat. Dia tau maksud Reno yang terakhir itu. Berhubungan dengan rahasianya yang dia simpan selama setahun ini, rahasia yang hanya Tuhan dan dirinya saja yang tau. Rahasia yang ikut menyalahkan dirinya. “Jujur kak, Gue terima Nanda karna pelarian gue akan Putra. Gue gak bisa terus-terusan digantung kayak gini. Dia cium gue, peluk gue, panggil sayang dan sebagainya. Tapi kami gak ada kejelasan hubungan kak. Teman, gak mungkin. Pacaran, dia gak pernah bilang “Erza, will you be my girlfriend?” Gue merasa digantung kak. Kompromi dengan kata Amnesia membuat gue lelah kak.” Erza menarik napas lalu menatap Reno yang siap mendengar rahasianya.        “Tapi bukan berarti gue gak sayang sama Nanda. Gue sayang kak. Waktu dia nembak gue, gue gantungin selama seminggu. Selama itu gue mikir, mencari apakah gue ada rasa sama dia, sekecil apapun. Ketika gue menemukannya, gue langsung bilang iya. Tanpa pernah gue sadari, kalo perasan sayang itu bukan sebagaimana sayang seperti gue ke Putra. Gue merasa bodoh kak. Merasa seperti ikan yang lihat umpan menggantung di kail lalu menyambarnya tanpa memikirkan bahwa itu akan menyakiti mulutnya.” Tutupnya.


Reno terdiam sesaat. Tak menyangka hubungannya seribet ini. “Lo pacaran sama Nanda berapa bulan? Setahun kan?” Tanyanya dan Erza mengangguk. “Selama itu... apa yang lo rasain? Bahagia? Atau sakit?” Lanjutnya yang membuat Erza terdiam lama lalu bersandar di dinding dan mengambil pigura yang fotonya bersama dia dan Putra waktu di Jogja dan mengelus penuh sayang. “Pada awalnya, gue senang kak. Gue merasa bisa lepas dari Putra. Walau awalnya harus nangis dulu karna Putra gak terima keputusan gue. Tapi... semakin lama waktu berjalan, gue merasa sakit kak. Gue selalu nyalahin diri kenapa harus terima Nanda kalau selama setahun ini, apapun yang gue lakukan sama dia, bukan seperti gue lakuin sama Nanda, tapi sama Putra. Putra udah jadi bayangan gue kak.”

            “Terus? Setelah lo rasain ini, apakah lo pengen lanjutin atau ingin mengakhiri dek?”

            “Jujur, gue pengen banget mengakhiri kak. Tapi gue gak pengen nyakitin Nanda lebih dalam lagi. Dia terlalu baik kak. Dan gue jahat banget mutusin cowok sebaik dia. Tapi ... gue gak tahan lagi kak.” Erza menghela napas dan merasakan ada sedikit lega dalam hatinya karna bisa mencurahkan apa yang dia rasakan selama setahun ini yang turut andil menambah bebannya.

            “Gue boleh ngasih saran?” Tanya Reno setelah lama terdiam dan Erza mengangguk.
“Saran gue sebagai sepupu lo dan orang yang tau perasaan lo sekarang, mending lo putus dek sama Nanda. Gue tau itu berat. Tapi harus lo lakuin karna semakin jauh lo akan melangkah, semakin susah lo lepas Za. Lo boleh sekarang pacaran sama dia dan terima lamaran dia dengan alasan gak tega nyakitin. Tapi lo bahagia gak?” Tanya Reno dan Erza menggeleng lemah. “Enggak kan? Apa artinya menjalani suatu hubungan kalau salah satu dari kita merasakan sakit? Hubungan itu saling mencintai, bukan merasa ada yang tersakiti, Za.” Reno memberi penjelasan panjang lebar dan Erza hanya bisa mengangguk membenarkan.
“Gue gak yakin bisa lakuin itu kak,”
            “Kalo lo gak siap, kapan lagi? Lo gak mungkin kan terima terus ajakan dia? Erza... lo baru aja nyakitin diri lo sendiri karna dia yang sama sekali gak tau apa-apa soal ini. Dan lo juga nyakitin Putra. Cowok yang lo sayang. Pikirkan apa perkataan gue, dek. Semua ada ditangan lo. Lo yang memulai, dan lo juga yang harus tau dimana mengakhirinya.” Tutup Reno sambil mengacak rambut Erza.

           
            Erza hanya diam. Memikirkan ucapan Reno dan tersenyum. “Iya kak. Makasih yah udah dengarin curhat gue.” Ucap Erza tulus sambil mencium pipi Reno sebagai ucapan terima kasih.

“Sama-sama dek. Udah, sekarang lo tidur deh.” Perintah Reno sambil menyelimuti Erza dan menyalakan lampu tidur kemudian keluar dari kamarnya.

            Di temaram lampu, Erza menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kenangan demi kenangan tentang Putra yang dia simpan sebagai pelipur laranya, sebagai penutup hari saat dia tertidur.

“Kau nyatakan cintamu
Namun aku takkan pernah bisa

ku takkan pernah merasa
rasakan cinta yang kau beri
kuterjebak di ruang nostalgia.”



*Raisa – Ruang nostalgia*




҈҈҈҈҈҈҈


Seminggu setelah curhat dengan Reno, Erza tak lagi membahas masalah ini dengan sepupunya. Dan Reno pun tak bertanya. Karna baginya, memberi saran sudah cukup. Sisanya, tinggal Erza yang memilih apa yang terbaik untuknya.
           
“Pagi Za...” Sapa Reno ketika melihat Erza buru-buru turun dari kamarnya dan langsung duduk disampingnya sambil mengambil roti dan selai.
            “Pagi kak....” Balas Erza sembari menyelai rotinya dengan selai coklat lalu memakannya.
           
            “Nanda kapan datang Za?” Reno membuka percakapan dan membuat Erza menghentikan sarapan paginya.
            “Gak tau... katanya sih besok malam. Kenapa?”
            “Lo jemput?”
            “Enggak kak. Dia gak minta.” Erza menjawab singkat sambil buru-buru menghabiskan roti gandumnya.

            “Kabar Putra gimana?” Erza langsung berhenti makan dan bertopang dagu ketika mendengar pertanyaan Reno.
            “Yaaa...Kami jarang ngobrol sekarang. Bukan jarang lagi, gak pernah malah. ” Jawab Erza lesu sambil teringat percakapan terakhir mereka ditaman yang jauh dari suasana romantis.

            Melihat Erza lesu, Reno memutuskan untuk menyimpan pertanyaan selanjutnya dan melanjutkan sarapannya dengan diam.

“Mbak Erza... ada yang nyari tuh. Cowok.” Mpok Ijah buru-buru menghampiri Erza yang asyik makan. Membuat gadis itu mengerutkan keningnya.
            “Siapa Mpok?” Erza menghentikan sarapannya dan menatap Reno yang menjawab dengan mengangkat bahu.
            “Gak tau Mbak. Cowok, ganteng banget deh. Katanya sih mau bareng mbak kuliah.” Jelas Mpok Ijah sambil tersenyum malu-malu ketika teringat wajah cowok yang sempat mencuri hatinya itu.


            “Putra?” Erza kelepasan bertanya dan membuat Reno tersenyum penuh arti.

Mpok Ijah menggeleng kuat-kuat. “ Bukan mbak. Kalo Putra mah, udah Mpok bilang daritadi. Kan Mpok pernah liat dia.”

“Seharusnya gue tau itu bukan Putra. Wong ama diri gue sendiri aja dia lupa, apalagi ama alamat rumah gue?” Erza membatin lesu.

“Yasudah Mpok. Erza keluar dulu yah.” Putusnya sambil meninggalkan meja makan diikuti oleh Reno dibelakang yang penasaran akut siapa yang menjemput sepupunya.



“Nanda?” Erza berseru kaget ketika berada didepan pintu, Nanda berdiri didepan ntah mobil siapa sambil melipat kedua tangannya didada dan tersenyum kearahnya.
            “Pagi sayang..” Sapa Nanda ramah dan tertawa melihat ekspresi bloon Erza.
            “Kok... kamu ada disini sih? Bukannya besok malam baru datang? Kok...” Erza tak habis pikir dengan Nanda yang sekarang ada didepannya, tersenyum.

            “Aku sengaja bilang begitu buat ngasih kejutan aja. Hahaha...” Tawanya yang membuat lengannya dicubit Erza dengan gemas.
            “Jahat banget deh! Nand, aku kuliah pagi ini. Dan kamu kecepetan ngajak jalannya.”

            “Aku tau kok. Aku pengen ngantar kamu kuliah.”
            “Beneran? Aku ma kak Reno aja deh. kamu kan masih capek. Baru kemaren datang.” Tolak Erza secara halus.

           
“Enggak sayang. Kalo liat kamu, pasti gak akan capek lagi kok. Malah aku ingin selama ada disini, bisa antar jemput kamu kuliah. Kan sekalian jalan.”
            “Aku gak mau repotin kamu. Kamu kan datang kesini bukan untuk jadi sopir pribadi aku, Nand.”

           

Nanda tersenyum lalu meletakkan tangannya di pipi kiri Erza lalu dielusnya. “Sayang... aku merasa gak direpotin kok. Kamu kan calon tunangan aku... Eh... pacar aku maksudnya.” Ralatnya ketika melihat wajah Erza kalut mendengar kata “Tunangan”
           
“Gimana kak?” Erza menoleh kebelakang, meminta persetujuan Reno yang sedari tadi menjadi obat nyamuk mereka.
            “Gue terserah lo aja Za. Mau bareng pacar lo, silahkan. Mau sama gue, ya gak papa.” Reno menjawab dengan senyum penuh arti ketika melihat wajah Erza yang kalut.

            “Yasudah deh. aku ambil tas dulu yah.” Erza langsung masuk dalam rumah untuk mengambil perlengkapan sementara Reno mengajak Nanda ngobrol.

            “Udah siap sayang?” Tegurnya ketika melihat Erza balik dengan tas dan buku ditangan sambil tersenyum.
            “Yup. Gue duluan yah kak. Bye.” Pamitnya sambil masuk dalam mobil Nanda dan melambaikan tangannya.

            Reno pun membalas lambaian tangan Erza ketika mobil itu semakin menjauh meninggalkan rumahnya dan dia masuk kembali sambil menggendong kelinci Erza yang baru saja lewat didepan kakinya untuk makan bareng.


ѼѼѼѼѼѼ


            “Kenapa kamu ngajak tunangan mendadak begini, Nand?” Erza membuka percakapan setelah setengah jam hanya duduk sambil melihat kemacetan.
            “Macet banget yah Jakarta. Ampun deh.” Nanda mengalihkan pembicaraan karna sedang tak ingin membahas masalah seperti ini disaat macet.

            Erza hanya diam dan menghela napas ketika mobil mereka terhenti di lampu merah. “Kalau kamu gak jawab pertanyaanku atau mengalihkan pembicaraan, aku turun nih.” Ancamnya sambil siap-siap membuka pintu.

            Nanda langsung memegang tangan kanan Erza yang siap membuka pintu mobil. “Nanti aku jelaskan.”
            “Aku mau sekarang, Nand.” Tuntutnya.

            Nanda memilih diam dan memegang tangan Erza posesif agar gadis itu tak lompat keluar mobil karna ngambek. Erza memilih menatap luar jendela daripada menghiraukan Nanda yang mengajaknya ngobrol sambil menggenggam erat tangannya.

            “Kamu marah?” Tanya Nanda ketika dia menepikan mobilnya dekat lapangan Bola. Nyerah menghadapi sifatnya.
            “Aku hanya ingin kejelasan. Kenapa?” Erza masih tak ingin menatap Nanda dan melihat sekelompok anak kecil asyik menendang bola. Dan merasa nasibnya seperti bola yang ditendang anak kecil itu. Ditendang kemana-mana tanpa arah.

            Nanda menyentuh dagu Erza pelan dan dtolehkan kearahnya. “Sayang... aku tak ingin main-main kali ini. Aku serius sama kamu.”
            “Tapi ini kecepetan, Nand! Kamu pikir tunangan itu seperti kamu ngajak pacaran? Keluarga kita akan terlibat lebih jauh dari ini! Dan kamu pikir aku gak serius selama setahun ini?!”

            “Sayang... dengarin aku dulu.” Nanda menenangkan Erza yang emosi karna keputusannya yang dianggap terlalu labil. “Aku mikirin semua yang kamu ucapin. Aku sayang sama kamu, Za. Saking sayangnya, aku rela kesini selama seminggu agar bisa bersama kamu. Aku tau waktu kita sangat kurang, makanya aku ke jakarta untuk ketemu kamu dan melihat apa yang selama ini tidak aku ketahui dari kamu. Aku tak ingin kamu pergi kemana-mana, Za. Itu alasanku.”

            “Tapi Nand... aku gak bisa jawab sekarang. Terlalu banyak pertimbangan.” Erza menunduk. Tak berani membalas tatapan teduh Nanda yang serasa menusuknya.

            “Aku tau. Makanya aku gak maksa. Yang jelas, kamu bersama aku saja, aku sudah sangat bahagia, Za. Don’t leave me, dear.” Nanda mengucapkannya penuh tulus dan mengecup kening Erza kemudian memeluknya erat. Seolah dia tak ingin gadis itu pergi meninggalkannya, walau sebentar saja. Perlakuan Nanda membuat Erza ingin menangis saat itu juga saking kalutnya.
            “Oh Nand... please jangan semakin buat gue merasa bersalah dengan perlakuan lo!” Erza menjerit dalam hati.

            “Aku gak akan kemana-mana sayang,” Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Nanda yang mendengar hanya tersenyum lalu melepas pelukannya dan mencium pipinya “Aku tau,” Nanda mengangkat wajah Erza yang menunduk dan menatap tepat di manik matanya. Mencari apa yang selama ini disembunyikan gadis itu dibalik mata coklat terangnya itu.

            “Nand... sampai kapan kamu natap aku seperti itu?” Erza menegurnya karna risih dengan jarak wajahnya dengan Nanda semakin dekat. Membuatnya tersadar dari lamunan dan tersenyum. “Sampai aku menemukan jawaban kenapa aku suka sama kamu dan ingin menatap mata indahmu itu. I like your eyes, darling.” Akunya yang membuat Erza tersipu.
            Nanda mengacak rambut pacarnya dengan sayang lalu dia menjalankan mobilnya. Melanjutkan perjalanan menuju kampus.


͓͒͒͒͒͒͒͒͒͒͒͛͜͜͞͠͡

            “Silahkan lewat tuan putri,” Nanda membungkuk sambil membukakan pintu mobil untuk Erza ketika mereka sudah tiba dikampus. Membuat Erza tertawa namun menyambut tangan Nanda.
            “Apa-apaan sih. Malu-maluin tau,” Erza memukul pundak Nanda pelan dengan wajah merona. Membuat Nanda mencubit pipinya.
            “Aduh... pacarku kok jadi tambah cantik dengan pipi merona gitu. Jadi pengen godain lagi deh.” Goda Nanda dan membuat pipinya semakin merona.

            “Auk ah gelap,” Ucapnya sambil memalingkan wajahnya kearah lain.
           
            “Cieee... yang lagi digodain pacarnya.” Goda seseorang dibelakang mereka. Membuat Erza dan Nanda spontan menoleh dan gadis itu serasa ingin ambruk seketika ketika melihat siapa yang menggodanya.

            Selvi menggandeng Putra dengan mesra dan tersenyum penuh bahagia. Membuat kaki Erza merasa ingin membawa tubuhnya pergi meninggalkan tempat ini selagi mereka berjalan menghampirinya, siap-siap memberikan luka baru dihatinya.

“Hei... selamat bertemu lagi...
aku sudah lama menghindarimu
sialkulah kau ada disini.

sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernapas lagi
tegak berdiri didepanmu kini.”


“Pacar baru lo, Za?” Selvi mendekati mereka sambil merangkul Putra semakin erat. Sedangkan cowok itu lebih memilih menatap kearah lain daripada menatap Erza yang sukses membuat hati dan akal sehatnya amburadul.

            Erza tak tau harus ngomong apa. Mulutnya mendadak kelu untuk mengatakan sebenarnya. Dihadapannya. Dia memilih untuk mengaku hamil diluar nikah didepan teman-temannya daripada mengatakan yang sebenarnya dihadapan Putra. Cowok yang sukses menjadi bayangannya, dan juga menjadi pihak yang menyalahkan keputusannya.
           
sakitnya, menusuki jantung ini
melawan cinta yang ada dihati.”

“Iya... kami pacaran selama setahun. Lo pacarnya Putra yah?” Nanda berinisiatif menjawab pertanyaan Selvi dan merangkul Erza dengan mesra.

            Selvi tersenyum puas mendengarnya. Saingannya berkurang satu. Dialah pemenangnya. Begitu pikirnya. Kemudian dia mengelus wajahnya sendiri di lengan Putra, persis seperti kucing yang minta dimanja majikannya.. “Iya... wah selamat yah Za. Seneng gue dengarnya sebagai temen.” Selvi mengucapkannya penuh ketulusan tak dibuat-buat. Membuat Erza hendak muntah mendengarnya.

           
“Teman dari mana? Lo bisa gak gausah rangkul Putra erat gitu?! Gue cemburu woy!”
           
Erza hanya tersenyum singkat sebagai balasan ucapan tulus Selvi. Lalu matanya menatap Putra yang rupanya memperhatikannya daritadi dan dia langsung menatap Nanda yang ikut memperhatikannya. “Za... aku pulang dulu yah. Bye Put, Bye Sel. Jagain pacar gue yah.” Pamit Nanda sambil menarik Erza kepelukannya dan mencium keningnya. Sebagai ucapan perpisahan. Erza hanya diam mematung. Tak memberikan reaksi.

Dan, upayaku tahu diri
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
takkan pernah kita bisa bersama.”



“Sip Nand.. hati-hati yah.” Ucap Putra tersenyum lalu menatap Erza sekilas dan menoleh kelain.

            Nanda hanya mengacungkan jempolnya dan masuk dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan kampus.

            “Aku masuk dulu yah. Bye Sel, Bye Za.” Putra mengucapkan itu tanpa menatapnya. Dan Erza menatap Putra berjalan meninggalkannya dengan tatapan sedih. Selvi langsung meninggalkan Erza tanpa pamit dan menyusul Putra.

“Pergilah... menghilang sajalah, lagi.”

           
*Maudy Ayunda – Tahu diri.*


˹˺˹˺˹˺˹˺˹˺˹˺


            “Za...” Tegur seseorang ketika Erza baru saja keluar dari kelasnya bersama temannya. Dan gadis itu langsung menoleh kebelakang untuk melihat siapa yang manggil.

            “Kenapa kak?” Erza bingung melihat Reno tumben-tumbenan menghampirinya.
“Lo pulang sama Nanda kan hari ini?”
            “Gue gak ada janji pulang bareng dia kak. Jadi gue pulang sama lo aja deh. kenapa?” Erza balik bertanya.


“Eummm... gimana ngomongnya yah?” Reno menggaruk kepalanya tak gatal dan menatap Erza yang siap mendengarkan omongannya. “Lo sama Nanda aja deh. gue ada urusan dek. Hidup mati nih kalo diabaikan. Yah...yah...”

            “Yah...yah... kok gitu sih kak?! Gak seru dong kalo gitu ceritanya!” Erza merajuk dan melipat kedua tangannya di dada. Tanda ngambek. Membuat Reno tertawa.
            “Sorry dek... tapi gue lagi ada sesuatu yang gak bisa gue tinggal. Lagipula, lo aneh deh. masa gak mau pulang ma pacar sendiri? Kan dia gak bakal lama di Jakarta. Jadi sebagai pacar yang baik dan setia, lo temanin dia jalan gih.” Bujuknya sambil mengedipkan mata penuh permohonan. Membuat Erza tak tega.

            “Iyee...iyee... gue nelpon Nanda deh. Emangnya lo mau kemana kak jadi buru-buru gitu?”
            Reno senyum-senyum malu sambil menggaruk kepalanya tak gatal. “Gue mau pedekate sama cewek dulu. Kalo sukses, gue kenalin deh. hahaha... bye sepupu gue tersayang,” Ucap Reno lalu pergi sambil bersinandung riang meninggalkan Erza yang geleng-geleng melihat tingkahnya.


            “Dasar sepupu labil! By the way, siapa cewek yang ketiban sial digebet kak Reno yah?” Erza ngomong pada dirinya sendiri sambil mengambil ponsel dari tasnya dan mengetik beberapa kata untuk Nanda. Minta jemput.



^_^_^_^_^_^_^


            “Udah lama sayang nunggunya?” Tanya Nanda ketika Erza masuk dalam mobilnya dan memasang sabuk pengaman.
            dia menggeleng. “Enggak kok.”

            Nanda hanya tersenyum lalu menjalankan mobilnya meninggalkan kampus.

            “Kita kemana sayang?” Tanya Erza ketika Nanda berkonsentrasi penuh membawa mobilnya.

            “Ntar juga kamu tau sayang,” Nanda membiarkan Erza berpikir sendiri mereka akan kemana ditengah melajunya mobil menuju luar Jakarta.

           


“Tunggu.... Kamu ngajak aku ke SMP ceritanya?” Erza kaget ketika mereka memasuki komplek SMPnya di Bandung. Membuat Nanda nyengir.

            “Kamu pinter ternyata. Iya... udah lama aku pengen ke SMP bareng kamu. Tapi waktu itu kan kita gak berhubungan lagi. Jadi ku pendam aja keinginan itu. Sekarang aku senang bisa mewujudkannya, sama kamu, sebagai pacarku.” Jelas Nanda sambil menatap Erza yang menundukkan wajahnya.

            “Segitu sayangnya kah lo sama gue Nand? Gue serasa jadi cewek paling jahat sedunia karna selalu nyakitin perasaan lo tanpa pernah lo sadari.” Batin Erza.

            “Aku gak tau harus ngomong apa Nand,” Ucap Erza dengan wajah menunduk ketika mobil mereka memasuki halaman SMP.
            “Kamu gak usah ngomong apa-apa. Cukup disampingku saja udah lebih dari cukup, Za.” Ucap Nanda tulus sambil mendongkakkan wajahnya dan tersenyum.

            “Turun yuk. Siapa tau ada yang berubah pas kita lulus,” Ajak Nanda sambil turun dari mobil terlebih dahulu diikuti Erza dan mereka bergandengan tangan selama mengelilingi sekolah. Tak terlepaskan.




            “Gimana? Ada yang berubah?” Tanya Nanda ketika mereka nongkrong di warung Es kelapa setelah satu jam tour dadakan mengelilingi sekolah mereka. Mencari potongan-potongan kenangan dan tertawa bersama. Menertawakan kekonyolan mereka.

            Erza asyik minum pesanannya dan bertopang dagu sambil menatap tembok sekolah. “Ada. Kantinnya lebih banyak kayaknya. Seharusnya kita datang agak siang Nand. Kan enak sekalian kuliner. Hahahaa...”
            “Hahahaha... otakmu tak bisa jauh dari makanan ternyata yah. Iya juga sih, ntar deh kalo ada waktu kita mampir lagi pas jam sekolah. Gimana?”
            Erza mengacungkan jempolnya dan meminum esnya lagi. Nanda menatap ekspresi pacarnya sambil bertopang dagu. Erza yang sadar dilihatin, menatap Nanda dengan ekspresi bingung dan salah tingkah. “Kenapa sih liatin aku mulu? Malu nih.” Ucapnya sambil menutup wajahnya sendiri.

            “Emangnya salah liatin pacar sendiri?” Nanda balik bertanya.
            “Ya gak sih.. tapi... Auk ah gelap,” Erza menjawab cuek sambil menatap sekeliling warung.

“Kayaknya ada yang kurang deh.” Ucapnya sambil mengerutkan kening. Tanda berpikir.

“Apa?”

“Orang gila yang sering kamu ajak ngobrol kemana yah? Kan kamu anaknya Nand,” Erza tertawa melihat ekspresi manyun Nanda karna dibilang anak orang gila.

“Kalo aku anak orang gila, kamu siapa aku dong? Kan sebentar lagi kita...” Nanda sengaja menggantungkan kalimat terakhir dan membuat Erza tau apa maksudnya, terdiam.

“Kita apa?” Pancingnya.
“Kita nikah?” Nanda menjawabnya dengan nada bertanya. Membuat Erza menyesal kenapa jadi memancing Nanda dengan pertanyaan bikin kalut  seperti itu.



“Teralu dini kamu mikir kayak gitu, Nand. Udahan yuk sayang. Udah sore nih. Ntar kak Reno ngamuk lagi aku pulang malam-malam sama kamu,” Erza langsung berdiri dari duduknya. Membuat Nanda kaget dan langsung membayar pesanan mereka dan berjalan berdampingan menuju mobil untuk pulang ke Jakarta.

           
͌ ͋ ͋ ͋ ͋ ͌ ͌ ͋ ͋ ͌


“Jam berapa sekarang?” Tanya Nanda ketika hari sudah mulai gelap dan mereka terjebak kemacetan total ketika memasuki kota Jakarta.

“Jam 8 malam.” Erza melirik jam tangannya dan menatap kendaraan yang senasib dengan mereka. Terjebak ditengah kemacetan.
“Mau makan sekarang?” Nanda menawarkan singgah ketika melihat warung sate dipinggir jalan. Mau tak mau membuat Erza teringat ketika bersama Putra keliling Bandung naik sepeda, mereka mampir di warung pinggir jalan. Dan dia sempat tersenyum sebelum menatap Nanda.
“Kamu mau makan?” Erza bertanya balik.
            “Gak sih. Aku masih kenyang,” Tolaknya.
“Yasudah...” Jawabnya dan keadaan pun hening. Nanda memilih konsen membawa mobilnya dengan selamat dan Erza lebih memilih melamun sambil melihat kendaraan disekelilingnya berjalan seperti semut berbaris.


“Akhirnya... nyampe juga...” Nanda mengucap syukur ketika tiba dirumah Erza dengan selamat. Membuat gadis itu tersenyum manis.
            “Makasih yah sayang udah antar aku pulang dan ke Bandung untuk reunian SMP.”
            “Sama-sama sayang. Masuk rumah gih sekarang. Udah malam. Ntar aku diomelin kak Reno lagi terus gak dibolehin lagi jalan sama kamu. Kan ribet.” Nanda mencoba bercanda dan Erza tertawa.
            “Kak Reno gak bakalan begitu kok. Yasudah. Hati-hati yah,” Ucapnya sambil turun dari mobil Nanda. Namun tangannya ditarik membuat Erza menoleh.
            “Kenap...” Erza belum selesai bertanya, tau-tau Nanda menciumnya dengan penuh lembut. Tak seperti sebelumnya, bikin susah napas.

“Love you sayang,” Ucap Nanda melepas ciumannya dan menghisap bawah bibir Erza hingga gadis itu menarik napas tertahan dan tersenyum ketika wajah Erza mulai memerah malu dan masih ada kekagetan dengan aksi spontannya tadi.

            “Love you too,” Balasnya sambil mencium pipinya dan keluar mobil tanpa berkata apa-apa lalu melambaikan tangan sebentar sebelum dia masuk dalam rumah. Meninggalkan Nanda yang tersenyum dalam mobil sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna putih dan membukanya lalu mengambil dua buah cincin putih berinisial E untuknya dan N untuk Erza. Kemudian dia menutupnya dan memasukkan dalam handle dashbord agar tak hilang dan menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Erza.




            “Kemana aja lo seharian Za?” Tanya Reno membukakan Erza pintu dan gadis itu langsung lari kedapur untuk minum.
            “Kemana aja yah...” Erza terlihat berpikir agar Reno semakin penasaran kemudian tertawa. “Lo kenapa sih pengen tauuuuu... aja. Seharusnya gue yang nanya, kemana aja kakak seharian sama cewek misterius itu sampai rela ga bareng gue pulang!” Erza langsung memanyunkan mulutnya ketika teringat siang tadi dan Reno nyengir.
            “Sini gue ceritain dulu...” Reno merangkul Erza ke meja makan lalu bercerita. “Gue naksir sama sahabat lo, si Eva dari lama. Tapi baru bisa gue dekatin sekarang. Jadi... tadi gue seharian ke museum terus ke TMII dan Monas sama dia.”
            “Ke Museum? TMII?! Monas?! Lo serius kak?! Lo naksir sama Ratu Mall se-Jakarta kak! Bukan pecinta sejarah! Wah...” Sahutnya kaget.
“Gue tau...  tapi dia have fun aja kok. bahkan roll kamera gue habis foto dia doang tadi itu. Hahahaha...” Reno tertawa ketika rollnya habis karna disikat Eva yang selain Ratu mall, juga Ratu narsis karna tak bisa liat kamera nganggur.


            “Hahahaha... Eva suka ke Museum? Mendadak pening kepala gue kak,” Erza gak habis pikir sahabatnya bertranformasi dari ratu mall menjadi ratu sejarah dalam waktu sehari.

            “Gue gitu looo...” Reno membanggakan dirinya dengan menepuk dada. Lalu wajahnya berubah serius. “Eva itu kayak gimana sih orangnya?”
            “Seperti yang sering lo liat dikampus kak. Heboh sendiri.  Hahaha.. akhirnya... sepupu gue bisa naksir cewek juga. Sahabat gue pula!”

Reno ikut tertawa. “Gimana jalan-jalan lo dengan Nanda tercinta?” Tanyanya dan membuat tawa Erza terhenti dan ekspresi wajahnya seperti melamun.


            “Kami tadi keliling Bandung terus sempet lirik SMP kami kak. Siapa tau ada yang berubah.”
            “Gitu doang? Gak jalan kemana gituuu?” Reno takjub mendengarnya. Seharian jalan yang dikunjungi hanya tempat untuk mengingat masa lalu.
            “Emang lo mau gue jalan kemana lagi? Itupun gue buru-buru minta pulang karna takut lo ngomel kak!”
            “Sejak kapan gue ngomelin lo pulang telat dek?” Reno bertanya sambil menatap Erza lekat. Membuat gadis itu salah tingkah.
            “Gak pernah sih... tapi.. kan siapa tau lo berubah jadi galak.” Erza menjawab sambil menggigit bawah bibirnya ketika Reno semakin mendekatkan wajahnya dan puncak kepalanya dipegang.
            “Lo mencoba hindarin dia?” JLEB! Pertanyaan pas nusuk dihati Erza. Membuatnya terdiam.
            “Kenapa lo tau kak?”
            “Mata lo cerita semuanya apa yang gak lo ungkapin,” Reno melepas pegangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Erza. Membiarkan sepupunya rileks.
“Iya kak... dia sayang banget sama gue,”
            “Gue tau itu sebelum lo sadar, dek.” Reno menjawab kalem.
            “Gue harus gimana? Gue gak tega mutusin dia kak. Karna... gue juga sayang sama dia. Walau... sedikit,” Erza terdiam ketika kalimat terakhir itu meluncur dari mulutnya.
            “Semua keputusan ada ditangan lo, dek. Gue gak bisa ikut andil dalam hal ini. Gue Cuma bisa kasih saran, sisanya lo yang milih. Apa yang lo lakukan sekarang, lo pasti tau akibatnya kan?” dan Erza mengangguk berat.
           
            Melihat keadaan sepupunya yang kacau, membuat Reno tak tega mencerocoki lebih dalam lagi. “Lo istirahat aja deh. udah makan belom? Gue lagi masak tuh,” Tawarnya.
            “Lo masak? Serius?” Erza takjub untuk kedua kalinya. Sepupu yang ajaib, pikirnya.
            “Lo kenapa sih Za? Kaget mulu! Kayak gue aja ngumumin apa gitu!” Reno jengkel dengan ekspresi terkejut Erza.


            Erza tertawa mendengarnya. “Gak sih... habis takjub aja seorang Reno Adrian Saputra, sepupu gue, naksir sama sahabat gue yang rada ajaib dan bisa masak! Lo belajar masak dari siapa kak?”
            “Gue belajar sendiri dong! Masakan hangus, makan sendiri. Daripada lo, makanan hangus, lempar ke bak sampah. Lo sendiri bisa masak apa adekku sayang?” Reno bertanya balik dengan seringai mengejek. Membuat Erza ingin menonjoknya kalau tak ingat bahwa mereka sepupu.
            “Gue bisa masak mie goreng doang sih. Tapi... biarpun begitu, yang suka sama masakan gue banyak!” Erza menyombongkan dirinya.
            “Siapa coba yang suka? Palingan kepaksa doang,”

           
“Putra! Dia suka masakan gue! Kenap..” Erza terhenti dan membelalakkan matanya ketika nama Putra meluncur bebas dari mulutnya tanpa rem. Membuat Reno tersenyum.
            “Putra yah?” Godanya membuat Erza kikuk.
            “Ah... Tau deh gelap!” Elaknya dan langsung lari kekamar sebelum dia keceplosan lebih banyak lagi.

           
Reno yang melihat tingkah adek sepupunya, tersenyum simpul “Tanpa perlu gue turun tangan, lo sudah memilih, Za.” Gumamnya dan bergegas lari kedapur ketika mencium ada yang bau hangus.


˻˺˹˼˹˼˺˻˺˹˼


            “Bisa masak kok hangus kak?” Erza melanjutkan sesi ledek-meledek ketika dia turun kamar setelah selesai mandi, mencium bau hangus dan melihat telur mata sapi hasil masakan kakaknya tersaji rapi dimeja makan, menjadi sehitam arang. Diiringi dengan bau nasi goreng yang baunya membuat Erza membayangkan akan langsung masuk rumah sakit apabila memakannya.

           
“Yang penting gue masak,” Reno menjawab dengan mulut penuh karna mie goreng bikinan Erza yang harus dia akui, lezat.
            “Masak walau hangus. Pada akhirnya, lo makan masakan gue,” Erza tersenyum penuh kemenangan karna Reno tunduk padanya.
            “Iye.. gue kalah. Puas lo dek?” Reno mengaku kalah dan dalam hati akan membuat Erza tunduk padanya dengan masakannya yang agak waras.
            “Banget!” Erza menjawab penuh semangat dan mata berbinar. Membuat Reno yang meliriknya, nyengir.

            “Eva bisa masak kan Za?” Reno bertanya dengan nada was-was. Kalau sampai gadis pujaan hatinya gak bisa masak, habislah.
            “Bisa kak. Cuma sama aja kayak lo, hobi hangus. Kayaknya kalian jodoh deh. Lo kenapa kak jadi nanya kayak gitu? Kayak mau nikah aja.”
           
           
“Kalo Putra?” Reno tak mempedulikan ledekan Erza. Dia hanya ingin melihat ekspresi Erza ketika nama Putra disebut.

            Sesuai perkiraannya, Erza terdiam dan memutar-mutar mie di garpunya. “Bisa... gak.. tau...” Jawabnya dengan wajah bertopang dagu dan menatapnya.
            “Nanda?”
            “Bisa... enak kok. gue pernah makan. Lo udah selesai makan kan? Sini piring lo, gue beresin,” Erza berdiri dari kursinya dan mengambil piring Reno lalu membawanya kedapur untuk dicuci. Meninggalkan Reno yang langsung mengontak seseorang untuk melaksanakan misinya.


“Kak... gue tidur dulu yah. Ngantuk nih,” Pamitnya setelah setengah jam bertapa didapur dengan alasan mencuci 2 buah piring yang diselingi dengan melamun.

Reno yang asyik menonton komedi, mengajak Erza duduk disampingya agar tertawa bersama untuk menghilangkan gundah dihati. Namun ditolaknya. Membuat Reno nyerah untuk membujuk. “Yaudah deh, have nice dream yah,” Ucapnya ketika Erza sudah berada ditengah tangga.

Erza hanya mengacungkan jempolnya walau tau Reno takkan melihatnya dan bergegas masuk kamar untuk tidur.


҈҈҈҈҈҈


Di tempat lain...

“Kita putus aja yah,” Ucapan itu bagai palu besar memukul batok kepalanya ketika Putra, cowok yang dia sayangi selama 4 tahun, memutuskannya ditaman tak jauh dari rumahnya. Andai dia tau begini, dia akan memberikan sejuta alasan untuk menolak ajakan Putra ketemuan malam-malam.

“Ken...napp..pa?” Suara yang keluar dari mulutnya terasa tersendat. Seolah-olah pasokan oksigen yang dia butuhkan mendadak habis.

Putra tak menjawab. Tatapannya kosong menatap jalanan yang sepi. Seperti hatinya, sepi walau ada yang berusaha mengisi. Dan Selvi, terdiam bagai menunggu vonis dipancung yang akan dilakukan beberapa detik lagi.


“Rasanya tak sama lagi, Sel.” Jawaban akhirnya keluar dari mulut Putra diantara banyaknya jawaban yang tersedia dikepalanya. Membuat Selvi bangkit dari duduknya dan berdiri didepan Putra yang matanya masih menatap jalanan sepi.

PLAK! Sebuah tamparan keras melayang di pipi kiri Putra bagai bunyi gong ditengah heningnya malam. Putra hanya diam. Tak berniat membalas apalagi menenangkan Selvi yang naik darah. Baginya ini sepadan dengan ucapannya tadi.

“Kenapa Putra?! Kenapa?! Jawab gue dengan alasan logis lo! Gue gak butuh jawaban abstrak lo!” Selvi berteriak didepan Putra. Habis sabarnya sudah. Dia hanya butuh jawaban,  bukan jawaban memancing pertanyaan selanjutnya.

“Perasaan gue gak kayak dulu lagi, Sel. Bukan berarti gue gak cinta. Bukan... hanya saja... berubah... menjadi perasaan gue ke teman-teman yang lain.”

“Kalo perasaan lo berubah ke gue, kenapa lo terima ajakan balikan gue Put?! Lo mau mainin gue?!” Selvi meradang dan hendak menempeleng Putra kalau saja tak ingat bahwa dihadapannya adalah cowok yang dia cintai mati-matian.

Putra berdiri dari duduknya dan memegang kedua pundak Selvi yang naik turun. Diikuti air mata yang terus mengalir bagai air bah di pelupuk matanya. Dan Putra mengusapnya dengan jemari tangannya. “Gue gak ada niat nyakitin lo, Sel. Gue nerima lo karna gue pengen mastiin, apa perasaan gue benar-benar mati untuk lo sejak karna kita sempat putus kemaren itu. Tapi... setahun gue jalanin sama lo, gue gak enak lagi dengan semua ini Sel. Gue gak mau mempertahanin lebih lama lagi tanpa perasaan apa-apa sama lo. Lo sayang sama gue, tapi gue... gak ada lagi, Sel.”

“Kenapa Put? Apa ada yang salah sama gue sampai perasaan sayang lo berubah gini? Gue sayang sama lo. Please... kita coba sekali lagi yah, gue akan buat lo sayang sama gue lagi, kayak dulu.” Selvi memohon dan menatap putra dengan bercucuran air mata. Baginya, biarlah dia bersama Putra walau tau cowok itu tak mencintainya. Karna, disampingnya pun sudah bersyukur.

Putra menggeleng. “Selama setahun, gue udah berusaha untuk mencari, apakah gue masih ada rasa sama lo. Tapi gak ada, Sel. Please... jangan paksa diri lo untuk sama gue yang gak bisa lagi sama lo.”

“Gue gak ada harapan lagi?” Selvi menatap lekat mata Putra dan menghela napas berat. Dia tau arti mata Putra. Penuh tekad kuat. Tanpa ragu.

“Sorry Sel. Gue gak mau nyakitin hati lo yang tulus sayang sama gue. Tapi gue gak bisa memberi balik.”

Sebuah perkiraan melintas dipikiran Selvi. Tanpa ragu dia mempertanyakannya. “Lo naksir cewek lain?”
“Kenapa lo mikir gitu?” Putra kaget dengan pertanyaan Selvi yang tepat
sasaran.
“I see in your eyes. Boleh gue tau siapa ceweknya?” Selvi bertanya dengan nada masih terisak pelan. Dan dia menata hati dan tubuhnya agar tak ambruk mendengar jawaban Putra.

“Gue gak mau jawaban gue bikin lo merasa cewek paling hancur didunia, Sel.” Putra berkata tegas dan berusaha memutuskan kontak matanya agar gadis didepannya yang baru saja menjadi mantannya 5 menit yang lalu tak bisa melihat isi hatinya dari matanya.

Selvi tersenyum singkat. Baginya, dia sudah tau jawaban dari pertanyaannya sendiri dan tak butuh konfirmasi Putra untuk meyakinkannya.
“Gue tau.”

“Lo mau gue antar pulang?” Tawar Putra ketika malam semakin larut, dan semakin sepi sedangkan gadis itu berpakaian minim.
Selvi menggelengkan kepalanya. “Gak usah. Rumah gue dekat kok. lo pulang dulu deh,” Selvi mengusir halus Putra yang cemas keadaannya.
“Yakin?” Putra tak yakin. Namun melihat tatapan Selvi yang berusaha meyakinkannya, dia menyerah. “Ok, gue pulang dulu. Take care yah.” Putra mencium pipi Selvi yang tak menghindar darinya sebagai perpisahan dan pergi meninggalkan taman dengan sepeda motor Ninja CBRnya.

Melihat Putra sudah jauh darinya, Selvi langsung terduduk dan menangis sepuasnya sambil meremas dadanya. Rasanya sakit sekali, andai boleh memilih, dia ingin mati daripada hidup dengan rasa sakit. Dia meremas rumput disekitarnya hingga tercabut dari akarnya, agar bisa mengurangi rasa sakitnya. Dia mencintai Putra, kenapa dia tak mendapatkan itu? Ingin sekali menuntut, tapi kepada siapa? Frustasi, Selvi duduk sambil menelungkupkan wajah dikedua lututnya. Dan dia menatap jalanan sepi dan langit malam yang menjadi saksi betapa sakitnya perasaannya sekarang. “Gue sayang sama lo, Putra! Tapi kenapa?! Kenapa lo gak bisa memberi itu ke gue?! Kenapa harus dia?! Dia yang seharusnya jadi masa lalu lo?!” Selvi berteriak dan memukul tanah dengan tangan terkepal. Sesak napasnya sekarang. “Ok, gue terima keputusan lo, Putra. Gue liat gimana usaha lo dekatinnya,  gue biarkan. Gue akan menjadi cewek yang ikhlas dengan keputusan lo. Tapi ingat, kalo gue gak bisa dapatin lo, jangan harap lo bisa milikin dia! Gue akan buat dia, ngerasain sakit apa yang gue rasa ke lo!” Selvi berkata geram sambil tersenyum sinis. Sebuah rencana hadir diotaknya. Dia menghapus air matanya dan bangkit berdiri.
“Lo gak tau siapa gue, Putra.”


                                                     ͏͏͏͏͏    ͏       


“Gimana?” Kathy kasak-kusuk di kampus bersama Arny cs di taman. Fokusnya teralihkan ketika melihat Erza baru saja datang diantar Nanda dan dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat betapa sayangnya Nanda dengan Erza. Membuat gadis itu terpikir untuk mendadak mundur tak ingin menjalankan misinya.

“Aku gak tega...” Kathy bergumam sendiri dengan tatapan ke arah Erza yang berjalan memasuki kampus, tak melihat mereka yang sedang rapat rahasia.
“Gak tega jalanin rencana yang lo bikin sendiri? Konsisten dong, Kath.” Eva menatap Kathy dengan tatapan menuduh. Dasar labil. Pikirnya.

Kathy menatap sengit Eva yang juga menatapnya. Sadar ada dua singa betina siap menghamuk, Reno dan Restu buru-buru turun tangan. “Sudah...sudah... Lo gak tega kenapa Kath?” Reno mengelus punggung Eva yang sudah menegang, siap tegang urat.
Kathy berusaha rileks ketika Restu membisikinya sesuatu. Dan dia mulai tenang kembali. “Rencana yang gue ceritain kemaren kak. Mendadak gak tega gue. Lihat Nanda segitu sayangnya dengan Erza, bikin gue ngerasa cewek paling jahat sedunia.” Keluhnya.

Arny yang sedari tadi diam, ikut bicara. “Gue tau apa yang lo pikirin Kath. Tapi ingat... lo gak berusaha buat Erza putusan dengan Nanda. Lo Cuma memberi celah agar dia bisa ngobrol dengan Putra lagi. Menjelaskan masalah mereka. Itu aja. Masalah kedepannya mereka putus atau gak, itu keputusan Erza. Bukan karna ide lo. Lagipula...” Arny terdiam dan menatap Kathy yang mendengar penuh antusias. “Gue setuju kok dengan ide lo. Udah lama sejak di Jogja itu gak liat mereka bareng. Gue kangen...”

Eva angguk-angguk mendengar penjelasan Arny. “Gue setuju tuh. Lagipula... lo tau gak Kath... Putra putus ma Selvi!” Eva mengucapkan penuh penekanan di kalimat terakhir. Membuat mereka yang mendengar, kaget.

“Lo dengar dari siapa?! Jangan ngarang lo!” Kathy paling shock diantara yang lain. Secara dia Sepupu Putra, 24 jam ketemu, paling menentang Putra dengan Selvi, malah gak tau kabar ini.
Eva mendengus jengkel mendengar ucapan Kathy. “Gue dengar sendiri kemaren Selvi curhat ama gengnya kalo mereka putus 6 hari yang lalu! Dia cerita ajak Putra balikan, tapi gak pernah sukses. Putra pengen jadi teman doang. Emang dia gak cerita sama lo, Kath? Lo kan serumah ma dia?”

Kathy mengingat-ingat kejadian sebelum-sebelumnya. Lalu dia menjentikkan jarinya. “Gue ingat! Kak Putra pernah keluar malam-malam naik motor. Padahal dia gak pernah keluyuran naik motor. Pas gue tanya mau kemana, dia cuma jawab “Urusan hidup mati,” Gitu doang. Wah... asek dong mereka putus!” Kathy melonjak kegirangan dan tersenyum bahagia ketika Erza, baru keluar kampus.

“Gue nyamperin Kak Erza dulu yah, bye...” Pamitnya sambil berlari menghampiri Erza.
“Pacar lo kayak anak kecil yah, Res.” Ejek Rico geli ketika melihat Kathy bercerita penuh semangat dengan wajah penuh ekspresi pada Erza yang cenderung tenang. Membuat Restu yang memperhatikannya, nyengir.
“Iya... tapi gue sayang.” Restu menatap Kathy penuh sayang.

“Yah...yah... Ikut aja yah kak, gue pengen lo ikut kak, please...” Bujuk Kathy agar Erza menganggukkan kepalanya setuju.
“Tapi... tanpa Nanda?” Erza balik bertanya mendengar ide Kathy yang mengajaknya ke Dufan bareng karna dia merayakan anniversary 5tahun dengan Restu. Bersama yang lain.
Kathy mengangguk semangat. “Iya kak. Sesekali deh lo lepas sama dia. Gue kehilangan lo, kak. Please...” Kathy menatapnya penuh harap. Penuh wajah memelas, persis seperti dia lakukan apabila ingin sesuatu dari Tasya, kakaknya dan Putra.

Erza terlihat berpikir, lalu tersenyum. “Ok deh. demi lo deh. daripada acara batal total karna gue gak ikut,” Dan Kathy langsung memeluk erat. “Thanks kak. Gue tunggu yah. Bye...” Kathy tersenyum dan bergegas lari lagi menghampiri mereka sambil mengacungkan jempolnya. Membuat mereka yang melihat kode itu, tersenyum.
“Dasar si Kathy,” Hanya itu yang diucapkan Eva sambil menggelengkan kepalanya.

Erza berjalan menghampiri mereka yang memanggilnya sambil mengirim sms kepada Nanda untuk memberitahu kemana dia pergi lengkap dengan tujuannya. Nanda langsung membalas smsnya dengan bilang hati-hati.


Asyik cekikikan dengan mereka sambil duduk mengelilingi meja taman, tiba-tiba Putra lewat tanpa melirik mereka. “Woy... Putra! Sini bro!” Teriak Restu ketika melihat Putra lewat didepan mereka. Membuat Erza menoleh dan bertatapan sebentar sebelum saling memalingkan wajah.
  Putra menghampiri mereka dan duduk disamping Kathy yang kebetulan kosong. “Kath.. jadi gak?” Tanyanya membuat Kathy tersenyum.

“Kami udah jadi lumut kayak di batu tuh karna nunggu lo, kak!” Gerutu Kathy sambil menunjuk batu yang sudah berwujud lumut saking lamanya.
“Yaudah... yuk..” Putra berdiri dari duduknya sambil mengulurkan tangannya ke Kathy, tapi dijawab gadis itu dengan gelengan.

“Gue sama Restu kak. Lo sama...” Kathy menatap mereka sekeliling yang sudah saling memegang pasangannya sendiri. Dan tatapannya terhenti di Erza, membuatnya nyengir. “Sama Erza deh kak,” tunjuknya membuat Erza kaget.

“Gue sama Kak Reno aja deh,” Tolaknya sambil menatap Reno yang memegang tangan Eva. Kemudian menatap Arny yang merangkul Rico erat dan Restu memeluk pinggang Kathy. Membuatnya menghela napas. Dia membaca rencana mereka. Dan tak bisa menolak lagi.
“Gue sama Eva dek,” Tolak Reno penuh ekspresi maaf. Membuatnya Erza semakin berat.

“Gue sama Arny deh,” Erza keukeuh tak mau semobil dengan Putra. Walaupun dia tau cowok itu sukarela saja menerimanya.
Rico buru-buru mempererat rangkulannya “Gue sih mau aja, tapi lo mau gak jadi obat nyamuk di belakang karna liat kami pacaran? Gak kan?”
“Yasudah... Ayoo Erza... sampai kapan lo bengong disitu?” Putra menarik tangan Erza agar ikut bersamanya menuju mobil dan meninggalkan mereka yang saling tersenyum. “Misi sukses,” Ucap Kathy dan mereka berjalan beriringan.

Selvi yang melihat itu di kejauhan, senyum sinis tercetak di bibir tipisnya. Dan dia pun berjalan menjauh sebelum kepergok.


                                                       ҈҈҈҈҈҈


Tiitt...tiitt.... Bunyi klakson saling bersahutan ditengah kemacetan Jakarta yang semakin parah, semakin bikin stres bagi yang terjebak diantaranya. Erza asyik menatap kemacetan dihadapannya tanpa sedikitpun ingin berbicara dengan Putra. Bukannya tak ingin, tapi tak ada bahan yang dibahas.

Putra bosan setengah mati. Dia menyalakan radio dan sesekali melirik Erza yang menatap kearah lain. Ingin mulutnya bertanya tentang apa saja, atau membuat gadis itu marah dan tersipu. Tapi dia seperti kehilangan kemampuan melakukan itu semua.

“Put...” Erza memanggilnya tepat disaat Putra juga memanggilnya. Membuat mereka saling berpandangan dan tersenyum kikuk.
“Lo dulu deh,” Putra mempersilahkan Erza ngomong dulu. Namun gadis itu menggeleng.
“Lo dulu deh. kayaknya lebih urgent daripada gue,” Erza mempersilahkan balik.   
“Gue lupa mau ngomong apa,” Putra menjawab sambil memijit kepalanya yang mendadak nyut-nyutan. Membuat Erza cemas.
“Lo sakit?” Tanyanya hati-hati.
“Gue kurang tidur beberapa hari ini,” Keluhnya sambil terus memijit kepalanya dengan tangan kirinya. Membuat Erza berinisiatif menyentuh kepala Putra dan memijitnya pelan.
“Enakan?” Tanya Erza sambil terus memijit kepala Putra dan melihat lingkaran hitam di kedua bawah matanya.
Putra mengangguk dan membiarkan kepalanya dipijat gratis tanpa bayar oleh Erza.


“Gue suka lagu ini,” Putra berseru sambil membesarkan volume dan bernyanyi mengikuti Ne-yo menyanyikan one in million, lagu kesukaannya.
“Gue juga. Musiknya asyik.” Erza membenarkan sambil ikut bernyanyi bahkan menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik.
“Ini lagu paling sering gue dengarin diantara yang lain. Pas gue di Jerman gue suka banget sama ini lagu. Tentang dia yang menganggap ceweknya yang pertama dihatinya diantara yang lain. Bukan siapapun.” Jelas Putra.
Erza menatap Putra. Dalam hati berharap, dialah cewek yang dimaksud. Tapi mendadak dia mengubur harapannya dalam-dalam. Tak ingin sakit. “Pasti Selvi cewek yang lo maksud kan?” Tanyanya.

Putra menggeleng. “Bukan. Sebelum ketemu dia, gue udah suka sama lagu ini. Lagipula.. gue udah putus lima hari yang lalu.” Jawabnya membuat Erza shock.
“Lo putus? Kenapa?”
“Gue memilih untuk menunggu seseorang daripada berusaha mencintai yang gue tak bisa lakuin lagi,” Jawab Putra sambil menatap dirinya. Membuat Erza tau siapa yang dimaksud, lebih memilih diam.

“Kenapa lo milih dia, Za?” Tanya Putra sambil fokus menyetir mobilnya yang sudah meninggalkan kemacetan. Membuat Erza mau tak mau teringat kejadian dimana dia memilih Nanda dan alasan yang dia ucapkan ke Reno. Mendadak, perasaannya menjadi sakit sendiri.
“Gue gak bisa jawab pertanyaan lo, Put.”
“Apa istimewa dia jadi lo pergi, Za?” Putra mengabaikan jawabannya dan memilih terus menyerang gadis itu agar mengaku.

“Kenapa lo balikan sama Selvi? Apa karna gue pacaran dengan Nanda?” Erza menyerang balik dengan dua pertanyaan sekaligus.
“Salah satunya itu. Dan gue ingin merasakan apa masih ada perasaan gue untuk Selvi. Ternyata gak ada lagi walau sekuat apapun gue coba.”
“Selvi pelarian buat lo?”
“Iya. Tapi...lebih tepatnya...” Putra menghentikan mobilnya di tepi jalan dekat lapangan kosong dan berbalik menatap Erza sambil mendekatkan wajahnya hingga gadis itu memundurkan tubuhnya hingga terbentur kaca mobil. “Gue berusaha apa yang gue rasakan ke lo, gue lempar ke dia. Tapi gak bisa. Sayang gue gak bisa dibagi apalagi dilempar ke cewek lain. Kemanapun gue melangkah, pasti balik lagi ke lo. Walau lo dengan teganya malah sayang dengan cowok lain.”

Erza merasa jengah ketika hela napas Putra sangat terasa. Bahkan dia merasa, apa yang dihirup Putra, terhirup olehnya saking dekatnya jarak mereka. “Lo nyalahin pilihan gue?”

Putra menggeleng. Lalu dia semakin dekat dan menggesekkan ujung hidungnya ke ujung hidung Erza yang mendadak menahan napas karna ulahnya. “Bukan menyalahkan. Gak terima lebih tepatnya.” Jawabnya sambil menatap mata Erza dengan lekat. Dia rela menghabiskan sisa hidupnya agar bisa terus menatap mata coklat terang yang membiusnya itu.

Erza mendorong tubuhnya agar menjauh. Namun Putra lebih sigap dengan memegang kedua tangannya dan tersenyum manis. Membuat Erza blank seketika melihat senyumannya. “Put..” Panggilnya agar cowok itu melepas tangannya agar dia tak lama-lama memandang senyumnya yang dirasa memabukkan.
Putra mencium punggung tangan kanan Erza lalu melepasnya dan dia mulai menjalankan mobilnya kembali. Dan Erza memegang dadanya yang berdegup kencang dan menarik napas pelan. Mencoba rileks walau tau usahanya takkan pernah sukses kalau sudah berhadapan dengan Putra.


                                                            ҉҉҉҉

“Penuh banget yah,” Seru Erza ketika keluar dari mobil Putra dan takjub melihat banyaknya mobil terparkir di halaman.
“Kalo gak rame, bukan Dufan namanya, Za.” Seru Putra sambil merangkul pundaknya. Membuat Erza ingin melepasnya karna takut ketahuan yang lain. Namun terlambat, karna mereka sudah ada dibelakangnya. “Cieeeeee... yang rangkulan.” Goda Kathy yang baru kali ini melihat kemesraan mereka diluar dan bangga dengan diri sendiri karna sukses total.
Putra hanya nyengir dan Erza hanya menundukkan wajahnya malu sambil berharap tak ada yang melihat dia rangkulan dengan cowok lain.

“Antri yuk...” Ajak Kathy menarik Restu dan menerobos di tengah-tengah kemesraan Putra yang selalu menggoda Erza dan membuatnya jengkel. “Lo kayak gak ada jalan lagi aja deh Kath jadi main terobos!”
“Sorry kak,” Kathy hanya nyengir kuda sambil lirik Restu lalu mengantri tiket diikuti yang lain dibelakang.


  “Yeeeee....” Erza berteriak riang ketika sudah memasuki arena Dufan dengan stempel di punggung tangannya. Putra melihat keriangan Erza kayak anak kecil diajak ke taman hiburan, tersenyum.

Kathy dan yang lainnya melihat itu, berjalan agak menjauh karna tak ingin mengganggu dan sepakat untuk berpencar dengan pasangan masing-masing. Biar romantis kata Kathy.

“Lo mau naik apa dulu,Za?” Tanya Putra ketika gadis itu sibuk memilih permainan yang ingin dia naiki.
“Itu...” Erza menunjuk yakin permainan komedi putar yang didominasi anak-anak kecil daripada seumuran mereka.
“Serius?” Putra tak yakin dengan pilihan Erza. Namun dia tak tega menolak ketika gadis itu menatap penuh harap.
“Banget!” Tanpa ragu Erza menjawab dan menarik Putra agar menghampiri permainan itu.

“Yihaaaaaaaaaaaaa....” Erza teriak penuh kegirangan disamping Putra yang lebih tepatnya menikmati wajah senangnya daripada permainan yang dia pilih.
“Kita nyoba yang lain yuk,” Ajak Erza sambil turun dari kudanya dan menarik Putra untuk keluar dari komedi Putar karna melihat permainan yang lebih seru lagi diluar sana.


“Bagaimana kalo ini?” Putra berseru senang ketika mereka berjalan melewati rumah hantu, permainan kesukaannya dan berhenti. Namun tidak bagi Erza. Wajahnya sudah pucat pasi ketika melihat poster pocong menjadi icon utama permainan itu.
“Gak...gak..” Erza menggeleng kuat-kuat sambil menarik Putra agar menjauh. Namun Putra tak bergeming malah menariknya agar berdiri disisinya. Memandang poster seperti melihat siapa yang menang undian.

“Takut?” Putra bertanya dan ada ide jahil muncul diotaknya.

“Lo gak usah tanya deh! emang wajah gue gak yakinin apa gue takut?! Gak...gak! gue mau main yang lain!” Erza jengkel mendengar pertanyaan Putra yang sangat bodoh itu. Baginya, diantara banyaknya permainan yang tersedia, kenapa harus rumah hantu? Kayak gak ada permainan seru aja.
“Ayolah... gue udah ikutin permainan lo, masa lo gak mau ikut pilihan gue? Gantian dong.”
“Ayolah Putra... permainan yang lebih seru dari ini masih banyak, kenapa lo milih ini?!”
“Karna gue suka, kenapa? Ayolah... lagipula... hantunya gak beneran, Za. Mereka cuma pegawai sini yang dandan kayak hantu. Itu aja.” Putra berusaha meyakinkan Erza agar ikut masuk. Kan gak seru masuk rumah hantu tanpa ada yang meluk dia, begitu pikirnya.
“Biar beneran kek, enggak kek, gue gak mau masuk, Putra! Kalo gue pingsan, lo mau tanggung jawab?!”
“Mau kok. Lo gue gendong terus gue kasih napas buatan biar sadar lagi.” Putra mengedipkan matanya genit ketika mengucapkan kalimat terakhir itu. Membuat Erza malu.
“Apaan sih lo,” Elaknya.
“Masuk yah? Yah...Yah?” Putra gencar membujuk Erza agar mengangguk. “Iya...” Angguk lemah Erza tanda menyetujui. Membuat Putra langsung masuk ke dalam rumah hantu diikuti Erza dibelakangnya yang tak ingin digandeng.


                                                                 ѺѺѺ


“Kyaaaaaaaaa!!!” Sudah berapa kali Erza menjerit ketika sosok hantu yang paling dia takuti, pocong, ada didepannya dan menatap dirinya yang sekarang terduduk dilantai sambil menutup kedua telinganya ketika pocong jadi-jadian memanggilnya untuk ikut kealam arwah.
Putra melihat itu, langsung menghampiri Erza dan duduk lalu memeluk gadis itu yang sudah menangis terisak saking takutnya.
“Makanya... gue bilang juga apa, lo jalan disamping gue deh, gak akan diganggu.”
“Lo yang jalan sendiri aja diganggu sama mereka, apalagi kalau bareng gue?!” Ucap Erza disela isaknya. Kakinya serasa lemas seketika ketika dia mendongkakkan wajahnya dan menatap kearah lain, melihat Kuntilanak plus ketawanya yang khas sedang melihat dia. Membuatnya menjerit lagi.

 “Keluar yuk,” Ajak Erza karna tak tahan lagi disini. Entah apa jadinya dia kalau setengah jam lagi disini bersama hantu-hantu jadian disampingnya.
“Tanggung sayang. Nikmati aja deh. kan ada gue, Za.” Putra menatapnya penuh lembut dan membantu Erza berdiri yang sudah lemas saking takutnya dan merangkul pinggangnya.


Sepanjang perjalanan, Erza lebih banyak memeluk Putra erat ketika hantu-hantu jadian itu menerornya. Bahkan sampai mencolek punggungnya yang membuatnya semakin erat menyembunyikan wajahnya di dada Putra yang bidang.
“Za... lo suka anak kecil kan? Tuh ada anak kecil imut banget,” Ucap Putra ketika Erza entah sudah berapa kali memeluknya. Namun dia diam saja. Menikmati.
“Mana?” Erza melepas pelukannya dan melihat siapa yang ditunjuk Putra. Ketika tau siapa yang dimaksud, dia mencubit pinggang Putra keras. “Imut apaan?! Itu tuyul, Putra! Kayak lo!” Gerutunya lalu memeluk erat ketika melihat dipojokan, sesosok anak kecil menjadi tuyul sedang melambaikan tangan kearahnya dan tersenyum memamerkan giginya yang ompong.
“Kalo gue tuyul, kenapa lo gak takut sama gue?” Putra mendongkakkan wajah Erza yang tersembunyi di dadanya dan menghapus air mata yang menetes. Membuat Erza blank seketika.
“Karna... Ah... Apaan sih,” Erza melepas pelukannya lagi dan menjawab pertanyaan gaje Putra kearah lain. Tak ingin cowok itu tau betapa merah wajahnya sekarang.

Putra mengacak rambut Erza dan tanpa perlawanan, dia menggenggam tangan gadis itu dan berjalan kearah lain. Dan Erza tak berniat melepas genggaman tangan itu.



“Bioskop Hantu” begitulah isi tulisan ketika mereka memasuki salah satu lorong. Membuat Putra menatap Erza. Tau arti tatapan dia, Erza memelototinya. “Gak! Lo nonton aja sendiri! Jantung gue udah hampir lepas karna disini!” Erza menolak mentah-mentah usul Putra.
“Yahhh... liat yah... gue janji deh, sehabis ini, lo boleh pilih permainan apapun yang lo mau,” Janjinya.
“Janji? Apapun?
“Apapun.” Putra menjawab yakin. Membuat Erza menyerah.
“Gak ada hantu lagi kan?”
“Tergantung. Eh..iya..iya.. gak ada lagi.” Putra menambahkan ketika melihat wajah Erza berubah masam.
“Iya deh...” Jawabnya pasrah dan membiarkan dirinya ditarik Putra masuk kedalam.


                                                                   ҉

“Kok matanya ditutup sayang? Dibuka dong.” Pinta Putra ketika melihat Erza menutup matanya sepanjang film, membuatnya gemas.
“Gak berani,” Erza menjawab pelan sambil terus menutup matanya. Baginya, lebih baik menutup mata sepanjang film berlangsung daripada membuka mata, namun pada akhirnya dia harus tidur bareng kak Reno dikamar saking takutnya.
“Kalo lo takut, anggap aja hantunya itu gue, pasti gak akan takut lagi.” Putra berusaha membuka mata Erza dari gelitikan, sampai tiupan ditelinga yang bikin merinding. Namun Erza tetap saja menutup mata dengan kedua tangannya.
“Bayangin lo bakal lebih mengerikan lagi, Put. Lo adalah hantu dari segala hantu yang paling gue takutin!” Gerutu Erza sambil menendang kaki Putra karna tingkahnya yang semakin menyebalkan.
“Tapi yang paling lo sayang kan?” Godanya dan Putra bisa melihat jelas semburat merah diwajah Erza yang putih bersih.
Erza memilih diam daripada dia menjawab, namun keceplosan. Putra yang rupanya nyerah karna usahanya tak berhasil, fokus menonton film.

“Kok dia gak ganggu gue lagi yah? Apa dia nyerah yah?” Batin Erza.

Penasaran, dia membuka matanya dan berteriak sejadi-jadinya lalu langsung memeluk Putra yang disampingnya sambil menangis ketika melihat Hantu berambut panjang yang berasal dari Jepang itu sedang ngesot dengan rambut terurai kedepan dan mendongkak seolah-olah menatapnya. Putra yang awalnya biasa saja melihat itu, mendadak sport jantung karna teriakan Erza.
“Pulang!” Bisik Erza sambil memeluknya erat dan meremas belakang bajunya. 
Putra yang tak tega melihat gadis yang dia sayangi ketakutan, akhirnya mengelus rambut Erza dan mencium puncak kepalanya. “Iya... yuk,” Ajak Putra sambil menggenggam tangan Erza yang dingin saking takutnya dan dia berjalan sambil menutup mata. Tak berani melihat.


“Akhirnya...” Erza bernapas lega karna berhasil keluar dari rumah hantu yang membuatnya ingin mati muda saking takutnya dan menatap Putra yang wajahnya terlihat kecewa berat.
“Kenapa lo? Pengen masuk lagi? Sono masuk deh! gue main sendiri!” Gerutunya tau apa yang dipikiran Putra.
“Tapi gak seru kalo lo gak ikut, Za.” Balas Putra sambil menatap kearahnya dan tersenyum. Entah sudah berapa kali dia melihat Putra tersenyum. Dan membuatnya ingin ikut tersenyum juga.
Erza memalingkan wajahnya untuk mencari permainan selanjutnya yang mendebarkan tapi tak bikin nangis ketakutan. Ketika menemukannya, dia langsung menarik Putra agar menuju tempat itu.


Roller coaster. Permainan selanjutnya yang bikin Erza senang namun wajah Putra berubah sedikit pucat. Seumur hidupnya, dia paling menghindari permainan ini. Bikin perut mual.
“Ayooooo...” Tarik Erza namun tertahan karna Putra tak bergerak mengikutinya.
“Main yang lain yuk. Jangan yang ini, gue phobia.”
“Terus lo mau main apaan? Kan lo udah janji mau ikutin apapun yang gue pilih.”
Putra melihat sekeliling, lalu menunjuk suatu permainan yang menarik  “Bagaimana kalo itu aja, Za? Kayaknya seru tuh,” Tunjuknya sambil nyengir. Erza mengikuti arah Putra dan mencubit tangannya. “Lo mau bikin gue nangis darah?!” Omelnya ketika melihat tulisan “Kereta Hantu” Terpampang besar di papan.
“Roller Coaster yah?” Seru seseorang dibelakang mereka, ketika menoleh, ternyata Kathy dan Restu menegurnya.
“Iya... main yuk” Ajak Erza ketika melihat binar mata Kathy ketika melihat permainan itu yang naik turun secara mendebarkan. Tak sabar kakinya ingin berlari dan duduk dengan jantung berdegup kencang lalu berteriak sepuasnya hingga suara serak.
“Ayoooooo..” Kathy langsung berlari sambil menarik Erza agar cepat mengantri karna sudah tak sabar. Meninggalkan pasangan masing-masing.

“Lo yakin pengen main ini, Put?” Tanya Restu ketika melihat wajah Putra pucat dan teringat bagaimana ekspresi Putra ketika turun dari permainan itu pada saat mereka berjalan bertiga Rico. Langsung lari ke toilet dan muntah.
“Gue udah janji sama Erza, Res.” Jawab Putra pasrah dan berjalan menghampiri mereka yang sudah teriak tak sabar untuk mencoba permainan itu
Restu hanya nyengir kuda dan berjalan di belakang Putra sambil berharap, semoga kejadian memalukan beberapa tahun lalu bersama mereka tak terulang lagi.


“Lo kenapa?” Erza mulai cemas ketika turun dari permainan, Putra langsung berjalan oleng dan wajahnya pucat pasi.
Putra memegang pagar besi didepannya sambil memegang kepalanya yang mendadak pening berat. Permainan Roller Coaster sukses berat membuatnya seperti terkena hangover.
“Toilet dimana?” Tanya Putra ketika Erza memegang dahinya dan melap keringat dinginnya.
“Disitu,” Restu langsung menunjuk toilet terdekat dan Putra langsung berjalan cepat menghampirinya.
“Putra kenapa sih?” Tanya Erza ketika melihat Putra tak keluar juga dari toilet. Cemas dan perasaan bersalah melanda.
“Dia phobia naik Roller Coaster, Za. Gue taunya pas beberapa tahun lalu sebelum dia amnesia, kami mampir kesini dan nyoba naik. Hasilnya ya... seperti lo liat sekarang.” Restu menjelaskan dan membuat wajah Erza mendadak mendung.
“Seharusnya gue gak usah ikutin ego untuk naik itu. Kan kasihan..”
“Ga kok. tadi dia udah gue tanyain yakin gak ikut ini, dia bilang yakin karna udah janji sama lo, Za. Otomatis, dia pasti memikirkan resikonya kan?” Restu mencoba memperbaiki mood Erza yang mendadak suram.
“Betul tuh, Kak. Gue aja sering di Jerman main sama kak Putra dan kak Tasya, kakak gue naik ini. Kami naik ini karna balas dendam sama Putra yang hobi ngajak keluar masuk rumah hantu. Ckkckc...” Kathy mendecak jengkel ketika teringat betapa senangnya Putra membuat mereka ketakutan dan menyodorkan diri sukarela untuk dipeluk erat mereka. Ketika dia tanyakan alasannya, Putra menjawab karna ingin membuat iri cowok-cowok disekitar mereka yang melihat dirinya dipeluk 2 gadis cantik kayak dirinya dan Tasya.

Putra keluar dari toilet dengan wajah lega. Erza melihat itu separo ingin tertawa meledek habis-habisan, separo prihatin.
“Naik apalagi sekarang? Kalo lo milih permainan itu lagi, gue tinggal pulang.” Ancam Putra ketika melihat cengiran Erza diwajahnya.
“Pulang aja. Toh gue bisa pulang sendiri,” Jawab Erza cuek sambil menunjuk permainan yang menarik hatinya.

“Lo pengen diputar dan dibalik sama mesin itu atau gue yang akan lakuin itu  ditempat tidur sampai lo gak bisa berdiri lagi, Sayang?” Bisiknya ketika tau permainan yang ingin dituju selanjutnya, Kipas Angin. Dan membuat Putra menatap ngeri ketika mesin besar itu akan memutar dan membalikkan tubuh mereka seperti kapas.
Erza membeku mendengar bisikan Putra. Walaupun Kathy dan Restu tak mendengar karna sibuk diskusi. Tapi... bisikan itu, membuatnya teringat beberapa tahun silam. Saat Putra mengancamnya apabila dia tak melakukan apa yang diinginkannya.

“Gak ada pilihan ketiga nih?” Erza berusaha menormalkan suaranya yang agak gugup.
“Ada sih... Cuma gue males nyebutinnya. Karna lo pasti akan milih itu,”
“Apa?” Tanya Erza penasaran.
“Atau...” Putra terdiam. Berusaha menguatkan hatinya. Baginya, Erza tetaplah pacar cowok lain yang tak bisa dia goda sembarangan walau dia tau perasaan gadis itu sebenarnya tertuju untuknya. “Lo pilih Nanda yang melakukan itu ke lo di tempat yang dia mau?” Susah payah Putra mengucapkan. Membuat setiap kalimat yang keluar, bernada biasa saja. Tanpa ekspresi walau dalam hati, sakit.

Erza terdiam mendengar pilihan ketiga itu. Bersama Putra, dia hampir lupa bahwa sebenarnya mereka bukan sepasang kekasih, melainkan teman. Ya... hanya teman.

Merasa atmosfer berubah seketika, Kathy merangkul mereka berdua. “Main yang lain yuk?” Ajaknya sambil tersenyum untuk menetralkan suasana dingin yang ada.
“Ayooo...” Erza mengangguk riang dan membiarkan tangannya ditarik Kathy dan asyik tertawa tanpa mempedulikan tatapan kagum beberapa cowok yang melirik kearah mereka. Membuat Restu dan Putra yang melihat itu, memproteksi pasangan masing-masing dengan berjalan disamping dan merangkul posesif. Membuat mereka jengkel.
“Kenapa sih?” Seru Kathy jengkel karna tak biasanya Restu merangkul pundaknya.
“Ntar kamu dilirik cowok kalo tak aku rangkul.” Bisik Restu ditelinganya dengan nada cemburu. Membuat Kathy tertawa dalam hati.
“Bisa cemburu juga pacar gue ternyata,” Batinnya.
“Lo sendiri kenapa rangkul gue?” Tanya Erza karna berungkali dia melepas rangkulan Putra, berungkali juga Putra merangkul pundaknya kembali.
“Ntar lo hilang lagi dilirik cowok lain. Sudah cukup Nanda buat gue kehilangan lo, jangan sampai Nanda yang lain lagi buat gue gak bisa nyentuh lo seperti saat ini.” Putra menjawab pelan dan ada sedikit sakit dibalik nada suaranya itu. Membuat Erza terdiam.
“Kemanapun hati gue melangkah, lo akan tetap jadi bayangan gue, Putra.” Erza bergumam sendiri. Berharap Putra tak mendengarnya.
“Hai...” Terdengar suara yang menyapa mereka. Erza menoleh dan tersenyum ketika melihat Reno dan yang lain ikut bergabung dengan mereka.
“Main bareng yuk?” Ajak Arny yang langsung direspon anggukan.
“Boleh...” Jawab yang lain dan mereka berjalan beriringan.


                                                               Ѽѽѽ

“Kemana aku akan menghentikan langkahku ini? Menghentikan hujan yang terus menerus membasahiku? Stay with him or... Stop on you?”


“Kak Nanda... gak Jalan?” Tanya Rere masuk kekamarnya yang kebetulan  anak tante Fanny yang sahabat mamanya sejak kecil.
“Gak Re. Kenapa?” Nanda termenung dimeja belajar sambil memandang ponselnya. Sudah seharian dia tak mendapat kabar apapun dari Erza. Dia mencoba menghubungi, tapi tak pernah direspon.

“Kak, mau gak temanin Rere ke Dufan? Rere ada janjian sama temen-temen ngumpul disitu. Kalo sendirian aja, gak akan diijinin mama.” Ajak Rere yang baru saja berumur 18 tahun dan sudah mengagumi Nanda sejak lama. Namun dipendamnya karna malu.

Nanda terlihat berpikir. Kemudian tersenyum dan berharap bisa bertemu Erza. “Boleh... sekalian janjian sama pacar kakak disitu.” Nanda bangkit dari meja belajarnya sambil dan mengambil kunci mobilnya yang sengaja dia titipkan dirumah Tante Fanny agar setiap dia ke Jakarta, takkan repot meminjam mobil mereka. Kemudian dia menatap Rere yang kepergok meliriknya dan tersenyum.

“Sekarang kak?” Tanya Rere yang sudah berapa kali lupa bernapas ketika melihat Nanda tersenyum padanya dan merutuki dalam hati betapa beruntungnya yang jadi pacar Nanda sekarang dan berdoa tiap malam agar mereka putus. *Doa macam apa ini, Re?*
“Taun depan, Re. Ya... sekarang dong!” Nanda mengacak gemas rambutnya dan Rere langsung ngacir keluar kamar tanpa pamit untuk menutupi wajah malunya.

“Tante... Nanda jalan dulu yah sama Rere. Mau temanin dia Kedufan ngumpul ma temannya.” Jelas Nanda ketika melihat Tante Fanny duduk berdampingan mesra didepan TV bersama suaminya. Membuatnya ingin seperti itu juga bersama Erza, cewek yang paling dia cintai.
Tante Fanny tersenyum salah tingkah melihat Nanda dan berdehem kecil. “Boleh kok. tapi... Rere pulang sama kamu kan?”
“Iya tante... kenapa? Tante mau jalan?”
“Iya... tante titip kunci sama kalian yah. Mau jalan sebentar.” Dan Nanda tertawa ketika melihat suami Tante Fanny mengedipkan mata kearahnya.
“Kami mau pacaran dulu. Masa Cuma anak seumuran kalian boleh pacaran, sedangkan kami gak? Kan rugi. Iya kan ma?” Tanyanya sambil memandang istrinya yang memerah malu.

Merasa suasana semakin romantis namun bikin nyesak dihatinya, Nanda mengucapkan syukur ketika Rere muncul dihadapannya dan menarik tangannya agar lekas kesana.
“Dah Mama...dah Papah...” Pamit Rere keluar rumah diikuti Nanda.
Kedua orang tuanya hanya tersenyum dan melambaikan tangan dengan harapan dihati, agar mereka berdua berjodoh. *ikutan aminin*


                                                                 ѺѺѺ


Semua permainan hampir dicoba oleh mereka yang menggabungkan diri dengan Erza. Lelah, sudah pasti. Namun kesenangan hati takkan bisa diganti dengan apapun. Tapi tidak bagi Erza, walau hatinya senang karna bisa bersama Putra, tetap saja ada rasa bersalah yang amat besar pada Nanda karna melupakannya.

“Kita naik itu yuk,” Ajak Eva yang semakin lengket dengan Reno. Membuyarkan perasaan bersalah Erza dan menatap apa yang ditunjuk Eva.

“Arung jeram? Boleh...boleh... sekalian habis selesai main ini, kita pulang,” Putus Kathy yang dibalas anggukan oleh yang lain.

Putra langsung menggenggam tangan Erza dan mereka masuk dalam permainan itu tanpa mengetahui apa yang terjadi setelah ini.

“Gimana masangnya sih?” Gerutu Erza karna tak bisa memasang sabuknya. Putra langsung membantu memasangkannya tepat dipinggang Erza.
“Pas kan? Tanyanya dan Erza mengangguk.
Ketika aba-aba mulai terdengar, mereka menyiapkan suara masing-masing dan tanpa sadar, saling berpegangan tangan erat. Membuat yang lain melihat itu, hanya tersenyum. Apalagi Reno yang tau bagaimana isi hati Erza sebenarnya namun selalu dibantahnya.


“Aaaaa....” Mereka berteriak puas dan langsung turun dari permainan itu dengan sekujur tubuh basah total. Erza yang waktu itu memakai baju tipis bewarna putih tulang, membuat Putra melihat warna bra yang dikenakan Erza dan melepas jaket yang dia titipkan untuk menutupi belakang tubuh Erza yang mengundang mata lelaki untuk semakin meliriknya.
“Kenapa?” Tanya Erza bingung ketika tau-tau jaket besar menutupi belakang tubuhnya.
“Belakang baju lo basah, gue sempat liat apa yang lo pakai didalamnya. Warna merah yang bagus, sangat HOT.” Pujinya sambil berdiri dibelakang Erza dan tersenyum yang dapat diartikan Erza sebagai senyuman mesum.

Erza memasang jaket Putra yang kebesaran dibadannya tanpa banyak omong. Terlalu malu untuk merespon dan membiarkan Putra menggenggam dan menautkan kesepuluh jarinya di tangannya dan berjalan berdampingan.

“Erza?” Sebuah panggilan bernada shock sukses membuat Erza langsung melepas pegangan tangan Putra dan menatap ke depannya. Tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Membuatnya ingin menghilang saat itu juga.


                                                                    ¤


Nanda takkan menyangka akan seperti ini. Bermula berjalan sendiri keliling Dufan karna ditinggal Rere yang menggabungkan diri dengan teman-temannya yang membawa kunci rumahnya. Dia melihat sosok gadis yang sangat dikenalnya berdiri membelakangi. Kemudian, pandangannya tertutup oleh cowok yang menyelimuti belakang tubuh gadis itu dengan jaket yang dia kenakan dan berbisik ditelinga gadis itu. Lalu dia sembunyi dibalik pohon untuk meyakini hatinya dan shock ketika gadis itu berbalik dan berjalan dengan berpegangan mesra, ternyata pasangan itu adalah Erza dan Putra. Bergegas dia mendekati mereka dengan amarah dihati, kecewa dan sejumlah perasaan yang takkan pernah bisa dia ungkapkan.
“Erza?” Panggilannya cukup membuat gadis yang berdiri tak jauh dari hadapannya mematung dan melepas pegangan tangannya dengan Putra yang tak kalah kagetnya. Namun sukses tertutupi.
“Nanda?” Erza membalas tak kalah shocknya. Sedangkan yang lain, berdiri dibelakangnya. Sama kagetnya.


Nanda langsung mendekati Erza dan menariknya kasar. “Ikut gue pulang,” Bisiknya dan menatap Putra tanpa bicara apa-apa.
“Nand... Jangan lo sakitin Erza.” Ucap Putra ketika melihat gadis itu mengernyit kesakitan karna pergelangan tangannya diremas Nanda dengan kasar.
“Bukan urusan lo, Putra.” Nanda menjawab dingin dan menarik Erza agar meninggalkan tempat ini tanpa pamit kepada mereka.

“Put...” Reno mendekatinya dan menepuk pundak Putra yang menatap Erza pergi meninggalkannya dari kejauhan. Sekilas, dia melihat mereka saling berantem.
“Erza gak papa kan?” Putra bertanya pada dirinya sendiri karna tak menyadari Reno menepuk pundaknya.
“Gak kok. Nanda gak akan kasarin Erza,” Reno menenangkan Putra walau dia sendiri pun tak tenang.


“Halo Re..” Nanda menelpon Rere ketika mereka sudah didalam mobil. Erza mengelus pergelangan tangannya yang memerah karna Nanda. Dia menoleh ketika Nanda menelpon seseorang.
“Kamu masih sama temen kan? Aku pulang dulu yah, Ada urusan. Gak papa kan? Atau ntar ku jemput?” Nanda terus berbicara ditelpon tanpa mempedulikan Erza yang menatapnya tanpa kedip.
“Beneran? Kunci rumah sama kamu kan? Ok deh, aku pulang dulu. Sorry Re.” Ucap Nanda dan dia memutus telponnya lalu menjalankan mobil tanpa melirik Erza sedikitpun.


“Apa pentingnya Putra bagi kamu,Erza?” Tanya Nanda ketika mereka berhenti disebuah tempat yang agak jauh dari keramaian kota. Sungguh, diam tanpa bicara apa-apa sangat membunuhnya. Dia ingin kejelasan tentang apa yang dilihatnya.
Erza terdiam. Inilah saatnya. Dan sungguh dia takkan pernah siap. “Dia teman, Nanda.”
“Teman apa yang saling merangkul dan berbisik? Aku melihat semuanya, Erza. Dan aku kecewa sama kamu. Lihat aku!” Nanda langsung menolehkan wajah Erza agar melihatnya. Agar melihat betapa kecewanya dia.
“Nand... aku benar-benar minta maaf. Tapi beneran dia Cuma teman aku!”
“Gak ada teman yang saling rangkul, Erza! Aku curiga, apa karna kamu ingin bersama Putra jadi gak ingin ajak aku untuk jalan sama teman-teman kamu?” Tuduhnya sambil meremas stir mobil. Sungguh sakit perasaannya sekarang. Tak pernah mengira bahwa apa yang pernah diceritakan Tasya padanya, benar.
“Kamu kejauhan mikir, Nanda! Aku gak pernah punya niat untuk tidak memperkenalkan kamu dengan teman-temanku! Kalo aku dari dulu punya niat kayak gitu ke kamu, jangankan ke teman-teman aku, sama kak Reno pun gak akan aku kenalkan ke kamu!” Erza tak terima dituduh seperti itu.
Nanda terdiam mendengar jawaban Erza. Selama setahun pacaran, baru kali ini mereka berantem hebat. Dia melihat napas Erza naik turun saking emosinya. “Kenapa kamu harus jalan berdua sama Putra, Erza?”
“Aku gak jalan berdua, Nanda! Aku jalan bareng teman-teman! Apa kamu gak lihat mereka berdiri dibelakangku?!”
“Tapi aku melihatnya tidak seperti itu, Erza! Kalian seperti pacaran! Sama aku, kamu gak pernah kayak gitu! Aku bukannya membandingkan antara perhatian kamu sama aku atau dia, tapi...” Nanda menekankan kalimat terakhir dan menatap tajam Erza “Aku pacar kamu, Erza! Apa yang kamu lakukan dengan Putra itu seharusnya kamu lakuin ke aku! Bukan sama dia!”
Erza menyandarkan kepalanya ke kursi. Sungguh dia ingin membanting apa saja yang dihadapannya agar emosinya berkurang. “Aku gak ngerti apa yang kamu omongin, Nanda. Kalau aku selalu membedakan kamu dengan Putra, kita gak akan bertahan lama seperti ini. Aku berusaha untuk...”
“Berusaha?!” Nanda memotong pembicaraan Erza dan menatap sinis. “Berusaha apa, Za?! Berusaha sayang sama aku?!”
“Bukan begitu maksudku, Nanda!” jawab Erza sengit. Sungguh, dia tak mengerti setan apa yang membuat Nanda berubah dari lembut menjadi sangar.

Nanda terdiam. Dia menghela napas berat. “Aku tau semuanya, Erza. Aku tau hubunganmu dengan Putra waktu SMA bagaimana, Aku tau isi hatimu, Erza.” Nanda mengucapkan dengan nada putus asa. Hilang amarahnya sudah. Hanya kekecawaan mendalam yang meliputi hatinya.
“Itu hanya masa lalu, Nanda. Dan aku tak mau membahasnya lagi.”
“Masa lalu yang selalu jadi bayanganmu, Erza. Apa kamu lupa? Aku anak Psikologi, aku tau isi hati manusia hanya dengan menatap matanya.”
“Apa yang kamu tau, Nanda?” Erza menjawab tak kalah lesunya. Tak ada yang bisa dia sembunyikan kalau Nanda sudah mengatakan seperti itu.
“Tak penting untuk kamu tau apa yang sudah terpampang jelas dimatamu, Za. siapa yang kamu pilih?” Nanda langsung bertanya to the point. Baginya, sekarang bukan waktunya basa-basi.
“Kalau aku memilih dia, kita gak akan jadian, Nanda.
 “Bohong,”
“Apa kamu lihat aku sedang berbohong saat ini?”
“Bukan bohong, tapi menyembunyikan sesuatu. Za... kenapa kamu pilih aku?”
“Karna aku sayang sama kamu.”
“Walau tak sebesar sayang kamu dengan Putra kan?”
“Aku gak tau,”

Nanda terdiam. Dia memilih menjalankan mobilnya untuk mengantar Erza pulang. Tak ada pembicaraan. Masalah mereka gantung.

Erza merasa tersiksa di mobil Nanda. Tak ada bunyi radio, tak ada pembicaraan. Yang menemani mereka hanyalah suara klakson mobil saling bersahutan dan ketukan jari Nanda di stir mobil. Erza menatap Nanda. Sungguh, dia tak menyangka harinya akan sekacau ini.

Nanda lebih kacau lagi. Kalau saja dia tak bisa menahan emosinya, tak tau apa yang akan terjadi nanti. Yang jelas, hidupnya serasa diliputi kekecawaan yang tak ada habisnya. Tiba-tiba, sebuah ide hadir diotaknya. Terdengar gila. Namun harus dilakukan. Karna waktunya takkan pernah ada lagi.

                                                                  ᴥᴥᴥ


“Aku akan bantu kamu untuk memilih, Erza.” Dan Erza kaget ketika mendengar ucapan Nanda ketika mereka sudah tiba dirumahnya. Dia menatap Nanda.
“Memilih apa?”
Nanda membuka handle dashbordnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna putih gading dan dia membukanya dihadapan Erza. Membuat gadis itu merasa kehilangan oksigen untuk beberapa saat. “Aku tau ini bukan waktu yang tepat untuk melamarmu, Za. tapi aku harus lakukan ini. Aku tak mau kamu menjalani hubungan ini kedepannya dengan perasaan terbagi seperti ini. Aku sudah ngobrol dengan orang tuamu di Singapura dan kak Reno soal rencana ini. Mereka setuju apabila kamu setuju. Erza...” Nanda berhenti dan menatap Erza yang gelisah. Dia tau perasaan gadis itu. Terlihat jelas dimatanya. “Aku besok balik ke Jogjakarta. Apabila kamu mau menerimaku, aku akan lupakan masalah ini dan menganggap ini tak berarti apapun dan kamu temuin aku di Bandara jam 6 pagi. Kita berangkat bersama. Tapi bila kamu menolak lamaranku...” Nanda terdiam dan menghela napas. Sungguh dia tak bisa membayangkan kemungkinan yang satu ini. “Kamu boleh pergi dariku dan tak usah menemuiku di Bandara. Anggap aja, ini pertemuan terakhir.” Nanda memasangkan cincin tunangan itu di jari manis Erza yang terdiam dan mencium pipinya “Pilih, Erza. Dia, atau aku.”

Erza menundukkan wajahnya dan menangis. Sungguh dia tak ingin di posisi seperti ini. Posisi dimana dia harus memilih dan harus menyakiti salah satu. Dia tak tega melakukannya. “Jangan paksa aku untuk memilih, Nanda. Aku tak mau menyakiti siapa-siapa.”

“Aku tak mau kamu bersamaku, tapi kamu sakit, Erza.  Pilihlah.” “Dan aku siap menerimanya,” Batin Nanda.
“Nand...” Erza berusaha melepas cincin tunangannya. Mendadak berat untuk mengenakan. Namun ditahannya.
“Putuskan dulu, baru kau lepas.” Nanda menahan tangan Erza dan menghapus air matanya.
“Thanks, udah antar aku pulang, maaf atas sore tadi. Tapi sungguh Nand, aku gak ada apa-apa sama Putra.” Erza memutuskan turun dari mobil.
“Aku tau,” Hanya itu yang dijawab Nanda ketika Erza menutup pintu mobilnya dan berlari masuk rumah.
Nanda memutuskan mengambil ponselnya dan menelpon seseorang.
“Tasya... lo punya nomor Putra? Boleh gue minta?” Pintanya ketika telpon tersambung dan langsung mengalir cerita ketika Tasya meminta penjelasan.


                                                               Ѽѽѽ

“Gue cabut dulu,” Pamitnya ketika membaca pesan dari nomor yang tak dikenal beberapa saat yang lalu. Tapi dia tau siapa yang mengirim.
“Kemana lagi kak?” Tanya Kathy melihat Putra buru-buru mengambil kunci kendaraan dan bergegas ke garasi.
“Ketemuan sama Nanda, Bye.” Kata Putra sambil menutup wajahnya dengan helm dan melaju meninggalkan rumahnya menuju suatu tempat.

“Semoga Kak Putra gak papa, gak main hajar-hajaran. Amien.” Harap Kathy sambil menutup pintu rumah.

                                                                   ---

“Gak susah kan nemu tempatnya?” Sapa Nanda ketika melihat Putra menghampirinya dan duduk didepannya sambil memesan kopi.
“Gak kok, ini tempat kesukaan gue. Jadi gue gak asing,” Putra menjawab singkat sambil memandang cafe tempat mereka bertemu. Membahas cewek yang sama-sama mereka sayangi.
“Gue sudah lamar Erza, gue tau ini kecepetan atau gak matching karna ngelamar dia disaat melihat lo berdua dia. Tapi gue sayang sama dia.”
“Sorry soal itu. Kami Cuma teman, gak lebih,” Ucap Putra. Pupus harapnya sudah.
“Gue tau, dia mati-matian jelasin itu.”
“Lo percaya sama dia kan?”
“Gue lebih percaya apa yang tersirat di matanya daripada apa yang dia ucapkan.”
“Maksudnya?”
Nanda menghela napas berat. Seberat perasaaan yang dia rasakan sekarang. “Gue tau semuanya dari Tasya, cewek yang lo ajak kemaren pada saat kita ketemu di Jogja. Kami ketemu karna ternyata sekampus dan mengambil jurusan yang sama. Walaupun, yah... lo lupa sama hal itu. Yang jadi pertanyaan gue sekarang, bagaimana perasaan lo sama Erza sekarang?”

Putra memilih meneguk minumannya sebelum menjawab. Pertanyaan yang sangat sulit diucapkan. Karna menyangkut masalah hati. “Seperti perasaan lo sama dia. Tapi kalo dia memilih lo, gue terima. Karna... itu pilihan dia. Gue gak bisa maksa.”
“Kalo dia belum memilih gimana? Apa lo tetap perjuangin ngerebut dia dari sisi gue?”
Putra mengernyit bingung. Tak mengerti. “Bukannya lo udah lamar dia?”
“Ngelamar bukan berarti langsung terima kan? Gue minta dia milih gue atau lo. Dan dia akan menjawabnya esok pagi. Disaat gue pergi.”
Melihat Putra tak memberi respon, Nanda melanjutkan. “Kalo dia milih gue, apa lo mau jagain dia seperti lo jaga pacar sendiri?”
“Apa lo gak takut kalo nanti Erza selingkuh sama gue walau dia milih lo?” Pancingnya.
“Gue tau dia, dan gue yakin dia gak akan begitu.”
“Gue mau menjaga dia. Apapun pilihannya.”
Nanda tersenyum. “Kalo dia memilih lo, gue harap lo jangan pernah bikin dia nangis lagi. Kalo sampai itu terjadi, lo gak akan selamat dari gue, Putra.”
“Gak akan pernah.” Ucapnya yakin.

“Tenang gue mendengarnya. Gue cabut dulu yah Put, belum siap beres-beres soalnya. Bye...” Nanda mendadak berdiri dari duduknya namun ditahan Putra.
“Kenapa lo ngomong seolah-olah dia gak milih lo?”
“Karna gue tau hatinya kayak gimana.” Nanda berbalik pergi meninggalkan Putra yang tertegun.


                                                                  ***
“Siapa yang gue pilih, Tuhan? Please... help me,” Harapnya sambil memainkan cincin pemberian Nanda dan meletakkan di meja belajar. Sungguh kalut perasaannya. Tak tau milih siapa.
“Za,,,” Panggil Reno ketika melihat Erza menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Gak tidur?”
“Gue gak tau kak harus gimana,” Curhatnya sambil memeluk Reno. Dan kepalanya dielus pelan olehnya.
“Pilihlah apa yang hati lo ingin, dek.”
“Walaupun harus menyakiti seseorang?”
“Itulah resikonya, dek. Setiap pilihan yang terhampar dihadapan kita, pasti akan ada yang merasa sakit.”
Erza mengangguk dan melepas pelukannya. Dia tau apa yang dipilihnya.
“Gue tidur yah kak,”
“Yap. Udah malam banget soalnya.” Ucap Reno sambil menyelimuti Erza yang langsung pulas tertidur.
“Semoga lo milih yang benar kali ini, dek.” Harapnya sebelum menutup pintu.


                                                               ѾѾѾ
“Yes... i choose you,”


“Erza gak akan pernah datang,” Nanda mengucap lesu sambil melirik jam tangan berkali-kali. Sudah menunjukkan jam 5.45. sebentar lagi pesawat akan menerbangkannya, meninggalkan semua yang tercetak disini.
Nanda menutup matanya, meminta keajaiban walau dia tau itu mustahil, walau dia tau akan ditertawakan oleh hatinya sendiri karna selalu menyangkal. Tapi... biarlah dia berharap, sekali saja.

“Ku pejamkan mata ini...
Ku tertidur tanpa lelap
Tapi ku bermimpi, kau jadi milikku.”


“Nanda...” Terdengar seseorang memanggilnya disaat semua harapan pupus. Disaat dia siap masuk ke dalam pintu keberangkatan. Dia mematung ditempat, tau siapa yang memanggilnya. Karna dia sangat mengenali suara itu. Suara yang dinantikannya.

“Suaramu tetap bernyanyi
Walau sadar ku kian tak ada
Namun ku bahagia, lagumu milikku.”        

“Kenapa, Za?” Nanda menghampirinya dan memeluk gadis itu. Harapan yang sudah hilang dari genggaman, hadir kembali, dialah yang dipilih gadis itu.
“Aku sudah memilih, Nanda.” Erza melepas pelukannya dan melepas cincin yang dikenakannya. Membuat Nanda shock ketika cincin itu kini berada ditangannya.
      “Aku memilihnya, Nand. Aku salah selama ini selalu menutupi apa yang aku rasakan. Tapi... aku gak bisa lagi menutupi lebih dalam lagi. Kamu benar, aku sakit bila terus bersamamu sedangkan hatiku separohnya ada di dia. Tapi.. bukan berarti aku tidak sayang sama kamu selama ini, Nand. Aku sayang ... tapi...”
“Tidak sesayang kamu ke dia kan, Za? Kalo kamu milih dia, kenapa kamu mendatangiku kesini?
            Erza terdiam. Dia tau Nanda akan menanyakannya. “Karna aku tak ingin, apabila kita putus, tak berhubungan lagi. Aku sahabatmu, Nanda. Dulu dan sekarang, dan aku tak mau, karna hubungan ini, persahabatan kita ikut renggang. Kau sahabat terbaik yang aku punya, Nand.” Erza menundukkan wajahnya.
                “Kau mau mengantarku pulang?”
            Erza menganggukkan wajahnya sambil menunduk. Membuat Nanda mendongkakkan wajahnya dengan terlunjuknya. “Aku terima keputusanmu, Za. aku harap, Putra yang terbaik untukmu.”
            “Aku minta maaf Nand udah menyakitimu, Tapi sungguh, Nand... gak ada niat sedikitpun untuk kayak gini.”
            “Aku tau, Za.” Nanda memeluknya lagi. Tanda perpisahan, pupus harapnya sudah untuk memiliki gadis itu. Tapi dia senang, Erza jujur tentang apa yang dia rasakan, walau membuatnya terluka.
            Terdengar suara announcer mengatakan sebentar lagi pesawat menuju Jogja berangkat. Nanda melepas pelukannya dan menatap Erza yang sudah berkaca-kaca. “Aku pergi dulu, yah. Kapan-kapan mampir ke Jogja yah. Aku tunggu, semoga kamu bahagia, Erza. Aku akan mendoakanmu.” Nanda mengucap tulus dan mencium keningnya. Dan Erza membalasnya dengan lambaian tangan ketika Nanda sudah menghilang dari pandangannya.

            Tanpa Erza sadari, Nanda menghapus air matanya yang sempat menetes ketika sudah memasuki pintu keberangkatan. Sungguh sakit perasaannya. Dan dia berjalan menuju pesawatnya dengan luka yang dia tak tau kapan pulihnya.

“Makin ku mencintai...
ku lepas kau kekasih...
biar terbang tinggi...


cinta yang tak mungkin... terbang tinggi...”

*Elyzia – cinta yang tak mungkin.*



◊◊◊


            Erza terlihat melamun dikursi taman sambil memegang ponselnya. Sudah 3 bulan dia putus dengan Nanda. Masih ada perasaan tak enak dihatinya. Walau Nanda sudah meyakininya mati-matian, diikuti kak Reno yang selalu mengingatkan bahwa ini keputusannya.

            “Kok melamun?” Tanya Putra sambil menyodorkan minuman kalengan ke Erza dan duduk disampingnya. Dia tau apa yang di pikiran gadis itu. Dia tau semuanya dari Nanda yang langsung menelpon pada saat tiba di Jogja.
            “Gak kok,” Elaknya sambil mencoba bangkit dari tempatnya. Namun Putra menahan lengannya.
            “Temanin gue bentar. Udah lama gak duduk bareng kayak gini sambil liat Angsa sedang pacaran,” Pintanya sambil menarik Erza agar duduk disampingnya.
            “Terus? Lo mau kita pacaran kayak Angsa gitu?” Erza menunjuk Angsa yang sedang memadu kasih di tengah danau. Sungguh tenang hatinya.
            “Menurut lo gimana? Kita pacaran gaya angsa atau gaya kita sendiri?” Pertanyaan Putra membuatnya bingung harus jawab apa.
            “Kalo gaya kita sendiri gimana?” Tanyanya. Membuat Putra tersenyum.
            “Seperti ini,” Perlahan, Putra mendekatkan wajah kearahnya lalu berbisik ditelinganya, “Maukah, kau menjadi pacarku?” Pintanya sambil menyelipkan anak rambut yang menghalangi telinganya lalu meniup pelan hingga Erza merinding.
            “Beri aku waktu, Putra.”
            “Waktu apa?”
            “Waktu, untuk selalu ada disampingmu. Ya... aku mau,” Erza mengangguk dan membiarkan Putra memeluknya erat.
            “I love you, Erza.” Putra berbisik ditelinganya lalu mencium pipinya. Membuat Erza serasa ingin tersenyum kepada siapa saja yang melihatnya. Untuk membuktikan bahwa dia bahagia saat ini. Sangat bahagia.
            “Love you, too.” Erza balas berbisik dengan wajah malu dan membiarkan Putra menciumnya. Dia memeluk lehernya agar Putra semakin dekat dengannya.

            Tanpa disadari keduanya, Ada seseorang yang melihat kejadian itu semua. Dia memegang dadanya, sungguh sakit hatinya dan menatap gadis yang disebelah Putra itu dengan dendam.


∏∏∏

           
           
            Sejak berpacaran tiga bulan lalu, Erza dan Putra semakin lengket kayak perangko klop dengan amplop. Tak terpisahkan. Selvi sering mengamati kebersamaan mereka dan tersenyum ketika berpapasan. Seolah ikhlas. Tanpa sengaja, dia melihat Erza jalan sendiri saat keluar dari ruang dosen. Tanpa banyak cingcong, dia menghampirinya.
            “Za... bisa ngobrol sebentar?” Pinta Selvi ketika Erza mengerutkan kening melihatnya tak biasa menghampirinya.
            “Mau ngomong apa, Sel?” Erza sedikit berhati-hati dengannya. Baginya, Selvi adalah orang yang pernah mencoba membunuhnya, dan mantannya Putra. Entah apa yang dipikiran gadis itu, yang jelas, membuatnya tak tenang.
           
“Kita jangan ngomong disini, Za. terlalu penting untuk didengar orang.”
            “Lo mau ngomong apa, Sel? Gue ada kerjaan,”
            “Lo sampai jam berapa dikampus?”
           
“Sampai jam 3 sore sih. Ada yang gue urus disini.”
            “Lo ikut yang kuliah di luar negeri selama 2 tahun itu?” Selvi mencoba menebak ketika melihat map yang dipegang Erza dan gadis itu mengangguk senang.
            “Yap. Gue pilih Belanda. Udah diterima sih, tinggal ngurus aja lagi. Jangan dikasih tau sama Putra yah, ntar ngamuk. Ahahhaa...”
            “Tenang saja. Bagaimana jam 3 itu kita ketemu ditaman?”
           
            Erza berpikir sejenak. Lalu memandangi Selvi. Sekedar ingin tau apa yang direncanakannya kali ini. Namun dia menyerah. Dia tak sepandai Putra atau Nanda untuk membaca pikiran orang hanya dengan matanya. “Ok deh. see ya...” Erza mengacungkan jempolnya dan pergi meninggalkan Selvi yang tersenyum sinis.

            “I’ve got you,”



ͼ.ͽͼ.ͽͼ.ͽ

           
“Sorry, Sel. Udah lama nunggu?” Erza berlari menghampiri Selvi yang asyik duduk dikursi dan memandang danau yang agak beriak.
“Yap... gak papa,” Selvi menoleh kearahnya dan tersenyum ketika Erza duduk disampingnya.
“Lo mau ngomong apaan?”
“Kita berdua sama-sama tau bagaimana Putra kalo udah berhadapan dengan cewek, iya kan, Za? “Selvi membuka pembicaraan.
               
“Maksud lo apaan ngomong begini, Sel?”
            “Putusin Putra. Lo gak akan bisa dapatkan dia, Erza. Gak akan pernah bisa.” Ucapan Selvi yang tenang serasa petir di siang bolong baginya.
            “Lo kenapa sih, Sel?! Lo gak terima gue pacaran sama dia!? Lo masih sayang sama dia?! Sorry, Sel. Dia sayang sama gue, bukan sama lo.” Erza berdiri dari duduknya dan pergi. Sia-sia dia duduk manis beberapa menit untuk mendengarkan omongan bikin emosi dari Selvi. Namun langkahnya tertahan ketika Selvi mengejarnya dan memberinya map.
            “Lo liat aja,” Jawabnya ketika Erza mengangkat alisnya dan membuka map lalu merasa limbung seketika. Dunianya runtuh.

            Dia melihat beberapa foto Putra sedang memasang cincin untuk Selvi disuatu tempat ramai, dan beberapa foto menunjukkan ketika Putra berciuman mesra. Pandangannya mengabur seketika, foto yang dia pegang basah oleh air matanya.
            “Maksud lo apaan, Sel?”
            “Itu foto gue tunangan dengannya di Jerman.” Selvi menjelaskan sambil memamerkan cincin yang dikenakan di jar manisnya. “Gue udah tunangan sebelum balik ke Indonesia. Dan pas kami putus, dia ajak kami balikan lagi, Erza.”
            “Tapi sekarang, lo putus kan sama dia?”
            “Gue emang putus sama dia, Erza. Tapi dia melupakan hal yang penting. Sangat penting!” Selvi mengambil map ditangan Erza dan meletakkan sebuah foto yang membuat Erza menggeleng dan merobeknya.
            “Lo bohong! Lo tukang bual, Selvi! Gue gak percaya sama mulut berbisa lo!” Erza semakin merobek foto yang diberi Selvi. Sungguh sakit hatinya. Tak menyangka akan seperti ini.
            “Lo boleh menyangkal sekuat lo mau, Za. tapi inilah kenyataannya. Gue hamil! Gue dihamilin pacar lo sendiri! Lo tau, foto yang lo robek sekuat tenaga, adalah foto USG gue!  Lo gak akan pernah bisa, Erza. Gue, mengandung anak dia. Dan lo, Cuma dikasih cinta palsu olehnya!”
            “Kenapa bisa, Sel?! Kenapa lo segitu murahnya nyerahkan itu padanya?! Kenapa, Sel?!”
            “Gue udah bilang dari awal, Erza. Kita sama-sama tau Putra itu gimana apabila sudah berhadapan dengan cewek yang paling disayanginya. Asal lo tau, Za. GUE GAK SEMURAH YANG LO PIKIR! Gue memberi hal yang paling beharga dihidup gue karna gue yakin bahwa kami selamanya akan bersama. Gue yakin dia akan tanggung jawab atas apa yang gue tanggung nanti. Tapi nyatanya apa, dia malah mengejar lo!” Selvi menatap sinis Erza yang masih tak percaya dengan apa yang diucapkan. “Dan asal lo tau, Erza. Putra udah gue kasih tau soal ini dan akan tanggung jawab. Dia akan mutusin lo dan balikan sama gue. Tapi gak sekarang, dia nunggu waktu yang tepat untuk mutusin lo. Nah... Erza... apa yang lo lakuin sekarang? Kita sama-sama wanita, Za. tau perasaan masing-masing, apa lo tega ayah dari anak gue kandung, pacaran dengan lo? Kalo lo jadi gue, gue gak akan segitu murahnya kayak gitu.”
           
            “Berapa kali lo berhubungan dengan dia?”
            “Setiap kami bertemu. Gak pernah absen. Pantes aja gue jebol.”

            Erza terdiam. Hatinya sakit sekali. Inikah karma karna dia menyakiti Nanda? Inikah perasaan Nanda ketika dia lebih memilih Putra daripada dia, yang mati-matian sayang padanya? Kalau perasaannya seperti ini, dia harus minta maaf kepada Nanda. “Gue akan putusin dia. Sekarang. Jadi dia gak perlu repot-repot kasih alasan masuk akal supaya putusin gue,” Erza langsung pergi meninggalkan Selvi. Baginya, tak ada alasan untuk berlama-lama didepan Selvi yang sudah melihatnya hancur. Dia berlari meninggalkan taman menuju parkiran mobil. Tanpa mempedulikan tubuhnya basah kuyup karna hujan mengguyur deras. seperti mengetahui isi hatinya.  Tanpa mempedulikan Putra yang memanggilnya dari tadi.
            “Erza...Erza...” Putra memanggilnya ketika melihat gadis itu lari dari arah taman sambil menangis.
            “Shit! Kunci mobil gue manaaaa?!!!!!” Erza mengumpat sambil mengaduk-aduk tasnya karna tak menemukan kuncinya. Sedangkan hujan semakin deras turun. Tiba-tiba, alarm mobilnya berbunyi tanda kunci terbuka dan dia menoleh untuk melihat siapa yang membukakan.
            “Mau kemana sayang? Kamu kenapa?” Putra berdiri disampingnya sambil memegang kunci mobil Erza yang sengaja dititipkan gadis itu padanya karna sering lupa naroh dimana.
            “Gak usah panggil gue sayang! Kita Putus!” Tanpa memberi penjelasan lebih rinci, Erza mengambil kuncinya secara kasar sebelum Putra menariknya dan langsung masuk dalam mobil, melaju meninggalkan kampus. Membuat Putra langsung menelponnya berkali-kali minta penjelasan. Tapi di rejectnya.
           
            “Go to the Hell, Putra! I hate you!” Umpat Erza berkali-kali sambil mengusap sendiri air matanya dan memukul stir serta membunyikan klakson berkali-kali tanda frustasi. Sesak hatinya sekarang. Dia hanya ingin pulang... yah... Pulang.


͋ ͋ ͋ ͋


“Lo kenapa, dek? Putra ngapain lo?” Tanya Reno kaget ketika melihat Erza pulang kerumah basah kuyup, padahal bawa mobil dan mata bengkak seperti habis nangis.
Erza mengabaikan pertanyaan Reno. Dia tak ingin mendengar nama Putra dimanapun dia berpijak. Baginya, Nama Putra adalah kutukan. “Kak... kalo dia kerumah nyari gue, bilang gue gak ada. Dan gue pengen, lo jangan sebut nama dia dirumah ini, dimanapun gue berada. Gue benci!”
“Lo berantem, Za?” Reno tak habis pikir bagaimana bisa Erza benci setengah mampus dengan Putra. Padahal sebelum-sebelumnya kesengsem.
“Gue putus sama dia kak! Dia ...” Erza teringat ucapan Selvi dan langsung terduduk dilantai dan menangis sambil menutupi wajahnya dengan tangannya. Sakit...
“Dia kenapa dek? Kenapa lo bisa putus?”
Erza menggeleng. Dia tak sanggup menceritakan dari mulutnya sendiri. Mendengar saja sudah membuatnya ambruk. “Gue gak mau bahas itu kak. Gue mau sendiri. Please...” Dan Reno pun tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui kehendak sepupunya itu. “Yasudah. Lo istirahat sana. Ntar kalo ada Putra gue bilang lo belum pulang.”
“Thanks.” Erza bangkit dari duduknya dan langsung menuju kamarnya sambil sesekali mengusap air matanya yang terus turun membasahi pipinya.
Melihat Erza sudah masuk kamar, Reno langsung mengambil ponselnya dan mencari sebuah nama di kontaknya dengan wajah penuh amarah. “Lo apain adek gue, Putra?!” Bentaknya dan mulailah perdebatan sengit antar pria lewat telpon.


͊ ͊ ͊ ͊


            Erza baru saja selesai mandi dan langsung membuka laptopnya untuk mengecek apakah ada email masuk atau tidak. Ketika dia melihat bahwa ada yang masuk, dia membacanya kemudian tertegun sendiri. Membuat keputusan.
            “Mungkin, ini cara Tuhan agar gue pergi, yah... pergi...” Erza bergumam sendiri sambil memandang emailnya dan melirik foto mereka yang sedang tersenyum dengan latar belakang pantai. Membuat air matanya menetes lagi. Sakit itu masih sangat menancap dihati. Dia mencintainya, kenapa malah dikhianati seperti ini? Dia menerima keadaan Putra amnesia, tapi kenapa selalu ada halangan dihadapannya? Apakah dia memang ditakdirkan untuk berpisah? Hanya Tuhan yang tau.

“Bye... selamat berpisah lagi
meski masih ingin memandangimu
lebih baik, kau tiada disini
sungguh tak mudah bagiku..

menghentikan segala, khayalan gila
Jika kau ada, dan ku Cuma bisa
Meradang menjadi yang disisimu,
Membenci nasibku yang tak berubah.”

Lamunan Erza terputus ketika mendengar ponselnya berbunyi. Dia meliriknya dan langsung mereject ketika tau siapa yang menelpon walau namanya sudah tak ada lagi. Dia menghapus semua yang berhubungan dengan Putra, walau ada satu yang tak bisa dihapusnya, kenangan yang melekat kuat diotaknya.

            “Gue pergi... yah... pergi. Memulai hal yang baru tanpa perlu lo jadi bayangan gue. Good bye,” Erza menatap foto mereka berdua dan melemparnya ke bak sampah. Dia memutuskan untuk tidur dengan rencana yang menari-nari dikepalanya agar bisa menyusun semuanya dalam waktu sebulan sebelum pergi.



̈́ ̈́ ̈́ ̈́ ̈́ ̈́


            “Hati-hati yah kak. Jaga rumah gue, jangan sampai lo hangusin karna masakan lo ikut hangus. Gue akan kangen sama lo, kak” Pamitnya dengan menenteng koper dan ransel dipundak. Erza pamit pergi dengan Reno untuk mengambil Beasiswa di Belanda selama 2 tahun sebelum kembali ke Indonesia. Dia memutuskan dengan matang-matang. Dan dia mengurus semuanya sendiri walau harus kucing-kucingan dengan Putra yang selalu berkeliaran dimanapun dirinya berada. Dia tak ingin bertemu cowok itu lagi. Tak ingin menghancurkan semua harapan yang disusunnya perlahan.
            “Lo serius dek?” Sampai detik ini, Reno masih tak percaya Erza akan meninggalkannya selama itu. Walau dia tau alasannya dari Erza sendiri kenapa harus pergi, tetap saja dia tak terima.
            “Gue serius, kak.” Ucapnya tegas. Membuat Reno tak bisa berkata apa-apa selain menyetujuinya.
            “Gue ikhlasin. Keep contact yah. Lo mau gue anter?”
            “Gak usah. Gue mau keliling dulu sebelum ke Bandara. Bye.” Erza mengecup pipi Reno sebelum masuk dalam mobil dan pergi meninggalkan Reno yang langsung menelpon seseorang. Meminta pertanggung jawaban.

            “Kathy... alamat rumah lo dimana? Putra ada? Oh...ya...ya... gue samperin, Bye.” Reno langsung memutus telponnya dan mulai menekuk sepuluh jarinya sambil menyeringai. “Kayaknya gue memang perlu turun tangan untuk masalah ini,” Gumamnya dan langsung pergi ke rumah Putra.
           

͒ ͒ ͒ ͒ ͒ ͒


            “Lo hamilin Selvi?! Jawab, Putra!” BUK! Reno menonjok Putra kalap. Membuat Kathy langsung melerainya, diikuti Restu.
            “STOP! Ini rumah gue, Kak Reno! Lo gak bisa main hajar orang selagi gue ada disini!” Kathy membentak Reno yang lengannya dipegang Restu selagi dia membantu Putra berdiri yang tak tau apa-apa. Yang dia tau hanyalah, Reno langsung mendobrak kamarnya dan menuduhnya dengan tuduhan gila.

            “Gue hamilin Selvi?! Demi Tuhan, Ren! Jangankan hamilin dia, gue aja gak pernah liat bodi dia gak pakai baju kayak gimana!” Putra membela dirinya dari tuduhan yang sangat mencemarkan nama baik itu.
            “Erza meliat semuanya, Putra! Dia cerita ke gue! Itulah sebabnya dia putusin lo! Dan sekarang, dia pergi! Yah... pergi!” Reno berteriak dan membuat Putra terdiam. Erza pergi... belahan jiwanya pergi... sudah cukup dia diputusi tanpa alasan, jangan sampai dia ditinggalkan hanya karna alasan yang sangat menjatuhkan reputasinya sebagai pria.
            “Dia pergi kemana, Ren?! Jawab gue!” Putra memegang kerah baju Reno dan membuatnya mendapat tonjokan lagi.
            “Ke Belanda! Lupain lo! Dia melihat semuanya, Put. Dari foto tunangan hingga Foto USG. Lo bisa apa, Putra?!” Reno menyeringai mengejek.

            Putra langsung mengambil kunci mobilnya. Pikirnya hanya satu, menghalangi gadis itu pergi dan menjelaskan semuanya, sebelum terlambat.
“Minggir! Gue mau lewat!” Bentaknya ketika Reno menghalangi jalan.
“Lo mau kemana? Gue belom selesai ngomong!”
“Gue mau nyusul Erza ke bandara! Gak akan gue ijinin dia pergi!”

Reno semakin menghalanginya. “Hadapin gue dulu, baru gue ijinin! Gue gak peduli kalo tingkah gue bakal bikin lo gak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi ke Erza! Kalo lo gak sempat, berarti dia memang pantas pergi dan mencari seseorang yang bisa mencintainya tanpa harus selalu menangis karna lo! Lo bisa menunggunya selama dua tahun kalo itu terjadi, itupun kalo lo sanggup dan dia mau.” Reno menjawab enteng. Seolah-olah itu biasa saja.
“Lo mau apa, Ren? Lo gak restuin gue dengan Erza?” Putra mulai putus asa dengan tingkah sepupu pacarnya ini yang dirasa lebih tiran dari suami Siti Nurbaya.
“Gue setuju apapun pilihan Erza asal dia bisa bahagiain sepupu gue. Lo mau tau keinginan gue? Gampang! Lo harus ingat siapa Erza di hidup lo sebelum amnesia, dan apa yang paling dia takutin dan dia senang. Kalo lo bisa mengingat semuanya, gue akan restuin. Kalo enggak, jangan harap lo bisa keluar kamar dengan gue didepan lo ini, Putra!”

“Lo gila kak!” Kathy mendengus marah. Dia tak yakin Putra bisa mengingat semua itu disaat terjepit.
“Gue gak gila, Katherine! Gue hanya ingin dia sadar, siapa Erza di hidup dia dulu dan sekarang, itu saja! Dia selama ini meremehkan sepupu gue akan terima keadaan amnesianya tanpa harus berusaha mengingatnya lagi!”

Putra merasa tertampar mendengar ucapan Reno. Dia berusaha mengingat keras siapa Erza dikehidupannya dulu sebelum amnesia, dia harus ingat...sebelum semuanya terlambat, sebelum dia tak bisa bertemu lagi, sebelum... ah... dia tak bisa membayangkan apabila itu terjadi. Entah dia harus kemana lagi kalau sampai itu terjadi, Belanda sangat luas, jauh dari genggamannya.

“Arrgghh...” Putra mengernyit kesakitan sambil memegang kepalanya. Semuanya, kenangannya, hadir dalam otaknya tanpa antre. Dia mengingat semuanya, dia ingat saat pertama kali ketemu Erza, saat mereka main pentas Putri tidur, saat dia mencium gadis itu pertama kali waktu tidur dan sampai saat ini Erza tak tau, dan saat dia pergi meninggalkan Erza dan memberinya sebuah janji... yah ... janji yang dia buat, namun dia sendiri menghancurkan karna membawa Selvi kedalam hidupnya.

“Lo kenapa kak?” Kathy cemas sambil mendelik jengkel ke arah Reno. Kalau sampai Putra kenapa-napa, Reno lah yang akan dia tuntut terlebih dahulu.

“Gue ingat siapa dia,” Putra terbata-bata mengucapkan sambil memegang kepalanya yang serasa ingin pecah.
“Oh ya? Siapa dia buat lo, Putra?”
“Dia..” Putra tersenyum walau kepalanya sakit.“cewek paling galak dan gak tau diri waktu MOS, dia bentak gue padahal dia tau gue panitia, dia cewek yang paling gak terpesona sama gue disaat teman-temannya memuja gue, dia cewek yang bikin gue bertekad untuk mendapatkannya. Dan dia... cewek yang dijodohin nyokap sama gue dan gue sempat tinggal dirumahnya selama 4 bulan. Dia suka bunga tulip, coklat dan hujan. Paling takut dengan petir, dan film hantu.” Putra menjelaskan panjang lebar. Membuat Reno tersenyum. Kathy hendak menangis saking terharunya.

“Kejarlah dia, Putra. Gue yakin, lo pasti tau dimana dia berada kan?” Reno menepuk pundak Putra.
“Thanks. Gue tau dia dimana,” Putra tersenyum dan langsung keluar kamar meninggalkan mereka yang berdoa, agar bisa bertemu Erza.
“Kalau sampai sepupu gue gak ketemu Erza...” Kathy mengancam Reno dengan suara mendesis “Lo yang pertama akan gue bunuh, kak.”

Restu hanya mengangguk tanda menyetujui dan  Reno hanya nyegir.


΅΅΅

            “Hujan...” Serunya pelan sambil menengadahkan tangan. Menikmati tetesan hujan yang dari dulu sangat disukainya. Erza duduk di taman sambil menatap danau yang tenang meski hujan semakin deras. tak ada niat sedikitpun untuk masuk mobil. Dia membiarkan tubuhnya basah kuyup. Dia menutup matanya. Mengingat semua yang pernah terjadi dengan Putra dikala hujan. Membuatnya menangis.

“Kenapa lo nyakitin gue, Putra? Udah cukup lo pergi tanpa pamit, kembali dengan bawa Selvi dan sekarang lo malah menghamilinya. Dan sekarang, dengan bodohnya gue duduk disini, di tempat lo pernah bilang kita akan ketemu lagi, walau gue sadar 100%, lo gak akan pernah ingat janji itu.” Yah... lo gak akan pernah ingat.” Erza bergumam sendiri. Meratapi kebodohannya.
“Kata siapa gue lupa sama janji yang pernah gue ucapin?” Tau-tau Putra berdiri dibelakangnya. Membuat Erza terlonjak dan menoleh.
“Hujan sayang, teduhan yuk.” Ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang payung. Namun ditepisnya.
“Buat apa lo kesini?” Erza bertanya dengan suara dingin dan gemetar menahan dingin.
“Menyusul lo, sayang. Sekalian mau menyuruh lo pulang.”
“Gue gak mau pulang! Lo tau, Putra, 2 jam lagi gue akan ke bandara! Ninggalin lo! Jadi, gue mohon, lo pergi dari kehidupan gue! Gue benci!” Erza menjerit ketika tangannya dipegang dan dipeluk Putra dengan payung yang menaungi mereka.
“Please... don’t leave me, dear.”
“Lo gak tau betapa sakitnya saat gue tau bahwa pacar gue ternyata akan punya anak dari mantannya. Tunangan pula! Gue ngerasa bodoh mau menerima cinta lo.”
“Demi Tuhan, Erza Noor Assifa, Gue gak pernah hamilin Selvi! Lo boleh minta gue test DNA kalo lo mau, gue gak tunangan sayang. Gue gak pernah tunangan sama dia, sama cewek lain. Gue hanya mau lo.”
“Bulshit!” Erza mendesis. Membuat Putra langsung melepas pelukannya dan menatapnya.
“Look at me,dear. You’ll be see a honesty in my eyes. I just love you. Gue gak pernah hamilin dia. Percaya sama gue, Erza.”
“Tapi..foto itu.. gue liat lo ciuman sama dia, lo pasangin cincin ke dia, gue liat semuanya, Putra! Gue liat! Dan USG itu, Oh God... you can’t imagine how broke my heart when i knew it!”
“USG bisa aja dia ambil foto lain terus ngaku-ngaku itu punya dia, Erza.”
“Kalo foto lo ciuman? Lo mau bilang dia nyewa orang yang mirip lo terus ciuman gitu?”
“Gue gak nyangkal hal itu, Erza.” Putra masih menatap Erza yang menangis dan menghapus air matanya yang terus membasahi pipinya. “Gue pernah sayang sama dia, tak ingin kehilangan dia, dan gue abadikan dalam foto. Dan foto yang lo bilang itu kami tunangan, lo salah besar. Karna apa? Seingat gue, itu foto diambil pada saat sepupu gue di Jerman, James ingin mengajak pasangannya tunangan. Dan kebetulan postur tubuh tunangannya itu mirip sama Selvi, jadi kami nyoba cincin itu di toko perhiasan dan minta James yang fotoin. Tapi gue gak nyangka itu akan jadi senjata mata tuan untuk kehilangan cewek yang sangat gue cintai,”
“Lo sayang sama gue?” Erza luluh dengan penjelasan Putra. Namun tak ingin menunjukkan.
“Lebih dari apapun didunia ini, Erza.”
“Lo sayang, tapi lo lupa siapa gue, Buktinya... sampai sekarang, lo gak ingat kan siapa gue?”
“Lo liat wajah gue bonyok karna apa?” Putra menunjuk wajahnya sendiri. Membuat Erza sadar banyak memar diwajahnya. Bahkan darah masih menetes karna tercampur dengan air hujan.
“Lo dihajar siapa?”
“Gue dihajar Reno karna tak bisa mengingat siapa lo di dunia ini. Seandainya gue gak bisa ingat lagi, mungkin kita gak akan ketemu lagi, Za. lo pergi, dan gue disini, menyesali nasib gue.”
“Siapa gue di hidup lo, Putra Eduardo Pradipta?”
“Kamu...” Putra mengubah panggilannya dan mengecup kening Erza. “Cewek yang bikin aku merasa paling beruntung karna mengenalmu, cewek yang bikin aku merasa, ini adalah hari terindah dalam hidupku karna bisa mengingatmu dan mengatakan, kalau aku mencintaimu lebih dari yang pernah kamu bayangkan, Erza Noor Assifa. Dan...” kedua pipinya tak luput dari ciuman Putra. “Maukah kamu menjadi cewek yang terakhir untukku? Aku memang tak menjanjikan bisa melindungimu, tapi aku berjanji akan selalu ada disisimu di saat kamu butuh.” Dan Putra menatap Erza yang hendak mengeluarkan kristal dipelupuk matanua.
“Kamu mau mencintaiku? Baik buruknya?”
“Iya... baik buruknya aku terima. Karna disitulah sisi sempurnamu, Erza.”
“Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Selalu bersedih apapun terjadi
Apapun yang terjadi...
Kau jadikan aku, ada.
“Once*

            Erza menganggukkan wajahnya. Dia tersenyum dengan air mata menetes. Sungguh, dia terharu dengan keseriusan Putra. Semua halangan yang dia hadapi, terbayar dengan Putra mengucapkan kalimat itu padanya. Kalimat yang dia tunggu. Dan tak ada lagi yang meghalangi mereka untuk bersatu.

            “Tiada lagi yang mampu berdiri
Halangi rasaku, cintaku, padamu.”

            “Aku mau” Ucapnya dan Putra melepas payung yang menaungi mereka dan berpelukan erat. Inilah yang dia inginkan. Bersama gadis yang sangat dia cintai. Dan takkan pernah dia lepas lagi, sejengkal pun.
            “Kamu jadi ke Belanda? Tinggalkan aku?” Putra melepas pelukannya dan menatap Erza.
            “Iya... karna aku sudah mengurus semuanya.”
            “Aku ikut,” putusnya dan Erza melongo.
            “Ikut aku?”
            “Iya... aku gak mau kamu sendiri disana, terus kecantol pria Belanda dan melupakanku. Bulan depan, aku akan menyusulmu. Karna aku juga mendapat beasiswa.” Ucapnya dan membuat Erza melompat bahagia.
            “Serius? Akhirnya...” Erza terlalu bahagia untuk bisa berkata apa-apa dan dia menatap langit dan melihat pelangi seolah diatasnya. Menaungi mereka.
            “Beautiful Rainbow.” Pujinya sambil mendongkakkan wajah keatas.
            “Iya... tapi tak secantik kamu, Erza Noor Assifa. I love you, for yesterday, now, and tomorrow.” Ucapnya dan sebelum Erza menjawab, dia sudah membungkam dengan ciumannya. Erza yang kaget dengan itu, langsung membalasnya dan melingkarkan tangan dilehernya. Dengan pelangi diatas mereka dan hujan yang sudah mulai mereda. Dan dia bersyukur, karna telah menemukan apa yang menjadi sumber senyumannya.

“Ku bahagia, kau telah terlahir didunia
Dan kau ada, diantara miliaran manusia
Dan ku bisa, dengan radarku, menemukanmu.”

*Maudy Ayunda – Perahu Kertas*


Epilog.
           
“Sayang... Bagaimana kalo kita satu kamar aja? Biar hemat bayar gitu,” Putra menggoda Erza yang asyik melirik jalan raya dari atas apartemennya di Belanda. Ya... mereka berdua pergi ke Belanda untuk beasiswa, Putra menepati janjinya untuk mengikuti kemanapun Erza pergi asalkan dia mau menunda keberangkatannya. Maksudnya biar bareng nyampe. Dan Erza pun, dengan sedikit ancaman maut ala Putra, akhirnya menggeser semua jadwalnya.

Erza menatap Putra dengan kesal. Kadang dia bertanya dalam hati, kenapa mau-maunya sayang dengan cowok genit, sengak macam Putra. “Sejak kapan kamu mikir soal hemat biaya? Yang ada kamu lebih boros dari aku, sayang.”

Putra tersenyum untuk meluluhkan hati Erza. Namun sayangnya, Erza sudah tak mempan lagi dengan senyum maut bikin cewek-cewek histeris itu. “Jadi, kita pisah kamar gitu?” Tanyanya dengan wajah pura-pura kecewa.

Erza mendekati Putra dan mendongkakkan wajahnya karna Putra terlalu tinggi untuknya sekarang. “ Memangnya aku harus berapa kali mengingatkan perjanjian yang kita bikin, Putra? Kamu kan sudah setuju!”

“Iya sih... Tapi...” Putra menggaruk kepalanya yang tak gatal dan menatap Erza. Dia yang tau apa arti tatapan pacarnya itu, pasang badan siap lari. “Apa kamu lirik-lirik?! Mau maksa aku untuk tidur bareng? Gak usah!”

Tanpa bisa dicegah apalagi diantisipasi, Putra langsung menggendong Erza masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu dengan kakinya dan meninggalkan barang-barangnya diluar kamar. Baginya, menggoda Erza lebih penting.

“Sayang... are you ready?” Ucapnya ketika dia menidurkan Erza dikasur dan tersenyum. Membuat Erza mendadak sulit menelan ludah.
“Rileks,” Putra menenangkan Erza yang agak panik dan dia mendekatkan wajah kearahnya dan ...dan...





Oke semuanya... akhirnya ending juga. Thanks yah yang selama ini ikutin ceritaku dari awal berantem hingga menjadi... yah... seperti ini. Hahahaha... without you, reader, they just my imagination who i can’t explore it.

PS : kalau ada yang nunggu sekuelnya, tunggu aja ampe lumutan yah. Kenapa? Soalnya cerbung lain menunggu dikelarin. hahahahaha


FIN