“Za, bikinin gue makanan dong, Gue
lapar.” Sambil mengelus wajah Erza dan mencium pipinya sebagai ucapan terima
kasih dari seorang Putra untuk Erza.
Erza yang tak siap dengan “Serangan
Siang bolong” ala Putra, hanya bisa menunduk malu untuk menyembunyikan semburat
merah di wajahnya yang putih bersih.
“Iya. Gue ke dapur dulu yah.” sambil
berdiri dan membawa baskom serta obat-obatan dan secepat kilat pergi ke dapur
sebelum wajahnya semakin merah, mengalahkan kepiting direbus tujuh hari tujuh
malam
Putra yang melihat tingkah Erza yang
pengen ngilang itu, hanya tersenyum simpul sambil rebahan dan menatap
langit-langit kamar, berharap ada sepercik kenangan yang disembunyikan,
terpampang jelas di langit-langit kamar yang kusam dan penuh jaring laba-laba
itu.
“Kayaknya gue bisa ingat sama Lo Za.
Tapi gimana caranya supaya gue beneran ingat sama lo? masa gue harus bonyokin
wajah lagi? Entar ilang wajah ganteng gue.” Sambil menatap tajam langit-langit
kamar, dia bergumam narsis yang dijamin buat Erza muntah darah.
Sementara Putra asyik rebahan di
kamar, Erza malah asyik sibuk wara-wiri mencari bahan makanan apa yang bisa dia
masak, sekalian menghilangkan debaran jantung yang marathon karna ulah Putra.
“Kayaknya gue harus jauhin tuh
kunyuk deh! Sebelum gue mati muda karna jantung gue dag dig dug mulu!.” Sambil
mengomel panjang lebar dan senyum yang selalu tersungging di bibirnya yang
tipis setiap dia teringat perlakuan Putra kepadanya, seperti seorang Putri yang
selalu diimpikan oleh banyak cewek seumuran dirinya yang di selamatkan oleh
Pangeran Tampan.
Selama setengah jam “perang”
didapur, akhirnya kelar juga masakannya, hanya semangkok mie goreng, namun
dicampur dengan bumbu-bumbu kesengsem dan malu-malu ala cewek kesengsem, bikin
rasanya misterius.
Tok…tok…tok… bunyi ketokan pintu
membuyarkan lamunan Erza akan Putra. bergegas dia lari menuju pintu dan
tersenyum ketika dia membuka pintu, Nanda tersenyum manis, namun wajahnya
terpampang jelas agak bingung.
“Eh Nand, ada apa?.” Dengan wajah
heran melihat Nanda kebingungan sambil mengacak rambutnya yang agak panjang dan
ikal itu.
“Eum…Anu… Putra mana Za? gue mau
ngambil sepeda yang dia pinjam, Udah ditagih ama yang punya.”
“Oh… sepeda itu yang lo maksud? Ada
tuh dikamar, mau gue panggilin?.”
“Yup. Gak usah Za, gue bentar aja
kok. by the way, lo kapan pulang?.”
“minggu depan Nand, kenapa?.”
“Enggak, gue kangen aja entar sama
lo. hahaha…” sambil tertawa memamerkan giginya yang putih.
“Hahaha… apaan sih lo. eh, masuk
yuk.” sambil mempersilahkan Nanda masuk dalam rumah.
merasa tak enak, akhirnya Nanda
masuk dalam rumah dan duduk diruang tamu. Erza pun langsung masuk dapur untuk
bikin minuman dan keluar lagi sambil membawa minuman yang dia bikin lalu duduk
berhadapan. dan sebentar saja, mulai terlibat obrolan seru.
“Eh Nand, lo cerita dong soal hidup
lo gitu. lo masih playboy gak?.” tanya Erza diselingi tawa karna dia
penasaran dari dulu, siapa yang jadi pacar Nanda sekarang, mengingat statusnya
waktu SMP adalah playboy cap Komodo.
“apa yang harus gue ceritakan Za?
wah… Sorry Za, gue sekarang setia sama satu cewek.” curhat Nanda yang membuat
Erza semakin penasaran.
“Wah… siapa cewek yang ketiban sial
pacaran sama lo?,” Tanya Erza sambil menghindar ketika bantal kursi tamu
melayang gemas kearahnya.
“Bukan pacaran sih, Gue naksir sama
dia, tapi gak tau deh gimana perasaan tuh cewek. soalnya dia rada-rada cuek
gitu. dan, dia sahabat gue sejak SMP.” Sambil mengucapkan kata terakhir itu,
dia menatap Erza dan tersenyum manis, membuat gadis itu salah tingkah.
“Kenapa gue jadi gugup begini?
kenapa gue jadi ngerasa dia… Ah… gak mungkin.”
asyik-asyiknya saling bertatapan,
Putra keluar dari kamar Erza sambil mengucek matanya yang merah karna ketiduran
dan wajahnya yang memar sana-sini, memancing pertanyaan bagi yang melihat,
termasuk Nanda.
“wajah lo kenapa Put?,” tanya Nanda
ketika melihat Putra duduk disamping Erza dan menatapnya tajam, seolah-olah
ingin memakannya hidup-hidup.
“habis berantem sama Tikus, Thanks
atas sepedanya yah.” Jawab Putra yang masih menatap Nanda lurus dengan tatapan
seolah-olah ingin mengusirnya karna seenaknya duduk bareng Erza dan saling
menatap disaat dia ketiduran.
Merasa hawa yang dingin mendadak
panas dengan kedatangan Putra, Nanda pun berdiri dari duduknya dan berjalan
keluar diikuti Erza dibelakangnya “Gue pulang dulu yah Za, Sore gimana? Bisa?.”
Dengan wajah penuh harap dan agak ingin menjauh karna Putra selalu menatapnya,
seolah-olah dia sebentar lagi akan menculik Erza.
“Ketemu Rani? Tentu saja! Gue kangen
sama dia. coba aja gue bisa bawa pulang, udah gue anggap adek dirumah! Lo tau
kan gue suka sama anak-anak?.” Sambil tersenyum menatap Nanda, yang buat Putra
merasa, bahwa dia hanya seujung kuku mengetahui sifat Erza dibandingkan Nanda,
cowok yang sekarang entah kenapa dia jadikan saingan sejak pertama kali bertemu
dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka yang serapuh kertas usang menjadi
tak berbentuk lagi, rusak permanen.
“Tau dong! Gue masih ingat sifat lo
dulu! Anna, Anak Kepsek ampe lo culik dari kantor terus lo gendong sampai ke
kelas dan dia tak mau pulang kalo lo juga gak pulang! Apa sih yang gak gue lupa
soal lo Za?.” Nanda tertawa sambil mengacak-acak rambut sahabatnya dan tertawa
bersama, tanpa menyadari Putra ada disekitar mereka, menatap Erza yang
tersenyum dan tertawa, bukan karna dirinya, dan itu membuatnya agak sedikit
sakit.
“Seharusnya gue jadi Guru TK aja
kali yah. hahaha…”
“Kalo lo jadi guru TK, yang ada
anak-anaknya pada lo bawa pulang semua! Gue kan tau lo Za. eh, gue pulang dulu.
Ntar gue sms deh kalo mau jemput lo. bye.” Sambil mengayuh sepedanya dan
melambaikan tangan ke arah Putra yang berdiri mematung didepan Pintu dan balas
melambaikan tangan ketika melihat Erza melambaikan tangannya sambil tersenyum
manis, membuat dia teringat masa-masa SMP dulu.
Sepeninggal Nanda, Erza pun berbalik
dan melihat Putra berdiri sambil melipat tangannya di dada dan menatapnya
tajam, seolah-olah dia baru saja melakukan sesuatu yang sangat fatal dan tak
dia ketahui.
“Kenapa Put?.” Tanya Erza bingung.
“ini anak kenapa bangun tidur jadi
gak jelas gini? Apa dia kena amnesia yang kedua gara-gara dihajar Ferdi?.”
“Enggak papa. Makan yuk, gue lapar.”
Sambil berbalik memunggungi Erza dan berjalan menuju dapur.
Erza pun hanya mengangkat bahu dan
berjalan mengikuti Putra.
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
“Za…” Panggil Putra ketika melihat
Erza hanya melamun menatap dirinya dan menatap piring secara bergantian sambil
memainkan sendok, tanpa menyentuh makanan.
Erza menjawab hanya dengan tatapan
kosong tanpa arti, membuat Putra akhirnya menyuapkan makanan dipiringnya
dan ujung sendoknya menyentuh ke mulut tipis gadis itu, sehingga Erza
kaget sambil mengerjap-ngerjapkan mata, tanda dia balik ke dunia nyata setelah
asyik bermain di dunia khayal.
“Eh… anu… gue bisa makan sendiri
Put,” Kata Erza kikuk mendorong sendok yang sudah menyentuh mulutnya kearah
Putra dengan wajah malu.
“Udah gue suapin aja, ayo buka
mulutnya.” Dengan gerakan lembut namun agak memaksa dia mendorong sendok
kembali ke mulut Erza, dengan wajah terpaksa namun dihati jumpalitan, dia
membuka mulutnya perlahan sambil terus menatap Putra, entah apa yang dicarinya
dibalik tatapan hijau terang yang mengusik alam sadarnya dan menutup matanya
pasrah.
“and everytime I close my eyes and
think about that,
I’ve got you, and you’ve got me
too.”
melihat sikap Erza seperti
terhipnotis, dia perlahan meletakkan sendok kepiringnya dan mencondongkan
tubunya kea rah Erza, jarak demi jarak dia lewati, setiap hela napas Erza yang
terdengar, seolah memacu dirinya untuk melakukan hal itu, dan ketika jarak tak
terpisahkan lagi, meja makan hanyalah pembatas semu antara mereka. Wajah saling
berdekatan, napas saling membaur, perlahan Putra semakin mendekat dan
mendekat hingga…
“Erza, lo kenapa gak nyu…” ruangan
rusuh mendadak hening seketika ketika Arny disusul yang lain melihat Putra
hendak mencium Erza, dan gadis itu menutup matanya, seolah-olah pasrah saja
menerima perlakuan apapun dari Putra.
sadar hal itu, Erza langsung membuka
matanya dan kaget melihat jarak Putra dengan dirinya hanya berbatasan hidung.
dengan wajah memerah dia mendorong Putra untuk mundur, namun gagal karna Putra
memegang kedua tangannya yang mendorong lengannya dan mencium pipinya hingga
semburat merah merona pun keluar dari wajah mulus Erza, seperti Matahari
terbit.
“Ckckck… bingung apa yang mau gue
komentar, by the way, wajah lo kenapa Put? habis berantem dengan siapa?” Restu
sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang tak berubah
meski amnesia, mendadak heran melihat ada bilur lebam di pelipis dan pipi
Putra.
“Berantem sama Tikus Tanah.” Jawab
Putra asal dengan sejuta perasaan dihati, jengkel, karna gagal kesekian kalinya,
malu, karna kepergok dan bingung, karna kenapa dia selalu ingin dan ingin
menyentuh bibir gadis itu, seolah-olah itu sebagai candu dalam dirinya semenjak
bertemu kembali, dan candu itu takkan dia dapatkan dari Selvi.
“Lo sendiri kenapa gak nyusul kami Za?
temanin Putra memburu Tikus Tanah juga?.” Dengan tatapan tajam namun berbanding
terbalik dengan wajahnya yang melongo habis, membuat Erza hendak tertawa
melihat wajah Arny yang dimatanya, seperti badut Ancol.
“Gue…”
“Lo tau apa yang gue takutin kan Res
setiap liat Ferdi? Dan itu terjadi. Tuh cowok sialan nongol!” sambil
mengunyah makanannya dengan tenang, namun hatinya diamuk emosi yang membuatnya
ingin membunuh setiap mengucap nama cowok sialan yang selalu membangunkan
“macan tidurnya”.
“HAH? Terus?,” Kata Restu penasaran
lalu tanpa permisi duduk disamping Erza, dan yang lainnya mengitari meja.
Erza menghela napas pasrah, seolah
tak ingin mengingat kejadian yang membuatnya merasa dilecehkan, sambil menutup
matanya, dia menceritakan secara runtut kejadian itu dan tangannya terkepal
menahan emosi yang bergolak di dadanya, merutuki dirinya sendiri kenapa lemah
untuk kesekian kalinya dihadapan cowok bajingan macam Ferdi itu.
Putra langsung mengelus tangan
terkepal yang sangat dia lindungi baik jiwa dan raganya itu, baginya, tak
ada satu orangpun yang bisa menyakiti gadis ini, termasuk dirinya, walau dia
merasa, sudah banyak memberikan luka menganga disetiap sudut hati gadis itu,
secara tak sengaja.
“Apa dosa gue sama tuh setan jadi
dia kayak gini ma gue?,” Tanya Erza dengan suara bergetar dan menahan tangis
ketika selesai menceritakan peristiwa yang sangat dia ingin buang jauh-jauh
dari cerita hidupnya.
Arny dan yang lainnya langsung
memeluk Erza dari belakang, sedangkan Putra masih saja mengelus tangan terkepal
itu dengan sarat ketenangan dan Restu terdiam, bingung antara ingin meluk,
takut dihajar Putra, ingin menghibur, dia bingung bagaimana caranya. Akhirnya
dia memilih cara aman dan sarat penuh makna yang terkandung, diam, tak bicara
apa-apa.
“Karna lo terlalu cantik dimata
cowok sinting macam dia Za, makanya dia jadi kayak Macan liar setiap liat lo.”
Dengan wajah penuh berpikir Restu menjawab pertanyaan Erza yang entah sudah
berapa kali gadis itu pikirkan, namun tak jua dia temukan jawabannya, sampai
detik ini.
Putra terdiam mendengar jawaban
Restu, seolah mengiyakan dan entah kenapa menjadi ketakutan tersendiri bagi
dirinya yang akhir-akhir ini, dia tak bisa tenang ketika Erza tak ada
disampingnya sedetik saja, seolah-olah pusat dunianya selama ini mendadak
hilang, dan membuat perputaran rotasi hidupnya kacau balau.
“Mungkin gue harus berubah jelek aja
kali yah, biar dia gak tergila-gila dengan gue lagi. biar gue tenang jalanin
hidup.” Sambil tersenyum getir dia menatap teman-temannya satu-persatu, mencari
jawaban memuaskan dari pertanyaannya melalui mata mereka yang sedari tadi
menatapnya.
“Lo gak perlu berubah jelek untuk
menghindar dari dia Za, gue selalu ada di samping lo . dan tak akan gue biarkan
cowok manapun, apalagi Ferdi, menyentuh lo.” dengan wajah penuh tekad yang
membara dihatinya, dan terpatri jelas di mata tajamnya itu. Agar Erza yakin
dengan ucapannya.
“Terakhir lo ngomong gitu, keesokan
harinya lo malah ninggalin gue. apa gue bisa pegang kata-kata lo itu sekali lagi?.”
“Lo pengen Ferdi gue apain Za? Lo
gak usah ikut!,” Kata Restu galak ketika melihat Putra semangat ’45 mendengar
ucapannya barusan sambil mengepalkan tangannya penuh nafsu.
“Kok lo gitu sih?! Sahabat macam apa
lo itu?,”
“Lo gak sadar apa wajah lo bonyok
sana-sini karna siapa?! Gue tau lo persis kalo marah gimana kalapnya, meskipun
tragisnya, lo lupa sama gue. jadi mending gue aja yang hajar dia, atas nama lo
dan Erza. Gimana?.” Sambil mencoba bernegoisasi dengan sahabat labilnya ini.
“Males! Entar image heroik gue di
mata Erza ilang karna lo wakilin gue, gue kan juga pengen jadi pahlawan di mata
dia.” Dan melirik Erza dengan tatapan menggoda, yang buat gadis itu menundukkan
wajahnya malu.
Restu hanya menepuk dahinya dengan
ekspresi stress, Arny melongo dan yang lainnya hanya geleng-geleng kepala
antara heran dan takjub mendengar ucapan Putra yang rada-rada kekanakan namun
tatapan matanya saat melirik Erza bikin jumpalitan yang melihatnya. So sweet….
“Udah…udah… daripada tambah ngaco lo
ngomong, mending lo makan aja deh! Gue mau ke kamar.” Sambil berdiri dengan
wajah masih menyiratkan semburat kemerahan, Erza berjalan menuju kamarnya dan
menutup pintu dan memegang dadanya yang masih bergemuruh kencang karna ulah
Putra tadi.
“Aish… Gila beneran gue karna tuh
kunyuk! Ngapain juga dia ngomong gitu?! tanpa bilang gitu juga dia udah jadi
pahlawan di hati gue. eh… kok gue jadi tambah ngaco sih?! AISH!.” Sambil
memukul kepalanya pelan, Erza menghela napas berat seolah-olah setiap napas
yang dia keluarkan, mempunyai berat berton-ton.
“Za… Gue boleh masuk?,” Tanya Arny
dibalik pintu, membuat lamunan Erza akan kebimbangannya yang semakin hari
semakin menggila, buyar.
“Masuk aja Ny, kamar gak gue kunci.”
Arny masuk ke kamar Erza sambil
melihat di sekelilingnya, dan menatap Erza yang menatapnya dengan mata kosong,
yang terlihat hanyalah kebimbangan.
“Lo kenapa Za?,” Tanya Arny sambil
duduk disamping Erza.
“Gue kelihatan kacau banget yah?,”
“Banget! Kenapa? Lo mikir masalah
siang tadi itu?.”
“Iya… salah satunya itu. Tapi ada
yang lebih gue pikirin daripada sekedar Ferdi ngancurin hidup gue lagi.”
“Putra?,” Tebak Arny pelan supaya
yang bersangkutan tak mendengar dan Erza mengangguk.
“Apalagi yang lo pikirin Za? dia
putus dengan Selvi, tak ada lagi yang gangguin hubungan kalian berdua.”
“Gue tau, Tapi ada sesuatu yang gue
gak bisa jelaskan dengan kata-kata, namun mengganggu pikiran gue.”
“Apaan?,”
“Gue gak tau Ny, tapi yang jelas,
Gue ragu. Ragu dengan semua sikapnya ke gue. jujur, sikapnya yang sekarang ini
buat gue teringat masa lalu gue dengan dia. setiap gue ingin membalas perlakuan
dia, gue langsung ingat dia ninggalin gue, pulang bawa pacar baru dan ciuman
didepan gue. itu buat gue menghindar, gue tak ingin jatuh dilubang yang sama,
kesakitan yang sama. Karna dia.” sambil menghela napas berat, Erza menyandarkan
kepalanya di bahu Arny, sekedar melepas beban masalahnya.
“Gue ngerti perasaan lo. tapi Za,
apa lo gak mau ngasih kesempatan sekali lagi untuk Kak Putra? Gue liat dia
beneran sayang sama lo Za.”
“Gue gak bisa Ny. Setiap gue ingin
memberi kesempatan untuk dia, Gue langsung disadarkan oleh perlakuan dia yang
nyakitin hati gue. itu yang buat gue menghindar dan cenderung angkuh sama dia.
gue sengaja kayak gitu, untuk lindungin hati gue agar gak dia sakitin lagi Ny.”
Arny terdiam mendengar curhatan
Erza, dan membayangkan gimana kacaunya bila di posisi Erza yang satu sisi masih
menyayangi Putra namun disisi lain, dia takut disakiti.
“Kalau misalnya, usaha lo hindarin
dia berhasil dan dia menyerah terus balikan sama Selvi, Lo ikhlas Za menerima
semua ini?.” Pertanyaan Arny yang simple, namun menusuk ke akar masalah membuat
Erza terdiam cukup lama.
“Gue… Ikhlas. Berarti dia bukan
milik gue, berarti dia…” kata-kata Erza terhenti dan diganti oleh tangisan yang
menjadi jawaban untuk Arny, bahwa dalam hatinya yang paling dalam, Erza
takkan bisa melepas Putra, walau dimulut dia menyangkal hal itu.
“Kalau sampai itu terjadi, gue… akan
pergi meninggalkan dia Ny. Agar dia bahagia dengan apa yang dia pilih, dan gue
akan selalu berdoa kepada Tuhan, agar gue bisa lebih bahagia dengan orang lain.
jauh dari dia lakukan selama ini ke gue.” Lanjut Erza disela tangisnya yang
semakin menyayat hati, tanda bahwa dia tak rela, namun tak ingin mengakuinya.
“Syut…Udah Za. Gue ngerti perasaan
lo. Za… kalau lo sayang sama dia, buang rasa ragu lo itu. gue gak ingin
keraguan lo selama ini ke dia, yang menurut lo senjata paling ampuh untuk
lindungin hati lo, malah balik menjadi senjata mematikan untuk menyakiti hati
lo lagi. Gue tau itu berat, sangat berat malah, tapi harus dicoba, sebelum
perlahan-lahan, dia meninggalkan lo, dan lo takkan bisa memohon Sang Waktu
untuk mengembalikan ke masa yang dulu dan mengubah semuanya. Gue, dan semua
yang sayang sama lo, tak ingin hal itu terjadi Za. tak ingin hal itu akan jadi
luka permanen di hati lo. karna kami tau rapuhnya hati lo kayak gimana.” Sambil
memberi penjelasan Arny mengelus kepala Erza yang masih terisak di bahunya.
Erza terdiam mendengar ucapan Arny,
dia membenarkan semua yang Arny ucapkan, namun entah kenapa, hatinya masih
terasa sakit setiap teringat perkataan dan perbuatan yang dilakukan Putra
didepan matanya.
“Gue akan coba Ny. Thanks sudah mau
dengarin curhat gue. tapi Ny… gue ingin lo berjanji sama gue.” Sambil menghapus
air matanya yang masih menetes, dia menatap Arny dengan tatapan sendu.
“Lo mau gue janji apa Za?,” Tanya
Arny bingung.
“Gue mohon dengan sangat, kalo Putra
nyakitin hati gue sekali lagi, bahkan lebih sakit dari ini, lo jangan halangi
gue untuk pergi.
Arny sempat terdiam mendengar ucapan
Erza, namun akhirnya dia mengangguk “ Ok. gue akan lakuin yang lo minta Za.”
Erza tersenyum dan memeluk Arny,
tanpa menyadari bahwa dibalik pintu, Putra mendengar semuanya dan tangisan
gadis itu, semakin menyayat hatinya.
“Gue janji Za, gue gak akan pernah
nyakitin lo lagi. bahkan, kalo itu sampai terjadi, gue yang akan menahan lo
pergi. Bukan Arny, bukan siapapun.” Dengan suara berbisik lirih, Putra bertekad
akan melakukan apapun agar gadis yang sukses membuat hidupnya amburadul tetap
disampingnya, walau dia tak tau alasannya kenapa.
Mendadak telinga Putra langsung
tegak dan hatinya entah kenapa terbakar cemburu ketika mendengar Erza sekarang
ditelpon Nanda dan sesekali terdengar tawa dari mulut gadis itu.
“Ok… Ok… jemput aja Nan, Gue nunggu
lo dari tadi.”
“Ok Tuan Putri. Lo kenapa Za? Habis
nangis?.”
“Iya… habis tergores pisau dapur.
Sakit banget.” Dusta Erza agar Nanda tak ribut sendiri apabila tau kalau dia
menangis karna Putra.
“Lo gak hati-hati sih. Yaudah gue
ketempat lo dulu yah, bye sweet honey.” Sambil menyelipkan panggilan kesayangan
Erza waktu SMP. Karna menurut Kamus Playboy professional ala Nanda, Erza
itu cantik banget kalo dilihat sekilas, tapi kalau dipandang lama, cantik dan wajah
manisnya keluar dan bikin dia betah memandang lama-lama.
“Hahaha… apaan sih lo Nand. Bye juga
sweet darling.” Balas Erza sambil tertawa ketika menyebut panggilan sayang
Nanda waktu SMP dan memutuskan telpon.
“Dari Nanda yah?,” Tanya Arny
ketika melihat Erza menutup telponnya dan merias diri agar tak kelihatan
kalau dia baru saja nangis hebat.
“Iya… dia ngajak gue ketempat Rani.
Lo mau ikutan Ny?,” tawar Erza.
“Enggak Za. gue capek banget habis
sosialisasi. By the way… Lo ama Nanda beneran Cuma sahabatan aja? gak ada
hubungan lebih?.”
Mendengar pertanyaan Arny, Putra
semakin mendekatkan telinganya di balik pintu dengn wajah deg-degan, karna
sejujurnya dia juga penasaran, ada hubungan apa Nanda dengan Erza dibalik
persahabatan yang sering diucapkan keduanya.
Erza kaget mendengar pertanyaan
Arny, dengan wajah tersipu-sipu, dia mencoba menjawab pertanyaan Arny “Eum… Lo
janji jangan bilang siapa-siapa yah, apalagi sama Putra. habis entar.” Sambil
menatap Arny dengan wajah memelas.
“Lo kira gue gila apa jadi seenaknya
bocorin rahasia sabahat gue sendiri ke cowok yang sangat lo cintai itu? Ya
enggak lah!.”
Erza hanya tersenyum sambil
mengingat masa Putih Birunya dengan wajah sumringah “Gue waktu SMP sahabatan
sama Nanda, dia teman sebangku gue dan dia tau gue banget. Saat gue dijahilin
kakak kelas cewek yang resenya minta ampun, dia di depan gue, ngelindungin gue,
saat gue ditembak kakak kelas berkali-kali sampai gue bosan nolaknya, dia mau
jadi pacar bohongan gue. saat gue nyulik anak Kepsek karna gue suka sama anak
kecil, dia rela diomelin Kepsek yang kehilangan anak itu dan keliling sekolah
yang luasnya ampun-ampunan untuk mencari gue! dalam sejarah hidup gue yang
masih sangat labil itu, Gue jatuh cinta pada pandangan pertama, sama Nanda.”
Sambil wajah malu-malu kucing, khas anak remaja baru terkena virus cinta
monyet, Erza menatap Arny yang melongo habis. Tanpa menyadari, dibalik pintu
yang tertutup rapat, Putra lemas mendengar pengakuan Erza yang sudah dia duga
semenjak bertemu dengan Nanda, namun tak menyangka bahwa itu terjadi.
“Erza suka sama Nanda? Sampai saat
ini? Gue harap jangan…”
“Terus Za? Lo sempat pacaran sama
Nanda gak? wah… sahabat gue ternyata… hahahha.” “Eum… sempat sih selama 1 tahun
sebelum dia pindah. Tapi lo tau kan pacaran anak SMP kayak gimana? Gak pernah
serius. Jadi gue pacaran sama dia, kayak gue temenan gitu, soalnya kami memang
sudah sangat akrab, jadi gak kelihatan, palingan Cuma nama panggilan aja yang
menandakan kami pacaran. Yang lo dengar tadi, itu nama panggilan kami waktu
pacaran. Gue aja kaget kenapa dia manggil gue kayak gitu. hahaha.”
Kring…Kring… bunyi sepeda diluar
membuat Erza berhenti cerita, dan menoleh ke jendela yang langsung teras
rumah “Bentar yah Nand, tunggu sedetik lagi, ok?,” sambil kedipkan matanya
nakal dan tertawa.
“Ok Tuan Putri, apa sih yang enggak
buat lo?.” Sambil tertawa Nanda dan membuat Erza yang melihat, tersipu.
“Cie…. Tadi nangis hebat, sekarang
kesengsem… CLBK non?.” Goda Arny melihat Erza asyik memperbaiki riasan matanya
agar tak terlalu bengkak.
“hahaha… apaan sih lo. udah…udah…
entar Putra tau habis deh gue!,” sambil memperingatkan Arny yang masih tertawa.
“Kan gak papa juga Za kalo dia tau,
sesekali tuh kak Putra dkasih peringatan kalo lo terlalu beharga untuk dia lepas
begitu saja.”
“Bukannya gitu, gue males aja
berantem sama dia, bikin kepala mau pecah! Udah keras kepala, egois, bikin
sengak lahir bathin lagi!.” sambil menggerutu dia menyebutkan beberapa julukan
untuk Putra dengan tulus hati, iklas luar dalam.
“Tapi lo sayang kan? buktinya
gitu-gitu, lo nangis karna dia, hahahaha.” Goda Arny yang langsung dibalas
dengan lemparan bantal.
“Apaan sih lo? Udah gue mau…” Kata
Erza terhenti ketika membuka pintu, dia melihat Putra berdiri didepan kamarnya
sambil menatapnya antara kaget dan ada sebersit cemburu terlihat jelas
dimatanya.
“Mau kemana?,” Tanya Putra dingin,
sedingin di Kutub Utara.
“Ke tempat Rani sama Nanda,
kenapa?.” Dengan suara tak kalah dinginnya.
“Gue ikut,”
“Ya sudah ikut aja kalo lo tahan gue
jadiin obat nyamuk karna gue cuekin,” Jawab Erza cuek sambil berjalan melewati
Putra.
“Mata lo kenapa bengkak Za? habis
nangis? Nangisin siapa? Gue kan?,” Tanya Putra narsis namun telak membuat Erza
terdiam. Dengan wajah penuh mencibir dia berbalik dan menatap Putra “ Gue
nangis karna lo? mending gue nangisin Kelinci gue mati daripada nangisin lo!
buang-buang air mata aja!,” Elak Erza.
“Ah… masa sih? Kok gue ngerasa lo
nangisin gue yah? keliatan aja tuh disorot mata lo penuh dengan nama gue. iya
kan Arn?.” Sambil melirik Arny yang baru saja keluar dari kamar Erza.
“Gue gak tau kak,” Jawab Arny
singkat, namun bermakna ingin kabur sejauh mungkin sebelum mulutnya nyerocos
mengeluarkan hal-hal yang membahayakan dirinya.
“Udah ah, ngomong sama lo bikin gue
tambah gak jelas! Gue pergi dulu yah, bye Arn, Bye Put,” Kata Erza sambil
berlari mendatangi Nanda yang setia menunggunya diluar.
“Yuk,” Ajak Nanda ketika melihat
Erza datang dan langsung dibalas dengan Erza duduk diboncengan sambil memeluk
erat pinggang Nanda yang sudah mengayuh sepedanya meninggalkan rumah menuju
tempat Rani.
Putra yang melihat semua itu di
depan pintu, hatinya sakit sendiri, andai waktu berbaik hati padanya, dia
ingin meminta sedikit kenangan bersama Erza, dan menjaganya dengan sepenuh hati
agar tak lepas lagi.
“Heum Erza…Erza… lo pake pellet apa
sih jadi bikin gue gak keruan begini?,” Keluh Putra sambil mengacak rambutnya
tak gatal dan menutup pintu.
☺☺☺☺☺
“Kakak…” Teriak Rani riang didepan
Pintu ketika melihat kedua malaikat pelindungnya, Erza dan Nanda datang
menjenguknya.
“Hai sayang,” Kata Erza langsung
turun dari boncengan dan memeluk Rani dengan penuh sayang, Nanda yang melihat
itu, hanya tersenyum sambil memarkir sepedanya.
Rani langsung menghampiri Nanda dan
tiba-tiba mengangkat kedua tangannya dengan senyum tersungging. “Kakak, gendong
Rani dong.” Pintanya mendadak yang buat mereka saling berpandangan.
“Tentu saja, apasih yang enggak buat
Rani, Adek yang paling kakak sayangi ini?.” Sambil menggendong Rani yang tersenyum
riang dan membawanya ke kamar diikuti Erza dibelakangnya.
“Rani manja yah sekarang,” Kata Erza
sambil mengepang rambut Rani yang sudah panjang dan membuatnya tambah cantik.
“Hehehe… Rani lagi seneng kak
masalahnya,” Jawab Rani dengan senyum semakin manis dilihat.
“Seneng kenapa sayang? Punya pacar
yah sekarang?,” Goda Erza yang langsung dilempar Nanda dengan bantal.
“Hush! anak kecil ditanya soal
pacaran! Wah… perusak generasi lo Za,” Jawab Nanda sambil tertawa melihat Erza
manyun.
“Ibu Odah baru aja bawa adek kecil
kak! Rani bakal punya adek! Hore!.” Dengan senyum dibibirnya, dia menari-nari
mengelilingi Erza dan Nanda secara bergantian.
“Beneran Ran? Ibu Odahnya dimana
sekarang? Kakak pengen liat.”
“Rani anterin aja gimana kak
keruangan Ibu Odah? Tadi sih ada dikantor, gak tau sekarang adeknya dibawa
kemana. Lucu kak… Rani gemes pengen gendong, tapi gak dibolehin sama Ibu Odah.”
Baru saja Rani mengusulkan ide
cemerlangnya, datang Ibu Odah sambil menggendong bayi yang membuat mata Erza
bersinar-sinar penuh kegirangan, seperti anak kecil dikasih permen. Membuat
Nanda yang melihat tingkah Erza, tertawa geli.
“Ibu dengar tadi ada yang pengen
gendong Sinta, kamu yah Erza?,” Tanya Ibu Odah sambil tersenyum ketika melihat
antusias Erza tentang anak-anak.
“Iya bu, boleh kan?,” Tanya Erza
penuh harap.
Ibu Odah menyerahkan bayi perempuan
yang baru seminggu dia adopsi ke gendongan Erza dan membuat gadis itu tersenyum
senang sambil memandang Nanda dan duduk disampingnya.
“Gue serasa jadi ibu gendong bayi
Nand. Ditambah Rani dan lo, klop deh.” Sambil bercanda dengan bayi
digendongannya yang ketawa kegirangan melihat ekspresi lucu dari wajahnya.
“Wah… lo mending habis KKN nikah aja
deh Za, daripada lo bikin hal yang enggak-enggak, repot entar,”
“Maksud lo? wah… gue tau otak lo
Nand. Tenang… gue gak akan kayak gitu kok, hahaha.”
Ibu Odah tersenyum melihat Rani
tertawa riang sambil mencubit pipi bayi kecil itu, dia melihat jiwa Rani
yang dulu terkurung kini bebas seperti burung terbang diangkasa, tiada beban
yang menghimpit tubuhnya yang mungil dan bersih dari rajahan tangan-tangan
berlumur dosa.
“Nak Erza ada bawa kamera gak? Biar
ibu fotoin kalian bareng Rani,” Tawar Ibu Odah yang buat Rani kegirangan.
“ayo Foto Ibu… foto Rani sama kakak
Erza dan kakak Nanda juga adek Sinta.”
untungnya Erza selalu bawa kamera
yang bisa langsung cetak itu kemana-mana. sambil menggendong dia menyerahkan
kameranya ke Ibu Odah.
“Disini bu pencetnya. Nanti hasil
fotonya keluar lewat bawah ini,” Kata Erza memberikan penjelasan singkat.
Rani langsung ambil posisi duduk
diantara Erza yang menggendong anak Ibu Odah dan Nanda yang merangkul pundaknya
dan mereka tersenyum manis. terlihat seperti keluarga bahagia yang baru saja
dikaruniai seorang anak, walau dalam kenyataannya, bohong belaka.
“Lo bawa kamera gak Nan? Foto bareng
sama Ibu Odah yuk? Gue gak enak nih foto bareng anaknya, emaknya jadi juru
foto.” Sambil bisik-bisik setelah asyik berpose ria ala keluarga Cemara.
“Bawa dong! Bentar gue siapin dulu,”
Kata Nanda seraya bangkit dan menyiapkan kamera yang dimaksud kemudian
menyettingnya.
“Ayo Ibu foto bareng, udah Nanda
siapin. Itung-itung sebagai kenangan terakhir dari kami untuk ibu. Nanti dicuci
terus Nanda kirim ke Ibu.” Sambil membujuk Ibu Odah untuk foto bareng dengan
Erza dan Rani.
Ibu Odah pun malu-malu kucing Garong
duduk disamping Erza yang masih menggendong anaknya dan Rani yang duduk
dipangkuan Nanda. Dan tak ada yang tau pasti, bagaimana reaksi Putra melihat
foto Erza bareng Nanda kayak gini.
“Makasih bu atas foto barengnya dan
bisa gendong si kecil Sinta. Dadah sayang.” Sambil mencium puncak kepala Sinta
yang seolah-olah tersenyum kearahnya dan memegang kedua pipinya dengan tangan
yang mungil.
“Baru kali ini Ibu liat dia mau
digendong sama orang lain selain Ibu, biasanya nangis kenceng banget. Sama Nak
Erza malah anteng aja. ckckkck…”
“maklumlah bu, ngebet pengen punya
anak si Erza ini. Ckckck.” Sahut Nanda yang membuat Erza tersipu malu.
“Ngebet pengen dinikahin sama Mas
Nanda kayaknya, iya kan Nak Erza?,” Kata Ibu Odah yang membuat mereka melongo.
“Bu.. bukan… Bu bukan… Erza udah
punya pacar, saya sahabat dia Bu. bukan pacarnya.” Elak Nanda cepat sebelum
salah paham.
“Oh… Ibu kira kamu pacaran sama Nak
Erza, habis kesini selalu berdua, maaf yah. habis kalian terlihat serasi sih,
yang satu cantik, dan yang satu ganteng. Sama-sama sayang anak-anak lagi.” Puji
Ibu Odah yang buat Erza semakin menundukkan wajahnya malu dan Nanda yang
sekarang merangkul pundak Erza.
“hahahaha… nanti kapan-kapan saya
ajak pacar Erza bu, permisi.” Kata Nanda sambil mengayuh sepedanya dan Erza
langsung duduk sambil berpegangan erat di pinggangnya dan melambaikan kedua
tangannya ke Rani dan Ibu Odah yang semakin lama semakin menghilang karna
jauhnya jarak mereka.
sepanjang perjalanan, mereka hanya
diam sambil bermain dengan perasaan masing-masing, entah apa yang mereka
pikirkan, namun yang jelas, tak ada canda tawa yang menemani perjalanan malam
mereka untuk sekedar menjadi penawar diantara sepinya hutan-hutan yang mereka
lalui dan sangat menyeramkan, apalagi Erza yang parno dengan hal-hal gelap.
“Za,,, Gue boleh ngomong bentar?,”
Kata Nanda memecah kesunyian yang dirasa sangat menyiksa batinnya ketika sudah
tiba didepan rumah Erza dan memegang tangan gadis itu.
“Boleh… mau ngomong apa Nand? Mau
ngomong didalam atau diluar?,”
“disini aja Za. Za… Gue 6 hari lagi
harus pulang ke Jogja Za, Gue boleh ngomong sesuatu?.”
“Apaan Nanda? Lo boleh ngomong
apapun sama gue,”
“Lo mau gak jadi pacar gue? Gue
ngerasa, setelah bertemu dengan lo, gue menemukan apa yang gue cari selama ini,
dan itu ada di lo Za.”
Erza kaget bukan kepalang mendengar
pengakuan Nanda yang tak diduga, sebenarnya, semenjak ada Nanda, hidupnya yang
kelabu karna Putra, menjadi sedikit bewarna dan membuatnya tersenyum lagi.
tapi… Ini terlalu cepat untuk menyimpulkan bahwa Nanda bisa melupakan sakitnya
akan Putra.
“Lo tau kan gue udah ada yang punya
Nand?,” Pancing Erza sekedar mengetes apakah Nanda sama seperti yang lainnya,
tertipu bahwa pacarnya adalah Putra.
“Lo gak bisa bohongin gue, karna gue
anak Psikologi, sahabat lo yang tau pribadi lo dan gue,mantan pacar lo yang
pertama. lo gak pacaran kan sama dia?.”
Erza terdiam mendengar penjelasan
Nanda yang sangat benar itu, mengetahui Erza bimbang, dia menghela napas dan
menatap Erza dalam, mencari dibalik matanya yang coklat terang itu, apakah ada
namanya terpatri samar dilubuk hati gadis itu diantara kuatnya nama Putra
disana.
“Gue gak maksa lo untuk jawab
sekarang Za, nanti gue akan temuin lo dan minta jawaban itu, apapun keputusan
lo gue terima, dan gue mohon dengan sangat, terima gue Za.”
Erza menghela napas berat dan
menatap Nanda, mencari apakah cowok dihadapannya ini serius menyayanginya, atau
karna menyukai apa yang dia punya. Belum sempat Erza menjawab, pintu rumah
terbuka.
“Gak masuk Za? Harinya dingin
banget. Masuk aja Nand kalo pengen ngobrol,” Kata Putra dengan wajah tenang
namun dihatinya bergejolak ingin menarik Erza dari sisi Nanda.
“Gue mau pulang aja Put. Thanks yah
atas tawarannya, Za… pikirkan baik-baik. Gue pulang dulu, bye.” Sambil mengelus
kepala Erza dengan penuh sayang, dia mengayuh sepedanya dan pulang,
meninggalkan Erza dalam kebimbangan.
Erza pun masuk dalam rumah dengan
tampang bingung diikuti Putra dari belakang yang menutup pintu.
“Arny dan yang lain kemana Put?,”
Tanya Erza ketika melihat hanya mereka berdua dirumah.
“Lagi keliling katanya. Apa jawaban
lo atas Nanda tadi?.” Tanpa kata pembuka apalagi basa-basi, Putra langsung
membahas inti masalah yang buat Erza gelagapan.
“Ja… jawaban apa sih? Ngaco
lo. Udah gue mau tidur, bye Putra.” sambil masuk kamar dia menutup pintu
dan menatap langit-langit kamarnya penuh bimbang dihati sambil memeluk kalung
pemberian Putra yang selalu dia kenakan.
“apa yang harus gue jawab? Siapa
yang gue pilih? Penantian atau cinta baru?,”
“Huft… mending gue tidur aja deh.
Siapa tau gue ketemu jawabannya dalam mimpi.” Dan dia pun berjalan menuju
kasurnya sembari menepuk-nepuk bantal. Setelah dirasa empuk, Erza pun tertidur
pulas.
⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂⁂
Sudah 5 hari pasca “Penembakan”
Nanda pada Erza. Selama itu jugalah Erza terlihat lesu, wajahnya selalu
diliputi awan bingung dan bimbang. Makan yang enak pun jadi tak enak kalo udah
mampir ke mulutnya, bawaannya pengen merenung dan merenung, mencari jawab yang
pas untuk Nanda seperti mencari jarum diantara tumpukan jerami, susah.
“ Apa yang harus gue pilih? Gue
sayang sama lo, tapi gue gak ingin nyakitin lo, karna gue belum sepenuhnya bisa
nerima cowok lain isiin hati gue yang udah berubah jadi Es.” Sambil bergumam
sendiri, Erza menatap foto Nanda dengan dirinya yang sedang tersenyum dan
semakin membuatnya bingung.
“Sesungguhnya ku ingin dirimu.
Ntuk cairkan hatiku yang beku
Tapi aku, belum siap
Aku jadi dilemma.
Aku tak mau menyakitimu
Karna hati ini masih ragu
Tapi aku, butuh cinta
Aku jadi dilemma.”
*Intan – dilemma*
Putra yang barusan lewat dari kamar
Erza yang terbuka lebar dan melihatnya termenung di meja belajar, juga ikutan
diam dan berharap, gadis itu tak menerima Nanda, karna entah kenapa, dia tak
rela dan merasa, bahwa Erza adalah miliknya, hak paten yang tak bisa dimiliki
orang lain, kecuali dirinya, dan terikat dengannya seumur hidup dalam Suratan
Takdir yang tersirat di perasaannya.
“Halo… Ada apa Nand?,” Tanya Erza
yang membuat lamunannya buyar, membuat Putra waspada di balik dinding.
“Ke tempat Rani yuk, terakhir kali
nih. lo ada rencana jalan?.” Sambil harap-harap cemas agar Erza tak menolaknya
jalan, seperti kemaren-kemaren pasca dia menyatakan perasaannya, dan dia tau
konsekuensinya apa, persahabatan selama 4 tahun akan jadi taruhannya.
“Boleh. Gue lagi sumpek masalahnya.
Lo jemput gue atau gimana?.”
“Ya jemput lo dong! Mana tega gue
biarin sahabat gue jalan nyamperin gue? tunggu bentar yah Za. I love you.”
Sambil berkata begitu, Nanda mematikan ponselnya, agar dia tak mendengar
jawaban Erza atas ucapannya yang dinilai bikin gadis itu semaput kebingungan.
Erza yang mendengar jelas ucapan
Nanda, terdiam sambil menatap ponsel dan foto mereka secara bergantian, dengan
seulas senyum yang hanya dirinya dan Tuhan yang tau apa maksudnya.
“Mungkin… gue sudah nemukan
jawabannya. Gue harap, keputusan gue benar.” Batinnya dalam hati.
Erza pun bergegas menutup pintu
kamarnya dan berganti pakaian secepat kilat sambil berharap, apapun
keputusannya nanti, takkan berakibat buruk pada dirinya.
“Lo bisa gak gausah mondar-mandir
kayak setrika arang didepan gue? Stres gue liatnya!.” Dengan ekspresi stress
banyak tugas, semakin stress meliat Erza bolak-balik masuk kamar.
“Daripada lo semakin stress liat
gue, mending lo kerjain tugas dikamar aja deh!.” Dengan ekspresi tak kalah
stressnya, Erza menatap Putra yang duduk diruang tamu dengan bergelimpangan
buku.
“Lo mau kemana? Rapi bener? Ketemu
Nanda yah? kapan bosannya sih lo sama dia? Gue aja bosan liatnya.” Pertanyaan
beruntun sarat introgasi ala Putra, membuatnya mendadak blank.
“Emang kenapa kalo mau ketemu Nanda?
Dia kan sohib gue, jadi gak bakalan bosen. Malah kangen terus, pengen…” Katanya
terhenti ketika melihat Nanda didepan rumah dengan Ontel pinjaman
kesayangannya.
“Gue pergi dulu yah, bilang sama
yang lain. bye.” Dengan langkah terburu-buru dia bergegas keluar rumah, namun
tangan kanannya ditarik Putra dan didorongnya kedinding dan terkurung karna
Putra berdiri didepannya dengan tatapan cemburu.
“Pengen apa Za?,” Tanya Putra
posesif sambil mengurung Erza yang pucat pasi dengan kedua tangannya yang dia
letakkan disisi kiri dan kanannya.
“Pengen… ada aja!,” Kata Erza ketus
sambil menginjak kaki Putra dengan keras dan bergegas keluar menghampiri Nanda
sebelum disantap oleh Monster berwujud Manusia ganteng kayak Putra.
Putra menatap Erza yang kabur dengan
tampang mengingat-ingat, karna dia merasa sering jadi korban injakan kaki gadis
itu. Dan tersenyum sinis ketika melihat Erza memegang pinggang Nanda erat dan
hatinya semakin terbakar cemburu.
“Daripada Nanda, lo mending milih
gue Za, kan gue lebih ganteng dari dia.” Sambil bergumam narsis campur cemburu
dihati, Putra melanjutkan tugasnya yang takkan ada kata kelar.
╳╳╳╳╳╳╳
“Za…” Kata Nanda ketika mereka sudah
pulang dari tempat Rani sekalian pamitan karna besok takkan bisa mampir lagi.
Erza sibuk dengan pikirannya yang
nelangsa karna sebentar lagi harus ikutan pergi meninggalkan Jogja,
meninggalkan desa yang dia tinggal sekarang dan meninggalkan Rani, gadis yang
sudah dia anggap adeknya sendiri. Dan meninggalkan semuanya.
“Erza Noor Asifa… my honey my
sweety, lo masih hidup kan?,” Tanya Nanda karna tak ada tanda-tanda Erza ada
diboncengannya.
“Apaan sih lo panggil gue kayak
gitu? NORAK!,” Katanya sambil mencubit pinggang Nanda dengan gemas.
“Aduh…duh… sakit Za. lo nyubit apa
nyiksa? Buset dah! Habis lo dipanggil berkali-kali gak dengar! Lo mikirin apa
sih?.”
“Gue mikirin Rani Nand, gue ngerasa
kehilangan dia banget. Gue sayang sama Rani. Coba aja gue boleh ajak dia
pulang, udah gue ajak dan gue anggap adek. Lo tau kan gue suka sama anak kecil
Nand?.”
“Lo mikirin Rani segitunya, lo
mikirin gue gak Za? Gue juga gak ingin pisah Za, pisah dari lo.” Batin Nanda.
Nanda hanya diam sambil tersenyum
mendengar setiap penjelasan berapi-api Erza soal Rani sambil menyiapkan
mentalnya untuk mendengar jawaban dari mulut gadis yang sukses membuatnya
tergila-gila selama 3 bulan ini.
“Za…” Kata Nanda ketika sudah
mengantar Erza didepan rumahnya yang sudah siap-siap ingin kabur.
“Ada apa Nanda?,” Tanya Erza yang
tau maksud Nanda memanggilnya dan mendekat.
“Gue… suka sama lo Za. gue tau ini
salah dari awal karna suka sama lo, sahabat gue sendiri. Tapi… semakin gue
mencoba mengubah perasaan gue menjadi biasa aja, semakin sakit Za. Gue…”
“Nanda… gue tau, tapi…”
Nanda yang tau apa jawaban
selanjutnya dari mulut gadis itu, tersenyum sedih “Gue tau, gue memang gak bisa
jadi seseorang yang berarti buat lo, sorry kalo gue berharap terlalu banyak
Za.”
“Bukan itu maksud gue Nand… Gue…
juga… suka… sama… lo tapi…” dengan terputus-putus Erza mengucapkan beberapa
kata yang keluar dari lidahnya yang mendadak kelu.
“Lo serius? Tapi apa Za? Lo ragu
sama gue? Lo merasa gak yakin dengan hubungan jarak jauh ini?,” Kata Nanda
terperangah mendengar jawaban dari Erza dan menatap gadis itu dalam, mencari
jawaban jujur dari sorot matanya yang terlihat berat.
Erza mengangguk pasrah mendengar setiap
tebakan Nanda. Seolah lidahnya tak sanggup berkata lebih banyak lagi dan
membiarkan Nanda mengetahuinya dengan caranya sendiri.
“Kita coba dulu Nan... Gue sayang
sama lo Nan, Lo cinta pertama gue, tapi gue ragu dengan hubungan yang akan kita
jalani nanti.” Sambil balas menatap Nanda
“Dan dengan perasaan gue sendiri
Nand. karna gue bukan hanya sayang sama lo, tapi dengan Putra gue juga sayang,
gue gak bisa milih.” Lanjutnya dalam hati.
“Aku akan buktiin kalau jarak jauh
takkan membuat kita ikutan jauh Erza… aku sayang sama kamu dan makasih udah
ngasih aku kesempatan dan aku akan membuktikan bahwa keraguanmu salah. I love
you Erza Noor Assifa, My Sweet Darling.” Dengan wajah lega dia mengecup kening
Erza dengan tulus, dan mencintai gadis yang dihadapannya dengan segala
kekurangan yang dia miliki, bukan kesempurnaan yang melekat ditubuhnya yang
menyilaukan mata dan berusaha mengikis keraguan yang terpatri kuat dihatinya,
dengan caranya sendiri.
“Jika kau punya sejuta alasan untuk
ragu dengan perasaanku, aku akan tunjukkan sejuta cara bahwa kau salah
meragukan perasaanku.”
“I love you too, Nanda.” Sambil
memeluk Nanda, dengan segenap perasaan yang dia miliki untuk cowok
dihadapannya, walau separuh hatinya masih diliputi keraguan.
Nanda menatap Erza dalam dengan
tatapan sayang dan mencium kedua pipi gadis itu hingga wajah gadis dihadapannya
memerah malu. Dan Nanda mengelus pipi Erza yang terasa halus ditangannya dan
dia merasakan napas Erza mulai memburu disetiap elusan tangannya, tanda gugup
dengan perlakuannya namun pasrah dengan menutup matanya.
merasa tak ada yang melihat kecuali
binatang malam, Bulan, Bintang yang bersinar cerah yang menjadi saksinya dan
Tuhan yang menyaksikan dua anak manusia dimabuk cinta, Nanda mendekatkan
wajahnya kearah Erza, semakin dekat… semakin dekat… dan…
“Ehm… Erza, lo kapan datangnya? Kok
gue gak dengar? Oh… ada Nanda yah? masuk aja Nand, eh… tapi udah malam banget
nih, jadi besok aja yah masuknya.” Dengan tatapan ingin membunuh Putra berdiri
didepan pintu namun berbanding terbalik dengan wajahnya tenang yang sukses
menggagalkan rencana Nanda yang sudah dibikin sepersekian detik dan membuat
jantung Erza serasa jumpalitan.
“
mampus gue! mampus!,” batin Erza.
“Gak usah Put, gue langsung pulang
kok. soalnya besok subuh gue balik ke Jogja, bye Putra, bye sayang, I love
you.” Dan mencium kening Erza dengan penuh sayang yang sukses buat Putra merasa
ingin mendatangi cowok itu dan menghajarnya babak belur.
“Ok Nand, moga kita ketemu lagi
yah.” Dengan wajah ramah namun palsu “Itu kalo lo masih hidup Nand,”
lanjutnya dalam hati.
“Good bye Nanda, Love you too.” Dan
mencium pipi Nanda sebagai ciuman perpisahan dan Nanda pun pulang kerumah
dengan hati senang.
melihat Nanda sudah menghilang dari
pandangan, Erza langsung masuk kerumah diikuti Putra yang langsung menutup
pintu dengan cara membanting.
“Lo kenap… Aduh!,” Kata Erza
terputus berubah kesakitan karna didorong Putra kedinding dan dia terkurung
oleh tatapan Putra yang seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.
“Lo pacaran sama Nanda? Sejak kapan?
Kenapa gue gak tau?,”
“Emang penting buat lo tau? Mana
Arny dan yang lainnya?,”
“Lo gak usah ngalihin pembicaraan
deh! Lo pacaran sama Nanda?!.” Setiap kalimat yang terucap dari mulut Putra,
dipenuhi cemburu.
“Emang kenapa kalo gue pacaran atau
enggak sama Nanda? Apa urusan lo?!,”
“Gue gak suka! Your life, is mine!,”
“Gue nanya deh, lo siapa gue? Nyokap
gue? Bokap gue? enggak kan? Jadi… lo gak usah sok larang gue pacaran sama
siapa, cinta sama siapa, dan jadi milik siapa! What?! My life is yours?!
Cuih!.” Dengan tatapan penuh emosi, Erza membuang ludah ketika mengucapkan kata
terakhir itu.
“Lo itu hanya milik gue Erza Noor
Assifa, selamanya akan selalu jadi milik gue, walau gue amnesia begini, hati
gue gak ikutan amnesia Erza! Gak ada yang boleh milikin lo, bukan Nanda, bukan
siapapun! Ngerti?!.”
“Lo salah omong Putra Eduardo
Pradipta yang terhormat, seharusnya lo ngomong begini “Selvi milik gue dan
selamanya akan selalu jadi milik gue!” lo kira gue apaan? Barang yang bisa lo
milikin dan lo buang jauh-jauh kalo bosan?! Minggir! Gue gerah!.” Dengan
emosi di ubun-ubun, dia mendorong Putra kasar agar menjauh, namun karna Putra
sudah kerasukan emosi, Dia memegang pergelangan kedua tangan Erza yang
mendorongnya dan dicengkramnya erat hingga gadis itu kesakitan.
“Lepasin gue! lepas! Sakit Putra…
sakit,” Kata Erza sambil menggigit bibirnya karna semakin dia melawan melepas
cengkraman tangannya yang mengepal, semakin erat putra mencengkramnya.
“Lo hanya jawab pertanyaan gue
sayang, Lo pacaran sama Nanda kan? apa susahnya sih ngomong iya atau tidak? Gue
gak bego Erza… semakin lo gak mau ngomong, gak akan gue lepasin! Biar lo tidur
bareng gue!.”
“OGAH! Kalo lo gak bego, kenapa lo
maksa gue untuk menjawab pertanyaan yang gak penting itu?! Lo udah liat sendiri
kan? Gue pacaran sama Nanda! PU…” Bentakannya terhenti ketika bibirnya terkatup
oleh bibirnya Putra yang semakin meruntuhkan pertahanannya yang sudah rusak dan
membuat kenangan demi kenangan yang dia kubur dalam-dalam, melesak keluar dan
menjejali otaknya.
Putra hanyut oleh serangan mendadak
yang dia lancarkan sendiri, membuat Erza pasrah dengan melemahkan kepalan
tangannya yang dia cengkram dan sekilas, puzzle kenangan yang dia cari, datang
bertubi-tubi menyerang benaknya,memaksa masuk dalam otaknya dan
membuatnya kesakitan. namun dia bertahan, agar bisa mengingat seluruhnya.
Semakin intensif dia mencium Erza, semakin sakit kepalanya, semakin hendak
habis Oksigen yang tersedia di Paru-Paru mereka.
“Gue akan memberikan apa yang
seharusnya lo dapatkan dari Nanda tadi, Erza Noor Asifa. ” Sebelum Erza sempat
menjawab, Putra mencium bibirnya dengan penuh lembut dan nafsu menggebu-gebu,
seolah tak membiarkannya menghirup napas yang semakin susah dia dapatkan.
“Mmph…mmph…” Desah Erza kehabisan
napas sambil mendorong tubuh Putra agar menjauhinya, sebelum semuanya tak bisa
dikontrol lagi.
Putra melepas ciumannya dan menatap
Erza dalam “Kenapa Za lo terima Nanda?,”
“Karna gue sayang sama dia dan dia
tak sebejat lo! Minggir!,” Jawab Erza histeris sambil mendorong Putra dengan
sisa kekuatannya yang terkuras habis.
“Gue gak lihat itu dimata lo Za. Gue
amnesia, gue akuin itu, tapi gue bisa mengingat semuanya Za. perlahan-lahan,
tapi mengingat lo begini, buat gue sadar kalo ini percuma, selamat atas jadian
lo sama Nanda, semoga awet. Anggap aja itu ciuman terakhir gue untuk lo, Erza.”
Sambil berkata begitu, dia masuk kekamar dan menutup pintunya, diikuti Erza
yang langsung masuk kamar dan terduduk lemas dibelakang pintu dengan air mata
yang mengalir deras di pipinya
“Apakah keputusan gue salah? Gue
sayang sama lo Putra, gue cinta sama lo, tapi gue gak bisa menunggu lo terus
menerus tanpa kejelasan! Gue juga sayang sama Nanda, tapi…” Ucapannya terhenti
oleh isakan tangis yang tak berhenti.
“Maafkan bila cintaku
Tak mungkin ku persembahkan
seutuhnya
Maaf bila kau terluka…
karna ku jatuh… di dua hati.”
“Sorry Put. Gue gak bisa milih. Lo
gak pernah kasih gue kepastian.” Ucapnya sambil terisak ditempat tidur.
Menangisi semuanya yang terjadi.
lelah menangis, akhirnya Erza jatuh
tertidur sambil menitikkan air matanya yang terus menerus mengalir. Tanda bahwa
disaat dia terlelap pun, takkan bisa menghentikan sakitnya.
“Have you ever tried sleeping with a
broken heart?
Well, you could try sleeping in my
bed
Lonely, own me nobody ever shut it
down like you
You wore the crown
You made my body feel heaven bound
Why don't you hold me
Neeed me, I thought you told me
You'd never leave me.”
“Erza pacaran sama Nanda, Res.” Ucap
Putra sendu sambil duduk didepan jendela dan menatap bulan dengan tatapan
galau.
Restu hanya bisa terdiam mendengar
ucapan Putra. Semua tanda tanyanya terjawab ketika dia baru masuk rumah diikuti
yang lain, Erza lari sambil menangis di kamar, Putra seperti mayat hidup duduk
didepan jendela. Seperti saat ini.
“Gue sayang sama dia, Restu.”
Ucapnya dengan nada galau.
“I know.”
Putra pun terdiam lagi, memikirkan
sebuah keputusan untuk mengubah semuanya.
“Ku harus pergi meninggalkan kamu.
Yang telah hancurkan aku.
sakitnya… sakitnya… oh sakitnya…
Cintaku… lebih besar dari cintanya…
harusnya kau sadar itu…
bukan dia… bukan dia…
tapi aku…
*Judika – bukan dia, tapi aku.*
“Res… kalo gue ninggalin Erza, lo
setuju gak?” Tanyanya sambil menatap Restu. “Emang lo sanggup lakuin itu?”
Tanyanya balik.
Putra pun terdiam mendengar jawaban
Restu, lalu bertanya lagi. “Kalo gue balikan sama Selvi, lo setuju kan?”
Tanyanya lagi yang membuat Restu langsung mengambil kesimpulan, Putra sudah
gila.
“Lo mendingan cuci muka, sikat gigi,
bersihin kaki sama tangan, terus tidur deh. Jangan ngomong ngelantur.” Ucap
Restu sambil menarik Putra dari jendela dan menyuruhnya tidur.
“Res… Lo duduk sama siapa?” Tanya
Putra tanpa mempedulikan perintah Restu.
“Sama Eva dan Arny. Kenapa?”
Tanyanya ketika Restu sudah siap-siap hendak keluar kamar Putra.
“Gue tukeran tiket yah? Lo sama
Erza, gue sama Arny.” Putusnya.
“Lo yakin Put? Gak… gue gak sanggup
duduk disamping Erza yang galau karna lo.” Tolaknya.
Putra terlihat berpikir, membuat
Restu menghela napas. “ Lo sebaiknya tidur aja Put. Tenangin otak lo. Jangan
mikir aneh-aneh.” Sarannya dan menutup pintu kamar Putra.
Putra terdiam menatap pintu yang
tertutup rapat. Seperti pintu kesempatan yang tertutup untuknya. Dia menghela
napas. “Gue akan lakuin itu walau lo gak setuju, Res.” Ucapnya yakin dan
kemudian tidur.
“So tonight, I'm gonna find a way to
make it without you
Tonight I'm gonna find a way to make
it without you
I'm gonna hold on to the times that
we had tonight
I'm gonna find a way to make it
without you.”
*Alicia Keys – Try to sleeping with
a broken heart.
่่่่่
“Erzaa…. Buka pintunya Za! Lo
ngapain sih?! Mas Novan udah datang tuh!” Teriak Arny sambil menggedor pintu
karna Erza tak juga keluar kamar.
“Bentar… lo masuk aja Arn. Pintu gak
dikunci.” Ucap Erza sambil sibuk membereskan kopernya dan tak mempedulikan Arny
masuk sambil menggelengkan kepalanya melihat kondisi kamarnya yang dulu rapi,
kini bertebaran tisu dimana-mana.
“Astaga Erza… kamar lo kayak kapal
pecah deh. Banyak amet tisunya. Sini gue bantuin.” Ucap Arny sambil memunguti
tisu-tisu yang menjadi saksi bisu apa yang dilakukan Erza selama 2 hari dikamar
tanpa keluar, kecuali untuk makan, minum, mandi dan terakhir, mengucapkan
selamat tinggal kepada Nanda yang pagi-pagi datang untuk pamitan kepadanya dan
membuat Putra yang waktu itu melihat, galau.
“Makasih Arn.” Ucap Erza tulus
sambil memasukkan buku-buku di kopernya yang terakhir.
“Arn… gue salah yah pacaran sama
Nanda?” Tanyanya sambil menatap bunga Edelwis yang menjadi penghias meja
belajarnya dengan tatapan sendu.
Arny menghentikan aksi
bersih-bersihnya dan mendekati Erza yang bahunya sudah terisak. “Gak kok.
Selama lo sayang sama dia, gak ada terpaksa. Gak salah Za. Kenapa lo tanyain
hal itu?” Tanyanya sambil memutar tubuh Erza yang membelakangi dan memeluknya.
“Tapi kenapa Putra kayak gitu sama
gue, Arn?” Tanyanya dengan terisak dibahu Arny.
Arny menatap mata Erza yang sayu dan
lingkaran hitam dibawah kedua kelopak matanya, tanda dia kelelahan dan kurang tidur.
“Mungkin dia gak bisa terima Za. Udahlah… jangan lo pikirin dia. Nanti Kak
Putra bisa nerima kok.” Ucapnya walau dihati, pesimis berat.
Erza menghapus air matanya yang
membasahi pipinya, lalu tersenyum. “Semoga. Yuk kita keluar.” Ajaknya sambil membawa
koper-kopernya dan meninggalkan Arny yang menatap Bunga pemberian Putra yang
ditinggalnya.
“Lo gak salah pilih, Za. Hanya saja…
lo gak bisa bedain rasa sayang kak Putra dengan Nanda. Itu saja.” Ucapnya pelan
dan kemudian berlari menyusul Erza.
“Udah siap semuanya?” Tanya Restu
ketika melihat Erza keluar dan mengangkat sendiri koper-kopernya di Bagasi
belakang. Tanpa minta bantuan Putra yang baru saja masuk mobil.
Erza mengangguk dan menutup bagasi
mobil. “Yuk.” Ajaknya ketika melihat Jessi dan Eva berdiri disampingnya.
“Lo dulu Za masuk. Kami mau ke
toilet bentar.” Ucap Jessi lalu langsung masuk dalam rumah sambil menarik Eva.
“Kak Restu? Arny?” Tanyanya ketika
melihat keduanya berdiskusi hebat, entah apa yang dibicarakan.
“Lo masuk aja dulu Za. Kami mau
ngambil sesuatu didalam.” Ucap Arny sambil ikutan menarik Restu masuk rumah.
Diikuti Mas Novan yang rupanya diperintahkan Arny untuk mengikutinya.
Erza menghela napas dan masuk dalam
mobil kemudian duduk disamping Putra yang asyik menatap jendela dengan headset
ditelinganya. Tak mempedulikan kehadirannya.
Cukup lama mereka diam, membuat Erza
tak betah. “Put…” Panggilnya dengan harapan, Putra menoleh dan mengajaknya
ngobrol. Seperti dulu.
“Hmmm…” Hanya itu respon Putra tanpa
menatap Erza.
“Kabar lo gimana?” Tanya Erza.
Sedetik kemudian, dia merutuki dirinya sendiri kenapa diantara banyaknya
pertanyaan yang ada, dia malah menyanyakan hal itu.
“Putra menatapnya dengan tatapan
susah diartikan. “Menurut lo, gue gimana?” Tanyanya balik membuat Erza terdiam.
“Sorry…sorry… kami lama yah?” Arny
langsung datang sambil membawa barang-barang diikuti oleh Jessi dan Eva yang
mendapat jatah duduk paling belakang. Membuat mobil seketika sesak karna barang
Arny dan mau tak mau, Erza duduk berdempetan dengan Putra.
“Sudah siap semuanya kan?” Tanya Mas
Novan ketika masuk mobil dan mulai menjalankan mesinnya.
“Siap Maas…” Koor Jessi dan Eva
bersamaan.
Sepanjang perjalanan, Erza berusaha
menahan kantuknya dengan duduk tegak dan tak mau menyenderkan tubuhnya ke Putra
atau ke Arny. Namun, AC membuatnya tertidur dan terbangun karna kaget ketika
Mas Novan ngerem mendadak. Membuat dia hampir maju kedepan kalau saja
pinggangnya tak dipegang Putra.
“Lo senderan aja ma gue Za kalo
tidur.” Kata Putra ketika sekian kalinya melihat Erza hendak tertidur.
“Gak usah. Makasih.” Ucap Erza
sambil mengucek-ucek matanya.
Namun, tekad hanya tinggal tekad,
Erza tertidur dengan posisi kepala menunduk. Sedangkan Mas Novan membawa mobil
dengan kecepatan tinggi. Membuat Putra langsung menyentuh pundak Erza agar
tidur disampingnya.
“Lo tau gak Za, keputusan lo itu
nyakitin gue. Banget malah.” Putra berbisik dengan suara pelan ketika Erza
tidur dipundaknya sambil mengelus rambutnya. hal yang paling disukainya.
Arny dan yang lain mendengar bisikan
Putra hanya bisa menghela napas berat. tak tau harus berbuat apa selain
berharap, semoga ada keajaiban yang mengembalikan hubungan mereka.
Sepanjang perjalanan menuju
Jogjakarta yang seharusnya diisi dengan canda tawa atau ejekan, malah
didominasi oleh kebisuan yang menyakitkan. Seolah-olah, kegalauan salah satu
dari mereka, menular bagai virus yang tak ada obatnya.
“Kok kalian pada diam semua sih hari
ini? Lagi sakit gigi bareng yah?” Tanya Mas Novan mencoba melucu untuk
mengurangi kebekuan yang dirasa menyiksanya.
“Bukan sakit gigi pak. Tapi ada yang
galau. Jadi nular deh.” Jawab Restu sambil melirik Putra yang bertopang dagu di
balik jendela mobil dengan tatapan kosong.
“Lo nyindir gue Res?” Putra sinis
seketika karna tersindir dan menghentikan renungan galaunya.
“Loh? Kok jadi lo merasa kesindir?
Lo lagi galau yah?” Responnya balik yang buat Putra terdiam.
“Ape kate lo dah. Gue lagi males
ngomong.”
“Kalo lo males ngomong, kenapa lo
jawab pertanyaan gue?” Pancing Restu yang rupanya ingin mencari hiburan baru
lewat mengajak Putra berantem.
“Lo kok jadi cowok bawel bener yah?
Kok bisa si
Kathy pacaran sama lo?!” Jengkelnya.
“Karna gue ganteng. Jadi sebawel
apapun gue, gak ngaruh.” Dengan nada polos Restu menjawab membuat yang lain
mencibir.
“Dasar narsis!.” Cibir Jessi
diangguki yang lain.
“Gue doain moga Katherine gak
serangan jantung dengarnya.” Balas Arny diamini yang lain. Membuat Restu
cekikikan.
Mas Novan yang mendengar pertengkaran
mereka hanya tertawa. Kemudian dia melirik spion yang ditengah dan melihat Erza
tertidur pulas dipundak Putra, seolah tak terganggu dengan kerusuhan
teman-temannya.
“Mas Putra, kok kalo diperhatiin
yah, Mbak Erza selalu tidur kalo perjalanan jauh. Dia mabuk darat mas?”
Pertanyaan simple, namun bikin Putra cukup kebingungan dan ikut memperhatikan
wajah tidur Erza yang dirasa menenangkannya.
“iya juga yah, kok gue baru nyadar
sekarang yah?” Batinnya.
“Gak tau mas, Iya kali. Saya aja
baru nyadar sekarang pas Mas Novan ngomong.”
“Kok Mas gak nyadar sih? Saya yang
baru ketemu saja udah curiga. Bukannya mas pacarnya?” Pertanyaan beruntun
diucapkan tanpa dosa oleh Mas Novan. Cukup membuatnya jatuh di titik terendah
karna tak tau apa-apa soal Erza.
“Kata siapa saya pacarnya Erza? Dia
udah punya pacar Mas. Anak Jogja juga.” Jawab Putra dengan perasaan sakit
dihati ketika mengucapkan kalimat demi kalimat yang serasa menusuknya.
“Wah… saya kira Mas pacarnya Mbak
Erza. Habis mesra sih waktu datang itu. Gak bisa dipisahkan.”
“Mas… Oleh-Oleh yang enak dari Jogja
apa aja selain Bakpia?” Tembak Restu dengan pertanyaan agar Mas Novan
tidak mengintimidasi Putra dengan pertanyaan polos namun menusuk hati itu.
Mas Novan pun dengan semangat
menjelaskannnya secara rinci, mulai dari sejarahnya hingga proses pembuatannya
yang dia ketahui. Membuat Putra mengelus dada penuh syukur dan menatap Restu
dengan tatapan terima kasih.
“Mas pengen saya antarin ke tempat
Coklat Monggo itu? Itu sekarang jadi buah tangan setiap wisatawan yang ke Jogja
selain Bakpia loh. Coklatnya asli impor dan Mas udah pernah ngerasain. Rasanya
coklat asli! Beda dengan coklat yang dijual di supermarket.” Tawar Mas Novan
dengan dipenuhi bumbu promosi yang cukup bikin para cewek ngiler dan melupakan
diet untuk sementara waktu ketika mendengar nama Coklat.
“Coklat mas? Mau…” Teriak Jessi
nyaring diikuti yang lain bagai simponi penggemar Coklat yang nyasar di area
bukan penggemar Coklat.
Erza yang rupanya agak
terganggu dengan teriakan mereka, mengubah posisi tidurnya menjadi seperti
memeluk guling dengan tangan melingkar di tubuh Putra yang kaget dengan
tingkahnya. Namun tak diubahnya karna ingin merasakan pelukan gadis itu untuk
terakhir kalinya sebelum dia benar-benar pergi dari hidupnya dan membiarkan
Erza bersama dengan seseorang yang dia cintai.
“Mending entar aja kalo kita mampir
lagi. Ini udah jam 2 siang. Jam berapa kita nyampe? Besok kita udah pulang,
Nyonya-Nyonya yang cantik dan manis.” Kata Putra mengingatkan jadwal yang buat
mereka kecewa.
“Iya sih… tapi…”
“Betul tuh kata Putra. Mending entar
aja. Kalo kalian mau, teman gue ada yang jualan Coklat Monggo system Online
tuh. Ntar gue pesanin.” Bujuk Restu yang terpaksa mereka setujui dan didalam
otak mereka, tersimpan rencana untuk pergi ke Jogja bareng tanpa para cowok
yang dirasa mengganggu.
Hembusan napas Erza yang tenang
mengenai leher Putra menjadi siksaan tersendiri untuk tidak merespon dengan
mengelus kepalanya atau membalas pelukannya. Arny yang melihat kegelisahan
Putra karna posisi tidur Erza yang menggoda, hanya tersenyum dan berharap,
mereka bersatu lagi.
“Tidurnya di hotel yang kemaren kan
Put?” Tanya Restu sambil menoleh kebelakang dan melihat Posisi Erza, membuatnya
ikutan nyengir melihat sahabatnya seolah tersiksa namun menikmati.
“Yup.”
Akhirnya perjalanan jauh pun selesai
juga ketika mereka tiba didepan Hotel. Mereka pun langsung turun dari mobil dan
membawa koper masing-masing, dibantu oleh Mas Novan yang jadi ikutan sibuk
karna rencana Restu yang ingin membiarkan Putra berduaan dengan Erza dimobil.
“Kak… bangunin Erza yah. Gue mau
urus Hotel dulu. Mas Novan, Bantuin angkat yah.” Perintah Arny ketika melihat
Mas Novan hendak masuk mobil dan meninggalkan Putra yang bingung gimana caranya
membangunkan Erza.
Putra terdiam lama menatap Erza yang
masih tidur dipelukannya, seolah tak menyadari bahwa dirinya sakit karna
keputusannya. “Nanda memang pantes buat lo Za. Dia gak kayak gue yang ngelupain
lo, yang nyakitin dan bikin lo nangis. Lo gak pantes nangisin cowok Za, apalagi
cowok jenis gue. Semoga lo bahagia.” Sambil berkata begitu, Putra melepas
pelukan Erza ditubuhnya dan menyandarkannya. Kemudian dia mendekatkan wajahnya
dan semakin dekat jarak mereka, semakin napas mereka saling berbaur. Dan
waktupun terasa berhenti untuknya ketika Putra mencium bibir gadis itu, sekali
lagi. untuk yang terakhir kalinya.
“Never thought we'd have a last
kiss.
Never imagined we'd end like
this.
Your name, forever the name on
my lips,”
*Taylor Swift – Last Kiss.*
Cukup lama Putra mencium bibir gadis
itu. Hingga akhirnya dia melepaskannya dan menatap Erza yang masih tertidur.
Dan Putra mencium kening, kelopak kedua bola matanya dan bibir kemerahan gadis
itu. “Erza… It’s too late for this, but, let me saying, I love you.” Bisik
Putra dan keluar dari mobil sambil membawa tasnya dan meninggalkan Erza seorang
diri.
Erza membuka matanya ketika Putra
sudah pergi meninggalkannya dan mengelus bibir serta keningnya, seolah ada yang
menyentuhnya, namun dia tak tau siapa. Merasa sendirian di mobil dan takut
terjadi apa-apa, akhirnya Erza bergegas keluar mobil sambil membawa kopernya.
“Kau tau perpisahan apa yang
menyakitkan selain ditinggal mati seseorang yang kita cintai? Perpisahan dimana
kita mencintai seseorang, namun dia mencintai yang lain. dan kita harus ikhlas
berpisah dengannya, agar dia bahagia dengan apa yang dipilihnya.”
◌◌◌◌◌◌
“Akhirnya… tiba di hotel juga. Badan
gue serasa remuk semua.” Ucap Erza penuh syukur ketika masuk kamar dan langsung
rebahan diranjang. Membuat Arny gemas dan melempar bantal kearahnya.
“Lo tidur mulu dari tadi! Dasar Kebo
lu Za.” Ejek Arny.
Sebelum Erza membalas ejekan Arny,
ponselnya mendadak berdering dari tas ranselnya. Erza yang mendengar
buru-buru bangkit dari tidurnya dan tertegun ketika tahu siapa yang
menelponnya, kemudian mengangkatnya.
“Hai sayang… udah nyampe Jogja yah?”
Suara Nanda terdengar ramah dan penuh perhatian yang sangat membuat Erza
seketika blank.
“Udah kok Sayang. Baru aja sih
nyampe. Ada apa?”
“Jalan yuk sayang, kan kamu besok ke
Jakarta, untuk hari ini deh.” Pinta Nanda dengan suara memelas membuat Erza tak
bisa menolak.
“Ok sayang. Kamu jemput atau gimana
nih?”
“Ya jemput dong! Emang aku cowok
apaan tega biarin pacar yang paling aku sayangi selain keluargaku jalan
sendiri? Tunggu bentar yah sayang, I love you.” Ucap Nanda dengan penuh sayang
lalu memutuskan telponnya. Membuat Erza garuk-garuk kepala sambil menatap
ponselnya yang kedap kedip ada pesan masuk.
Nanda, Cungkring’s Boy
“Kamu nginap dimana sayang? Aku lupa
nanya tadi. Habis excited banget sih kamu di Jogja.” Pesan sms dari Nanda buat Erza tersenyum memaklumi sifatnya
yang ternyata masih sama, pelupa. Kemudian dia segera membalas sms Nanda
dan terkirim.
“Arn…” Panggil Erza ketika melihat
sahabatnya sekarang tiduran disampingnya.
“Lo mau jalan sama Nanda? Jalan aja
Za. Gak papa kok. Kami ngerti.”
“Tapi…”
“Udah jalan sana. Lo mikirin siapa
lagi?” Tanya Arny ketika melihat mendung dimata Erza.
“Enggak kok. Beneran gak papa? Lo
nitip apaan?”
Tau siapa yang dipikiran sahabatnya,
yang sukses membuat sahabatnya mempunyai sejuta ekspresi diwajahnya hanya
sekali lihat, hanya seulas senyum yang bisa Arny tampilkan diwajahnya, “Iya…
Erza sayang. Gue nitip apaan yah? Gak usah deh, tas gue ntar meledak lagi
kalo gue nitip. Hahaha.”
“Tas lo emang perlu meledak Ny. Wong
lo bawa oleh-oleh kayak ngeborong isi toko!” Ejek Erza yang membuatnya ditimpuk
bantal.
“Gue kan bawa oleh-oleh buat dibagi
Za. daripada lo, beli oleh-oleh kayak dompet lagi krismon gitu, pelit! Udah
gitu, tiap harga lo bandingin dan lo hitung berapa totalnya sebelum beli!
Alamak…”
“Wajar dong Ny! Gue gak mau
kelihatan boros dan pas sampai di Jakarta, barang yang gue beli gak berguna,
kan uangnya sayang. Mending nabung.” Bela Erza ketika sifat terlalu irit jadi
bulan-bulanan Arny.
“Lo nabung dimana Za?”
“Di perut! Ya nabung di Bank, Arny!
Lo kira gue nyimpan uang di kendi terus gue kubur gitu?”
“Iya… kan siapa tau kalo gue
kehabisan uang, gue bongkar rumah lo. Siapa tau ada. Hahaha…”
Sebelum Erza hendak membalas ejekan
Arny dengan kata-kata yang sudah diketik diotaknya, mendadak hpnya bergetar
karna ada sms. Dan dia membacanya kemudian meresponnya sambil tersenyum.
“Gue jalan dulu yah, Nanda udah
didepan katanya. Bye Arny.” Pamit Erza sambil mengambil tas ranselnya.
“Iya… Bye Paman Gober. Eh salah,
Nona Gober. Hahahaha…” Ejeknya puas ketika melihat Erza memasang wajah
merajuknya.
“Bangga bener yah liat teman merana!
diputusin Kak Rico baru nangis darah berliter-liter!” Gerutunya sepanjang jalan
ketika mendengar suara tawa Arny samar-samar terdengar yang cukup bikin
merinding. dan ketika di depan Café, dia melihat Putra keluar Café dengan
merangkul cewek yang seksi dan bohay dari dirinya, yang jelas bukan Selvi,
berjalan kearahnya. Erza langsung menoleh pura-pura melirik yang lain
ketika melihat kejadian dimana Putra mencium pipi cewek entah beruntung atau
sial itu tepat melewatinya.
“Erza…” Panggil Nanda di depan
Resepsionis ketika melihat Erza berdiri mematung didepan Café dengan tatapan
kearah lain. Dan membuat Putra yang rupanya mendengar itu, ikutan menoleh
kearahnya dengan tatapan mata yang dingin.
Erza yang mendengar suara Nanda,
langsung ingin menghampiri namun urung ketika melihat Nanda rupanya lebih
sukarela menghampirinya daripada dihampiri.
“Jalan sama siapa Put? Cewek lo
yah?” Tanya Nanda ketika sudah berdiri disamping Erza sambil merangkul
gadisnya dan menatap cewek blasteran sangat cantik dengan pakaian
baju seperti kemben bewarna merah dan kentat hingga membentuk tubuhnya yang
aduhai dan rok mini yang semakin membuat kakinya jenjang itu berdiri disamping
Putra dengan tingkah terlalu agresif di banding cewek normal karna tak mau
melepaskan lingkaran tangannya dipinggang Putra. dan sesekali mencium pipinya
hingga Erza yang melihat itu tepat dihadapannya, panas dingin.
“Tuh cewek siapa sih? Gue gak terima
dia main peluk Putra seenaknya! Eh… tapi gue siapa Putra jadi marah?” Batinnya.
Putra yang melihat ekspresi Erza
sudah panas dingin, tersenyum sinis “Hahaha… ya begitulah… Eh… mau jalan sama
Erza yah? Having fun yah. Gue mau jalan dulu ma dia, mau nyari kamar kosong.
bye.” Suaranya berubah menjadi bisikan namun terdengar sangat jelas ketika
mengucapkan kalimat terakhir itu ditelinga Nanda. Membuat Erza yang mendengar
itu, langsung menarik tangan Nanda agar menjauh dengan wajah memerah menahan
marah dan melotot ketika cewek yang menggandeng Putra, menatap penuh ejekan
kearahnya, seolah meremehkan.
“Udahan yuk jalan, lapar nih.” Kata
Erza dengan suara penuh paksaan karna tak tahan melihat cewek didepannya yang
semakin merendahkan dirinya lewat tatapan tajamnya.
“Ayukh… sayangh… jalan lagi
yukh…udah gak tahan nih pengen cium kamuhhh… hmm…” Desah Cewek itu sambil
mencium pipi dan leher Putra yang tersenyum manis kearahnya. dan Erza yang
melihat itu, semakin menarik Nanda agar menjauh karna tak tahan.
Nanda yang mendengar itu tersenyum,
entah apa artinya ketika mendengar bisikan Putra dan desahan cewek itu yang
terdengar ajaib ditelinganya yang selalu digunakan untuk hal yang baik-baik.
“Oh… semoga lo nemu yah. Gue mau jalan dulu ma Erza. Bye Put.” Pamit Nanda lalu
merangkul tangan Erza keluar dari hotel.
Diikuti tatapan oleh mereka.
“Thanks Tasya atas bantuannya, sorry
yah mendadak” Ucapnya penuh terima kasih sambil menatap Anastasia, kakak
Katherine yang sedang kuliah di Jogja semester Akhir yang buru-buru
melepas rangkulannya dan menatap sinis.
“Anytime Put. Lo bikin gue serasa
jadi cewek murahan didepan tuh cowok. Ancur image baik gue.” Gerutunya sambil
membenarkan bajunya yang dirasa menyiksa dan Putra langsung melepas jaketnya
kemudian disampirkan ditubuhnya.
“Lo pakai jaket gue aja deh.
Gak enak sepupu gue dilirik cowok cowok. By the way, Lo cantik juga pake baju
ini yah. Bikin… ” Goda Putra ketika melirik sepupunya jadi pusat perhatian
karna pakaiannya yang mengundang iman dan tertawa ketika melihat sepupunya
cemberut.
“What?! How dare you!” Gerutunya
sambil memakai jaket Putra dan menjitaknya dengan sekuat tenaga yang mungkin,
akan membuat Putra semakin amnesia.
Flashback…
“Tasya… lo dimana? Gue di Jogja nih,
bantuin gue dong” Permintaan Putra bertubi-tubi tanpa jeda ketika Tasya
mengangkat telponnya.
“Lo itu yah, udah nelpon disaat gue
banyak tugas, neror lagi! Mau minta tolong apaan?”
“Sorry deh Tasya. urgent banget.”
“Kok gue ngerasa gak enak yah
dibalik kata “urgent” lo? Ada apaan?” Tanya Tasya berlapis curiga mendengar
nada suara Putra yang sangat dikenalnya, penuh kejutan yang membuatnya
kehabisan napas dan rayuannya yang sukses membuatnya sebagai cewek dan
sepupunya, bertekuk lutut untuk mengikuti ide Putra.
Putra langsung menceritakan tentang
Erza dari awal hingga membuatnya galau tiada akhir dan idenya, sesuai
perkiraannya, disemprot Tasya dengan omelan yang notabene cewek
baik-baik.
“ Gue prihatin sama masalah lo, tapi
bukan berarti lo nyuruh gue jadi cewek gak bener kan?! Lo sepupu gue apa bukan
sih?! Enggak! Gue gak mau!”
“Ayolah Tasya… sekali aja deh… gue
pengen dia cemburu, Gitu doang Tasya, gak lebih. Suer deh. Terakhir kali deh…
janji.”
“Lo bikin dia cemburu gak usah
rusakin image gue dong!”
“Tapi Tasya… Cuma ini yang terpikir
diotak gue. Please Tasya…”
“Otak lo mesum sih! Makanya itu
doang yang ada dikepala lo!”
“biar Otak mesum, gue cowok
baik-baik kale. Anastasia Paleazzo, Cuma lo yang bisa gue andalin. Ayolah
cantik… please help me. You’re my angel and my sun. just you baby. ” Rayu Putra
yang buat Tasya garuk-garuk kepala.
“Iya! Baik untuk dimusnahkan! Lo
sadar gak sih permintaan lo itu bikin gue jadi cewek gak benar!” Omelnya
menjadi-jadi karna tak bisa menerima ide Putra dari sisi manapun.
“Sya… please Sya… Kita kan sepupu.
Masa gak saling bantu sih? Lo gak kasihan sama gue Sya? Gue udah amnesia,
kehilangan cewek yang gue sayangi, masa lo nambahin beban penderitaan gue sih?”
Dengan suara memelas, Putra mengeluarkan jurus andalannya untuk merayu cewek
seperti Tasya yang notabene takkan pernah bisa menolak keinginannya.
“Itu mah derita hidup lo Put, bukan derita
hidup gue!”
“Tapi Sya… ayolah… please…” Ucapnya
dengan nada memelas. membuat Tasya menghela napas berat.
Heum….Ok deh… Tapi ada
syaratnya! Lo harus traktir gue makan dan nonton marathon di bioskop! Ok?”
Pinta Tasya yang buat Putra melongo.
“Lo serius Cuma minta itu doang? Gue
kira banyak. Hahaha.”
“Oh… lo mau gue pesan banyak? Ok
deh, gue mau lo beliin Tas Hermes yang paling baru, traktir gue beli buku
kuliah, terus lo traktir gue makan ditempat mahal, terus…” Tasya langsung
mencerocos bak kereta api lewat.
“Stop Tasya! Lo mau buat gue gadai
tiket pesawat supaya penuhin keinginan gila lo itu?! Lo kesini naek apaan?
Taksi?”
“Bajaj! Yaiyalah gue bawa mobil! Lo
oon gak sembuh-sembuh yah? Udah deh, alamat lo smsin aja, ntar gue samperin
setengah jam lagi. Gimana?”
“Ok. Tasya… pake baju yang seksi
yah, OK?”
“Sepupu saraf lo Put! Wokeh deh.”
“Thanks Tasya, you’re my beloved
cousin.” Ucapnya penuh terima kasih.
“Iya… Gue jemput dimana nih?”
“Di Café hotel gue aja deh. Oke
Tasya. Be careful yah.”
“Yup.”
“Woy! Lo kenapa ngelamun, Sya?
Sambil liatin gue lagi! Ayooo… lo kesengsem sama gue kan sekarang? Ingat Tasya,
kita saudara sepupu, ampe kiamat gak mungkin kita bisa pacaran.” Ucapnya narsis
buat Tasya tersadar dari lamunannya.
“Kalo cowok di Bumi ini udah pada
musnah semua dan Cuma lo satu-satunya yang hidup, baru gue TERPAKSA naksir sama
lo! Pede bener deh!” Gerutu Tasya dan sebuah jitakan mendarat mulus
dikepalanya.
“Lo kok sekarang hobi jitak sih
Tasya? Kathy aja gak segitunya sama gue.” Keluh Putra karna kepalanya yang
malang selalu jadi sasaran jitak Tasya.
“Kathy itu ntar gue suruh jitak lo
tiap menit, tiap detik! Kan dia nurut ama gue, kakaknya. Hahahaha…” Tawa Tasya
yang sekilas membuat Putra teringat dengan Erza. Dan membuat wajahnya langsung
murung.
“Lo tau gak Sya? Sifat lo itu mirip
kayak sifat Erza. Sama-sama ngomel kalo gue narsis. Kalo gue narsis, lo jitak
kepala gue kan? Kalo dia enggak. Dia mencibir panjang lebar gitu. Tapi gue
suka. Sayang… gue ingatnya itu doang dari dia. Kasian banget kan gue?” Tanyanya
hambar yang membuat Tasya prihatin dengan keadaan sepupunya. Ditambah dia tau
keadaan Putra sebelum amnesia dan apa hubungannya dengan gadis yang dia temui
tadi dari Katherine.
“Suatu saat nanti lo pasti ingat kok
Put. Eh… kita makan yuk! Gue lapar nih. Udah gini aja, Lo traktir makan
minumnya, gue nonton. Gimana? Itung-itung rayain lo mampir kesini, meskipun
yah… ngerepotin gue akhirnya.” Ucapnya penuh kesinisan dikalimat terakhir
membuat Putra tertawa.
“Suara lo kayak gak ikhlas banget
gue mampir yah? Udah… gue traktir lo aja deh semuanya, lo Cuma bawa gue
kemanapun yang lo pengen. Ok?” Tawar Putra yang buat Tasya langsung berbinar.
“Ok Putra! Yuk.” Ajak Tasya penuh
semangat dan menggandeng Putra keluar hotel.
“Sayang… kok kamu kelihatan ngelamun
sih? Ada apaan? Kamu sakit?” Tanya Nanda cemas duduk berhadapan dengan Erza
yang menatapnya focus namun pikiran kedunia lain.
“Itu cewek siapa Putra sih?! Putra
juga nemu cewek itu dimana?! Arghhh!! Gue gak suka!”
“Erza…my beloved girl.” Panggil
Nanda sambil mengelus pelan pipi Erza dan membuat gadis itu langsung sadar akan
lamunannya dan wajahnya memerah malu.
“Eum… Anu…” Erza sambil menggaruk
kepalanya tak gatal dan menggigit bibir bawahnya, tanda dia salting dengan
perlakuan Nanda yang dirasa sangat manis untuknya.
“Ada apa sayang? Kamu ada masalah?”
Tanya Nanda penuh perhatian sambil menatap dalam Erza, cewek yang paling
disayanginya.
Erza hanya menggelengkan kepalanya
sambil menunduk dan langsung meminum susu coklat kesukaannya sambil menatap
jalan Marioboro yang dipadati oleh manusia. Mau tak mau membuatnya teringat
tentang Putra, dan membuatnya galau.
“Minumnya pelan-pelan sayang…
belepotan tuh. Sini ku bersihin.” Dengan penuh perhatian Nanda membersihkan
sisa susu coklat Erza yang ada dibawah bibirnya dengan tangannya, membuat Erza
semakin gugup dan malu.
“Ma…ka…sih…” Ucapnya terbata-bata
saking malunya dan membuat Nanda tersenyum.
“Kamu pernah ke Angkringan ini Za
sebelumnya? Ini Angkringan favoritku lo. Dan penjaganya ini, kenal banget sama
aku. Hahaha…”
“Wah… Aku tau kenapa kamu dikenal
baik sama pemiliknya, pasti kamu sering ngutang kan? Hahaha… Iya… sama Putra
sih. Cuma berdua.” Ucap Erza penuh semangat ketika mengucapkan kalimat terakhir
itu dan sedetik kemudian dia membelalakkan matanya karna sadar bahwa
dihadapannya ini adalah Nanda, Pacarnya.
Nanda sadar dengan perubahan sifat
Erza ketika menyebut nama Putra, hanya tersenyum walau dihati ada sepercik
cemburu “Hahahha… aku anti ngutang Sayang… Cuma ngebon aja sih sering. Hahaha…
Oh yah? Terus kamu ngapain aja ma Putra?” Pancing Nanda untuk melihat reaksi
Erza.
Erza tak sadar dengan pertanyaan
Nanda, semakin semangat menceritakannya dengan tatapan berbinar-binar, seolah
perjalanan dengan Putra itu adalah hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya
dan semua orang harus tau itu. Membuat Nanda merasa terintimidasi oleh
kehadiran Putra yang tak nampak disampingnya, namun melekat diingatan.
“Terus kamu senang?” Tanya Nanda
untuk memberi jeda kepada Erza untuk bernapas karna saking semangatnya
bercerita.
“Senang banget malah! Aku kan gak
pernah naik Delman, terus dia ngajak naik Delman pas tau itu.” Erza pun
tersenyum ketika mengingat hal itu. Tak menyadari Nanda dihadapannya mulai
panas dingin.
“Kayaknya,Putra special banget yah
buat kamu, Erza” Ucap Nanda dengan penuh penekanan setiap kalimatnya,
terdengar samar namun terasa bagi Erza yang langsung terdiam.
“Kenapa gue jadi keceplosan begini?
Aduh…”
“Kamu cemburu sayang? Tenang aja
sayang, dia Cuma temanku kok. Yang mesum. Hahaha…” Dengan suara berusaha tenang
Erza menjawab ucapan Nanda sambil tersenyum dan mengelus pipinya. Seolah
elusannya mengatakan, “Dia tak ada artinya di hidupku. Untuk saat ini.”
Nanda tersenyum mendengar ucapan
Erza dan ikut meminum pesanannya dengan tenang sambil memegang tangan Erza yang
mengelus pipinya kemudian menggenggamnya. Dan Erza menatapnya dengan pandangan,
entah apa namanya. Susah dijelaskan. Namun cukup membuat Nanda salting.
“Kenapa sih lihatin aku terus? Entar
kamu semakin tergila-gila dengan aku looo… Hahhaha…” Candanya sambil mengelus
pipi Erza pelan kemudian mencubitnya. Membuat Erza merengut namun wajahnya
merona malu.
“Ada ketemu Rani gak?” Tanya Nanda
dan membuat Erza semangat menjawabnya. Melupakan segala kekakuan yang ada karna
bingung dengan status dari bersahabat menjadi sepasang kekasih.
Semakin malam, semakin rame suasana
Jogja yang dipenuhi oleh Mahasiswa dan membuat mereka lupa waktu. Nanda yang
melirik Jam tangannya, langsung kaget melihat jarum jam menunjukkan angka 11
tepat. “Sayang, udah jam 11 nih. Pulang yuk.”
“Hah? Wah… gak terasa yah. Yaudah
deh…” Jawab Erza lalu menghabiskan minumannya.
“Aku bayar dulu yah.” Kata Nanda
sambil berdiri dari bangkunya dan CUP! Sebuah kecupan kilat mendarat bebas di
bibir Erza yang membuat gadis itu kaget.
“Sorry… gak ada yang liat kan?”
Respon Nanda dengan suara menggoda dan mengedipkan matanya ketika melihat Erza
kaget.
Erza hanya menggelengkan kepalanya
sambil mengelus bibirnya dan menatap Nanda di depan Kasir yang sesekali melirik
dirinya. Membuatnya malu.
Setelah dirasa selesai urusan
bayar-membayar, Erza pun menghampiri Nanda dan mereka pulang dengan naik motor
CBR-X warna hitam punya Nanda.
“Gimana rasanya naik motor di Jogja
Za?” Tanya Nanda dengan suara agak keras karna takutnya Erza tak mendengar
dibelakangnya.
“Enak… tapi dingin…” Kata Erza
sambil menikmati sepoinya angin malam menerpa wajahnya dan dia semakin
mengentatkan pegangannya di pinggang Nanda yang agak ngebut membawa motornya.
Nanda hanya tersenyum mendengar
jawabannya dan mengelus tangan Erza yang mengepal dipinggangnya dengan lembut
dan semakin laju dia membawa motornya menuju Hotel tempat Erza menginap.
“Za… Udah sampai tuh. Kamu tidur
yah?” Tanya Nanda karna tak mendengar suara Erza dibelakang.
“Enggak kok. Cuma gak nyangka aja
bisa nyampe dengan selamat. Soalnya kamu ngebut sih bawa motor. Bikin jantungan
tauk!” Kata Erza sambil turun dari motor Nanda dan memukul pundaknya pelan.
Membuat cowok itu tertawa.
“Kalo aku bawa kamu, dijamin selamat
Za. Aku gak mungkin kan nyelakain kamu disini? Lagipula, Ini gak seberapa
dengan ngebutnya aku kalo telat ngampus. Lebih cepat dari ini. Hahaha….”
“Dari dulu ampe sekarang, kamu tuh
gak pernah berubah yah. Hobi telat. Diubah dong sifat kamu, ntar kamu celaka,
kan repot sendiri.” Ucap Erza khawatir.
“Palingan kalo aku kecelakaan, kamu
akan nyamperin aku kan?” Goda Nanda yang buat Erza tersenyum malu.
“Tergantung parah atau enggaknya.
Kalo parahnya ampe kaki kamu diamputasi, baru aku datengin. Kalo enggak parah,
Cuma lecet doang, ngapain?”
“Dasar jahat kamu yah! Besok ke
Jakarta jam berapa?” Tanya Nanda sambil mengelus tangan Erza yang memegang
tangan kirinya.
“Jam 10 pagi. Soalnya ketemu jadwal
pagi sih.” Keluhnya ketika teringat jadwal pulang.
“Yasudah… kamu masuk dan tidur sana
deh. Maaf yah aku gak bisa nganterin kamu. Nanti, aku pasti akan Ke Jakarta
kok, nemuin kamu.” Hibur Nanda ketika melihat murung diwajah Erza dan mengelus
pipinya.
“Beneran? Ok deh. See you. Makasih
yah sayang udah temanin aku di Jogja. Aku senang banget.” Ucap Erza tulus dan
berbalik masuk hotel, namun tangannya ditarik Nanda.
“Ada apa?” Erza memutar tubuhnya
kearah Nanda dengan mimik bingung sambil melirik tangannya yang dipegangnya
sambil tersenyum manis. “Imbalannya mana?” Tagih Nanda yang buat Erza
mengerutkan keningnya. Kemudian dia tersenyum setelah tau maksudnya.
“Imbalan apaan? Oh… kamu sekarang
kerja sampingan jadi tukang ojek yah?” Tebak Erza ngawur. Bikin Nanda semakin
nyengir.
“Iya… Tukang ojek buat kamu aja kok.
Ayooo.. Aku ingin ini nih sebagai imbalannya.” Kata Nanda sambil menunjuk
pipinya sendiri, buat Erza yang tau apa maksudnya, malu.
“Ini jalan raya Nand, malu ntar
ketahuan.” Tolak Erza sambil menggelengkan kepalanya.
“Tapi sepi Erza… ayolah… sekali
aja….”
“Tapi Nand, bukannya tadi udah?”
Erza mengingatkan kejadian di Angkringan tadi yang membuat pipinya semakin
merona.
“Ya sudah deh kalo kamu gak mau, gak
papa kok. Aku pulang dulu yah.” Ucap Nanda pura-pura kecewa dan melepas
pegangan tangannya di tangan Erza. Membuat gadis itu serba salah.
Erza menghela napas berat sambil
melirik kiri-kanan yang entah kenapa, menjadi sepi. Didukung keadaan yang
sekarang lampu disekitar hotel agak remang-remang, Seolah-olah mendukung
keinginan Nanda yang terakhir.
“Semoga gak ada yang lihat, semoga
gak ada yang lihat. Amien.”
“Iya deh.” Kata Erza akhirnya
mendekati Nanda yang sudah siap jalan dan mencium pipi kiri Nanda dengan jantung
berdetak tak beraturan. Karna selama ini, dia jarang nyium cowok. Kalo dicium
sih sering. Banget malah.
Nanda langsung memalingkan pipi
kirinya yang dicium Erza dengan cepat dan memegang erat kedua lengannya dan
mencium Erza dengan lembut dan sedikit paksaan karna Erza berusaha melepasnya
dan tak membuka bibirnya utuh. Namun, Nanda yang entah belajar dari mana,
membuat Erza lemas dengan menghisap dan menggigit permukaan bibir
tipisnya dan semakin menarik dirinya ke tubuh Nanda. hingga akhirnya, dia
pasrah membuka bibirnya dan menutup matanya seraya berdoa, semoga aksi Nanda
tak dilihat warga sekampung.
“Hhhmm… Nand… I can’t breath. hmm…
Please stop. ” Desah Erza sambil berusaha mendorong Nanda menjauh karna
kehabisan oksigen dan semakin menggigit bibirnya ketika Nanda beralih mencium
lehernya dan menggigitnya pelan.
Nanda menatapnya lekat, lalu
berbisik “ just a 20 minutes, dear. after this, I’ll let you breath.”Ucapnya
sambil menggigit daun telinga Erza dengan pelan kemudian menciumnya kembali
sebelum gadis itu memberi penolakan.
Setelah dinilai lama dan takut
semakin beresiko karna berciuman panas di depan umum, Membuat Nanda mau
tak mau, melepas ciumannya di bibir Erza yang dirasa sangat menggoda untuknya
dan memberikan penutup indah dengan menggigit bawah bibir gadis itu dan
menjilatnya pelan. Membuat Erza meringis. lalu Nanda melepas pegangan tangannya
di kedua lengan gadis itu sambil mengedipkan matanya ketika Erza membuka
matanya dan menatapnya dengan wajah sangat memerah malu.
“Thanks yah sayang. I love you. Take
care yah buat besok.” Ucap Nanda sambil mengecup bibir Erza dengan cepat dan
tersenyum.
“Iya… Love you too. Aku masuk dulu
yah.” Kata Erza langsung lari masuk dalam hotel. Meninggalkan Nanda yang
tersenyum dengan tingkahnya dan akhirnya menjalankan motornya dengan kecepatan
ngebut.
“Ingin ku bunuh pacarmu, saat dia
cium bibir merahmu
didepan kedua mataku
aku cemburu.”
*Dewa 19 – Cemburu*
Lagu Dewa 19 dari koleksi album
dimobil Tasya seolah sangat mewakili perasaan Putra yang melihat secara
langsung aksi nekat seorang Nanda yang selama ini dia kira polos, ternyata
lebih beringas daripada dirinya. Tasya yang juga melihat kejadian itu, langsung
mematikan tape di mobilnya. karna dia juga ikut merasakan perasaan Putra
lewat lagu yang didengar.
“Put…” Tegur Tasya hati-hati ketika
melihat sepupu labilnya hanya diam dan pandangan seketika kosong.
“Putra Eduardo Pradipta…” Ulang
Tasya sambil mengguncang tubuh Putra yang tak merespon panggilannya.
“Gue mau ke Hotel dulu. Thanks ya
Sya udah habisin uang gue.” Kata Putra seolah sadar dengan kelakuan Tasya dan
menatapnya. Namun kosong.
“Are you Okay? Lo gue anterin masuk
gimana? Gue takut lo ngamuk Put.”
“Really bad. Gausah Sya. Lo pulang
sana. Cewek gak boleh malam-malam disini. Apalagi sama gue, habis lo
entar.” Kata Putra sambil turun dari mobil Tasya.
Tasya membuka spion mobilnya dan
menatap Putra khawatir. “Beneran? Lo jangan ngamuk yah?”
“Iyah Mama Tasya… Udah pulang sana.
Thanks yah udah temenin gue. Lo memang sepupu yang paling ngertiin Sya.” Ucap
Putra tulus sambil mengacak rambut Tasya dan tertawa ketika gadis itu merengut.
“Kita Cuma beda 2 tahun Putra! Oke
deh… kalo ada apa-apa telpon aja gue. Bye Put. Thanks for all of this. Sorry if
I spend much your money.” Ucap Tasya sambil menarik hidung Putra dan
menjalankan mobilnya meninggalkan sepupunya sendiri. Ditemani remang lampu
jalanan yang seolah menjadi lampu dihatinya yang sudah durja, semakin menjadi.
Sepeninggal Tasya, Putra langsung
masuk dalam hotel untuk melakukan satu hal, Tidur.
๘๘๘๘๘๘
“Lo kenapa Za? dikejar siapa? kenapa
ngos-ngosan?” Tanya Arny beruntun dan kaget karna melihat Erza masuk kamar
dengan ngos-ngosan dan wajah memerah malu sambil mengulum bibirnya.
“Wajah lo kenapa merah Za? Ayooo...
Lo baru ngapain aja ma Nanda jadi merah gitu? Leher lo kenapa ada bekas gigitan
tuh? Pasti...” Lanjutnya sambil memanyunkan mulutnya yang buat wajah Erza
semakin merah.
“Lo tidur gih sana! Lo itu anak
kecil Arn, jadi gak boleh tau apa yang gue lakuin sama Nanda.” Ejeknya sambil
tertawa melihat wajah Arny mendadak cemberut.
“Gue punya KTP tauk! seenak dengkul
bener lo bilang anak kecil! lagipula yah, gue udah pernah ngelakuinnya ma kak
Rico! sering malah!” Ucap Arny berapi-api karna tak terima dibilang anak kecil
sementang tubuhnya mungil kayak kurcaci. sedetik kemudian, dia sadar apa yang
diucapkannya dan menutup wajahnya sendiri karna malu.
“Owh... pantesan awet. gak
taunya....”Erza mengikik dengan nada puas karna melihat temannya malu.
“Tauk ah gelap!” Kata Arny sambil
berjalan menuju ranjangnya dan tidur pulas. membiarkan Erza yang sekarang
terdiam duduk di sisi kiri ranjang sambil mengelus bibirnya dan teringat akan
kejadian tadi. dan wajahnya merah merona.
“AH! gue kenapa sih?! Udah Erza!.”
Teriaknya pada diri sendiri karna selalu mengingat hal itu. pusing, akhirnya
dia merebahkan dirinya disamping Arny dan tidur.
Pagi Hari. 06.00 wib, Jogjakarta.
“Za... Udah kelar kan semuanya?”
Tanya Arny ketika melihat Erza sibuk membereskan kopernya sekali lagi. takut
ada yang tertinggal.
“Sip. Keluar yuk.” Ajak Erza dengan
memegang tiket pesawat ditangan kanannya, koper ditangan kirinya. diikuti Arny
dibelakangnya.
Keluar dari kamar, Erza melihat
Putra dengan yang lainnya asyik ngobrol didepan Cafe. membuat Erza teringat
kejadian malam kemarin ketika Putra bersama cewek lain begitu mesranya. membuat
emosinya naik ke ubun-ubun.
“Kenapa Za?” Tanya Restu bingung
melihat Erza berjalan kearah mereka sambil menatap Putra dengan ekspresi pengen
ngamuk.
Putra yang sadar diliatin Erza
sedemikian rupa, Cuma tersenyum dingin dan menatap dalam cewek yang baru saja
melintas dihadapannya ketika Erza berdiri didepannya.
“Tuh cewek cantik kan Za? seksi
gimana gitu... Gue godain ah...” Kata Putra tanpa tau malu langsung menyusul
cewek yang sukses mengalihkan dunianya itu. meninggalkan Erza yang melongo
karna ditinggal pergi.
“Tuh anak kenapa sih Za? Kayaknya
kumat lagi tuh penyakitnya.” Keluh Restu ketika melihat diseberang sana, Putra
sukses mendekati cewek yang sekarang seperti kejatuhan durian runtuh karna
didekatin Putra dan tukeran nomor ponsel. membuat Erza ingin melangkahkan kaki
kearah mereka dan menjewer telinga Putra sampai putus kalo tak ingat bahwa
dirinya sekarang bukan siapa-siapa dia lagi.
Putra dengan coolnya berjalan
menghampiri mereka yang takjub dengan tingkahnya. Hatinya puas ketika melihat
Erza menatapnya sinis, seolah dia bisa membaca tatapan Erza yang merupakan
cermin hatinya bahwa dia cemburu dengan apa yang diperbuatnya. namun gengsi
ngomong.
“Eh... Mas Novan datang tuh. udah
Check Out kan?” Tanya Restu yang dijawab anggukan kayak anak itik nurut sama
induknya.
Mereka pun menghampiri Mas Novan
yang menunggunya di luar hotel dan berangkat menuju Bandara Adi Sutjipto.
“Arn... Lo duduk sama siapa?” Putra
noleh ke Arny yang duduk disampingnya.
“Gue duduk sama Kak Restu dan Eva
kak. kenapa?”
“Gue tukeran tiket dong. gue mau
ngobrol sama Restu. ada yang mau diomongin. lo sama Erza. Gimana?” Tanya Putra
yang buat Arny kaget.
“Tap...Tapi kak...”
“Ayolah Arn... Gue ada urusan sama
Restu. lagipula Restu Ok aja kalo lo mau. please Arn.” Harap Putra sambil
menatap Arny yang bingung, separo ingin mengiyakan, separo hatinya takut kalo
keputusannya akan buat Erza terluka.
Erza yang mendengar dengan jelas
permintaan Putra, menghela napas berat. “Udahlah Arn... Gue juga lagi pengen
duduk bareng lo sama Jessi. udah lama gak bareng kalian.” Ujarnya seolah
mengiyakan keinginan Putra untuk lepas darinya.
“Tap...Tapi Za...” Tolak Arny.
“Udahlah Arn... Gue lagi pengen sama
lo dan Jessi. Lo gak mau gue duduk bareng kalian?” Tanya Erza balik dengan nada
penuh intimidasi sambil berusaha tak menatap balik Putra yang sedari tadi
menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
Arny yang merasa kalah, akhirnya
menganggukkan kepalanya walau hatinya berat. “Iya deh kak.” Ucapnya pasrah
sambil menukarkan tiket pesawatnya dengan punya Putra dan menghela napas berat.
tak menyangka diposisi seperti ini.
Erza yang melihat itu, menatap Putra
dan tersenyum samar kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain.
Akhirnya, Mereka pun sampai ke
Bandara Sutjipto, tempat mereka datang dengan pengalaman yang kosong, dan
kembali lagi dengan membawa sejuta pengalaman dan cerita, juga buah tangan
untuk orang-orang yang mereka sayangi. Erza pun turun terakhir dari mobil
dengan koper siap ditarik kemanapun dia mau. dan tersenyum kepada Mas Novan.
“Makasih yah Mas udah mau nganterin kami.” Ucapnya tulus diikuti yang lain.
“Sama-sama Mbak Erza. saya juga
senang karna bisa mengantar kalian ke tempat yang Mas tau. maaf kalau selama
Mas kenal dengan kalian, ada tingkah Mas yang buat kalian sebal, jengkel dsb.”
Erza hanya tersenyum manis mendengar
ucapan Mas Novan, “Enggak kok Mas. Erza malah gak ngerasa mas itu ngeselin.
justru rame orangnya.” Pujinya yang buat Mas Novan serasa terbang kalo
tak melirik di belakang Erza, Putra melototinya.
“Ya sudah Mbak Erza, semuanya...
hati-hati dijalan yah. Kalo mau ke Jogja lagi, telpon aja Mas. insyaallah Mas
antarin kemanapun yang kalian mau.” Tawar Mas Novan kepada yang lainnya.
membuat Arny, Jessi dan Eva kasak-kusuk dibelakang punggung Putra.
“Ntar kalo kita ke Jogja, Kita aja
bertiga. gimana?” Tawar Jessi.
“Berempat dengan Erza dong!” Sahut
Arny tak terima sahabatnya ditinggal.
“Iya... Kita berempat! Minus cowok!
Ntar, Kita ke Mall yah... merana gue gak menginjakkan kaki di Mall Jogja.”
Keluh Eva yang selama 3bulan, tidak meninggalkan jejak kaki di Mall manapun
yang ada di Jogja. membuatnya galau.
“Otak lo mall mulu deh Va.” Keluh
Jessi yang rupanya bosan setengah mampus mendengar galauan Eva yang sangat
dihapalnya dan menjadi racun buat telinganya.
Disaat temannya kasak kusuk
merencanakan perjalanan yang entah kapan terjadi itu, Erza mendorong kopernya
dengan tatapan lesu, seolah tak ada lagi yang dapat membuatnya tersenyum.
bahkan makanan sekalipun. membuat yang lain menghentikan percakapannya dan
menepuk pundak Erza lembut agar semangat dan melangkahkan kaki menuju ruang
tunggu.
“Gue beli cemilan dulu yah, lapar.”
Pamit Erza kepada Arny dan yang lain ketika setengah jam menunggu pesawat.
“Jangan lama-lama Za. entar lo
ketinggalan pesawat. 30 menit lagi kita berangkat.” Arny mengingatkan ketika
Erza mulai berjalan keseberang membeli banyak cemilan berbau coklat, pelepas
stres dan galaunya.
Erza pun celingak-celinguk mencari
tempat strategis untuk duduk. ditempatnya sudah diduduki orang lain. ketika
pandangannya ke arah Putra yang asyik membaca buku, dia melihat kursi kosong
diantara Putra dan seorang gadis cilik yang wajahnya bikin Erza gemes setengah
mati pengen nyubit sedang memandang Putra dengan tatapan penuh pesona. seolah
Putra adalah pangeran baginya. membayangkan itu membuat Erza tersenyum geli dan
duduk disamping Putra.
“Mau?” Tawar Erza ketika dia membuka
bungkus cemilan yang isinya coklat itu ke Putra. tapi tak direspon.
“Yasudah kalo gak mau.” Dengan suara
dingin karna dicuekin, Erza menjawab maksud acuhan Putra dan menawarkan ke
lain.
“Adek mau gak?” Tawar Erza manis ke
gadis cilik itu yang sedari tadi menatap cemilan yang dia pegang.
dengan wajah malu-malu namun bikin
gemes, dia mengambil cemilan di tangan Erza sambil menatap senang dan mengadu
pada ibunya yang duduk disampingnya bahwa dia dikasih cemilan.
“Bilang makasih sayang sama
tantenya...” Kata Ibu gadis cilik itu dan dia menurut. “Makasih tante.” Ucap
gadis cilik itu polos sambil memakan cemilan ditangannya cukup membuat Erza
shock berat.
“Emang gue sekarang tua banget jadi
dipanggil tante?” Gumamnya dengan suara sangat shock yang membuat Putra hendak
tertawa, namun ditahannya.
“Kalo seumuran lo wajar kali
dipanggil Tante. Gue aja dipanggil Om.” Sahut Restu yang duduk disebelah kiri
Putra rupanya mempunyai telinga sangat tajam karna bisa mendengar gumaman Erza
yang hampir kayak bisikan.
Erza hanya mangut-mangut mendengar
jawaban Restu menatap gadis cilik dihadapannya dengan wajah terpesona.
“Gue pengen deh suatu saat nanti,
punya anak secantik dia. kan enak bisa gue dandanin. tapi gue nikah dan bikinnya
sama siapa?” Bisik Erza sambil mengelus rambut gadis itu.
“Bikinnya sama gue Za. Kan gue
termasuk bibit unggul.” Ucap Putra yang membuat Erza menoleh ke arahnya dengan
ekspresi kaget.
“Apa lo bilang?” Tanyanya seolah
ingin memastikan bahwa tadi Putra ngomong. bukan imajinasinya.
Merasa keceplosan, Putra menatap
Erza “Lupakan aja deh gue ngomong apa. gak penting buat lo ingat.” Dan kembali
fokus membaca buku. tanpa mempedulikan hembusan napas kecewa Erza.
Suara Announcer terdengar nyaring
membuat Erza tersadar dari khayalan dan mengelus rambut gadis cilik itu yang
sekarang menghabiskan cemilan ditangannya “Kakak pulang dulu yah. Dadah manis.”
Kata Erza pamit sambil mengacak dan mencubit pipi gadis itu, membuat Putra yang
melihat kesenangan Erza terhadap anak kecil, tersenyum.
Erza pun naik ke pesawat diikuti
yang lain, meninggalkan Jogja dan kenangan yang ada disetiap tempat dia
hampiri. Dengan harapan semoga suatu saat nanti, dia bisa mampir kembali untuk
membuat kenangan baru. *jadi kangen Jogja*
Putra rupanya tidak main-main dengan
rencana yang dibuatnya. Dia duduk dengan Restu dan Eva. Membuat Erza yang duduk
diapit Arny dan Jessi menghela napas berat sambil menatap Eva yang beruntung
duduk disamping Putra dan bercanda, sesekali Putra menggodanya
hingga wajah cantik Eva bersemu merah merona. Membuat Erza cemburu.
“Gue boleh nyender gak Arn dipundak
lo?”Pinta Erza dengan suara sedih, membuat Arny tak bisa nolak.
“Silahkan Za.” Jawab Arny dan Erza
langsung menyenderkan kepalanya di Pundak Arny dan tertidur.
๘๘๘๘๘๘
“Za... kita sudah sampai di
Jakarta.” Kata Arny membangunkan Erza yang tertidur pulas disampingnya. dibantu
Jessi.
“Za... ada cowok cakep tuh... bangun
gih! ntar rugi lo gak liat!.” Kata Jessi sambil tertawa.
“Mana? Cakepan mana dengan Putra?”
Kata Erza ngigau dengan mata belum terbuka seutuhnya. membuat Putra yang saat
itu lewat didepan mereka, berhenti mendadak.
“Dia ngigau kak. udah jalan sana! lo
bikin macet!” Usir Arny sambil mendorong Putra menjauh karna jalan dibelakang
Putra tertahan.
“Cakepan dia sih… udah lo buka mata
deh Za.” Kata Jessi yang rupanya kaget dengan jawaban Erza.
Erza pun membuka matanya dan
mengedipkannya berkali-kali. Kemudian menatap mereka bergantian dengan tatapan
bingung karna mereka menatapnya seolah dia baru saja berubah jadi hantu. “Apa?”
“Enggak. Yuk keluar.” Ajak Arny yang
rupanya sadar dan langsung menarik mereka berdua turun dari pesawat
Erza pun menunggu kopernya nongol
diruangan Bagasi sambil berdecak lidah karna kelamaan nunggu. Mengabaikan
tatapan Putra yang menatapnya aneh dan sejuta pertanyaan muncul dikepalanya.
Ketika melihat kopernya keluar
bareng dengan ransel Putra, Erza langsung ingin mengambilnya, namun keduluan
Putra “ Koper lo berat. Entar jatuh, sakit deh. Kan kasihan lo ntar.” Kata
Putra sambil mengangkat koper dan meletakkannya dihadapannya lalu berjalan
keluar meninggalkan Erza yang melongo dibuatnya. Namun tersenyum dengan
perlakuan manis itu. Sambil bersinandung dia menarik kopernya keluar, diikuti
dengan yang lain.
“Sayang… aku kangen kamu.” Suara
penuh mesra menyambut mereka di Pintu kedatangan kemudian memeluknya. Sukses
membuat senyuman Erza berubah menjadi ekspresi ketidak percayaan ketika melihat
Putra membalas pelukannya, bahkan mencium kening Selvi tepat dihadapannya.
Membuatnya ingin mati saat itu juga.
“Aku juga kangen sama kamu sayang.”
Balas Putra sambil menjawil hidung Selvi dan mengecup bibir Selvi kilat.
Kakinya serasa lemas seketika dan langsung ditarik Arny ke pinggir karna
menutupi jalan.
“Erza…” Kata Katherine dengan suara
prihatin mendekati Erza. Dia tau semuanya dari awal keberangkatan hingga kenapa
Putra ngajak Selvi balikan. Dari Restu.
Erza tak merespon Katherine.
Tatapannya kosong dan seolah jiwanya pergi entah kemana. Hanya Raganya yang
masih menginjak Bumi. Menunggu disemayamkan bersama sakit yang dia rasa. Erza
pun langsung berjalan meninggalkan mereka, termasuk Putra yang menatap
kepergiannya.
“Sekarang gue punya Selvi, Lo punya
Nanda. Kita tak akan saling menunggu kan?” Bisik Putra ketika Erza lewat
dihadapannya. Mengabaikannya.
Erza menghela napas berat, menahan
air matanya yang hendak jatuh dan menatap Putra dengan tatapan yang
diketahuinya, adalah tatapan tersakit yang pernah dia lihat dari Erza.
“Se…moga… kita bahagia dengan apa yang kita pilih. Putra.” Dengan terbata-bata
dan pasrah Erza mengucapkan itu dan Putra bersumpah demi apapun, dia melihat
Erza meneteskan air matanya. Namun keburu dihapusnya.
“Kami pulang dulu yah. Bye semuanya.”
Kata Reno langsung merangkul Erza dan melambaikan tangan kea rah yang lain.
Diikuti Erza.
“Gue cabut dulu yah.” Kata Erza
dengan suara agak serak dan cipika-cipiki dengan yang lain sebelum pergi.
“Sabar Za.” Ucap Arny prihatin.
Karna diantara yang lain, Cuma dia tau gimana hancurnya hati sahabatnya itu.
“Gue kuat Ny.” Ucap Erza sambil
tersenyum dan berjalan menghampiri Reno yang siaga menarik koper dan membawa
tas ranselnya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah,
Erza hanya diam dan menatap keluar dengan pandangan kosong. Reno pun tak berani
mengusiknya. Dia membiarkan Erza sendiri dan tenang. Karna dia tau sepupunya
itu seperti apa.
๚๚๚๚๚
“Gue gak pernah sekangen ini dengan
rumah kak.” Erza membuka pembicaraan ketika mereka tiba dirumah lalu keluar
untuk mengambil barang-barangnya. Dibantu Reno.
“Gue juga gak pernah ngerasain
sesepi ini ketika lo tak ada selama 3 bulan. Dek.” Kata Reno lembut sambil
mengacak rambut Erza dan mereka masuk rumah bareng.
“Barang-barang lo gue taroh dimana
dek?” Tanya Reno ketika melihat Erza terpaku di depan kolam renang.
“Udah berapa lama gue gak berenang
sejak Putra pergi yah? Setahun? Dua tahun? Tiga tahun? Atau.. empat tahun?”
Batin Erza.
“Erza…” Ulang Reno ketika melihat
gadis itu tak meresponnya.
“Ehm… Eh… bantuin masuk kamar yah
kak. Berat banget tuh. Erza gak sanggup ngangkat.” Jawabnya dengan agak
tergagap.
Reno sadar apa yang membuat
sepupunya tergagap menjawab pertanyaannya tadi. Sadar siapa yang dipikirkan
gadis itu. Hanya bisa tersenyum. “Ok deh. Dek… kalo ada masalah yang lo gak
bisa tahan lagi, jam berapapun lo pengen cerita, ketok saja kamar gue. Gue siap
dengar curhatan lo dek.” Sahut Reno sambil mengacak rambut panjang Erza dan
mengangkat kopernya ke kamarnya. Meninggalkan sang pemilik kamar tersenyum
samar dan melemparkan pandangannya ke kolam sebelum pergi menyusul kak Reno.
“Kak… Erza ada beliin oleh-oleh nih.
Gatau muat apa enggak. Dicoba yah.” Ucap Erza ketika Reno berdiri di blakon dan
menghampirinya sambil membawa bungkusan.
“Apaan? Wah… thanks yah dek. Pasti
muat kok.” Jawab Reno sambil tersenyum.
“Iya kak. Kak… Erza mau ke bawah
dulu yah. Udah lama gak berenang.” Izin Erza yang buat Reno kaget.
“Lo mau berenang? Serius?” Ucapnya
tak yakin.
Erza hanya menganggukkan kepalanya
dan keluar dari kamar menuju kolam. Meninggalkan Reno yang prihatin dengan
keadaannya sekarang.
“Semoga lo kuat dek. Gue yakin lo
bisa hadapin semua ini.” Bisik Reno sambil mengawasi Erza di tengah kolam.
Hanya diam, tak ada gerakan.
Tanpa diketahui Reno, Erza
sebetulnya menangis di kolam. Teringat semua perlakuan Putra di tempat
ini, hal yang paling dia rindukan, namun berbalik menyakitinya.
Erza pun menyelam. menahan
napas dalam air sekuat dia mampu. Agar semua sakit yang menghimpit perasaannya,
larut bersama air mata yang terus menerus mengalir deras dan bercampur dengan
air kolam renangnya yang dipenuhi kenangan Putra yang silih berganti memasuki
alam pikirannya.
“Tak bisa, aku melupakanmu…
walau kau bukan milikku lagi.
Tak bisa, Aku hidup tanpamu
terbiasa… kau perhatikan aku.
Bagaimana… Nasib cintaku
Hatiku masih, hidup diragamu
masih saja, Aku menganggapmu
Aku pasanganmu…
Seperti dahulu.”
*Rini Idol : Mimpi besarku*
“Erza… Erza!” Teriak Reno cemas dari
atas karna melihat Erza lama tak muncul dari air, sedangkan hujan turun dengan
sangat deras.
Takut terjadi apa-apa dengan
sepupunya, Reno bergegas turun ke bawah.
◌◌◌◌◌◌
“Erza… Erza… bangun Za…” Panggil
Reno cemas di ruang tamu setelah menggendong Erza yang lemas di kolam renang
karna tak sadarkan diri.
Perlahan, gadis itu membuka matanya
dan melihat Reno langsung tersenyum dan memeluknya penuh syukur.
“Jangan lakuin hal bodoh kayak tadi
yah?” Pinta Reno yang hanya dijawab anggukan lemah Erza.
“Sorry kak. Erza…” Ucapannya
terhenti dan dia menangis tersedu-sedu dipelukan Reno.
“Kalo lo gak sanggup ngomong, nangis
aja di pelukan gue. Gue mau kok.” Ucap Reno sambil mengelus rambut Erza yang
basah dan semakin erat memeluk supaya dia tak kedinginan.
“Kenapa kak… semuanya…” Isaknya
lemah dengan bibir bergetar karna kedinginan. lelah menangis, akhirnya dia
tertidur di pelukan Reno.
Melihat Erza tertidur dipelukannya,
dia langsung menggendongnya ke kamar dan memanggil Mpok Surti. “Mpok… gantiin
baju Erza yah. Dia ketiduran tuh pake baju renang. Takutnya masuk angin.”
Perintah Reno yang langsung dijawab senyuman oleh Mpok Surti.
“Siap Mas Reno.” Dengan gaya ala
upacara 17an, Mpok Surti langsung masuk kamar Erza dan menutupnya. Meninggalkan
Reno yang langsung masuk kamar dan tidur.
“Sorry Erza…” Hanya itu yang bisa
diucapkan Putra ketika teringat bagaimana sakitnya Erza menatap dirinya pada
saat dia bersama Selvi.
“Kak…” Panggil Katherine ketika
melihat Putra termenung di balkon, padahal hari hujan deras.
“Kalo ada cara yang lebih lembut
dari ini, akan gue lakuin Za. Asal gue gak pernah melihat tatapan lo seperti
siang tadi. Tatapan lo bikin gue ngerasa bersalah banget Za. Lo nyiksa
gue.” Lanjutnya tanpa mengetahui, Katherine mendengar ucapannya dan ikutan
melamun.
“Kayaknya gue punya ide agar
lo bersama Erza lagi kak. Tunggu tanggal mainnya.” Bisik Katherine penuh
semangat dengan ide menari-nari di kepalanya, siap untuk didiskusikan
dengan pacar tersayang, Restu. Dan meninggalkan Putra yang masih galau.
ॢॢॢॢॢॢ
1 tahun setelah mereka selesai KKN,
tak ada saling tegur, saling menggoda. Yang ada hanya kebisuan yang mendominasi
mereka. Seolah-olah tak ada yang saling kenal.
“Halo sayang…” Erza mengangkat ponselnya
yang berdering pada saat dia mengerjakan tugas di kelas berdua Putra dengan
posisi duduk berjauhan.
Putra hanya bisa mengepal tangannya
yang dingin ketika mendengar suara Erza yang terdengar manja dan wajahnya yang
merah merona karna dirayu Nanda, semakin membuatnya emosi.
“Sayang…” Entah keberuntungan atau
kesialan, Selvi langsung masuk dalam kelas Putra dan memeluk cowoknya dari
belakang sambil meletakkan kepalanya di pundak lalu mencium pipi Putra. Membuat
Erza yang melihat kejadian itu, langsung memalingkan wajahnya kea rah lain. Dan
matanya terasa basah, namun ditahannya.
“Kamu kenapa sayang?” Tanya Nanda
cemas karna suara Erza berubah menjadi agak serak, seolah dia menahan sesuatu.
“Aku gak papa kok sayang… beneran.”
Ucapnya dengan suara berusaha normal agar tak ada yang curiga.
“Kamu sakit?” Tanya Nanda mulai
curiga dengan perubahan suara Erza.
“Enggak kok sayang.”
“Putra… kita jalan yuk. Aku bosan
lihat kamu selalu berkutat dengan buku. Kamu itu pacaran dengan buku atau
denganku sih?” Ucap Selvi dengan suara agak keras dan dimanjakan agar Erza
mendengar. Dan usahanya berhasil. Karna Erza menatap kearahnya dengan
tatapan terluka.
“Kamu aneh deh sayang, masa sama
buku dicemburuin? Jalan? Aku nyelesain ini dulu yah. Sebentar lagi.” Ucap Putra
lalu menepuk pipi Selvi dengan lembut. Membuat Erza yang melihatnya, langsung
memalingkan wajahnya lagi.
“Nanda jauh lebih baik dan tak mesum
kayak Putra. Lo dari dulu ingin itu kan?” Suara hatinya Erza
mengingatkan.
“Nanda memang jauh lebih dari Putra,
tapi… ada sesuatu yang Nanda gak punya, tapi Putra sangat punya itu.” Suara
hatinya yang lain membela Putra.
“Seandainya dia tau gimana sakitnya
perasaan gue..” Bisik lirih Erza di telpon, membuat Nanda kaget.
“Erza, Kamu kenapa?” Suara Nanda
terdengar di telpon, membuat Erza kaget dan langsung sadar dengan apa yang
diucapnya.
“Mampus gue!” Rutuknya dalam hati.
“Apaan Nand? Enggak kok… enggak. Eh
udah dulu yah sayang. Aku mau masuk kelas dulu. Bye. I love you. Muah.” Ucap
Erza cepat agar Nanda tak bisa merespon dan langsung mematikan ponselnya.
Nanda, My Boy.
“Kamu kenapa sayang? Siapa yang
sakitin kamu?” Pertanyaan Nanda bersarat khawatir
terpampang jelas di pesan masuknya. Erza menghela napas sedih dan memilih
mengabaikannya.
sesekali Putra melirik Erza dengan
wajah cemas karna gadis itu terlihat murung dan pucat beberapa akhir ini. Selvi
yang menyadari Putra tak focus padanya, langsung berdiri menutup akses Putra
melirik Erza dengan tubuhnya. “Bagaimana sayang? Kita jadi jalan kan? Ayolah…
sekalian merayakan 1 tahun kita balikan.” Rayu Selvi.
Sempat dilihatnya Erza berdiri dan
langsung keluar dari kelas sambil berlari, membuat Putra terdiam dan menatap
Selvi “Aku tak bisa sayang ternyata. Hari ini tugasku numpuk. Kamu kan
tau aku sebentar lagi mau lulus. Kapan-kapan aja yah? Aku janji deh… akan
temanin kemanapun yang kamu mau.” Bujuknya ketika
melihat wajah Selvi merengut, namun
tak menolak keputusannya.
“Yaudah deh. Aku keluar dulu. Bye
sayang.” Ucapnya sambil hendak mencium pipi Putra, namun Putra berpaling kea
rah lain, membuatnya tersenyum dan mengacak rambut Putra lalu keluar dari
kelas.
Sepeninggal Erza dan Selvi, Putra
melepas kacamatanya kemudian berjalan menuju jendela kelasnya yang mempunyai
akses langsung ketaman. Dia melihat Erza duduk termenung sambil melempar batu
ke kolam dengan tatapan kosong. Seperti dirinya. “Sampai kapan Za kita terus
begini? Gue gak sanggup lagi.” Bisiknya kemudian memutuskan untuk keluar dari
kelas.
१११११
Di Kampus UGM…
“Nand, kenapa lo?” Tegur sahabatnya
ketika melihat Nanda, melamun di pohon yang rindang sambil memegang hpnya.
“Gue gak tau nih. pacar gue gak ada
balas sms daritadi. bikin bingung aja.” Keluhnya sambil berharap Erza membalas
pesannya, agar dia tenang.
“Ciee... siapa pacar lo? Si Erza
kan? ckckck... sibuk kali. Eh... gue masuk kelas dulu yah. Bye Nanda.” Pamit
temannya dan meninggalkan Nanda sendiri.
“Siapa dia yang lo maksud,Erza?
Putra? apa hubungan kita selama ini tetap tak bisa hapusin dia dari hidup
lo? Apa gue udah terlambat?” Ucapnya lirih sambil menikmati angin sepoi-sepoi
menerpa wajahnya dan membuatnya teringat kejadian demi kejadian, dimana Erza
selalu bersemangat setiap menyebut nama Putra hanya dengan sekali pancing,
dimana dia bisa merasakan perbedaan yang sangat kontras antara memanggil
namanya dengan sebutan sayang, dan nama Putra dengan sumpah serapah, namun
tebersit entah apa namanya... perasaan sayang yang disembunyikan.
Flashback...
“Sayang…” Panggilnya mesra ketika
Erza mengangkat telpon.
“Iya sayang… ada apa?”
“Aku kangen kamu… sangat kangen
malah.” Gombalnya yang membuat gadis itu, tertawa di seberang sana.
“Erza… Ntar habis ini gue pinjam
Flashdisk Putra dari lo yah.” Panggilan itu mengalihkan pembicaraan Erza dari
Nanda, namun dapat mengubah semuanya yang disembunyikan.
“Flashdisk Putra yah kak? Oke deh.
Tapi jangan diilangin yah Flashdisknya. Kan sayang. Hahahaa…” Jawabnya dengan
nada riang, seolah-olah itu hal menyenangkan untuknya.
“Dari siapa sayang?” Tanya Nanda
ketika dirasa Erza sudah berada jangkauannya.
“Dari kak Restu. Dia mau pnjam
flashdisk Putra tapi keduluan Erza, yaudah deh. Padahal aku takut kak Restu
minjem, soalnya punya Putra sering hilang sih. Kan sayang…” Jawabnya dengan
nada penuh khawatir..
“Emang Flashdisk Putra segitu
pentingnya yah jadi kamu khawatir banget kalo flashdisk dia hilang?”
“Penting banget malah Nand! Soalnya
semua file-file dia ada disitu semua. Dia kalo hilang kelimpungan sendiri, jadi
aku copy semua file dia di laptop. Jadi kalo ilang lagi, gak ribut lagi.”
Jelasnya dengan penuh semangat, kontras pada saat mengangkat telpon Nanda.
“Oh… jadi Putra sangat istimewa
banget untukmu yah sampai repot-repot bikin copyan segala.” Ucapnya dingin.
“Isti… Eh udah dulu yah sayang, aku
mau masuk kelas dulu. Bye.” Ucap Erza cepat seolah menghindar dan langsung
memutus telpon.
Nanda menghela napas berat ketika
teringat percakapan kemarin itu. Membuat buktinya bertambah bahwa seberapa
perhatian pun dia dengan Erza, takkan bisa mengubah posisi Putra dihati gadis
itu.
seketika Nanda membelalakkan matanya
maksimal ketika melihat seorang gadis, yang sangat dikenalnya lewat
dihadapannya. Dia mengucek-ucek matanya agar memastikan matanya tak katarak
mendadak. Kemudian berlari mendekatinya. “Lo?” Ucapnya shock karna
melihat penampilan gadis itu yang serba sopan. Berbeda pada saat dia pertama kali
bertemu.
“Iya… ada apa yah?” Tanyanya seolah
tau apa dipikiran cowok yang memegang tangannya dan tersenyum.
“Lo cewek yang bareng Putra kemaren
di hotel kan?” Tanya Nanda shock.
Tasya tersenyum, kemudian berkata
“Kayaknya kita harus bicara deh. Ada yang mau gue jelasin ke lo.”
“Tentang apaan?”
“Tentang semuanya yang gak lo
ketahui. Itung-itung memperbaiki image gue yang ancur lebur didepan lo.”
Ucapnya dengan nada jengkel di kalimat terakhir, membuat Nanda tersenyum.
“Boleh. Bagaimana kalo disini saja?”
Tawarnya sambil menunjuk pohon tempat dia bergalau ria.
Tasya kelihatan berpikir, kemudian
tersenyum “Bagaimana kalau di kantin? Gue belum makan soalnya.”
Nanda hanya mengangguk dan berjalan
beriringan dengan Tasya. Cewek entah siapa baginya, namun yang dia yakini, akan
membuka sekat yang selama ini menjadi pembatas yang tak terlihat, namun semakin
menebal antara dirinya dan Erza.
“Mau?” Tawar Putra sambil
menyerahkan sebotol Coca-Cola hingga mengenai pipi Erza. Dan membuat gadis itu
kaget dan langsung beres-beres.
“Gue cabut dulu yah. Bye.” Ucapnya
terburu-buru dan berjalan melewatinya, namun terhenti karna Putra memegang
lengannya erat.
“Sampai kapan lo menghindar
Za?” Tanyanya dengan tatapan ke Erza yang berpaling kearah lain.
Erza terdiam dan menatap
sekelilingnya dengan perasaan nanar, jujur dalam hatinya pun dia bertanya,
sampai kapan akan menjalani hubungan yang menyiksa batinnya. Sampai kapan dia
selalu berpura-pura bahwa Nanda adalah seseorang yang membuat hatinya selalu tersenyum.
Karna pada kenyataannya, hatinya tersenyum hanya untuk satu nama, Putra. Cowok
yang memegang tangannya sekarang.
“Jawab gue, Erza. Sampai kapan?”
Tanyanya dan dengan sekali tarik, Erza sudah ada dihadapannya. Dan Putra
mengangkat dagunya agar focus menatap kearahnya.
Erza menjawab dengan gelengan.
“Jangan tanyakan ke gue. ijinin gue pergi, Putra. Nanti pacar lo marah kita
berdua ditempat seperti ini. Lagipula, Gue udah punya pacar Put. Please…”
Putra melepas pegangannya di lengan
Erza, lalu menatapnya “Lo gak akan bisa bohongin perasaan lo ke gue Za. Walau
gue amnesia, gue mulai bisa ingat sama lo.” Ucapnya tenang. Namun membuat Erza
kaget.
“Maksud lo?” Tanyanya bego, namun
dijawab Putra dengan pergi meninggalkannya. Membuat Erza frustasi.
“Maksud lo apa Putra?!” Teriaknya.
Walau dia tau percuma. Karna Putra semakin meninggalkannya.
“Lo tau Put, gue gak akan sanggup
mengakhirinya. Meskipun gue ingin.” Ucapnya lirih sambil bersandar di pohon dan
meneteskan air matanya.
Putra yang mendengar teriakan Erza
dari kejauhan, hanya bisa tersenyum samar. “Kalo lo tak bisa mengakhiri ini,
gue yang akan mengakhirinya, Erza.”
Setelah puas menangis, Erza pun
berjalan meninggalkan taman dan memutuskan pulang kerumah. Mencari kedamaian.
♡♡♡♡♡♡
“Aku bisa terima, meski harus
terluka
karna ku terlalu, mengenal hatimu.
Aku telah merasa, dari awal pertama.
Kau takkan bisa lama, berpaling
darinya.”
Tasya terdiam setelah hampir separuh
waktunya menjelaskan semua yang dia ketahui tentang Putra dan Erza kepada
Nanda. Sampai merelakan kelas berikutnya agar semuanya jelas, tak ada yang
saling merasa tersakiti karna ego masing-masing.
“Gue gak akan pernah nyangka kalo
gue yang menghancurkan hubungan mereka.” Ucapnya lesu.
“Jangan salahin diri lo sendiri
Nand. Nurut gue gak ada yang salah disini. Lo gak salah suka dan pacaran sama
Erza, dan dia juga gak salah terima lo, Nand.” Hiburnya.
“Seharusnya gue dari dulu sadar,
kalo hati dia bukan ntuk gue. tapi ntuk Putra.”
“Lo sadar, tapi lo gak peduli kan?”
Tembak Tasya sambil menatap lekat Nanda, persis menginterogasi pasien. Membuat
Nanda tersudut.
“Iya. Karna gue sayang sama dia. Dan
sayang gue ternyata gak bahagiakan dia, tapi malah nyakitin.”
Tasya mendengar jawaban Nanda sambil
memutar sedotannya dan bertopang dagu. “Terus lo mau bagaimana sekarang setelah
tau masalah ini? Tetap pertahankan dia atau lo lepasin dan biarin dia sama
sepupu gue?”
Nanda terdiam mendengar pertanyaan
cewek didepannya ini. “Kalau gue pertahankan? Gue bisa buat dia lupakan Putra.”
Tasya menghela napas dan menatap
Nanda “Gue tau lo akan jawab begini, Nanda. Gue gak bisa nyuruh lo untuk
mutusin dia. Karna apa? Gue tau lo sayang sama dia. Banget malah. Tapi please,
buka hati lo sedikit saja untuk melihat semuanya. Gue cewek, Nand. Dan gue tau
perasaan Erza ma sepupu gue bagaimana. Dia sayang banget. Tapi bukan berarti
dia gak sayang sama lo. Dia sayang, Cuma dia gak bisa artiin sayangnya itu. Lo
gak buruk buat Erza Nand, tapi… dia sayangnya sama sepupu gue. walau ancur
gimanapun.” Tasya menjelaskan dengan panjang lebar.
“Cinta tak harus memiliki, Nand. Gue
tau lo sakit. Tapi perasaan gak bisa bohong. Sesayang apapun lo sama Erza, kalo
dia sayang sama Putra, sayang lo gak ada artinya. Yang ada, dia semakin
tersiksa karna dia bersalah selalu nyakitin lo dengan cara menyayangi cowok
lain.” Lanjutnya membuat Nanda semakin terdiam. Membenarkan setiap perkataan
Tasya.
“Gue… akan lepasin dia. Kalau itu,
bisa membahagiakan Erza.” Putusnya dengan nada berat.
Tasya menggenggam tangan Nanda dan
tersenyum. “Lo putusin dari hati lo Nand. Jangan ada kata terpaksa. Lakukan
dengan ikhlas. Maka semuanya akan baik saja.” Ucapnya.
Nanda tersenyum mendengar ucapan
Tasya. “Thanks yah. By the way, gue lupa nanya, nama lo siapa? Kok lo bisa tau
nama gue?” Tanyanya beruntun.
Tasya mengulurkan tangannya kea rah
Nanda “Nama gue Anastasia Paleazzo, lo panggil aja Tasya. Gue tau nama lo saat
kita ketemu di hotel, Erza nyebut nama lo. Dan gue kaget aja ternyata kita satu
kuliah. Lo ambil jurusan apa?
“Gue ambil Psikologi. Lo?” Tanya
Nanda balik.
“Serius? Gue juga ambil Psikologi.
Tapi mau semester akhir.” Jelas Tasya dan berikutnya, terjadi diskusi seru
antara mereka.
११११११
Setelah satu jam berdiskusi dengan
Tasya. Gadis itupun pamit. “Gue pulang dulu yah. See you.” Ucapnya ramah sambil
berdiri dan tersenyum.
Nanda pun membalas senyumnya. “Yup.
Hati-hati yah Sya. By the way, thanks udah ngasih tau semuanya.” Ucapnya tulus.
Tasya tersenyum ramah “Ya. Lo
pikirin baik-baik Nand apa yang gue bilang.” Ingatnya dan meninggalkan Nanda
yang termangu sendirian.
“Kalo gue gak bisa lepasin Erza,
gimana Sya? Gue sayang sama dia.” Ucapnya sambil memikirkan sebuah keputusan
dan mengingat semua omongan Tasya tentang hubungan mereka.
Asyik-asyiknya melamun, tiba-tiba
ponselnya berbunyi. Nanda pun kaget dan tersenyum ketika tau siapa yang
menelponnya. Disaat dia sudah yakin dengan keputusannya untuk mengikat gadis
itu lebih erat lagi.
“Iya sayang…” Ucap Nanda mesra
ketika mendengar suara lembut Erza menyapanya.
“Gak papa kok sayang. Aku kangen aja
pengen nelpon kamu. Kamu sibuk yah? Udah makan belum?” Tanya Erza perhatian.
“Aku gak sibuk kok. Erza… kamu lagi
ada dimana?”
“Aku dirumah sayang. Baru pulang.
Ada apa?
Nanda menghela napas, “Sayang… aku
boleh ngomong sesuatu?” Tanyanya.
“Boleh kok. Mau ngomong apa Nand?
“Kamu sayang gak sama aku?” Tanya
Nanda yang cukup membuat Erza terdiam cukup lama ditelpon.
“A…ku sayang kok sama kamu. Kenapa?
Kamu mikir aku selingkuh yah?” Tanyanya balik sambil melempar lelucon.
Nanda tersenyum mendengar jawaban
Erza. “Enggak kok. Aku percaya kamu gak selingkuh. Bu the way… minggu depan aku
mau kejakarta Za.” Jawab Nanda.
“Ke Jakarta? Ngapain?” Suara Erza
terdengar cukup senang di telinga Nanda. Walau sebenarnya, Hati Erza tak
berkata demikian.
Nanda terdiam cukup lama. Sambil
memikirkan keputusannya sekali lagi. Semoga keputusan gue benar.”
“Aku mau melamar kamu, Erza Noor
Assifa. Aku mau, kita tunangan. Kamu mau kan?” Tanyanya yakin bahwa Erza mau
menerima lamarannya yang sangat tak romantic ini.
Erza langsung terdiam mendengar
ucapan Nanda. Tak tau harus ngomong apa. “Aku…”
“Serius?”
Erza tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Bahkan dalam hatinya berharap
salah dengar.
“Aku serius sayang. Will you?” Nanda mengulang lamaran itu sekali lagi. Dengan harapan dihati, pengabaian atas kenyataan yang menyakitkan dari Tasya.
“Aku serius sayang. Will you?” Nanda mengulang lamaran itu sekali lagi. Dengan harapan dihati, pengabaian atas kenyataan yang menyakitkan dari Tasya.
Erza terdiam mendengarnya. Matanya
menatap langit, meminta jawaban.
“Aku gak tau,Nand.” Hanya itu yang
bisa dia ucapkan. Bernada jujur, tak ada kebohongan.
Nanda mendengar jawaban Erza, hanya
bisa terdiam. Baginya, jawaban itu bermakna penolakan gadis itu secara halus. Namun
dia tak ingin menyerah. Selama Erza dalam dekapannya, takkan ada yang bisa
merebutnya, bukan Putra, bukan siapapun. Walaupun dalam hatinya berkata, sejak
awal, dia kalah total dari Putra. Namun tak ingin mengakuinya. “Aku tau kamu
ragu sayang. Minggu depan aku akan temui orang tuamu, yakinin hatimu.” Nanda
mengucap pasti.
Erza hanya bisa tersenyum walau tau
Nanda takkan bisa melihat senyumnya itu. Bahkan dia tak ingin Nanda melihat
senyumnya itu. “Kamu bakal nginap dimana, Nand?” Erza bertanya untuk
mengalihkan pembicaraan.
“Aku nginap dirumah tante Fanny di
Senayan.”
Erza mengangguk dan menarik napas
dalam-dalam. Entah kenapa, malam ini membuatnya serasa susah bernapas bebas.
“Oh begitu... Sayang, aku tidur dulu yah. Udah ngantuk nih. Bye sayang.”
Pamitnya.
“Bye juga sayang. Have a nice dream,
my Lullaby. I love you.” Nanda mengucapkan selamat tidur dengan penuh sayang.
“Have a nice dream too sayang.” Erza
membalas ucapan Nanda dan mematikan ponselnya lalu melemparnya kekasur dan
berjalan menuju balkon. Sekedar menghilangkan gundah yang semakin mengaduk-aduk
hatinya.
“Oh God, Moon, Stars, Please, Help
me. Show the best way.” Harapnya sambil menatap langit malam yang cerah
ditemani bulan sabit dan bintang.
Asyik melamun, Erza tak mendengar Reno masuk kekamarnya dan
berdiri disampingnya. “Dek... Tidur yuk. Ntar sakit loh.” Reno merangkul Erza
dan menariknya pelan agar menjauh dari balkon dan menutup pintu.
“Langitnya cerah yah kak. Gue pengen liat lagi. Sekaliiii...
aja.”
“Ntar lo sakit Za. Lo kan gak tahan udara dingin. Mending lo
tidur deh.” Bujuknya sambil menyuruh Erza tidur dan menyelimutinya lalu duduk
disampingnya.
“Kak... Nanda tadi nelpon. Ngajak gue tunangan.” Curhatnya
ketika Reno asyik mengelus rambutnya. Membuat dia teringat perlakuan Putra
ketika mereka masih serumah. Ketika dia ketakutan atau susah tidur.
“Terus? Lo mau?” Reno menghentikan kegiatannya dan membiarkan
Erza duduk disampingnya.
“Gue gak tau kak.” Erza menjawab sambil memilin tepi selimutnya
dan mengulum bawah bibirnya.
“Kok gak tau Za?” Reno mengerutkan keningnya. Tak biasanya
Erza ragu dengan keputusan yang tepat dihadapannya.
Erza menjawab pertanyaannya dengan menangis dan membuat Reno berinisiatif memeluknya agar dia bisa menangis sepuasnya. Mencurahkan isi hatinya disetiap isakannya. Dan Reno menenangkannya tanpa banyak kata-kata.
Erza menjawab pertanyaannya dengan menangis dan membuat Reno berinisiatif memeluknya agar dia bisa menangis sepuasnya. Mencurahkan isi hatinya disetiap isakannya. Dan Reno menenangkannya tanpa banyak kata-kata.
“Putra yah?”
Erza mengangguk dan menghapus air mata yang masih menetes pipinya dan melepas pelukannya lalu menatap Reno. “Erza... jujur sama gue sekali aja. Lo sayang siapa?” Reno mengajukan pertanyaan yang sudah setahun ini menjadi bayangan dalam hidupnya.
Erza terdiam lalu menghela napas. “Gue gak bisa milih kak. Gue sayang keduanya.” Akunya.
Reno tersenyum. Kemudian menggeleng. “Lebih tepatnya, lo sayang siapa?”
“Gue sayang sama Putra kak.” Jujurnya. “Tapi.. gue juga sayang sama Nanda.” Lanjutnya terburu-buru.
“Erza... Kalo lo sayang keduanya, kenapa lo lebih memilih Nanda? Apa karna dia mantan pacar lo waktu SMP? Atau karna dia sahabat lo yang baru ditemukan setelah hilang 4 tahun? Atau...” Reno sengaja menggantungkan pertanyaan terakhirnya dan tersenyum ketika Erza mengerutkan keningnya.
“Atau apa kak.?”
“Lo lebih tau yang terakhir itu daripada gue, dek.”
Erza mengangguk dan menghapus air mata yang masih menetes pipinya dan melepas pelukannya lalu menatap Reno. “Erza... jujur sama gue sekali aja. Lo sayang siapa?” Reno mengajukan pertanyaan yang sudah setahun ini menjadi bayangan dalam hidupnya.
Erza terdiam lalu menghela napas. “Gue gak bisa milih kak. Gue sayang keduanya.” Akunya.
Reno tersenyum. Kemudian menggeleng. “Lebih tepatnya, lo sayang siapa?”
“Gue sayang sama Putra kak.” Jujurnya. “Tapi.. gue juga sayang sama Nanda.” Lanjutnya terburu-buru.
“Erza... Kalo lo sayang keduanya, kenapa lo lebih memilih Nanda? Apa karna dia mantan pacar lo waktu SMP? Atau karna dia sahabat lo yang baru ditemukan setelah hilang 4 tahun? Atau...” Reno sengaja menggantungkan pertanyaan terakhirnya dan tersenyum ketika Erza mengerutkan keningnya.
“Atau apa kak.?”
“Lo lebih tau yang terakhir itu daripada gue, dek.”
Erza menghela napas berat. Dia tau maksud Reno yang terakhir itu. Berhubungan dengan rahasianya yang dia simpan selama setahun ini, rahasia yang hanya Tuhan dan dirinya saja yang tau. Rahasia yang ikut menyalahkan dirinya. “Jujur kak, Gue terima Nanda karna pelarian gue akan Putra. Gue gak bisa terus-terusan digantung kayak gini. Dia cium gue, peluk gue, panggil sayang dan sebagainya. Tapi kami gak ada kejelasan hubungan kak. Teman, gak mungkin. Pacaran, dia gak pernah bilang “Erza, will you be my girlfriend?” Gue merasa digantung kak. Kompromi dengan kata Amnesia membuat gue lelah kak.” Erza menarik napas lalu menatap Reno yang siap mendengar rahasianya. “Tapi bukan berarti gue gak sayang sama Nanda. Gue sayang kak. Waktu dia nembak gue, gue gantungin selama seminggu. Selama itu gue mikir, mencari apakah gue ada rasa sama dia, sekecil apapun. Ketika gue menemukannya, gue langsung bilang iya. Tanpa pernah gue sadari, kalo perasan sayang itu bukan sebagaimana sayang seperti gue ke Putra. Gue merasa bodoh kak. Merasa seperti ikan yang lihat umpan menggantung di kail lalu menyambarnya tanpa memikirkan bahwa itu akan menyakiti mulutnya.” Tutupnya.
Reno terdiam sesaat. Tak menyangka hubungannya seribet ini.
“Lo pacaran sama Nanda berapa bulan? Setahun kan?” Tanyanya dan Erza
mengangguk. “Selama itu... apa yang lo rasain? Bahagia? Atau sakit?” Lanjutnya
yang membuat Erza terdiam lama lalu bersandar di dinding dan mengambil pigura
yang fotonya bersama dia dan Putra waktu di Jogja dan mengelus penuh sayang.
“Pada awalnya, gue senang kak. Gue merasa bisa lepas dari Putra. Walau awalnya
harus nangis dulu karna Putra gak terima keputusan gue. Tapi... semakin lama
waktu berjalan, gue merasa sakit kak. Gue selalu nyalahin diri kenapa harus
terima Nanda kalau selama setahun ini, apapun yang gue lakukan sama dia, bukan
seperti gue lakuin sama Nanda, tapi sama Putra. Putra udah jadi bayangan gue
kak.”
“Terus? Setelah lo rasain ini, apakah lo pengen lanjutin atau ingin mengakhiri dek?”
“Jujur, gue pengen banget mengakhiri kak. Tapi gue gak pengen nyakitin Nanda lebih dalam lagi. Dia terlalu baik kak. Dan gue jahat banget mutusin cowok sebaik dia. Tapi ... gue gak tahan lagi kak.” Erza menghela napas dan merasakan ada sedikit lega dalam hatinya karna bisa mencurahkan apa yang dia rasakan selama setahun ini yang turut andil menambah bebannya.
“Gue boleh ngasih saran?” Tanya Reno setelah lama terdiam dan Erza mengangguk.
“Terus? Setelah lo rasain ini, apakah lo pengen lanjutin atau ingin mengakhiri dek?”
“Jujur, gue pengen banget mengakhiri kak. Tapi gue gak pengen nyakitin Nanda lebih dalam lagi. Dia terlalu baik kak. Dan gue jahat banget mutusin cowok sebaik dia. Tapi ... gue gak tahan lagi kak.” Erza menghela napas dan merasakan ada sedikit lega dalam hatinya karna bisa mencurahkan apa yang dia rasakan selama setahun ini yang turut andil menambah bebannya.
“Gue boleh ngasih saran?” Tanya Reno setelah lama terdiam dan Erza mengangguk.
“Saran gue sebagai sepupu lo dan orang yang tau perasaan lo
sekarang, mending lo putus dek sama Nanda. Gue tau itu berat. Tapi harus lo
lakuin karna semakin jauh lo akan melangkah, semakin susah lo lepas Za. Lo
boleh sekarang pacaran sama dia dan terima lamaran dia dengan alasan gak tega
nyakitin. Tapi lo bahagia gak?” Tanya Reno dan Erza menggeleng lemah. “Enggak
kan? Apa artinya menjalani suatu hubungan kalau salah satu dari kita merasakan
sakit? Hubungan itu saling mencintai, bukan merasa ada yang tersakiti, Za.”
Reno memberi penjelasan panjang lebar dan Erza hanya bisa mengangguk
membenarkan.
“Gue gak yakin bisa lakuin itu kak,”
“Kalo lo gak siap, kapan lagi? Lo gak mungkin kan terima terus ajakan dia? Erza... lo baru aja nyakitin diri lo sendiri karna dia yang sama sekali gak tau apa-apa soal ini. Dan lo juga nyakitin Putra. Cowok yang lo sayang. Pikirkan apa perkataan gue, dek. Semua ada ditangan lo. Lo yang memulai, dan lo juga yang harus tau dimana mengakhirinya.” Tutup Reno sambil mengacak rambut Erza.
Erza hanya diam. Memikirkan ucapan Reno dan tersenyum. “Iya kak. Makasih yah udah dengarin curhat gue.” Ucap Erza tulus sambil mencium pipi Reno sebagai ucapan terima kasih.
“Kalo lo gak siap, kapan lagi? Lo gak mungkin kan terima terus ajakan dia? Erza... lo baru aja nyakitin diri lo sendiri karna dia yang sama sekali gak tau apa-apa soal ini. Dan lo juga nyakitin Putra. Cowok yang lo sayang. Pikirkan apa perkataan gue, dek. Semua ada ditangan lo. Lo yang memulai, dan lo juga yang harus tau dimana mengakhirinya.” Tutup Reno sambil mengacak rambut Erza.
Erza hanya diam. Memikirkan ucapan Reno dan tersenyum. “Iya kak. Makasih yah udah dengarin curhat gue.” Ucap Erza tulus sambil mencium pipi Reno sebagai ucapan terima kasih.
“Sama-sama dek. Udah, sekarang lo tidur deh.” Perintah Reno
sambil menyelimuti Erza dan menyalakan lampu tidur kemudian keluar dari
kamarnya.
Di temaram lampu, Erza menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kenangan demi kenangan tentang Putra yang dia simpan sebagai pelipur laranya, sebagai penutup hari saat dia tertidur.
Di temaram lampu, Erza menatap langit-langit kamarnya dan mengingat kenangan demi kenangan tentang Putra yang dia simpan sebagai pelipur laranya, sebagai penutup hari saat dia tertidur.
“Kau
nyatakan cintamu
Namun aku takkan pernah bisa
ku
takkan pernah merasa
rasakan cinta yang kau berikuterjebak di ruang nostalgia.”
*Raisa – Ruang nostalgia*
҈҈҈҈҈҈҈
Seminggu
setelah curhat dengan Reno, Erza tak lagi membahas masalah ini dengan
sepupunya. Dan Reno pun tak bertanya. Karna baginya, memberi saran sudah cukup.
Sisanya, tinggal Erza yang memilih apa yang terbaik untuknya.
“Pagi
Za...” Sapa Reno ketika melihat Erza buru-buru turun dari kamarnya dan langsung
duduk disampingnya sambil mengambil roti dan selai.
“Pagi kak....” Balas Erza sembari menyelai rotinya dengan selai coklat lalu memakannya.
“Pagi kak....” Balas Erza sembari menyelai rotinya dengan selai coklat lalu memakannya.
“Nanda
kapan datang Za?” Reno membuka percakapan dan membuat Erza menghentikan sarapan
paginya.
“Gak tau... katanya sih besok malam. Kenapa?”
“Lo jemput?”
“Enggak kak. Dia gak minta.” Erza menjawab singkat sambil buru-buru menghabiskan roti gandumnya.
“Gak tau... katanya sih besok malam. Kenapa?”
“Lo jemput?”
“Enggak kak. Dia gak minta.” Erza menjawab singkat sambil buru-buru menghabiskan roti gandumnya.
“Kabar
Putra gimana?” Erza langsung berhenti makan dan bertopang dagu ketika mendengar
pertanyaan Reno.
“Yaaa...Kami jarang ngobrol sekarang. Bukan jarang lagi, gak pernah malah. ” Jawab Erza lesu sambil teringat percakapan terakhir mereka ditaman yang jauh dari suasana romantis.
“Yaaa...Kami jarang ngobrol sekarang. Bukan jarang lagi, gak pernah malah. ” Jawab Erza lesu sambil teringat percakapan terakhir mereka ditaman yang jauh dari suasana romantis.
Melihat
Erza lesu, Reno memutuskan untuk menyimpan pertanyaan selanjutnya dan
melanjutkan sarapannya dengan diam.
“Mbak
Erza... ada yang nyari tuh. Cowok.” Mpok Ijah buru-buru menghampiri Erza yang
asyik makan. Membuat gadis itu mengerutkan keningnya.
“Siapa Mpok?” Erza menghentikan sarapannya dan menatap Reno yang menjawab dengan mengangkat bahu.
“Gak tau Mbak. Cowok, ganteng banget deh. Katanya sih mau bareng mbak kuliah.” Jelas Mpok Ijah sambil tersenyum malu-malu ketika teringat wajah cowok yang sempat mencuri hatinya itu.
“Putra?” Erza kelepasan bertanya dan membuat Reno tersenyum penuh arti.
“Siapa Mpok?” Erza menghentikan sarapannya dan menatap Reno yang menjawab dengan mengangkat bahu.
“Gak tau Mbak. Cowok, ganteng banget deh. Katanya sih mau bareng mbak kuliah.” Jelas Mpok Ijah sambil tersenyum malu-malu ketika teringat wajah cowok yang sempat mencuri hatinya itu.
“Putra?” Erza kelepasan bertanya dan membuat Reno tersenyum penuh arti.
Mpok
Ijah menggeleng kuat-kuat. “ Bukan mbak. Kalo Putra mah, udah Mpok bilang
daritadi. Kan Mpok pernah liat dia.”
“Seharusnya gue tau itu bukan Putra.
Wong ama diri gue sendiri aja dia lupa, apalagi ama alamat rumah gue?” Erza membatin lesu.
“Yasudah Mpok. Erza keluar dulu yah.” Putusnya sambil
meninggalkan meja makan diikuti oleh Reno dibelakang yang penasaran akut siapa
yang menjemput sepupunya.
“Nanda?” Erza berseru kaget ketika berada didepan pintu,
Nanda berdiri didepan ntah mobil siapa sambil melipat kedua tangannya didada
dan tersenyum kearahnya.
“Pagi sayang..” Sapa Nanda ramah dan tertawa melihat ekspresi bloon Erza.
“Kok... kamu ada disini sih? Bukannya besok malam baru datang? Kok...” Erza tak habis pikir dengan Nanda yang sekarang ada didepannya, tersenyum.
“Aku sengaja bilang begitu buat ngasih kejutan aja. Hahaha...” Tawanya yang membuat lengannya dicubit Erza dengan gemas.
“Jahat banget deh! Nand, aku kuliah pagi ini. Dan kamu kecepetan ngajak jalannya.”
“Aku tau kok. Aku pengen ngantar kamu kuliah.”
“Beneran? Aku ma kak Reno aja deh. kamu kan masih capek. Baru kemaren datang.” Tolak Erza secara halus.
“Pagi sayang..” Sapa Nanda ramah dan tertawa melihat ekspresi bloon Erza.
“Kok... kamu ada disini sih? Bukannya besok malam baru datang? Kok...” Erza tak habis pikir dengan Nanda yang sekarang ada didepannya, tersenyum.
“Aku sengaja bilang begitu buat ngasih kejutan aja. Hahaha...” Tawanya yang membuat lengannya dicubit Erza dengan gemas.
“Jahat banget deh! Nand, aku kuliah pagi ini. Dan kamu kecepetan ngajak jalannya.”
“Aku tau kok. Aku pengen ngantar kamu kuliah.”
“Beneran? Aku ma kak Reno aja deh. kamu kan masih capek. Baru kemaren datang.” Tolak Erza secara halus.
“Enggak sayang. Kalo liat kamu, pasti gak akan capek lagi
kok. Malah aku ingin selama ada disini, bisa antar jemput kamu kuliah. Kan
sekalian jalan.”
“Aku gak mau repotin kamu. Kamu kan datang kesini bukan untuk jadi sopir pribadi aku, Nand.”
“Aku gak mau repotin kamu. Kamu kan datang kesini bukan untuk jadi sopir pribadi aku, Nand.”
Nanda tersenyum lalu meletakkan tangannya di pipi kiri Erza
lalu dielusnya. “Sayang... aku merasa gak direpotin kok. Kamu kan calon
tunangan aku... Eh... pacar aku maksudnya.” Ralatnya ketika melihat wajah Erza
kalut mendengar kata “Tunangan”
“Gimana kak?” Erza menoleh kebelakang, meminta persetujuan
Reno yang sedari tadi menjadi obat nyamuk mereka.
“Gue terserah lo aja Za. Mau bareng pacar lo, silahkan. Mau sama gue, ya gak papa.” Reno menjawab dengan senyum penuh arti ketika melihat wajah Erza yang kalut.
“Gue terserah lo aja Za. Mau bareng pacar lo, silahkan. Mau sama gue, ya gak papa.” Reno menjawab dengan senyum penuh arti ketika melihat wajah Erza yang kalut.
“Yasudah deh. aku ambil tas dulu
yah.” Erza langsung masuk dalam rumah untuk mengambil perlengkapan sementara
Reno mengajak Nanda ngobrol.
“Udah siap sayang?” Tegurnya ketika
melihat Erza balik dengan tas dan buku ditangan sambil tersenyum.
“Yup. Gue duluan yah kak. Bye.” Pamitnya sambil masuk dalam mobil Nanda dan melambaikan tangannya.
“Yup. Gue duluan yah kak. Bye.” Pamitnya sambil masuk dalam mobil Nanda dan melambaikan tangannya.
Reno pun membalas lambaian tangan
Erza ketika mobil itu semakin menjauh meninggalkan rumahnya dan dia masuk
kembali sambil menggendong kelinci Erza yang baru saja lewat didepan kakinya
untuk makan bareng.
ѼѼѼѼѼѼ
“Kenapa kamu ngajak tunangan
mendadak begini, Nand?” Erza membuka percakapan setelah setengah jam hanya
duduk sambil melihat kemacetan.
“Macet banget yah Jakarta. Ampun deh.” Nanda mengalihkan pembicaraan karna sedang tak ingin membahas masalah seperti ini disaat macet.
Erza hanya diam dan menghela napas ketika mobil mereka terhenti di lampu merah. “Kalau kamu gak jawab pertanyaanku atau mengalihkan pembicaraan, aku turun nih.” Ancamnya sambil siap-siap membuka pintu.
“Macet banget yah Jakarta. Ampun deh.” Nanda mengalihkan pembicaraan karna sedang tak ingin membahas masalah seperti ini disaat macet.
Erza hanya diam dan menghela napas ketika mobil mereka terhenti di lampu merah. “Kalau kamu gak jawab pertanyaanku atau mengalihkan pembicaraan, aku turun nih.” Ancamnya sambil siap-siap membuka pintu.
Nanda langsung memegang tangan kanan
Erza yang siap membuka pintu mobil. “Nanti aku jelaskan.”
“Aku mau sekarang, Nand.” Tuntutnya.
“Aku mau sekarang, Nand.” Tuntutnya.
Nanda memilih diam dan memegang
tangan Erza posesif agar gadis itu tak lompat keluar mobil karna ngambek. Erza
memilih menatap luar jendela daripada menghiraukan Nanda yang mengajaknya
ngobrol sambil menggenggam erat tangannya.
“Kamu marah?” Tanya Nanda ketika dia menepikan mobilnya dekat lapangan Bola. Nyerah menghadapi sifatnya.
“Aku hanya ingin kejelasan. Kenapa?” Erza masih tak ingin menatap Nanda dan melihat sekelompok anak kecil asyik menendang bola. Dan merasa nasibnya seperti bola yang ditendang anak kecil itu. Ditendang kemana-mana tanpa arah.
Nanda menyentuh dagu Erza pelan dan dtolehkan kearahnya. “Sayang... aku tak ingin main-main kali ini. Aku serius sama kamu.”
“Tapi ini kecepetan, Nand! Kamu pikir tunangan itu seperti kamu ngajak pacaran? Keluarga kita akan terlibat lebih jauh dari ini! Dan kamu pikir aku gak serius selama setahun ini?!”
“Sayang... dengarin aku dulu.” Nanda menenangkan Erza yang emosi karna keputusannya yang dianggap terlalu labil. “Aku mikirin semua yang kamu ucapin. Aku sayang sama kamu, Za. Saking sayangnya, aku rela kesini selama seminggu agar bisa bersama kamu. Aku tau waktu kita sangat kurang, makanya aku ke jakarta untuk ketemu kamu dan melihat apa yang selama ini tidak aku ketahui dari kamu. Aku tak ingin kamu pergi kemana-mana, Za. Itu alasanku.”
“Kamu marah?” Tanya Nanda ketika dia menepikan mobilnya dekat lapangan Bola. Nyerah menghadapi sifatnya.
“Aku hanya ingin kejelasan. Kenapa?” Erza masih tak ingin menatap Nanda dan melihat sekelompok anak kecil asyik menendang bola. Dan merasa nasibnya seperti bola yang ditendang anak kecil itu. Ditendang kemana-mana tanpa arah.
Nanda menyentuh dagu Erza pelan dan dtolehkan kearahnya. “Sayang... aku tak ingin main-main kali ini. Aku serius sama kamu.”
“Tapi ini kecepetan, Nand! Kamu pikir tunangan itu seperti kamu ngajak pacaran? Keluarga kita akan terlibat lebih jauh dari ini! Dan kamu pikir aku gak serius selama setahun ini?!”
“Sayang... dengarin aku dulu.” Nanda menenangkan Erza yang emosi karna keputusannya yang dianggap terlalu labil. “Aku mikirin semua yang kamu ucapin. Aku sayang sama kamu, Za. Saking sayangnya, aku rela kesini selama seminggu agar bisa bersama kamu. Aku tau waktu kita sangat kurang, makanya aku ke jakarta untuk ketemu kamu dan melihat apa yang selama ini tidak aku ketahui dari kamu. Aku tak ingin kamu pergi kemana-mana, Za. Itu alasanku.”
“Tapi Nand... aku gak bisa jawab
sekarang. Terlalu banyak pertimbangan.” Erza menunduk. Tak berani membalas
tatapan teduh Nanda yang serasa menusuknya.
“Aku tau. Makanya aku gak maksa.
Yang jelas, kamu bersama aku saja, aku sudah sangat bahagia, Za. Don’t leave
me, dear.” Nanda mengucapkannya penuh tulus dan mengecup kening Erza kemudian
memeluknya erat. Seolah dia tak ingin gadis itu pergi meninggalkannya, walau
sebentar saja. Perlakuan Nanda membuat Erza ingin menangis saat itu juga saking
kalutnya.
“Oh Nand... please jangan semakin buat gue merasa bersalah dengan perlakuan lo!” Erza menjerit dalam hati.
“Oh Nand... please jangan semakin buat gue merasa bersalah dengan perlakuan lo!” Erza menjerit dalam hati.
“Aku gak akan kemana-mana sayang,”
Hanya itu yang bisa dia ucapkan. Nanda yang mendengar hanya tersenyum lalu
melepas pelukannya dan mencium pipinya “Aku tau,” Nanda mengangkat wajah Erza yang
menunduk dan menatap tepat di manik matanya. Mencari apa yang selama ini
disembunyikan gadis itu dibalik mata coklat terangnya itu.
“Nand... sampai kapan kamu natap aku
seperti itu?” Erza menegurnya karna risih dengan jarak wajahnya dengan Nanda
semakin dekat. Membuatnya tersadar dari lamunan dan tersenyum. “Sampai aku
menemukan jawaban kenapa aku suka sama kamu dan ingin menatap mata indahmu itu.
I like your eyes, darling.” Akunya yang membuat Erza tersipu.
Nanda mengacak rambut pacarnya
dengan sayang lalu dia menjalankan mobilnya. Melanjutkan perjalanan menuju
kampus.
͓͒͒͒͒͒͒͒͒͒͒͛͜͜͞͠͡
“Silahkan
lewat tuan putri,” Nanda membungkuk sambil membukakan pintu mobil untuk Erza
ketika mereka sudah tiba dikampus. Membuat Erza tertawa namun menyambut tangan
Nanda.
“Apa-apaan sih. Malu-maluin tau,” Erza memukul pundak Nanda pelan dengan wajah merona. Membuat Nanda mencubit pipinya.
“Aduh... pacarku kok jadi tambah cantik dengan pipi merona gitu. Jadi pengen godain lagi deh.” Goda Nanda dan membuat pipinya semakin merona.
“Auk ah gelap,” Ucapnya sambil memalingkan wajahnya kearah lain.
“Apa-apaan sih. Malu-maluin tau,” Erza memukul pundak Nanda pelan dengan wajah merona. Membuat Nanda mencubit pipinya.
“Aduh... pacarku kok jadi tambah cantik dengan pipi merona gitu. Jadi pengen godain lagi deh.” Goda Nanda dan membuat pipinya semakin merona.
“Auk ah gelap,” Ucapnya sambil memalingkan wajahnya kearah lain.
“Cieee...
yang lagi digodain pacarnya.” Goda seseorang dibelakang mereka. Membuat Erza
dan Nanda spontan menoleh dan gadis itu serasa ingin ambruk seketika ketika
melihat siapa yang menggodanya.
Selvi
menggandeng Putra dengan mesra dan tersenyum penuh bahagia. Membuat kaki Erza
merasa ingin membawa tubuhnya pergi meninggalkan tempat ini selagi mereka
berjalan menghampirinya, siap-siap memberikan luka baru dihatinya.
“Hei... selamat bertemu lagi...
aku sudah lama menghindarimu
sialkulah kau ada disini.
sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernapas lagi
tegak berdiri didepanmu kini.”
aku sudah lama menghindarimu
sialkulah kau ada disini.
sungguh tak mudah bagiku
Rasanya tak ingin bernapas lagi
tegak berdiri didepanmu kini.”
“Pacar baru lo, Za?” Selvi mendekati mereka
sambil merangkul Putra semakin erat. Sedangkan cowok itu lebih memilih menatap
kearah lain daripada menatap Erza yang sukses membuat hati dan akal sehatnya
amburadul.
Erza tak
tau harus ngomong apa. Mulutnya mendadak kelu untuk mengatakan sebenarnya.
Dihadapannya. Dia memilih untuk mengaku hamil diluar nikah didepan
teman-temannya daripada mengatakan yang sebenarnya dihadapan Putra. Cowok yang
sukses menjadi bayangannya, dan juga menjadi pihak yang menyalahkan
keputusannya.
“sakitnya, menusuki jantung ini
melawan cinta yang ada dihati.”
melawan cinta yang ada dihati.”
“Iya... kami pacaran selama setahun. Lo pacarnya
Putra yah?” Nanda berinisiatif menjawab pertanyaan Selvi dan merangkul Erza
dengan mesra.
Selvi
tersenyum puas mendengarnya. Saingannya berkurang satu. Dialah pemenangnya.
Begitu pikirnya. Kemudian dia mengelus wajahnya sendiri di lengan Putra, persis
seperti kucing yang minta dimanja majikannya.. “Iya... wah selamat yah Za.
Seneng gue dengarnya sebagai temen.” Selvi mengucapkannya penuh ketulusan tak
dibuat-buat. Membuat Erza hendak muntah mendengarnya.
“Teman dari mana? Lo bisa gak gausah rangkul Putra erat gitu?! Gue cemburu woy!”
“Teman dari mana? Lo bisa gak gausah rangkul Putra erat gitu?! Gue cemburu woy!”
Erza hanya tersenyum singkat sebagai balasan
ucapan tulus Selvi. Lalu matanya menatap Putra yang rupanya memperhatikannya
daritadi dan dia langsung menatap Nanda yang ikut memperhatikannya. “Za... aku
pulang dulu yah. Bye Put, Bye Sel. Jagain pacar gue yah.” Pamit Nanda sambil
menarik Erza kepelukannya dan mencium keningnya. Sebagai ucapan perpisahan.
Erza hanya diam mematung. Tak memberikan reaksi.
“Dan, upayaku tahu diri
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
takkan pernah kita bisa bersama.”
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
takkan pernah kita bisa bersama.”
“Sip Nand.. hati-hati yah.” Ucap Putra tersenyum
lalu menatap Erza sekilas dan menoleh kelain.
Nanda hanya
mengacungkan jempolnya dan masuk dalam mobilnya lalu pergi meninggalkan kampus.
“Aku masuk
dulu yah. Bye Sel, Bye Za.” Putra mengucapkan itu tanpa menatapnya. Dan Erza
menatap Putra berjalan meninggalkannya dengan tatapan sedih. Selvi langsung
meninggalkan Erza tanpa pamit dan menyusul Putra.
“Pergilah... menghilang sajalah, lagi.”
*Maudy Ayunda – Tahu diri.*
˹˺˹˺˹˺˹˺˹˺˹˺
“Za...”
Tegur seseorang ketika Erza baru saja keluar dari kelasnya bersama temannya.
Dan gadis itu langsung menoleh kebelakang untuk melihat siapa yang manggil.
“Kenapa kak?” Erza bingung melihat Reno tumben-tumbenan menghampirinya.
“Kenapa kak?” Erza bingung melihat Reno tumben-tumbenan menghampirinya.
“Lo pulang sama Nanda kan hari ini?”
“Gue gak
ada janji pulang bareng dia kak. Jadi gue pulang sama lo aja deh. kenapa?” Erza
balik bertanya.
“Eummm... gimana ngomongnya yah?” Reno menggaruk kepalanya
tak gatal dan menatap Erza yang siap mendengarkan omongannya. “Lo sama Nanda
aja deh. gue ada urusan dek. Hidup mati nih kalo diabaikan. Yah...yah...”
“Yah...yah...
kok gitu sih kak?! Gak seru dong kalo gitu ceritanya!” Erza merajuk dan melipat
kedua tangannya di dada. Tanda ngambek. Membuat Reno tertawa.
“Sorry dek... tapi gue lagi ada sesuatu yang gak bisa gue tinggal. Lagipula, lo aneh deh. masa gak mau pulang ma pacar sendiri? Kan dia gak bakal lama di Jakarta. Jadi sebagai pacar yang baik dan setia, lo temanin dia jalan gih.” Bujuknya sambil mengedipkan mata penuh permohonan. Membuat Erza tak tega.
“Iyee...iyee... gue nelpon Nanda deh. Emangnya lo mau kemana kak jadi buru-buru gitu?”
“Sorry dek... tapi gue lagi ada sesuatu yang gak bisa gue tinggal. Lagipula, lo aneh deh. masa gak mau pulang ma pacar sendiri? Kan dia gak bakal lama di Jakarta. Jadi sebagai pacar yang baik dan setia, lo temanin dia jalan gih.” Bujuknya sambil mengedipkan mata penuh permohonan. Membuat Erza tak tega.
“Iyee...iyee... gue nelpon Nanda deh. Emangnya lo mau kemana kak jadi buru-buru gitu?”
Reno
senyum-senyum malu sambil menggaruk kepalanya tak gatal. “Gue mau pedekate sama
cewek dulu. Kalo sukses, gue kenalin deh. hahaha... bye sepupu gue tersayang,”
Ucap Reno lalu pergi sambil bersinandung riang meninggalkan Erza yang
geleng-geleng melihat tingkahnya.
“Dasar sepupu labil! By the way, siapa cewek yang ketiban sial digebet kak Reno yah?” Erza ngomong pada dirinya sendiri sambil mengambil ponsel dari tasnya dan mengetik beberapa kata untuk Nanda. Minta jemput.
^_^_^_^_^_^_^
“Udah lama
sayang nunggunya?” Tanya Nanda ketika Erza masuk dalam mobilnya dan memasang
sabuk pengaman.
dia menggeleng. “Enggak kok.”
dia menggeleng. “Enggak kok.”
Nanda hanya
tersenyum lalu menjalankan mobilnya meninggalkan kampus.
“Kita
kemana sayang?” Tanya Erza ketika Nanda berkonsentrasi penuh membawa mobilnya.
“Ntar juga kamu tau sayang,” Nanda membiarkan Erza berpikir sendiri mereka akan kemana ditengah melajunya mobil menuju luar Jakarta.
“Ntar juga kamu tau sayang,” Nanda membiarkan Erza berpikir sendiri mereka akan kemana ditengah melajunya mobil menuju luar Jakarta.
“Tunggu.... Kamu ngajak aku ke SMP ceritanya?”
Erza kaget ketika mereka memasuki komplek SMPnya di Bandung. Membuat Nanda
nyengir.
“Kamu pinter ternyata. Iya... udah lama aku pengen ke SMP bareng kamu. Tapi waktu itu kan kita gak berhubungan lagi. Jadi ku pendam aja keinginan itu. Sekarang aku senang bisa mewujudkannya, sama kamu, sebagai pacarku.” Jelas Nanda sambil menatap Erza yang menundukkan wajahnya.
“Segitu sayangnya kah lo sama gue Nand? Gue serasa jadi cewek paling jahat sedunia karna selalu nyakitin perasaan lo tanpa pernah lo sadari.” Batin Erza.
“Kamu pinter ternyata. Iya... udah lama aku pengen ke SMP bareng kamu. Tapi waktu itu kan kita gak berhubungan lagi. Jadi ku pendam aja keinginan itu. Sekarang aku senang bisa mewujudkannya, sama kamu, sebagai pacarku.” Jelas Nanda sambil menatap Erza yang menundukkan wajahnya.
“Segitu sayangnya kah lo sama gue Nand? Gue serasa jadi cewek paling jahat sedunia karna selalu nyakitin perasaan lo tanpa pernah lo sadari.” Batin Erza.
“Aku gak
tau harus ngomong apa Nand,” Ucap Erza dengan wajah menunduk ketika mobil mereka
memasuki halaman SMP.
“Kamu gak usah ngomong apa-apa. Cukup disampingku saja udah lebih dari cukup, Za.” Ucap Nanda tulus sambil mendongkakkan wajahnya dan tersenyum.
“Turun yuk. Siapa tau ada yang berubah pas kita lulus,” Ajak Nanda sambil turun dari mobil terlebih dahulu diikuti Erza dan mereka bergandengan tangan selama mengelilingi sekolah. Tak terlepaskan.
“Kamu gak usah ngomong apa-apa. Cukup disampingku saja udah lebih dari cukup, Za.” Ucap Nanda tulus sambil mendongkakkan wajahnya dan tersenyum.
“Turun yuk. Siapa tau ada yang berubah pas kita lulus,” Ajak Nanda sambil turun dari mobil terlebih dahulu diikuti Erza dan mereka bergandengan tangan selama mengelilingi sekolah. Tak terlepaskan.
“Gimana?
Ada yang berubah?” Tanya Nanda ketika mereka nongkrong di warung Es kelapa
setelah satu jam tour dadakan mengelilingi sekolah mereka. Mencari
potongan-potongan kenangan dan tertawa bersama. Menertawakan kekonyolan mereka.
Erza asyik minum pesanannya dan bertopang dagu sambil menatap tembok sekolah. “Ada. Kantinnya lebih banyak kayaknya. Seharusnya kita datang agak siang Nand. Kan enak sekalian kuliner. Hahahaa...”
“Hahahaha... otakmu tak bisa jauh dari makanan ternyata yah. Iya juga sih, ntar deh kalo ada waktu kita mampir lagi pas jam sekolah. Gimana?”
Erza mengacungkan jempolnya dan meminum esnya lagi. Nanda menatap ekspresi pacarnya sambil bertopang dagu. Erza yang sadar dilihatin, menatap Nanda dengan ekspresi bingung dan salah tingkah. “Kenapa sih liatin aku mulu? Malu nih.” Ucapnya sambil menutup wajahnya sendiri.
Erza asyik minum pesanannya dan bertopang dagu sambil menatap tembok sekolah. “Ada. Kantinnya lebih banyak kayaknya. Seharusnya kita datang agak siang Nand. Kan enak sekalian kuliner. Hahahaa...”
“Hahahaha... otakmu tak bisa jauh dari makanan ternyata yah. Iya juga sih, ntar deh kalo ada waktu kita mampir lagi pas jam sekolah. Gimana?”
Erza mengacungkan jempolnya dan meminum esnya lagi. Nanda menatap ekspresi pacarnya sambil bertopang dagu. Erza yang sadar dilihatin, menatap Nanda dengan ekspresi bingung dan salah tingkah. “Kenapa sih liatin aku mulu? Malu nih.” Ucapnya sambil menutup wajahnya sendiri.
“Emangnya
salah liatin pacar sendiri?” Nanda balik bertanya.
“Ya gak sih.. tapi... Auk ah gelap,” Erza menjawab cuek sambil menatap sekeliling warung.
“Ya gak sih.. tapi... Auk ah gelap,” Erza menjawab cuek sambil menatap sekeliling warung.
“Kayaknya ada yang kurang deh.” Ucapnya sambil
mengerutkan kening. Tanda berpikir.
“Apa?”
“Orang gila yang sering kamu ajak ngobrol kemana
yah? Kan kamu anaknya Nand,” Erza tertawa melihat ekspresi manyun Nanda karna
dibilang anak orang gila.
“Kalo aku anak orang gila, kamu siapa aku dong?
Kan sebentar lagi kita...” Nanda sengaja menggantungkan kalimat terakhir dan
membuat Erza tau apa maksudnya, terdiam.
“Kita apa?” Pancingnya.
“Kita nikah?” Nanda menjawabnya dengan nada
bertanya. Membuat Erza menyesal kenapa jadi memancing Nanda dengan pertanyaan
bikin kalut seperti itu.
“Teralu dini kamu mikir kayak gitu, Nand. Udahan
yuk sayang. Udah sore nih. Ntar kak Reno ngamuk lagi aku pulang malam-malam
sama kamu,” Erza langsung berdiri dari duduknya. Membuat Nanda kaget dan
langsung membayar pesanan mereka dan berjalan berdampingan menuju mobil untuk
pulang ke Jakarta.
͌ ͋ ͋ ͋ ͋ ͌ ͌ ͋ ͋ ͌
“Jam berapa sekarang?” Tanya Nanda ketika hari sudah mulai gelap dan
mereka terjebak kemacetan total ketika memasuki kota Jakarta.
“Jam 8 malam.” Erza melirik jam tangannya dan menatap kendaraan yang
senasib dengan mereka. Terjebak ditengah kemacetan.
“Mau makan sekarang?” Nanda menawarkan singgah ketika melihat warung
sate dipinggir jalan. Mau tak mau membuat Erza teringat ketika bersama Putra
keliling Bandung naik sepeda, mereka mampir di warung pinggir jalan. Dan dia
sempat tersenyum sebelum menatap Nanda.
“Kamu mau makan?” Erza bertanya balik.
“Gak sih. Aku masih kenyang,” Tolaknya.
“Gak sih. Aku masih kenyang,” Tolaknya.
“Yasudah...” Jawabnya dan keadaan pun hening. Nanda memilih konsen
membawa mobilnya dengan selamat dan Erza lebih memilih melamun sambil melihat
kendaraan disekelilingnya berjalan seperti semut berbaris.
“Akhirnya... nyampe juga...” Nanda mengucap syukur ketika tiba dirumah
Erza dengan selamat. Membuat gadis itu tersenyum manis.
“Makasih yah sayang udah antar aku pulang dan ke Bandung untuk reunian SMP.”
“Sama-sama sayang. Masuk rumah gih sekarang. Udah malam. Ntar aku diomelin kak Reno lagi terus gak dibolehin lagi jalan sama kamu. Kan ribet.” Nanda mencoba bercanda dan Erza tertawa.
“Kak Reno gak bakalan begitu kok. Yasudah. Hati-hati yah,” Ucapnya sambil turun dari mobil Nanda. Namun tangannya ditarik membuat Erza menoleh.
“Kenap...” Erza belum selesai bertanya, tau-tau Nanda menciumnya dengan penuh lembut. Tak seperti sebelumnya, bikin susah napas.
“Makasih yah sayang udah antar aku pulang dan ke Bandung untuk reunian SMP.”
“Sama-sama sayang. Masuk rumah gih sekarang. Udah malam. Ntar aku diomelin kak Reno lagi terus gak dibolehin lagi jalan sama kamu. Kan ribet.” Nanda mencoba bercanda dan Erza tertawa.
“Kak Reno gak bakalan begitu kok. Yasudah. Hati-hati yah,” Ucapnya sambil turun dari mobil Nanda. Namun tangannya ditarik membuat Erza menoleh.
“Kenap...” Erza belum selesai bertanya, tau-tau Nanda menciumnya dengan penuh lembut. Tak seperti sebelumnya, bikin susah napas.
“Love you sayang,” Ucap Nanda melepas ciumannya dan menghisap bawah
bibir Erza hingga gadis itu menarik napas tertahan dan tersenyum ketika wajah
Erza mulai memerah malu dan masih ada kekagetan dengan aksi spontannya tadi.
“Love you too,” Balasnya sambil mencium pipinya dan keluar mobil tanpa berkata apa-apa lalu melambaikan tangan sebentar sebelum dia masuk dalam rumah. Meninggalkan Nanda yang tersenyum dalam mobil sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna putih dan membukanya lalu mengambil dua buah cincin putih berinisial E untuknya dan N untuk Erza. Kemudian dia menutupnya dan memasukkan dalam handle dashbord agar tak hilang dan menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Erza.
“Kemana aja lo seharian Za?” Tanya Reno membukakan Erza pintu dan gadis itu langsung lari kedapur untuk minum.
“Kemana aja yah...” Erza terlihat berpikir agar Reno semakin penasaran kemudian tertawa. “Lo kenapa sih pengen tauuuuu... aja. Seharusnya gue yang nanya, kemana aja kakak seharian sama cewek misterius itu sampai rela ga bareng gue pulang!” Erza langsung memanyunkan mulutnya ketika teringat siang tadi dan Reno nyengir.
“Sini gue ceritain dulu...” Reno merangkul Erza ke meja makan lalu bercerita. “Gue naksir sama sahabat lo, si Eva dari lama. Tapi baru bisa gue dekatin sekarang. Jadi... tadi gue seharian ke museum terus ke TMII dan Monas sama dia.”
“Ke Museum? TMII?! Monas?! Lo serius kak?! Lo naksir sama Ratu Mall se-Jakarta kak! Bukan pecinta sejarah! Wah...” Sahutnya kaget.
“Love you too,” Balasnya sambil mencium pipinya dan keluar mobil tanpa berkata apa-apa lalu melambaikan tangan sebentar sebelum dia masuk dalam rumah. Meninggalkan Nanda yang tersenyum dalam mobil sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna putih dan membukanya lalu mengambil dua buah cincin putih berinisial E untuknya dan N untuk Erza. Kemudian dia menutupnya dan memasukkan dalam handle dashbord agar tak hilang dan menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Erza.
“Kemana aja lo seharian Za?” Tanya Reno membukakan Erza pintu dan gadis itu langsung lari kedapur untuk minum.
“Kemana aja yah...” Erza terlihat berpikir agar Reno semakin penasaran kemudian tertawa. “Lo kenapa sih pengen tauuuuu... aja. Seharusnya gue yang nanya, kemana aja kakak seharian sama cewek misterius itu sampai rela ga bareng gue pulang!” Erza langsung memanyunkan mulutnya ketika teringat siang tadi dan Reno nyengir.
“Sini gue ceritain dulu...” Reno merangkul Erza ke meja makan lalu bercerita. “Gue naksir sama sahabat lo, si Eva dari lama. Tapi baru bisa gue dekatin sekarang. Jadi... tadi gue seharian ke museum terus ke TMII dan Monas sama dia.”
“Ke Museum? TMII?! Monas?! Lo serius kak?! Lo naksir sama Ratu Mall se-Jakarta kak! Bukan pecinta sejarah! Wah...” Sahutnya kaget.
“Gue tau...
tapi dia have fun aja kok. bahkan roll kamera gue habis foto dia doang
tadi itu. Hahahaha...” Reno tertawa ketika rollnya habis karna disikat Eva yang
selain Ratu mall, juga Ratu narsis karna tak bisa liat kamera nganggur.
“Hahahaha... Eva suka ke Museum? Mendadak pening kepala gue kak,” Erza gak habis pikir sahabatnya bertranformasi dari ratu mall menjadi ratu sejarah dalam waktu sehari.
“Gue gitu looo...” Reno membanggakan dirinya dengan menepuk dada. Lalu wajahnya berubah serius. “Eva itu kayak gimana sih orangnya?”
“Seperti yang sering lo liat dikampus kak. Heboh sendiri. Hahaha.. akhirnya... sepupu gue bisa naksir cewek juga. Sahabat gue pula!”
“Hahahaha... Eva suka ke Museum? Mendadak pening kepala gue kak,” Erza gak habis pikir sahabatnya bertranformasi dari ratu mall menjadi ratu sejarah dalam waktu sehari.
“Gue gitu looo...” Reno membanggakan dirinya dengan menepuk dada. Lalu wajahnya berubah serius. “Eva itu kayak gimana sih orangnya?”
“Seperti yang sering lo liat dikampus kak. Heboh sendiri. Hahaha.. akhirnya... sepupu gue bisa naksir cewek juga. Sahabat gue pula!”
Reno ikut tertawa. “Gimana jalan-jalan lo dengan
Nanda tercinta?” Tanyanya dan membuat tawa Erza terhenti dan ekspresi wajahnya
seperti melamun.
“Kami tadi keliling Bandung terus sempet lirik SMP kami kak. Siapa tau ada yang berubah.”
“Gitu doang? Gak jalan kemana gituuu?” Reno takjub mendengarnya. Seharian jalan yang dikunjungi hanya tempat untuk mengingat masa lalu.
“Emang lo mau gue jalan kemana lagi? Itupun gue buru-buru minta pulang karna takut lo ngomel kak!”
“Sejak kapan gue ngomelin lo pulang telat dek?” Reno bertanya sambil menatap Erza lekat. Membuat gadis itu salah tingkah.
“Gak pernah sih... tapi.. kan siapa tau lo berubah jadi galak.” Erza menjawab sambil menggigit bawah bibirnya ketika Reno semakin mendekatkan wajahnya dan puncak kepalanya dipegang.
“Lo mencoba hindarin dia?” JLEB! Pertanyaan pas nusuk dihati Erza. Membuatnya terdiam.
“Kenapa lo tau kak?”
“Mata lo cerita semuanya apa yang gak lo ungkapin,” Reno melepas pegangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Erza. Membiarkan sepupunya rileks.
“Kami tadi keliling Bandung terus sempet lirik SMP kami kak. Siapa tau ada yang berubah.”
“Gitu doang? Gak jalan kemana gituuu?” Reno takjub mendengarnya. Seharian jalan yang dikunjungi hanya tempat untuk mengingat masa lalu.
“Emang lo mau gue jalan kemana lagi? Itupun gue buru-buru minta pulang karna takut lo ngomel kak!”
“Sejak kapan gue ngomelin lo pulang telat dek?” Reno bertanya sambil menatap Erza lekat. Membuat gadis itu salah tingkah.
“Gak pernah sih... tapi.. kan siapa tau lo berubah jadi galak.” Erza menjawab sambil menggigit bawah bibirnya ketika Reno semakin mendekatkan wajahnya dan puncak kepalanya dipegang.
“Lo mencoba hindarin dia?” JLEB! Pertanyaan pas nusuk dihati Erza. Membuatnya terdiam.
“Kenapa lo tau kak?”
“Mata lo cerita semuanya apa yang gak lo ungkapin,” Reno melepas pegangannya dan menjauhkan tubuhnya dari Erza. Membiarkan sepupunya rileks.
“Iya kak... dia sayang banget sama gue,”
“Gue tau itu sebelum lo sadar, dek.” Reno menjawab kalem.
“Gue harus gimana? Gue gak tega mutusin dia kak. Karna... gue juga sayang sama dia. Walau... sedikit,” Erza terdiam ketika kalimat terakhir itu meluncur dari mulutnya.
“Semua keputusan ada ditangan lo, dek. Gue gak bisa ikut andil dalam hal ini. Gue Cuma bisa kasih saran, sisanya lo yang milih. Apa yang lo lakukan sekarang, lo pasti tau akibatnya kan?” dan Erza mengangguk berat.
Melihat keadaan sepupunya yang kacau, membuat Reno tak tega mencerocoki lebih dalam lagi. “Lo istirahat aja deh. udah makan belom? Gue lagi masak tuh,” Tawarnya.
“Lo masak? Serius?” Erza takjub untuk kedua kalinya. Sepupu yang ajaib, pikirnya.
“Lo kenapa sih Za? Kaget mulu! Kayak gue aja ngumumin apa gitu!” Reno jengkel dengan ekspresi terkejut Erza.
“Gue tau itu sebelum lo sadar, dek.” Reno menjawab kalem.
“Gue harus gimana? Gue gak tega mutusin dia kak. Karna... gue juga sayang sama dia. Walau... sedikit,” Erza terdiam ketika kalimat terakhir itu meluncur dari mulutnya.
“Semua keputusan ada ditangan lo, dek. Gue gak bisa ikut andil dalam hal ini. Gue Cuma bisa kasih saran, sisanya lo yang milih. Apa yang lo lakukan sekarang, lo pasti tau akibatnya kan?” dan Erza mengangguk berat.
Melihat keadaan sepupunya yang kacau, membuat Reno tak tega mencerocoki lebih dalam lagi. “Lo istirahat aja deh. udah makan belom? Gue lagi masak tuh,” Tawarnya.
“Lo masak? Serius?” Erza takjub untuk kedua kalinya. Sepupu yang ajaib, pikirnya.
“Lo kenapa sih Za? Kaget mulu! Kayak gue aja ngumumin apa gitu!” Reno jengkel dengan ekspresi terkejut Erza.
Erza tertawa mendengarnya. “Gak sih... habis takjub aja seorang Reno Adrian Saputra, sepupu gue, naksir sama sahabat gue yang rada ajaib dan bisa masak! Lo belajar masak dari siapa kak?”
“Gue belajar sendiri dong! Masakan hangus, makan sendiri. Daripada lo, makanan hangus, lempar ke bak sampah. Lo sendiri bisa masak apa adekku sayang?” Reno bertanya balik dengan seringai mengejek. Membuat Erza ingin menonjoknya kalau tak ingat bahwa mereka sepupu.
“Gue bisa masak mie goreng doang sih. Tapi... biarpun begitu, yang suka sama masakan gue banyak!” Erza menyombongkan dirinya.
“Siapa coba yang suka? Palingan kepaksa doang,”
“Putra! Dia suka masakan gue! Kenap..” Erza
terhenti dan membelalakkan matanya ketika nama Putra meluncur bebas dari
mulutnya tanpa rem. Membuat Reno tersenyum.
“Putra yah?” Godanya membuat Erza kikuk.
“Ah... Tau deh gelap!” Elaknya dan langsung lari kekamar sebelum dia keceplosan lebih banyak lagi.
“Putra yah?” Godanya membuat Erza kikuk.
“Ah... Tau deh gelap!” Elaknya dan langsung lari kekamar sebelum dia keceplosan lebih banyak lagi.
Reno yang melihat tingkah adek sepupunya,
tersenyum simpul “Tanpa perlu gue turun tangan, lo sudah memilih, Za.” Gumamnya
dan bergegas lari kedapur ketika mencium ada yang bau hangus.
˻˺˹˼˹˼˺˻˺˹˼
“Bisa masak kok hangus
kak?” Erza melanjutkan sesi ledek-meledek ketika dia turun kamar setelah
selesai mandi, mencium bau hangus dan melihat telur mata sapi hasil masakan
kakaknya tersaji rapi dimeja makan, menjadi sehitam arang. Diiringi dengan bau
nasi goreng yang baunya membuat Erza membayangkan akan langsung masuk rumah
sakit apabila memakannya.
“Yang penting gue masak,” Reno menjawab dengan mulut penuh karna mie
goreng bikinan Erza yang harus dia akui, lezat.
“Masak walau hangus. Pada akhirnya, lo makan masakan gue,” Erza tersenyum penuh kemenangan karna Reno tunduk padanya.
“Iye.. gue kalah. Puas lo dek?” Reno mengaku kalah dan dalam hati akan membuat Erza tunduk padanya dengan masakannya yang agak waras.
“Banget!” Erza menjawab penuh semangat dan mata berbinar. Membuat Reno yang meliriknya, nyengir.
“Eva bisa masak kan Za?” Reno bertanya dengan nada was-was. Kalau sampai gadis pujaan hatinya gak bisa masak, habislah.
“Bisa kak. Cuma sama aja kayak lo, hobi hangus. Kayaknya kalian jodoh deh. Lo kenapa kak jadi nanya kayak gitu? Kayak mau nikah aja.”
“Masak walau hangus. Pada akhirnya, lo makan masakan gue,” Erza tersenyum penuh kemenangan karna Reno tunduk padanya.
“Iye.. gue kalah. Puas lo dek?” Reno mengaku kalah dan dalam hati akan membuat Erza tunduk padanya dengan masakannya yang agak waras.
“Banget!” Erza menjawab penuh semangat dan mata berbinar. Membuat Reno yang meliriknya, nyengir.
“Eva bisa masak kan Za?” Reno bertanya dengan nada was-was. Kalau sampai gadis pujaan hatinya gak bisa masak, habislah.
“Bisa kak. Cuma sama aja kayak lo, hobi hangus. Kayaknya kalian jodoh deh. Lo kenapa kak jadi nanya kayak gitu? Kayak mau nikah aja.”
“Kalo Putra?” Reno tak mempedulikan ledekan Erza. Dia hanya ingin
melihat ekspresi Erza ketika nama Putra disebut.
Sesuai perkiraannya, Erza terdiam dan memutar-mutar mie di garpunya. “Bisa... gak.. tau...” Jawabnya dengan wajah bertopang dagu dan menatapnya.
“Nanda?”
“Bisa... enak kok. gue pernah makan. Lo udah selesai makan kan? Sini piring lo, gue beresin,” Erza berdiri dari kursinya dan mengambil piring Reno lalu membawanya kedapur untuk dicuci. Meninggalkan Reno yang langsung mengontak seseorang untuk melaksanakan misinya.
Sesuai perkiraannya, Erza terdiam dan memutar-mutar mie di garpunya. “Bisa... gak.. tau...” Jawabnya dengan wajah bertopang dagu dan menatapnya.
“Nanda?”
“Bisa... enak kok. gue pernah makan. Lo udah selesai makan kan? Sini piring lo, gue beresin,” Erza berdiri dari kursinya dan mengambil piring Reno lalu membawanya kedapur untuk dicuci. Meninggalkan Reno yang langsung mengontak seseorang untuk melaksanakan misinya.
“Kak... gue tidur dulu yah. Ngantuk nih,” Pamitnya setelah setengah jam
bertapa didapur dengan alasan mencuci 2 buah piring yang diselingi dengan
melamun.
Reno yang asyik menonton komedi, mengajak Erza duduk disampingya agar
tertawa bersama untuk menghilangkan gundah dihati. Namun ditolaknya. Membuat
Reno nyerah untuk membujuk. “Yaudah deh, have nice dream yah,” Ucapnya ketika
Erza sudah berada ditengah tangga.
Erza hanya mengacungkan jempolnya walau tau Reno takkan melihatnya dan
bergegas masuk kamar untuk tidur.
҈҈҈҈҈҈
Di tempat lain...
“Kita putus aja yah,” Ucapan itu bagai palu besar memukul batok
kepalanya ketika Putra, cowok yang dia sayangi selama 4 tahun, memutuskannya
ditaman tak jauh dari rumahnya. Andai dia tau begini, dia akan memberikan
sejuta alasan untuk menolak ajakan Putra ketemuan malam-malam.
“Ken...napp..pa?” Suara yang keluar dari mulutnya terasa tersendat.
Seolah-olah pasokan oksigen yang dia butuhkan mendadak habis.
Putra tak menjawab. Tatapannya kosong menatap jalanan yang sepi.
Seperti hatinya, sepi walau ada yang berusaha mengisi. Dan Selvi, terdiam bagai
menunggu vonis dipancung yang akan dilakukan beberapa detik lagi.
“Rasanya tak sama lagi, Sel.” Jawaban akhirnya keluar dari mulut Putra
diantara banyaknya jawaban yang tersedia dikepalanya. Membuat Selvi bangkit
dari duduknya dan berdiri didepan Putra yang matanya masih menatap jalanan
sepi.
PLAK! Sebuah tamparan keras melayang di pipi kiri Putra bagai bunyi
gong ditengah heningnya malam. Putra hanya diam. Tak berniat membalas apalagi
menenangkan Selvi yang naik darah. Baginya ini sepadan dengan ucapannya tadi.
“Kenapa Putra?! Kenapa?! Jawab gue dengan alasan logis lo! Gue gak
butuh jawaban abstrak lo!” Selvi berteriak didepan Putra. Habis sabarnya sudah.
Dia hanya butuh jawaban, bukan jawaban
memancing pertanyaan selanjutnya.
“Perasaan gue gak kayak dulu lagi, Sel. Bukan berarti gue gak cinta.
Bukan... hanya saja... berubah... menjadi perasaan gue ke teman-teman yang
lain.”
“Kalo perasaan lo berubah ke gue, kenapa lo terima ajakan balikan gue
Put?! Lo mau mainin gue?!” Selvi meradang dan hendak menempeleng Putra kalau
saja tak ingat bahwa dihadapannya adalah cowok yang dia cintai mati-matian.
Putra berdiri dari duduknya dan memegang kedua pundak Selvi yang naik
turun. Diikuti air mata yang terus mengalir bagai air bah di pelupuk matanya.
Dan Putra mengusapnya dengan jemari tangannya. “Gue gak ada niat nyakitin lo,
Sel. Gue nerima lo karna gue pengen mastiin, apa perasaan gue benar-benar mati
untuk lo sejak karna kita sempat putus kemaren itu. Tapi... setahun gue jalanin
sama lo, gue gak enak lagi dengan semua ini Sel. Gue gak mau mempertahanin
lebih lama lagi tanpa perasaan apa-apa sama lo. Lo sayang sama gue, tapi gue...
gak ada lagi, Sel.”
“Kenapa Put? Apa ada yang salah sama gue sampai perasaan sayang lo
berubah gini? Gue sayang sama lo. Please... kita coba sekali lagi yah, gue akan
buat lo sayang sama gue lagi, kayak dulu.” Selvi memohon dan menatap putra
dengan bercucuran air mata. Baginya, biarlah dia bersama Putra walau tau cowok
itu tak mencintainya. Karna, disampingnya pun sudah bersyukur.
Putra menggeleng. “Selama setahun, gue udah berusaha untuk mencari,
apakah gue masih ada rasa sama lo. Tapi gak ada, Sel. Please... jangan paksa
diri lo untuk sama gue yang gak bisa lagi sama lo.”
“Gue gak ada harapan lagi?” Selvi menatap lekat mata Putra dan menghela
napas berat. Dia tau arti mata Putra. Penuh tekad kuat. Tanpa ragu.
“Sorry Sel. Gue gak mau nyakitin hati lo yang tulus sayang sama gue.
Tapi gue gak bisa memberi balik.”
Sebuah perkiraan melintas dipikiran Selvi. Tanpa ragu dia
mempertanyakannya. “Lo naksir cewek lain?”
“Kenapa lo mikir gitu?” Putra kaget dengan pertanyaan Selvi yang tepat
sasaran.
sasaran.
“I see in your eyes. Boleh gue tau siapa ceweknya?” Selvi bertanya
dengan nada masih terisak pelan. Dan dia menata hati dan tubuhnya agar tak
ambruk mendengar jawaban Putra.
“Gue gak mau jawaban gue bikin lo merasa cewek paling hancur didunia,
Sel.” Putra berkata tegas dan berusaha memutuskan kontak matanya agar gadis
didepannya yang baru saja menjadi mantannya 5 menit yang lalu tak bisa melihat
isi hatinya dari matanya.
Selvi tersenyum singkat. Baginya, dia sudah tau jawaban dari
pertanyaannya sendiri dan tak butuh konfirmasi Putra untuk meyakinkannya.
“Gue tau.”
“Lo mau gue antar pulang?” Tawar Putra ketika malam semakin larut, dan
semakin sepi sedangkan gadis itu berpakaian minim.
Selvi menggelengkan kepalanya. “Gak usah. Rumah gue dekat kok. lo
pulang dulu deh,” Selvi mengusir halus Putra yang cemas keadaannya.
“Yakin?” Putra tak yakin. Namun melihat tatapan Selvi yang berusaha
meyakinkannya, dia menyerah. “Ok, gue pulang dulu. Take care yah.” Putra
mencium pipi Selvi yang tak menghindar darinya sebagai perpisahan dan pergi
meninggalkan taman dengan sepeda motor Ninja CBRnya.
Melihat Putra sudah jauh darinya, Selvi langsung terduduk dan menangis
sepuasnya sambil meremas dadanya. Rasanya sakit sekali, andai boleh memilih,
dia ingin mati daripada hidup dengan rasa sakit. Dia meremas rumput
disekitarnya hingga tercabut dari akarnya, agar bisa mengurangi rasa sakitnya.
Dia mencintai Putra, kenapa dia tak mendapatkan itu? Ingin sekali menuntut,
tapi kepada siapa? Frustasi, Selvi duduk sambil menelungkupkan wajah dikedua
lututnya. Dan dia menatap jalanan sepi dan langit malam yang menjadi saksi
betapa sakitnya perasaannya sekarang. “Gue sayang sama lo, Putra! Tapi kenapa?!
Kenapa lo gak bisa memberi itu ke gue?! Kenapa harus dia?! Dia yang seharusnya
jadi masa lalu lo?!” Selvi berteriak dan memukul tanah dengan tangan terkepal.
Sesak napasnya sekarang. “Ok, gue terima keputusan lo, Putra. Gue liat gimana
usaha lo dekatinnya, gue biarkan. Gue
akan menjadi cewek yang ikhlas dengan keputusan lo. Tapi ingat, kalo gue gak
bisa dapatin lo, jangan harap lo bisa milikin dia! Gue akan buat dia, ngerasain
sakit apa yang gue rasa ke lo!” Selvi berkata geram sambil tersenyum sinis. Sebuah
rencana hadir diotaknya. Dia menghapus air matanya dan bangkit berdiri.
“Lo gak tau siapa gue, Putra.”
͏͏͏͏͏
͏
“Gimana?” Kathy kasak-kusuk di kampus bersama
Arny cs di taman. Fokusnya teralihkan ketika melihat Erza baru saja datang
diantar Nanda dan dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat betapa sayangnya
Nanda dengan Erza. Membuat gadis itu terpikir untuk mendadak mundur tak ingin
menjalankan misinya.
“Aku gak tega...” Kathy bergumam sendiri dengan
tatapan ke arah Erza yang berjalan memasuki kampus, tak melihat mereka yang
sedang rapat rahasia.
“Gak tega jalanin rencana yang lo bikin sendiri?
Konsisten dong, Kath.” Eva menatap Kathy dengan tatapan menuduh. Dasar labil.
Pikirnya.
Kathy menatap sengit Eva yang juga menatapnya.
Sadar ada dua singa betina siap menghamuk, Reno dan Restu buru-buru turun
tangan. “Sudah...sudah... Lo gak tega kenapa Kath?” Reno mengelus punggung Eva
yang sudah menegang, siap tegang urat.
Kathy berusaha rileks ketika Restu membisikinya
sesuatu. Dan dia mulai tenang kembali. “Rencana yang gue ceritain kemaren kak.
Mendadak gak tega gue. Lihat Nanda segitu sayangnya dengan Erza, bikin gue
ngerasa cewek paling jahat sedunia.” Keluhnya.
Arny yang sedari tadi diam, ikut bicara. “Gue
tau apa yang lo pikirin Kath. Tapi ingat... lo gak berusaha buat Erza putusan
dengan Nanda. Lo Cuma memberi celah agar dia bisa ngobrol dengan Putra lagi.
Menjelaskan masalah mereka. Itu aja. Masalah kedepannya mereka putus atau gak,
itu keputusan Erza. Bukan karna ide lo. Lagipula...” Arny terdiam dan menatap
Kathy yang mendengar penuh antusias. “Gue setuju kok dengan ide lo. Udah lama
sejak di Jogja itu gak liat mereka bareng. Gue kangen...”
Eva angguk-angguk mendengar penjelasan Arny.
“Gue setuju tuh. Lagipula... lo tau gak Kath... Putra putus ma Selvi!” Eva
mengucapkan penuh penekanan di kalimat terakhir. Membuat mereka yang mendengar,
kaget.
“Lo dengar dari siapa?! Jangan ngarang lo!”
Kathy paling shock diantara yang lain. Secara dia Sepupu Putra, 24 jam ketemu,
paling menentang Putra dengan Selvi, malah gak tau kabar ini.
Eva mendengus jengkel mendengar ucapan Kathy. “Gue
dengar sendiri kemaren Selvi curhat ama gengnya kalo mereka putus 6 hari yang
lalu! Dia cerita ajak Putra balikan, tapi gak pernah sukses. Putra pengen jadi
teman doang. Emang dia gak cerita sama lo, Kath? Lo kan serumah ma dia?”
Kathy mengingat-ingat kejadian
sebelum-sebelumnya. Lalu dia menjentikkan jarinya. “Gue ingat! Kak Putra pernah
keluar malam-malam naik motor. Padahal dia gak pernah keluyuran naik motor. Pas
gue tanya mau kemana, dia cuma jawab “Urusan hidup mati,” Gitu doang. Wah...
asek dong mereka putus!” Kathy melonjak kegirangan dan tersenyum bahagia ketika
Erza, baru keluar kampus.
“Gue nyamperin Kak Erza dulu yah, bye...”
Pamitnya sambil berlari menghampiri Erza.
“Pacar lo kayak anak kecil yah, Res.” Ejek Rico
geli ketika melihat Kathy bercerita penuh semangat dengan wajah penuh ekspresi
pada Erza yang cenderung tenang. Membuat Restu yang memperhatikannya, nyengir.
“Iya... tapi gue sayang.” Restu menatap Kathy
penuh sayang.
“Yah...yah... Ikut aja yah kak, gue pengen lo
ikut kak, please...” Bujuk Kathy agar Erza menganggukkan kepalanya setuju.
“Tapi... tanpa Nanda?” Erza balik bertanya
mendengar ide Kathy yang mengajaknya ke Dufan bareng karna dia merayakan
anniversary 5tahun dengan Restu. Bersama yang lain.
Kathy mengangguk semangat. “Iya kak. Sesekali
deh lo lepas sama dia. Gue kehilangan lo, kak. Please...” Kathy menatapnya
penuh harap. Penuh wajah memelas, persis seperti dia lakukan apabila ingin
sesuatu dari Tasya, kakaknya dan Putra.
Erza terlihat berpikir, lalu tersenyum. “Ok deh.
demi lo deh. daripada acara batal total karna gue gak ikut,” Dan Kathy langsung
memeluk erat. “Thanks kak. Gue tunggu yah. Bye...” Kathy tersenyum dan bergegas
lari lagi menghampiri mereka sambil mengacungkan jempolnya. Membuat mereka yang
melihat kode itu, tersenyum.
“Dasar si Kathy,” Hanya itu yang diucapkan Eva
sambil menggelengkan kepalanya.
Erza berjalan menghampiri mereka yang
memanggilnya sambil mengirim sms kepada Nanda untuk memberitahu kemana dia
pergi lengkap dengan tujuannya. Nanda langsung membalas smsnya dengan bilang
hati-hati.
Asyik cekikikan dengan mereka sambil duduk
mengelilingi meja taman, tiba-tiba Putra lewat tanpa melirik mereka. “Woy...
Putra! Sini bro!” Teriak Restu ketika melihat Putra lewat didepan mereka.
Membuat Erza menoleh dan bertatapan sebentar sebelum saling memalingkan wajah.
Putra
menghampiri mereka dan duduk disamping Kathy yang kebetulan kosong. “Kath..
jadi gak?” Tanyanya membuat Kathy tersenyum.
“Kami udah jadi lumut kayak di batu tuh karna
nunggu lo, kak!” Gerutu Kathy sambil menunjuk batu yang sudah berwujud lumut
saking lamanya.
“Yaudah... yuk..” Putra berdiri dari duduknya
sambil mengulurkan tangannya ke Kathy, tapi dijawab gadis itu dengan gelengan.
“Gue sama Restu kak. Lo sama...” Kathy menatap
mereka sekeliling yang sudah saling memegang pasangannya sendiri. Dan
tatapannya terhenti di Erza, membuatnya nyengir. “Sama Erza deh kak,” tunjuknya
membuat Erza kaget.
“Gue sama Kak Reno aja deh,” Tolaknya sambil
menatap Reno yang memegang tangan Eva. Kemudian menatap Arny yang merangkul
Rico erat dan Restu memeluk pinggang Kathy. Membuatnya menghela napas. Dia
membaca rencana mereka. Dan tak bisa menolak lagi.
“Gue sama Eva dek,” Tolak Reno penuh ekspresi
maaf. Membuatnya Erza semakin berat.
“Gue sama Arny deh,” Erza keukeuh tak mau
semobil dengan Putra. Walaupun dia tau cowok itu sukarela saja menerimanya.
Rico buru-buru mempererat rangkulannya “Gue sih
mau aja, tapi lo mau gak jadi obat nyamuk di belakang karna liat kami pacaran?
Gak kan?”
“Yasudah... Ayoo Erza... sampai kapan lo bengong
disitu?” Putra menarik tangan Erza agar ikut bersamanya menuju mobil dan
meninggalkan mereka yang saling tersenyum. “Misi sukses,” Ucap Kathy dan mereka
berjalan beriringan.
Selvi yang melihat itu di kejauhan, senyum sinis
tercetak di bibir tipisnya. Dan dia pun berjalan menjauh sebelum kepergok.
҈҈҈҈҈҈
Tiitt...tiitt.... Bunyi klakson saling
bersahutan ditengah kemacetan Jakarta yang semakin parah, semakin bikin stres
bagi yang terjebak diantaranya. Erza asyik menatap kemacetan dihadapannya tanpa
sedikitpun ingin berbicara dengan Putra. Bukannya tak ingin, tapi tak ada bahan
yang dibahas.
Putra bosan setengah mati. Dia menyalakan radio
dan sesekali melirik Erza yang menatap kearah lain. Ingin mulutnya bertanya
tentang apa saja, atau membuat gadis itu marah dan tersipu. Tapi dia seperti
kehilangan kemampuan melakukan itu semua.
“Put...” Erza memanggilnya tepat disaat Putra
juga memanggilnya. Membuat mereka saling berpandangan dan tersenyum kikuk.
“Lo dulu deh,” Putra mempersilahkan Erza ngomong
dulu. Namun gadis itu menggeleng.
“Lo dulu deh. kayaknya lebih urgent daripada
gue,” Erza mempersilahkan balik.
“Gue lupa mau ngomong apa,” Putra menjawab
sambil memijit kepalanya yang mendadak nyut-nyutan. Membuat Erza cemas.
“Lo sakit?” Tanyanya hati-hati.
“Gue kurang tidur beberapa hari ini,” Keluhnya
sambil terus memijit kepalanya dengan tangan kirinya. Membuat Erza berinisiatif
menyentuh kepala Putra dan memijitnya pelan.
“Enakan?” Tanya Erza sambil terus memijit kepala
Putra dan melihat lingkaran hitam di kedua bawah matanya.
Putra mengangguk dan membiarkan kepalanya
dipijat gratis tanpa bayar oleh Erza.
“Gue suka lagu ini,” Putra berseru sambil
membesarkan volume dan bernyanyi mengikuti Ne-yo menyanyikan one in million,
lagu kesukaannya.
“Gue juga. Musiknya asyik.” Erza membenarkan
sambil ikut bernyanyi bahkan menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama musik.
“Ini lagu paling sering gue dengarin diantara
yang lain. Pas gue di Jerman gue suka banget sama ini lagu. Tentang dia yang
menganggap ceweknya yang pertama dihatinya diantara yang lain. Bukan siapapun.”
Jelas Putra.
Erza menatap Putra. Dalam hati berharap, dialah
cewek yang dimaksud. Tapi mendadak dia mengubur harapannya dalam-dalam. Tak
ingin sakit. “Pasti Selvi cewek yang lo maksud kan?” Tanyanya.
Putra menggeleng. “Bukan. Sebelum ketemu dia,
gue udah suka sama lagu ini. Lagipula.. gue udah putus lima hari yang lalu.”
Jawabnya membuat Erza shock.
“Lo putus? Kenapa?”
“Gue memilih untuk menunggu seseorang daripada
berusaha mencintai yang gue tak bisa lakuin lagi,” Jawab Putra sambil menatap
dirinya. Membuat Erza tau siapa yang dimaksud, lebih memilih diam.
“Kenapa lo milih dia, Za?” Tanya Putra sambil
fokus menyetir mobilnya yang sudah meninggalkan kemacetan. Membuat Erza mau tak
mau teringat kejadian dimana dia memilih Nanda dan alasan yang dia ucapkan ke
Reno. Mendadak, perasaannya menjadi sakit sendiri.
“Gue gak bisa jawab pertanyaan lo, Put.”
“Apa istimewa dia jadi lo pergi, Za?” Putra
mengabaikan jawabannya dan memilih terus menyerang gadis itu agar mengaku.
“Kenapa lo balikan sama Selvi? Apa karna gue
pacaran dengan Nanda?” Erza menyerang balik dengan dua pertanyaan sekaligus.
“Salah satunya itu. Dan gue ingin merasakan apa
masih ada perasaan gue untuk Selvi. Ternyata gak ada lagi walau sekuat apapun
gue coba.”
“Selvi pelarian buat lo?”
“Iya. Tapi...lebih tepatnya...” Putra
menghentikan mobilnya di tepi jalan dekat lapangan kosong dan berbalik menatap
Erza sambil mendekatkan wajahnya hingga gadis itu memundurkan tubuhnya hingga
terbentur kaca mobil. “Gue berusaha apa yang gue rasakan ke lo, gue lempar ke
dia. Tapi gak bisa. Sayang gue gak bisa dibagi apalagi dilempar ke cewek lain.
Kemanapun gue melangkah, pasti balik lagi ke lo. Walau lo dengan teganya malah
sayang dengan cowok lain.”
Erza merasa jengah ketika hela napas Putra
sangat terasa. Bahkan dia merasa, apa yang dihirup Putra, terhirup olehnya
saking dekatnya jarak mereka. “Lo nyalahin pilihan gue?”
Putra menggeleng. Lalu dia semakin dekat dan
menggesekkan ujung hidungnya ke ujung hidung Erza yang mendadak menahan napas
karna ulahnya. “Bukan menyalahkan. Gak terima lebih tepatnya.” Jawabnya sambil
menatap mata Erza dengan lekat. Dia rela menghabiskan sisa hidupnya agar bisa
terus menatap mata coklat terang yang membiusnya itu.
Erza mendorong tubuhnya agar menjauh. Namun
Putra lebih sigap dengan memegang kedua tangannya dan tersenyum manis. Membuat
Erza blank seketika melihat senyumannya. “Put..” Panggilnya agar cowok itu
melepas tangannya agar dia tak lama-lama memandang senyumnya yang dirasa
memabukkan.
Putra mencium punggung tangan kanan Erza lalu
melepasnya dan dia mulai menjalankan mobilnya kembali. Dan Erza memegang
dadanya yang berdegup kencang dan menarik napas pelan. Mencoba rileks walau tau
usahanya takkan pernah sukses kalau sudah berhadapan dengan Putra.
҉҉҉҉
“Penuh banget yah,” Seru Erza ketika keluar dari
mobil Putra dan takjub melihat banyaknya mobil terparkir di halaman.
“Kalo gak rame, bukan Dufan namanya, Za.” Seru
Putra sambil merangkul pundaknya. Membuat Erza ingin melepasnya karna takut
ketahuan yang lain. Namun terlambat, karna mereka sudah ada dibelakangnya.
“Cieeeeee... yang rangkulan.” Goda Kathy yang baru kali ini melihat kemesraan
mereka diluar dan bangga dengan diri sendiri karna sukses total.
Putra hanya nyengir dan Erza hanya menundukkan
wajahnya malu sambil berharap tak ada yang melihat dia rangkulan dengan cowok
lain.
“Antri yuk...” Ajak Kathy menarik Restu dan menerobos
di tengah-tengah kemesraan Putra yang selalu menggoda Erza dan membuatnya
jengkel. “Lo kayak gak ada jalan lagi aja deh Kath jadi main terobos!”
“Sorry kak,” Kathy hanya nyengir kuda sambil
lirik Restu lalu mengantri tiket diikuti yang lain dibelakang.
“Yeeeee....”
Erza berteriak riang ketika sudah memasuki arena Dufan dengan stempel di
punggung tangannya. Putra melihat keriangan Erza kayak anak kecil diajak ke
taman hiburan, tersenyum.
Kathy dan yang lainnya melihat itu, berjalan
agak menjauh karna tak ingin mengganggu dan sepakat untuk berpencar dengan
pasangan masing-masing. Biar romantis kata Kathy.
“Lo mau naik apa dulu,Za?” Tanya Putra ketika
gadis itu sibuk memilih permainan yang ingin dia naiki.
“Itu...” Erza menunjuk yakin permainan komedi
putar yang didominasi anak-anak kecil daripada seumuran mereka.
“Serius?” Putra tak yakin dengan pilihan Erza.
Namun dia tak tega menolak ketika gadis itu menatap penuh harap.
“Banget!” Tanpa ragu Erza menjawab dan menarik
Putra agar menghampiri permainan itu.
“Yihaaaaaaaaaaaaa....” Erza teriak penuh
kegirangan disamping Putra yang lebih tepatnya menikmati wajah senangnya
daripada permainan yang dia pilih.
“Kita nyoba yang lain yuk,” Ajak Erza sambil
turun dari kudanya dan menarik Putra untuk keluar dari komedi Putar karna
melihat permainan yang lebih seru lagi diluar sana.
“Bagaimana kalo ini?” Putra berseru senang
ketika mereka berjalan melewati rumah hantu, permainan kesukaannya dan
berhenti. Namun tidak bagi Erza. Wajahnya sudah pucat pasi ketika melihat poster
pocong menjadi icon utama permainan itu.
“Gak...gak..” Erza menggeleng kuat-kuat sambil
menarik Putra agar menjauh. Namun Putra tak bergeming malah menariknya agar
berdiri disisinya. Memandang poster seperti melihat siapa yang menang undian.
“Takut?” Putra bertanya dan ada ide jahil muncul
diotaknya.
“Lo gak usah tanya deh! emang wajah gue gak
yakinin apa gue takut?! Gak...gak! gue mau main yang lain!” Erza jengkel
mendengar pertanyaan Putra yang sangat bodoh itu. Baginya, diantara banyaknya
permainan yang tersedia, kenapa harus rumah hantu? Kayak gak ada permainan seru
aja.
“Ayolah... gue udah ikutin permainan lo, masa lo
gak mau ikut pilihan gue? Gantian dong.”
“Ayolah Putra... permainan yang lebih seru dari
ini masih banyak, kenapa lo milih ini?!”
“Karna gue suka, kenapa? Ayolah... lagipula...
hantunya gak beneran, Za. Mereka cuma pegawai sini yang dandan kayak hantu. Itu
aja.” Putra berusaha meyakinkan Erza agar ikut masuk. Kan gak seru masuk rumah
hantu tanpa ada yang meluk dia, begitu pikirnya.
“Biar beneran kek, enggak kek, gue gak mau
masuk, Putra! Kalo gue pingsan, lo mau tanggung jawab?!”
“Mau kok. Lo gue gendong terus gue kasih napas
buatan biar sadar lagi.” Putra mengedipkan matanya genit ketika mengucapkan
kalimat terakhir itu. Membuat Erza malu.
“Apaan sih lo,” Elaknya.
“Masuk yah? Yah...Yah?” Putra gencar membujuk
Erza agar mengangguk. “Iya...” Angguk lemah Erza tanda menyetujui. Membuat
Putra langsung masuk ke dalam rumah hantu diikuti Erza dibelakangnya yang tak
ingin digandeng.
ѺѺѺ
“Kyaaaaaaaaa!!!” Sudah berapa kali Erza menjerit
ketika sosok hantu yang paling dia takuti, pocong, ada didepannya dan menatap
dirinya yang sekarang terduduk dilantai sambil menutup kedua telinganya ketika
pocong jadi-jadian memanggilnya untuk ikut kealam arwah.
Putra melihat itu, langsung menghampiri Erza dan
duduk lalu memeluk gadis itu yang sudah menangis terisak saking takutnya.
“Makanya... gue bilang juga apa, lo jalan
disamping gue deh, gak akan diganggu.”
“Lo yang jalan sendiri aja diganggu sama mereka,
apalagi kalau bareng gue?!” Ucap Erza disela isaknya. Kakinya serasa lemas
seketika ketika dia mendongkakkan wajahnya dan menatap kearah lain, melihat
Kuntilanak plus ketawanya yang khas sedang melihat dia. Membuatnya menjerit
lagi.
“Keluar
yuk,” Ajak Erza karna tak tahan lagi disini. Entah apa jadinya dia kalau
setengah jam lagi disini bersama hantu-hantu jadian disampingnya.
“Tanggung sayang. Nikmati aja deh. kan ada gue,
Za.” Putra menatapnya penuh lembut dan membantu Erza berdiri yang sudah lemas
saking takutnya dan merangkul pinggangnya.
Sepanjang perjalanan, Erza lebih banyak memeluk
Putra erat ketika hantu-hantu jadian itu menerornya. Bahkan sampai mencolek
punggungnya yang membuatnya semakin erat menyembunyikan wajahnya di dada Putra
yang bidang.
“Za... lo suka anak kecil kan? Tuh ada anak
kecil imut banget,” Ucap Putra ketika Erza entah sudah berapa kali memeluknya.
Namun dia diam saja. Menikmati.
“Mana?” Erza melepas pelukannya dan melihat
siapa yang ditunjuk Putra. Ketika tau siapa yang dimaksud, dia mencubit
pinggang Putra keras. “Imut apaan?! Itu tuyul, Putra! Kayak lo!” Gerutunya lalu
memeluk erat ketika melihat dipojokan, sesosok anak kecil menjadi tuyul sedang
melambaikan tangan kearahnya dan tersenyum memamerkan giginya yang ompong.
“Kalo gue tuyul, kenapa lo gak takut sama gue?”
Putra mendongkakkan wajah Erza yang tersembunyi di dadanya dan menghapus air
mata yang menetes. Membuat Erza blank seketika.
“Karna... Ah... Apaan sih,” Erza melepas
pelukannya lagi dan menjawab pertanyaan gaje Putra kearah lain. Tak ingin cowok
itu tau betapa merah wajahnya sekarang.
Putra mengacak rambut Erza dan tanpa perlawanan,
dia menggenggam tangan gadis itu dan berjalan kearah lain. Dan Erza tak berniat
melepas genggaman tangan itu.
“Bioskop Hantu” begitulah isi tulisan ketika
mereka memasuki salah satu lorong. Membuat Putra menatap Erza. Tau arti tatapan
dia, Erza memelototinya. “Gak! Lo nonton aja sendiri! Jantung gue udah hampir
lepas karna disini!” Erza menolak mentah-mentah usul Putra.
“Yahhh... liat yah... gue janji deh, sehabis
ini, lo boleh pilih permainan apapun yang lo mau,” Janjinya.
“Janji? Apapun?
“Apapun.” Putra menjawab yakin. Membuat Erza
menyerah.
“Gak ada hantu lagi kan?”
“Tergantung. Eh..iya..iya.. gak ada lagi.” Putra
menambahkan ketika melihat wajah Erza berubah masam.
“Iya deh...” Jawabnya pasrah dan membiarkan
dirinya ditarik Putra masuk kedalam.
҉
“Kok matanya ditutup sayang? Dibuka dong.” Pinta
Putra ketika melihat Erza menutup matanya sepanjang film, membuatnya gemas.
“Gak berani,” Erza menjawab pelan sambil terus
menutup matanya. Baginya, lebih baik menutup mata sepanjang film berlangsung
daripada membuka mata, namun pada akhirnya dia harus tidur bareng kak Reno
dikamar saking takutnya.
“Kalo lo takut, anggap aja hantunya itu gue,
pasti gak akan takut lagi.” Putra berusaha membuka mata Erza dari gelitikan,
sampai tiupan ditelinga yang bikin merinding. Namun Erza tetap saja menutup
mata dengan kedua tangannya.
“Bayangin lo bakal lebih mengerikan lagi, Put.
Lo adalah hantu dari segala hantu yang paling gue takutin!” Gerutu Erza sambil
menendang kaki Putra karna tingkahnya yang semakin menyebalkan.
“Tapi yang paling lo sayang kan?” Godanya dan
Putra bisa melihat jelas semburat merah diwajah Erza yang putih bersih.
Erza memilih diam daripada dia menjawab, namun
keceplosan. Putra yang rupanya nyerah karna usahanya tak berhasil, fokus
menonton film.
“Kok dia gak ganggu gue lagi yah? Apa dia
nyerah yah?” Batin Erza.
Penasaran, dia membuka matanya dan berteriak
sejadi-jadinya lalu langsung memeluk Putra yang disampingnya sambil menangis
ketika melihat Hantu berambut panjang yang berasal dari Jepang itu sedang
ngesot dengan rambut terurai kedepan dan mendongkak seolah-olah menatapnya.
Putra yang awalnya biasa saja melihat itu, mendadak sport jantung karna
teriakan Erza.
“Pulang!” Bisik Erza sambil memeluknya erat dan
meremas belakang bajunya.
Putra yang tak tega melihat gadis yang dia
sayangi ketakutan, akhirnya mengelus rambut Erza dan mencium puncak kepalanya.
“Iya... yuk,” Ajak Putra sambil menggenggam tangan Erza yang dingin saking takutnya
dan dia berjalan sambil menutup mata. Tak berani melihat.
“Akhirnya...” Erza bernapas lega karna berhasil
keluar dari rumah hantu yang membuatnya ingin mati muda saking takutnya dan
menatap Putra yang wajahnya terlihat kecewa berat.
“Kenapa lo? Pengen masuk lagi? Sono masuk deh!
gue main sendiri!” Gerutunya tau apa yang dipikiran Putra.
“Tapi gak seru kalo lo gak ikut, Za.” Balas
Putra sambil menatap kearahnya dan tersenyum. Entah sudah berapa kali dia
melihat Putra tersenyum. Dan membuatnya ingin ikut tersenyum juga.
Erza memalingkan wajahnya untuk mencari
permainan selanjutnya yang mendebarkan tapi tak bikin nangis ketakutan. Ketika
menemukannya, dia langsung menarik Putra agar menuju tempat itu.
Roller coaster. Permainan selanjutnya yang bikin
Erza senang namun wajah Putra berubah sedikit pucat. Seumur hidupnya, dia
paling menghindari permainan ini. Bikin perut mual.
“Ayooooo...” Tarik Erza namun tertahan karna
Putra tak bergerak mengikutinya.
“Main yang lain yuk. Jangan yang ini, gue
phobia.”
“Terus lo mau main apaan? Kan lo udah janji mau
ikutin apapun yang gue pilih.”
Putra melihat sekeliling, lalu menunjuk suatu
permainan yang menarik “Bagaimana kalo
itu aja, Za? Kayaknya seru tuh,” Tunjuknya sambil nyengir. Erza mengikuti arah
Putra dan mencubit tangannya. “Lo mau bikin gue nangis darah?!” Omelnya ketika
melihat tulisan “Kereta Hantu” Terpampang besar di papan.
“Roller Coaster yah?” Seru seseorang dibelakang
mereka, ketika menoleh, ternyata Kathy dan Restu menegurnya.
“Iya... main yuk” Ajak Erza ketika melihat binar
mata Kathy ketika melihat permainan itu yang naik turun secara mendebarkan. Tak
sabar kakinya ingin berlari dan duduk dengan jantung berdegup kencang lalu
berteriak sepuasnya hingga suara serak.
“Ayoooooo..” Kathy langsung berlari sambil
menarik Erza agar cepat mengantri karna sudah tak sabar. Meninggalkan pasangan
masing-masing.
“Lo yakin pengen main ini, Put?” Tanya Restu
ketika melihat wajah Putra pucat dan teringat bagaimana ekspresi Putra ketika
turun dari permainan itu pada saat mereka berjalan bertiga Rico. Langsung lari
ke toilet dan muntah.
“Gue udah janji sama Erza, Res.” Jawab Putra
pasrah dan berjalan menghampiri mereka yang sudah teriak tak sabar untuk
mencoba permainan itu
Restu hanya nyengir kuda dan berjalan di
belakang Putra sambil berharap, semoga kejadian memalukan beberapa tahun lalu bersama
mereka tak terulang lagi.
“Lo kenapa?” Erza mulai cemas ketika turun dari
permainan, Putra langsung berjalan oleng dan wajahnya pucat pasi.
Putra memegang pagar besi didepannya sambil
memegang kepalanya yang mendadak pening berat. Permainan Roller Coaster sukses
berat membuatnya seperti terkena hangover.
“Toilet dimana?” Tanya Putra ketika Erza
memegang dahinya dan melap keringat dinginnya.
“Disitu,” Restu langsung menunjuk toilet
terdekat dan Putra langsung berjalan cepat menghampirinya.
“Putra kenapa sih?” Tanya Erza ketika melihat
Putra tak keluar juga dari toilet. Cemas dan perasaan bersalah melanda.
“Dia phobia naik Roller Coaster, Za. Gue taunya
pas beberapa tahun lalu sebelum dia amnesia, kami mampir kesini dan nyoba naik.
Hasilnya ya... seperti lo liat sekarang.” Restu menjelaskan dan membuat wajah
Erza mendadak mendung.
“Seharusnya gue gak usah ikutin ego untuk naik
itu. Kan kasihan..”
“Ga kok. tadi dia udah gue tanyain yakin gak
ikut ini, dia bilang yakin karna udah janji sama lo, Za. Otomatis, dia pasti
memikirkan resikonya kan?” Restu mencoba memperbaiki mood Erza yang mendadak
suram.
“Betul tuh, Kak. Gue aja sering di Jerman main
sama kak Putra dan kak Tasya, kakak gue naik ini. Kami naik ini karna balas
dendam sama Putra yang hobi ngajak keluar masuk rumah hantu. Ckkckc...” Kathy
mendecak jengkel ketika teringat betapa senangnya Putra membuat mereka ketakutan
dan menyodorkan diri sukarela untuk dipeluk erat mereka. Ketika dia tanyakan
alasannya, Putra menjawab karna ingin membuat iri cowok-cowok disekitar mereka
yang melihat dirinya dipeluk 2 gadis cantik kayak dirinya dan Tasya.
Putra keluar dari toilet dengan wajah lega. Erza
melihat itu separo ingin tertawa meledek habis-habisan, separo prihatin.
“Naik apalagi sekarang? Kalo lo milih permainan
itu lagi, gue tinggal pulang.” Ancam Putra ketika melihat cengiran Erza
diwajahnya.
“Pulang aja. Toh gue bisa pulang sendiri,” Jawab
Erza cuek sambil menunjuk permainan yang menarik hatinya.
“Lo pengen diputar dan dibalik sama mesin itu
atau gue yang akan lakuin itu ditempat
tidur sampai lo gak bisa berdiri lagi, Sayang?” Bisiknya ketika tau permainan
yang ingin dituju selanjutnya, Kipas Angin. Dan membuat Putra menatap ngeri
ketika mesin besar itu akan memutar dan membalikkan tubuh mereka seperti kapas.
Erza membeku mendengar bisikan Putra. Walaupun
Kathy dan Restu tak mendengar karna sibuk diskusi. Tapi... bisikan itu,
membuatnya teringat beberapa tahun silam. Saat Putra mengancamnya apabila dia
tak melakukan apa yang diinginkannya.
“Gak ada pilihan ketiga nih?” Erza berusaha
menormalkan suaranya yang agak gugup.
“Ada sih... Cuma gue males nyebutinnya. Karna lo
pasti akan milih itu,”
“Apa?” Tanya Erza penasaran.
“Atau...” Putra terdiam. Berusaha menguatkan
hatinya. Baginya, Erza tetaplah pacar cowok lain yang tak bisa dia goda
sembarangan walau dia tau perasaan gadis itu sebenarnya tertuju untuknya. “Lo
pilih Nanda yang melakukan itu ke lo di tempat yang dia mau?” Susah payah Putra
mengucapkan. Membuat setiap kalimat yang keluar, bernada biasa saja. Tanpa
ekspresi walau dalam hati, sakit.
Erza terdiam mendengar pilihan ketiga itu.
Bersama Putra, dia hampir lupa bahwa sebenarnya mereka bukan sepasang kekasih,
melainkan teman. Ya... hanya teman.
Merasa atmosfer berubah seketika, Kathy
merangkul mereka berdua. “Main yang lain yuk?” Ajaknya sambil tersenyum untuk
menetralkan suasana dingin yang ada.
“Ayooo...” Erza mengangguk riang dan membiarkan
tangannya ditarik Kathy dan asyik tertawa tanpa mempedulikan tatapan kagum
beberapa cowok yang melirik kearah mereka. Membuat Restu dan Putra yang melihat
itu, memproteksi pasangan masing-masing dengan berjalan disamping dan merangkul
posesif. Membuat mereka jengkel.
“Kenapa sih?” Seru Kathy jengkel karna tak
biasanya Restu merangkul pundaknya.
“Ntar kamu dilirik cowok kalo tak aku rangkul.”
Bisik Restu ditelinganya dengan nada cemburu. Membuat Kathy tertawa dalam hati.
“Bisa cemburu juga pacar gue ternyata,” Batinnya.
“Lo sendiri kenapa rangkul gue?” Tanya Erza
karna berungkali dia melepas rangkulan Putra, berungkali juga Putra merangkul
pundaknya kembali.
“Ntar lo hilang lagi dilirik cowok lain. Sudah
cukup Nanda buat gue kehilangan lo, jangan sampai Nanda yang lain lagi buat gue
gak bisa nyentuh lo seperti saat ini.” Putra menjawab pelan dan ada sedikit
sakit dibalik nada suaranya itu. Membuat Erza terdiam.
“Kemanapun hati gue melangkah, lo akan tetap
jadi bayangan gue, Putra.” Erza bergumam sendiri. Berharap Putra tak
mendengarnya.
“Hai...” Terdengar suara yang menyapa mereka.
Erza menoleh dan tersenyum ketika melihat Reno dan yang lain ikut bergabung
dengan mereka.
“Main bareng yuk?” Ajak Arny yang langsung
direspon anggukan.
“Boleh...” Jawab yang lain dan mereka berjalan
beriringan.
Ѽѽѽ
“Kemana aku akan menghentikan langkahku
ini? Menghentikan hujan yang terus menerus membasahiku? Stay with him or... Stop
on you?”
“Kak Nanda... gak Jalan?” Tanya Rere masuk kekamarnya
yang kebetulan anak tante Fanny yang
sahabat mamanya sejak kecil.
“Gak Re. Kenapa?” Nanda termenung dimeja belajar
sambil memandang ponselnya. Sudah seharian dia tak mendapat kabar apapun dari
Erza. Dia mencoba menghubungi, tapi tak pernah direspon.
“Kak, mau gak temanin Rere ke Dufan? Rere ada
janjian sama temen-temen ngumpul disitu. Kalo sendirian aja, gak akan diijinin
mama.” Ajak Rere yang baru saja berumur 18 tahun dan sudah mengagumi Nanda
sejak lama. Namun dipendamnya karna malu.
Nanda terlihat berpikir. Kemudian tersenyum dan
berharap bisa bertemu Erza. “Boleh... sekalian janjian sama pacar kakak
disitu.” Nanda bangkit dari meja belajarnya sambil dan mengambil kunci mobilnya
yang sengaja dia titipkan dirumah Tante Fanny agar setiap dia ke Jakarta,
takkan repot meminjam mobil mereka. Kemudian dia menatap Rere yang kepergok
meliriknya dan tersenyum.
“Sekarang kak?” Tanya Rere yang sudah berapa
kali lupa bernapas ketika melihat Nanda tersenyum padanya dan merutuki dalam
hati betapa beruntungnya yang jadi pacar Nanda sekarang dan berdoa tiap malam
agar mereka putus. *Doa macam apa ini, Re?*
“Taun depan, Re. Ya... sekarang dong!” Nanda
mengacak gemas rambutnya dan Rere langsung ngacir keluar kamar tanpa pamit
untuk menutupi wajah malunya.
“Tante... Nanda jalan dulu yah sama Rere. Mau
temanin dia Kedufan ngumpul ma temannya.” Jelas Nanda ketika melihat Tante
Fanny duduk berdampingan mesra didepan TV bersama suaminya. Membuatnya ingin
seperti itu juga bersama Erza, cewek yang paling dia cintai.
Tante Fanny tersenyum salah tingkah melihat
Nanda dan berdehem kecil. “Boleh kok. tapi... Rere pulang sama kamu kan?”
“Iya tante... kenapa? Tante mau jalan?”
“Iya... tante titip kunci sama kalian yah. Mau
jalan sebentar.” Dan Nanda tertawa ketika melihat suami Tante Fanny mengedipkan
mata kearahnya.
“Kami mau pacaran dulu. Masa Cuma anak seumuran
kalian boleh pacaran, sedangkan kami gak? Kan rugi. Iya kan ma?” Tanyanya
sambil memandang istrinya yang memerah malu.
Merasa suasana semakin romantis namun bikin
nyesak dihatinya, Nanda mengucapkan syukur ketika Rere muncul dihadapannya dan
menarik tangannya agar lekas kesana.
“Dah Mama...dah Papah...” Pamit Rere keluar
rumah diikuti Nanda.
Kedua orang tuanya hanya tersenyum dan
melambaikan tangan dengan harapan dihati, agar mereka berdua berjodoh. *ikutan
aminin*
ѺѺѺ
Semua permainan hampir dicoba oleh mereka yang
menggabungkan diri dengan Erza. Lelah, sudah pasti. Namun kesenangan hati
takkan bisa diganti dengan apapun. Tapi tidak bagi Erza, walau hatinya senang
karna bisa bersama Putra, tetap saja ada rasa bersalah yang amat besar pada
Nanda karna melupakannya.
“Kita naik itu yuk,” Ajak Eva yang semakin
lengket dengan Reno. Membuyarkan perasaan bersalah Erza dan menatap apa yang
ditunjuk Eva.
“Arung jeram? Boleh...boleh... sekalian habis
selesai main ini, kita pulang,” Putus Kathy yang dibalas anggukan oleh yang
lain.
Putra langsung menggenggam tangan Erza dan
mereka masuk dalam permainan itu tanpa mengetahui apa yang terjadi setelah ini.
“Gimana masangnya sih?” Gerutu Erza karna tak
bisa memasang sabuknya. Putra langsung membantu memasangkannya tepat dipinggang
Erza.
“Pas kan? Tanyanya dan Erza mengangguk.
Ketika aba-aba mulai terdengar, mereka
menyiapkan suara masing-masing dan tanpa sadar, saling berpegangan tangan erat.
Membuat yang lain melihat itu, hanya tersenyum. Apalagi Reno yang tau bagaimana
isi hati Erza sebenarnya namun selalu dibantahnya.
“Aaaaa....” Mereka berteriak puas dan langsung
turun dari permainan itu dengan sekujur tubuh basah total. Erza yang waktu itu
memakai baju tipis bewarna putih tulang, membuat Putra melihat warna bra yang
dikenakan Erza dan melepas jaket yang dia titipkan untuk menutupi belakang
tubuh Erza yang mengundang mata lelaki untuk semakin meliriknya.
“Kenapa?” Tanya Erza bingung ketika tau-tau
jaket besar menutupi belakang tubuhnya.
“Belakang baju lo basah, gue sempat liat apa
yang lo pakai didalamnya. Warna merah yang bagus, sangat HOT.” Pujinya sambil
berdiri dibelakang Erza dan tersenyum yang dapat diartikan Erza sebagai
senyuman mesum.
Erza memasang jaket Putra yang kebesaran
dibadannya tanpa banyak omong. Terlalu malu untuk merespon dan membiarkan Putra
menggenggam dan menautkan kesepuluh jarinya di tangannya dan berjalan
berdampingan.
“Erza?” Sebuah panggilan bernada shock sukses
membuat Erza langsung melepas pegangan tangan Putra dan menatap ke depannya.
Tak menyangka dengan apa yang dilihatnya. Membuatnya ingin menghilang saat itu
juga.
¤
Nanda takkan menyangka akan seperti ini. Bermula
berjalan sendiri keliling Dufan karna ditinggal Rere yang menggabungkan diri
dengan teman-temannya yang membawa kunci rumahnya. Dia melihat sosok gadis yang
sangat dikenalnya berdiri membelakangi. Kemudian, pandangannya tertutup oleh
cowok yang menyelimuti belakang tubuh gadis itu dengan jaket yang dia kenakan
dan berbisik ditelinga gadis itu. Lalu dia sembunyi dibalik pohon untuk
meyakini hatinya dan shock ketika gadis itu berbalik dan berjalan dengan
berpegangan mesra, ternyata pasangan itu adalah Erza dan Putra. Bergegas dia
mendekati mereka dengan amarah dihati, kecewa dan sejumlah perasaan yang takkan
pernah bisa dia ungkapkan.
“Erza?” Panggilannya cukup membuat gadis yang
berdiri tak jauh dari hadapannya mematung dan melepas pegangan tangannya dengan
Putra yang tak kalah kagetnya. Namun sukses tertutupi.
“Nanda?” Erza membalas tak kalah shocknya.
Sedangkan yang lain, berdiri dibelakangnya. Sama kagetnya.
Nanda langsung mendekati Erza dan menariknya
kasar. “Ikut gue pulang,” Bisiknya dan menatap Putra tanpa bicara apa-apa.
“Nand... Jangan lo sakitin Erza.” Ucap Putra
ketika melihat gadis itu mengernyit kesakitan karna pergelangan tangannya
diremas Nanda dengan kasar.
“Bukan urusan lo, Putra.” Nanda menjawab dingin
dan menarik Erza agar meninggalkan tempat ini tanpa pamit kepada mereka.
“Put...” Reno mendekatinya dan menepuk pundak
Putra yang menatap Erza pergi meninggalkannya dari kejauhan. Sekilas, dia
melihat mereka saling berantem.
“Erza gak papa kan?” Putra bertanya pada dirinya
sendiri karna tak menyadari Reno menepuk pundaknya.
“Gak kok. Nanda gak akan kasarin Erza,” Reno
menenangkan Putra walau dia sendiri pun tak tenang.
“Halo Re..” Nanda menelpon Rere ketika mereka
sudah didalam mobil. Erza mengelus pergelangan tangannya yang memerah karna Nanda.
Dia menoleh ketika Nanda menelpon seseorang.
“Kamu masih sama temen kan? Aku pulang dulu yah,
Ada urusan. Gak papa kan? Atau ntar ku jemput?” Nanda terus berbicara ditelpon
tanpa mempedulikan Erza yang menatapnya tanpa kedip.
“Beneran? Kunci rumah
sama kamu kan? Ok deh, aku pulang dulu. Sorry Re.” Ucap Nanda dan dia memutus
telponnya lalu menjalankan mobil tanpa melirik Erza sedikitpun.
“Apa pentingnya Putra
bagi kamu,Erza?” Tanya Nanda ketika mereka berhenti disebuah tempat yang agak
jauh dari keramaian kota. Sungguh, diam tanpa bicara apa-apa sangat
membunuhnya. Dia ingin kejelasan tentang apa yang dilihatnya.
Erza terdiam. Inilah
saatnya. Dan sungguh dia takkan pernah siap. “Dia teman, Nanda.”
“Teman apa yang saling
merangkul dan berbisik? Aku melihat semuanya, Erza. Dan aku kecewa sama kamu.
Lihat aku!” Nanda langsung menolehkan wajah Erza agar melihatnya. Agar melihat
betapa kecewanya dia.
“Nand... aku
benar-benar minta maaf. Tapi beneran dia Cuma teman aku!”
“Gak ada teman yang
saling rangkul, Erza! Aku curiga, apa karna kamu ingin bersama Putra jadi gak
ingin ajak aku untuk jalan sama teman-teman kamu?” Tuduhnya sambil meremas stir
mobil. Sungguh sakit perasaannya sekarang. Tak pernah mengira bahwa apa yang
pernah diceritakan Tasya padanya, benar.
“Kamu kejauhan mikir,
Nanda! Aku gak pernah punya niat untuk tidak memperkenalkan kamu dengan
teman-temanku! Kalo aku dari dulu punya niat kayak gitu ke kamu, jangankan ke
teman-teman aku, sama kak Reno pun gak akan aku kenalkan ke kamu!” Erza tak
terima dituduh seperti itu.
Nanda terdiam mendengar
jawaban Erza. Selama setahun pacaran, baru kali ini mereka berantem hebat. Dia
melihat napas Erza naik turun saking emosinya. “Kenapa kamu harus jalan berdua
sama Putra, Erza?”
“Aku gak jalan berdua,
Nanda! Aku jalan bareng teman-teman! Apa kamu gak lihat mereka berdiri
dibelakangku?!”
“Tapi aku melihatnya
tidak seperti itu, Erza! Kalian seperti pacaran! Sama aku, kamu gak pernah
kayak gitu! Aku bukannya membandingkan antara perhatian kamu sama aku atau dia,
tapi...” Nanda menekankan kalimat terakhir dan menatap tajam Erza “Aku pacar
kamu, Erza! Apa yang kamu lakukan dengan Putra itu seharusnya kamu lakuin ke
aku! Bukan sama dia!”
Erza menyandarkan
kepalanya ke kursi. Sungguh dia ingin membanting apa saja yang dihadapannya
agar emosinya berkurang. “Aku gak ngerti apa yang kamu omongin, Nanda. Kalau
aku selalu membedakan kamu dengan Putra, kita gak akan bertahan lama seperti
ini. Aku berusaha untuk...”
“Berusaha?!” Nanda
memotong pembicaraan Erza dan menatap sinis. “Berusaha apa, Za?! Berusaha
sayang sama aku?!”
“Bukan begitu maksudku,
Nanda!” jawab Erza sengit. Sungguh, dia tak mengerti setan apa yang membuat
Nanda berubah dari lembut menjadi sangar.
Nanda terdiam. Dia
menghela napas berat. “Aku tau semuanya, Erza. Aku tau hubunganmu dengan Putra
waktu SMA bagaimana, Aku tau isi hatimu, Erza.” Nanda mengucapkan dengan nada
putus asa. Hilang amarahnya sudah. Hanya kekecawaan mendalam yang meliputi
hatinya.
“Itu hanya masa lalu,
Nanda. Dan aku tak mau membahasnya lagi.”
“Masa lalu yang selalu
jadi bayanganmu, Erza. Apa kamu lupa? Aku anak Psikologi, aku tau isi hati
manusia hanya dengan menatap matanya.”
“Apa yang kamu tau,
Nanda?” Erza menjawab tak kalah lesunya. Tak ada yang bisa dia sembunyikan
kalau Nanda sudah mengatakan seperti itu.
“Tak penting untuk kamu
tau apa yang sudah terpampang jelas dimatamu, Za. siapa yang kamu pilih?” Nanda
langsung bertanya to the point. Baginya, sekarang bukan waktunya basa-basi.
“Kalau aku memilih dia,
kita gak akan jadian, Nanda.
“Bohong,”
“Apa kamu lihat aku
sedang berbohong saat ini?”
“Bukan bohong, tapi
menyembunyikan sesuatu. Za... kenapa kamu pilih aku?”
“Karna aku sayang sama
kamu.”
“Walau tak sebesar
sayang kamu dengan Putra kan?”
“Aku gak tau,”
Nanda terdiam. Dia memilih
menjalankan mobilnya untuk mengantar Erza pulang. Tak ada pembicaraan. Masalah
mereka gantung.
Erza merasa tersiksa di
mobil Nanda. Tak ada bunyi radio, tak ada pembicaraan. Yang menemani mereka
hanyalah suara klakson mobil saling bersahutan dan ketukan jari Nanda di stir
mobil. Erza menatap Nanda. Sungguh, dia tak menyangka harinya akan sekacau ini.
Nanda lebih kacau lagi.
Kalau saja dia tak bisa menahan emosinya, tak tau apa yang akan terjadi nanti.
Yang jelas, hidupnya serasa diliputi kekecawaan yang tak ada habisnya.
Tiba-tiba, sebuah ide hadir diotaknya. Terdengar gila. Namun harus dilakukan.
Karna waktunya takkan pernah ada lagi.
ᴥᴥᴥ
“Aku akan bantu kamu untuk memilih, Erza.” Dan
Erza kaget ketika mendengar ucapan Nanda ketika mereka sudah tiba dirumahnya.
Dia menatap Nanda.
“Memilih apa?”
Nanda membuka handle dashbordnya dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna putih gading dan dia membukanya
dihadapan Erza. Membuat gadis itu merasa kehilangan oksigen untuk beberapa
saat. “Aku tau ini bukan waktu yang tepat untuk melamarmu, Za. tapi aku harus
lakukan ini. Aku tak mau kamu menjalani hubungan ini kedepannya dengan perasaan
terbagi seperti ini. Aku sudah ngobrol dengan orang tuamu di Singapura dan kak
Reno soal rencana ini. Mereka setuju apabila kamu setuju. Erza...” Nanda
berhenti dan menatap Erza yang gelisah. Dia tau perasaan gadis itu. Terlihat
jelas dimatanya. “Aku besok balik ke Jogjakarta. Apabila kamu mau menerimaku,
aku akan lupakan masalah ini dan menganggap ini tak berarti apapun dan kamu
temuin aku di Bandara jam 6 pagi. Kita berangkat bersama. Tapi bila kamu
menolak lamaranku...” Nanda terdiam dan menghela napas. Sungguh dia tak bisa
membayangkan kemungkinan yang satu ini. “Kamu boleh pergi dariku dan tak usah
menemuiku di Bandara. Anggap aja, ini pertemuan terakhir.” Nanda memasangkan
cincin tunangan itu di jari manis Erza yang terdiam dan mencium pipinya “Pilih,
Erza. Dia, atau aku.”
Erza menundukkan wajahnya dan menangis. Sungguh
dia tak ingin di posisi seperti ini. Posisi dimana dia harus memilih dan harus
menyakiti salah satu. Dia tak tega melakukannya. “Jangan paksa aku untuk
memilih, Nanda. Aku tak mau menyakiti siapa-siapa.”
“Aku tak mau kamu bersamaku, tapi kamu sakit,
Erza. Pilihlah.” “Dan aku siap menerimanya,” Batin Nanda.
“Nand...” Erza berusaha melepas cincin tunangannya.
Mendadak berat untuk mengenakan. Namun ditahannya.
“Putuskan dulu, baru kau lepas.” Nanda menahan
tangan Erza dan menghapus air matanya.
“Thanks, udah antar aku pulang, maaf atas sore
tadi. Tapi sungguh Nand, aku gak ada apa-apa sama Putra.” Erza memutuskan turun
dari mobil.
“Aku tau,” Hanya itu yang dijawab Nanda ketika
Erza menutup pintu mobilnya dan berlari masuk rumah.
Nanda memutuskan mengambil ponselnya dan
menelpon seseorang.
“Tasya... lo punya nomor Putra? Boleh gue
minta?” Pintanya ketika telpon tersambung dan langsung mengalir cerita ketika
Tasya meminta penjelasan.
Ѽѽѽ
“Gue cabut dulu,” Pamitnya ketika membaca pesan
dari nomor yang tak dikenal beberapa saat yang lalu. Tapi dia tau siapa yang
mengirim.
“Kemana lagi kak?” Tanya Kathy melihat Putra
buru-buru mengambil kunci kendaraan dan bergegas ke garasi.
“Ketemuan sama Nanda, Bye.” Kata Putra sambil
menutup wajahnya dengan helm dan melaju meninggalkan rumahnya menuju suatu
tempat.
“Semoga Kak Putra gak papa, gak main
hajar-hajaran. Amien.” Harap Kathy sambil menutup pintu rumah.
---
“Gak susah kan nemu tempatnya?” Sapa Nanda
ketika melihat Putra menghampirinya dan duduk didepannya sambil memesan kopi.
“Gak kok, ini tempat kesukaan gue. Jadi gue gak
asing,” Putra menjawab singkat sambil memandang cafe tempat mereka bertemu.
Membahas cewek yang sama-sama mereka sayangi.
“Gue sudah lamar Erza, gue tau ini kecepetan
atau gak matching karna ngelamar dia disaat melihat lo berdua dia. Tapi gue
sayang sama dia.”
“Sorry soal itu. Kami Cuma teman, gak lebih,”
Ucap Putra. Pupus harapnya sudah.
“Gue tau, dia mati-matian jelasin itu.”
“Lo percaya sama dia kan?”
“Gue lebih percaya apa yang tersirat di matanya
daripada apa yang dia ucapkan.”
“Maksudnya?”
Nanda menghela napas berat. Seberat perasaaan
yang dia rasakan sekarang. “Gue tau semuanya dari Tasya, cewek yang lo ajak
kemaren pada saat kita ketemu di Jogja. Kami ketemu karna ternyata sekampus dan
mengambil jurusan yang sama. Walaupun, yah... lo lupa sama hal itu. Yang jadi
pertanyaan gue sekarang, bagaimana perasaan lo sama Erza sekarang?”
Putra memilih meneguk minumannya sebelum
menjawab. Pertanyaan yang sangat sulit diucapkan. Karna menyangkut masalah
hati. “Seperti perasaan lo sama dia. Tapi kalo dia memilih lo, gue terima.
Karna... itu pilihan dia. Gue gak bisa maksa.”
“Kalo dia belum memilih gimana? Apa lo tetap
perjuangin ngerebut dia dari sisi gue?”
Putra mengernyit bingung. Tak mengerti.
“Bukannya lo udah lamar dia?”
“Ngelamar bukan berarti langsung terima kan? Gue
minta dia milih gue atau lo. Dan dia akan menjawabnya esok pagi. Disaat gue
pergi.”
Melihat Putra tak memberi respon, Nanda
melanjutkan. “Kalo dia milih gue, apa lo mau jagain dia seperti lo jaga pacar
sendiri?”
“Apa lo gak takut kalo nanti Erza selingkuh sama
gue walau dia milih lo?” Pancingnya.
“Gue tau dia, dan gue yakin dia gak akan
begitu.”
“Gue mau menjaga dia. Apapun pilihannya.”
Nanda tersenyum. “Kalo dia memilih lo, gue harap
lo jangan pernah bikin dia nangis lagi. Kalo sampai itu terjadi, lo gak akan
selamat dari gue, Putra.”
“Gak akan pernah.” Ucapnya yakin.
“Tenang gue mendengarnya. Gue cabut dulu yah
Put, belum siap beres-beres soalnya. Bye...” Nanda mendadak berdiri dari
duduknya namun ditahan Putra.
“Kenapa lo ngomong seolah-olah dia gak milih
lo?”
“Karna gue tau hatinya kayak gimana.” Nanda
berbalik pergi meninggalkan Putra yang tertegun.
***
“Siapa yang gue pilih, Tuhan? Please... help
me,” Harapnya sambil memainkan cincin pemberian Nanda dan meletakkan di meja
belajar. Sungguh kalut perasaannya. Tak tau milih siapa.
“Za,,,” Panggil Reno ketika melihat Erza menutup
wajah dengan kedua tangannya.
“Gak tidur?”
“Gue gak tau kak harus gimana,” Curhatnya sambil
memeluk Reno. Dan kepalanya dielus pelan olehnya.
“Pilihlah apa yang hati lo ingin, dek.”
“Walaupun harus menyakiti seseorang?”
“Itulah resikonya, dek. Setiap pilihan yang
terhampar dihadapan kita, pasti akan ada yang merasa sakit.”
Erza mengangguk dan melepas pelukannya. Dia tau
apa yang dipilihnya.
“Gue tidur yah kak,”
“Yap. Udah malam banget soalnya.” Ucap Reno
sambil menyelimuti Erza yang langsung pulas tertidur.
“Semoga lo milih yang benar kali ini, dek.”
Harapnya sebelum menutup pintu.
ѾѾѾ
“Yes... i choose you,”
“Erza gak akan pernah datang,” Nanda mengucap
lesu sambil melirik jam tangan berkali-kali. Sudah menunjukkan jam 5.45.
sebentar lagi pesawat akan menerbangkannya, meninggalkan semua yang tercetak
disini.
Nanda menutup matanya, meminta keajaiban walau
dia tau itu mustahil, walau dia tau akan ditertawakan oleh hatinya sendiri
karna selalu menyangkal. Tapi... biarlah dia berharap, sekali saja.
“Ku pejamkan mata ini...
Ku tertidur tanpa lelap
Tapi ku bermimpi, kau jadi milikku.”
Ku tertidur tanpa lelap
Tapi ku bermimpi, kau jadi milikku.”
“Nanda...” Terdengar seseorang memanggilnya
disaat semua harapan pupus. Disaat dia siap masuk ke dalam pintu keberangkatan.
Dia mematung ditempat, tau siapa yang memanggilnya. Karna dia sangat mengenali
suara itu. Suara yang dinantikannya.
“Suaramu tetap bernyanyi
Walau sadar ku kian tak ada
Namun ku bahagia, lagumu milikku.”
Walau sadar ku kian tak ada
Namun ku bahagia, lagumu milikku.”
“Kenapa, Za?” Nanda menghampirinya dan memeluk
gadis itu. Harapan yang sudah hilang dari genggaman, hadir kembali, dialah yang
dipilih gadis itu.
“Aku sudah
memilih, Nanda.” Erza melepas pelukannya dan melepas cincin yang dikenakannya.
Membuat Nanda shock ketika cincin itu kini berada ditangannya.
“Aku memilihnya, Nand. Aku salah selama ini
selalu menutupi apa yang aku rasakan. Tapi... aku gak bisa lagi menutupi lebih
dalam lagi. Kamu benar, aku sakit bila terus bersamamu sedangkan hatiku
separohnya ada di dia. Tapi.. bukan berarti aku tidak sayang sama kamu selama
ini, Nand. Aku sayang ... tapi...”
“Tidak sesayang kamu ke dia kan, Za? Kalo kamu milih dia, kenapa kamu mendatangiku kesini?
“Tidak sesayang kamu ke dia kan, Za? Kalo kamu milih dia, kenapa kamu mendatangiku kesini?
Erza terdiam. Dia tau Nanda akan
menanyakannya. “Karna aku tak ingin, apabila kita putus, tak berhubungan lagi.
Aku sahabatmu, Nanda. Dulu dan sekarang, dan aku tak mau, karna hubungan ini,
persahabatan kita ikut renggang. Kau sahabat terbaik yang aku punya, Nand.”
Erza menundukkan wajahnya.
“Kau mau mengantarku pulang?”
Erza
menganggukkan wajahnya sambil menunduk. Membuat Nanda mendongkakkan wajahnya
dengan terlunjuknya. “Aku terima keputusanmu, Za. aku harap, Putra yang terbaik
untukmu.”
“Aku
minta maaf Nand udah menyakitimu, Tapi sungguh, Nand... gak ada niat sedikitpun
untuk kayak gini.”
“Aku
tau, Za.” Nanda memeluknya lagi. Tanda perpisahan, pupus harapnya sudah untuk
memiliki gadis itu. Tapi dia senang, Erza jujur tentang apa yang dia rasakan,
walau membuatnya terluka.
Terdengar
suara announcer mengatakan sebentar lagi pesawat menuju Jogja berangkat. Nanda
melepas pelukannya dan menatap Erza yang sudah berkaca-kaca. “Aku pergi dulu,
yah. Kapan-kapan mampir ke Jogja yah. Aku tunggu, semoga kamu bahagia, Erza.
Aku akan mendoakanmu.” Nanda mengucap tulus dan mencium keningnya. Dan Erza
membalasnya dengan lambaian tangan ketika Nanda sudah menghilang dari
pandangannya.
Tanpa
Erza sadari, Nanda menghapus air matanya yang sempat menetes ketika sudah
memasuki pintu keberangkatan. Sungguh sakit perasaannya. Dan dia berjalan
menuju pesawatnya dengan luka yang dia tak tau kapan pulihnya.
“Makin
ku mencintai...
ku lepas kau kekasih...
biar terbang tinggi...
ku lepas kau kekasih...
biar terbang tinggi...
cinta
yang tak mungkin... terbang tinggi...”
*Elyzia
– cinta yang tak mungkin.*
◊◊◊
Erza
terlihat melamun dikursi taman sambil memegang ponselnya. Sudah 3 bulan dia putus
dengan Nanda. Masih ada perasaan tak enak dihatinya. Walau Nanda sudah
meyakininya mati-matian, diikuti kak Reno yang selalu mengingatkan bahwa ini keputusannya.
“Kok
melamun?” Tanya Putra sambil menyodorkan minuman kalengan ke Erza dan duduk
disampingnya. Dia tau apa yang di pikiran gadis itu. Dia tau semuanya dari
Nanda yang langsung menelpon pada saat tiba di Jogja.
“Gak
kok,” Elaknya sambil mencoba bangkit dari tempatnya. Namun Putra menahan
lengannya.
“Temanin
gue bentar. Udah lama gak duduk bareng kayak gini sambil liat Angsa sedang
pacaran,” Pintanya sambil menarik Erza agar duduk disampingnya.
“Terus?
Lo mau kita pacaran kayak Angsa gitu?” Erza menunjuk Angsa yang sedang memadu
kasih di tengah danau. Sungguh tenang hatinya.
“Menurut
lo gimana? Kita pacaran gaya angsa atau gaya kita sendiri?” Pertanyaan Putra
membuatnya bingung harus jawab apa.
“Kalo
gaya kita sendiri gimana?” Tanyanya. Membuat Putra tersenyum.
“Seperti
ini,” Perlahan, Putra mendekatkan wajah kearahnya lalu berbisik ditelinganya,
“Maukah, kau menjadi pacarku?” Pintanya sambil menyelipkan anak rambut yang
menghalangi telinganya lalu meniup pelan hingga Erza merinding.
“Beri
aku waktu, Putra.”
“Waktu
apa?”
“Waktu,
untuk selalu ada disampingmu. Ya... aku mau,” Erza mengangguk dan membiarkan
Putra memeluknya erat.
“I
love you, Erza.” Putra berbisik ditelinganya lalu mencium pipinya. Membuat Erza
serasa ingin tersenyum kepada siapa saja yang melihatnya. Untuk membuktikan
bahwa dia bahagia saat ini. Sangat bahagia.
“Love
you, too.” Erza balas berbisik dengan wajah malu dan membiarkan Putra
menciumnya. Dia memeluk lehernya agar Putra semakin dekat dengannya.
Tanpa
disadari keduanya, Ada seseorang yang melihat kejadian itu semua. Dia memegang
dadanya, sungguh sakit hatinya dan menatap gadis yang disebelah Putra itu
dengan dendam.
∏∏∏
Sejak
berpacaran tiga bulan lalu, Erza dan Putra semakin lengket kayak perangko klop
dengan amplop. Tak terpisahkan. Selvi sering mengamati kebersamaan mereka dan
tersenyum ketika berpapasan. Seolah ikhlas. Tanpa sengaja, dia melihat Erza
jalan sendiri saat keluar dari ruang dosen. Tanpa banyak cingcong, dia
menghampirinya.
“Za...
bisa ngobrol sebentar?” Pinta Selvi ketika Erza mengerutkan kening melihatnya
tak biasa menghampirinya.
“Mau
ngomong apa, Sel?” Erza sedikit berhati-hati dengannya. Baginya, Selvi adalah
orang yang pernah mencoba membunuhnya, dan mantannya Putra. Entah apa yang
dipikiran gadis itu, yang jelas, membuatnya tak tenang.
“Kita jangan ngomong
disini, Za. terlalu penting untuk didengar orang.”
“Lo
mau ngomong apa, Sel? Gue ada kerjaan,”
“Lo
sampai jam berapa dikampus?”
“Sampai jam 3 sore
sih. Ada yang gue urus disini.”
“Lo ikut yang kuliah di luar negeri selama 2 tahun itu?” Selvi mencoba menebak ketika melihat map yang dipegang Erza dan gadis itu mengangguk senang.
“Yap. Gue pilih Belanda. Udah diterima sih, tinggal ngurus aja lagi. Jangan dikasih tau sama Putra yah, ntar ngamuk. Ahahhaa...”
“Lo ikut yang kuliah di luar negeri selama 2 tahun itu?” Selvi mencoba menebak ketika melihat map yang dipegang Erza dan gadis itu mengangguk senang.
“Yap. Gue pilih Belanda. Udah diterima sih, tinggal ngurus aja lagi. Jangan dikasih tau sama Putra yah, ntar ngamuk. Ahahhaa...”
“Tenang
saja. Bagaimana jam 3 itu kita ketemu ditaman?”
Erza
berpikir sejenak. Lalu memandangi Selvi. Sekedar ingin tau apa yang
direncanakannya kali ini. Namun dia menyerah. Dia tak sepandai Putra atau Nanda
untuk membaca pikiran orang hanya dengan matanya. “Ok deh. see ya...” Erza
mengacungkan jempolnya dan pergi meninggalkan Selvi yang tersenyum sinis.
“I’ve
got you,”
ͼ.ͽͼ.ͽͼ.ͽ
“Sorry, Sel. Udah lama nunggu?” Erza berlari
menghampiri Selvi yang asyik duduk dikursi dan memandang danau yang agak
beriak.
“Yap... gak papa,” Selvi menoleh kearahnya
dan tersenyum ketika Erza duduk disampingnya.
“Lo mau ngomong apaan?”
“Kita berdua sama-sama tau bagaimana Putra kalo udah berhadapan dengan
cewek, iya kan, Za? “Selvi membuka pembicaraan.
“Maksud lo apaan ngomong begini, Sel?”
“Putusin Putra. Lo gak akan bisa
dapatkan dia, Erza. Gak akan pernah bisa.” Ucapan Selvi yang tenang serasa
petir di siang bolong baginya.
“Lo kenapa sih, Sel?! Lo gak terima gue pacaran sama dia!? Lo masih sayang sama dia?! Sorry, Sel. Dia sayang sama gue, bukan sama lo.” Erza berdiri dari duduknya dan pergi. Sia-sia dia duduk manis beberapa menit untuk mendengarkan omongan bikin emosi dari Selvi. Namun langkahnya tertahan ketika Selvi mengejarnya dan memberinya map.
“Lo kenapa sih, Sel?! Lo gak terima gue pacaran sama dia!? Lo masih sayang sama dia?! Sorry, Sel. Dia sayang sama gue, bukan sama lo.” Erza berdiri dari duduknya dan pergi. Sia-sia dia duduk manis beberapa menit untuk mendengarkan omongan bikin emosi dari Selvi. Namun langkahnya tertahan ketika Selvi mengejarnya dan memberinya map.
“Lo liat aja,” Jawabnya ketika Erza
mengangkat alisnya dan membuka map lalu merasa limbung seketika. Dunianya
runtuh.
Dia melihat beberapa foto Putra
sedang memasang cincin untuk Selvi disuatu tempat ramai, dan beberapa foto
menunjukkan ketika Putra berciuman mesra. Pandangannya mengabur seketika, foto
yang dia pegang basah oleh air matanya.
“Maksud lo apaan, Sel?”
“Itu foto gue tunangan dengannya di Jerman.” Selvi menjelaskan sambil memamerkan cincin yang dikenakan di jar manisnya. “Gue udah tunangan sebelum balik ke Indonesia. Dan pas kami putus, dia ajak kami balikan lagi, Erza.”
“Itu foto gue tunangan dengannya di Jerman.” Selvi menjelaskan sambil memamerkan cincin yang dikenakan di jar manisnya. “Gue udah tunangan sebelum balik ke Indonesia. Dan pas kami putus, dia ajak kami balikan lagi, Erza.”
“Tapi sekarang, lo putus kan sama
dia?”
“Gue emang putus sama dia, Erza.
Tapi dia melupakan hal yang penting. Sangat penting!” Selvi mengambil map
ditangan Erza dan meletakkan sebuah foto yang membuat Erza menggeleng dan
merobeknya.
“Lo bohong! Lo tukang bual, Selvi!
Gue gak percaya sama mulut berbisa lo!” Erza semakin merobek foto yang diberi
Selvi. Sungguh sakit hatinya. Tak menyangka akan seperti ini.
“Lo boleh menyangkal sekuat lo mau,
Za. tapi inilah kenyataannya. Gue hamil! Gue dihamilin pacar lo sendiri! Lo
tau, foto yang lo robek sekuat tenaga, adalah foto USG gue! Lo gak akan pernah bisa, Erza. Gue,
mengandung anak dia. Dan lo, Cuma dikasih cinta palsu olehnya!”
“Kenapa bisa, Sel?! Kenapa lo segitu
murahnya nyerahkan itu padanya?! Kenapa, Sel?!”
“Gue udah bilang dari awal, Erza.
Kita sama-sama tau Putra itu gimana apabila sudah berhadapan dengan cewek yang
paling disayanginya. Asal lo tau, Za. GUE GAK SEMURAH YANG LO PIKIR! Gue
memberi hal yang paling beharga dihidup gue karna gue yakin bahwa kami
selamanya akan bersama. Gue yakin dia akan tanggung jawab atas apa yang gue tanggung
nanti. Tapi nyatanya apa, dia malah mengejar lo!” Selvi menatap sinis Erza yang
masih tak percaya dengan apa yang diucapkan. “Dan asal lo tau, Erza. Putra udah
gue kasih tau soal ini dan akan tanggung jawab. Dia akan mutusin lo dan balikan
sama gue. Tapi gak sekarang, dia nunggu waktu yang tepat untuk mutusin lo.
Nah... Erza... apa yang lo lakuin sekarang? Kita sama-sama wanita, Za. tau
perasaan masing-masing, apa lo tega ayah dari anak gue kandung, pacaran dengan
lo? Kalo lo jadi gue, gue gak akan segitu murahnya kayak gitu.”
“Berapa kali lo berhubungan dengan
dia?”
“Setiap kami bertemu. Gak pernah
absen. Pantes aja gue jebol.”
Erza terdiam. Hatinya sakit sekali.
Inikah karma karna dia menyakiti Nanda? Inikah perasaan Nanda ketika dia lebih
memilih Putra daripada dia, yang mati-matian sayang padanya? Kalau perasaannya
seperti ini, dia harus minta maaf kepada Nanda. “Gue akan putusin dia.
Sekarang. Jadi dia gak perlu repot-repot kasih alasan masuk akal supaya putusin
gue,” Erza langsung pergi meninggalkan Selvi. Baginya, tak ada alasan untuk
berlama-lama didepan Selvi yang sudah melihatnya hancur. Dia berlari meninggalkan
taman menuju parkiran mobil. Tanpa mempedulikan tubuhnya basah kuyup karna
hujan mengguyur deras. seperti mengetahui isi hatinya. Tanpa mempedulikan Putra yang memanggilnya
dari tadi.
“Erza...Erza...” Putra memanggilnya
ketika melihat gadis itu lari dari arah taman sambil menangis.
“Shit! Kunci mobil gue
manaaaa?!!!!!” Erza mengumpat sambil mengaduk-aduk tasnya karna tak menemukan
kuncinya. Sedangkan hujan semakin deras turun. Tiba-tiba, alarm mobilnya
berbunyi tanda kunci terbuka dan dia menoleh untuk melihat siapa yang
membukakan.
“Mau kemana sayang? Kamu kenapa?”
Putra berdiri disampingnya sambil memegang kunci mobil Erza yang sengaja
dititipkan gadis itu padanya karna sering lupa naroh dimana.
“Gak usah panggil gue sayang! Kita
Putus!” Tanpa memberi penjelasan lebih rinci, Erza mengambil kuncinya secara
kasar sebelum Putra menariknya dan langsung masuk dalam mobil, melaju
meninggalkan kampus. Membuat Putra langsung menelponnya berkali-kali minta
penjelasan. Tapi di rejectnya.
“Go to the Hell, Putra! I hate you!”
Umpat Erza berkali-kali sambil mengusap sendiri air matanya dan memukul stir
serta membunyikan klakson berkali-kali tanda frustasi. Sesak hatinya sekarang.
Dia hanya ingin pulang... yah... Pulang.
͋ ͋ ͋ ͋
“Lo kenapa, dek? Putra ngapain lo?” Tanya Reno kaget ketika melihat
Erza pulang kerumah basah kuyup, padahal bawa mobil dan mata bengkak seperti
habis nangis.
Erza mengabaikan pertanyaan Reno. Dia tak ingin mendengar nama Putra
dimanapun dia berpijak. Baginya, Nama Putra adalah kutukan. “Kak... kalo dia
kerumah nyari gue, bilang gue gak ada. Dan gue pengen, lo jangan sebut nama dia
dirumah ini, dimanapun gue berada. Gue benci!”
“Lo berantem, Za?” Reno tak habis pikir bagaimana bisa Erza benci
setengah mampus dengan Putra. Padahal sebelum-sebelumnya kesengsem.
“Gue putus sama dia kak! Dia ...” Erza teringat ucapan Selvi dan
langsung terduduk dilantai dan menangis sambil menutupi wajahnya dengan
tangannya. Sakit...
“Dia kenapa dek? Kenapa lo bisa putus?”
Erza menggeleng. Dia tak sanggup menceritakan dari mulutnya sendiri.
Mendengar saja sudah membuatnya ambruk. “Gue gak mau bahas itu kak. Gue mau
sendiri. Please...” Dan Reno pun tak bisa berbuat apa-apa selain menyetujui
kehendak sepupunya itu. “Yasudah. Lo istirahat sana. Ntar kalo ada Putra gue
bilang lo belum pulang.”
“Thanks.” Erza bangkit dari duduknya dan langsung menuju kamarnya sambil
sesekali mengusap air matanya yang terus turun membasahi pipinya.
Melihat Erza sudah masuk kamar, Reno langsung mengambil ponselnya dan
mencari sebuah nama di kontaknya dengan wajah penuh amarah. “Lo apain adek gue,
Putra?!” Bentaknya dan mulailah perdebatan sengit antar pria lewat telpon.
͊ ͊ ͊ ͊
Erza baru saja selesai mandi dan
langsung membuka laptopnya untuk mengecek apakah ada email masuk atau tidak.
Ketika dia melihat bahwa ada yang masuk, dia membacanya kemudian tertegun
sendiri. Membuat keputusan.
“Mungkin, ini cara Tuhan agar gue
pergi, yah... pergi...” Erza bergumam sendiri sambil memandang emailnya dan
melirik foto mereka yang sedang tersenyum dengan latar belakang pantai. Membuat
air matanya menetes lagi. Sakit itu masih sangat menancap dihati. Dia
mencintainya, kenapa malah dikhianati seperti ini? Dia menerima keadaan Putra
amnesia, tapi kenapa selalu ada halangan dihadapannya? Apakah dia memang
ditakdirkan untuk berpisah? Hanya Tuhan yang tau.
“Bye...
selamat berpisah lagi
meski masih ingin memandangimu
lebih baik, kau tiada disini
sungguh tak mudah bagiku..
meski masih ingin memandangimu
lebih baik, kau tiada disini
sungguh tak mudah bagiku..
menghentikan
segala, khayalan gila
Jika kau ada, dan ku Cuma bisa
Meradang menjadi yang disisimu,
Membenci nasibku yang tak berubah.”
Jika kau ada, dan ku Cuma bisa
Meradang menjadi yang disisimu,
Membenci nasibku yang tak berubah.”
Lamunan Erza
terputus ketika mendengar ponselnya berbunyi. Dia meliriknya dan langsung
mereject ketika tau siapa yang menelpon walau namanya sudah tak ada lagi. Dia
menghapus semua yang berhubungan dengan Putra, walau ada satu yang tak bisa
dihapusnya, kenangan yang melekat kuat diotaknya.
“Gue pergi... yah... pergi. Memulai
hal yang baru tanpa perlu lo jadi bayangan gue. Good bye,” Erza menatap foto
mereka berdua dan melemparnya ke bak sampah. Dia memutuskan untuk tidur dengan
rencana yang menari-nari dikepalanya agar bisa menyusun semuanya dalam waktu
sebulan sebelum pergi.
̈́ ̈́ ̈́ ̈́ ̈́ ̈́
“Hati-hati yah kak. Jaga rumah gue,
jangan sampai lo hangusin karna masakan lo ikut hangus. Gue akan kangen sama
lo, kak” Pamitnya dengan menenteng koper dan ransel dipundak. Erza pamit pergi
dengan Reno untuk mengambil Beasiswa di Belanda selama 2 tahun sebelum kembali
ke Indonesia. Dia memutuskan dengan matang-matang. Dan dia mengurus semuanya
sendiri walau harus kucing-kucingan dengan Putra yang selalu berkeliaran
dimanapun dirinya berada. Dia tak ingin bertemu cowok itu lagi. Tak ingin
menghancurkan semua harapan yang disusunnya perlahan.
“Lo serius dek?” Sampai detik ini,
Reno masih tak percaya Erza akan meninggalkannya selama itu. Walau dia tau
alasannya dari Erza sendiri kenapa harus pergi, tetap saja dia tak terima.
“Gue serius, kak.” Ucapnya tegas.
Membuat Reno tak bisa berkata apa-apa selain menyetujuinya.
“Gue ikhlasin. Keep contact yah. Lo
mau gue anter?”
“Gak usah. Gue mau keliling dulu
sebelum ke Bandara. Bye.” Erza mengecup pipi Reno sebelum masuk dalam mobil dan
pergi meninggalkan Reno yang langsung menelpon seseorang. Meminta pertanggung
jawaban.
“Kathy... alamat rumah lo dimana?
Putra ada? Oh...ya...ya... gue samperin, Bye.” Reno langsung memutus telponnya
dan mulai menekuk sepuluh jarinya sambil menyeringai. “Kayaknya gue memang
perlu turun tangan untuk masalah ini,” Gumamnya dan langsung pergi ke rumah
Putra.
͒ ͒ ͒ ͒ ͒ ͒
“Lo hamilin Selvi?! Jawab, Putra!”
BUK! Reno menonjok Putra kalap. Membuat Kathy langsung melerainya, diikuti
Restu.
“STOP! Ini rumah gue, Kak Reno! Lo
gak bisa main hajar orang selagi gue ada disini!” Kathy membentak Reno yang
lengannya dipegang Restu selagi dia membantu Putra berdiri yang tak tau
apa-apa. Yang dia tau hanyalah, Reno langsung mendobrak kamarnya dan menuduhnya
dengan tuduhan gila.
“Gue hamilin Selvi?! Demi Tuhan,
Ren! Jangankan hamilin dia, gue aja gak pernah liat bodi dia gak pakai baju
kayak gimana!” Putra membela dirinya dari tuduhan yang sangat mencemarkan nama
baik itu.
“Erza meliat semuanya, Putra! Dia
cerita ke gue! Itulah sebabnya dia putusin lo! Dan sekarang, dia pergi! Yah...
pergi!” Reno berteriak dan membuat Putra terdiam. Erza pergi... belahan jiwanya
pergi... sudah cukup dia diputusi tanpa alasan, jangan sampai dia ditinggalkan
hanya karna alasan yang sangat menjatuhkan reputasinya sebagai pria.
“Dia pergi kemana, Ren?! Jawab gue!”
Putra memegang kerah baju Reno dan membuatnya mendapat tonjokan lagi.
“Ke Belanda! Lupain lo! Dia melihat
semuanya, Put. Dari foto tunangan hingga Foto USG. Lo bisa apa, Putra?!” Reno
menyeringai mengejek.
Putra langsung mengambil kunci
mobilnya. Pikirnya hanya satu, menghalangi gadis itu pergi dan menjelaskan
semuanya, sebelum terlambat.
“Minggir! Gue mau lewat!” Bentaknya ketika Reno menghalangi jalan.
“Lo mau kemana? Gue belom selesai ngomong!”
“Gue mau nyusul Erza ke bandara! Gak akan gue ijinin dia pergi!”
Reno semakin menghalanginya. “Hadapin gue dulu, baru gue ijinin! Gue
gak peduli kalo tingkah gue bakal bikin lo gak bisa menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi ke Erza! Kalo lo gak sempat, berarti dia memang pantas pergi
dan mencari seseorang yang bisa mencintainya tanpa harus selalu menangis karna
lo! Lo bisa menunggunya selama dua tahun kalo itu terjadi, itupun kalo lo
sanggup dan dia mau.” Reno menjawab enteng. Seolah-olah itu biasa saja.
“Lo mau apa, Ren? Lo gak restuin gue dengan Erza?” Putra mulai putus
asa dengan tingkah sepupu pacarnya ini yang dirasa lebih tiran dari suami Siti
Nurbaya.
“Gue setuju apapun pilihan Erza asal dia bisa bahagiain sepupu gue. Lo
mau tau keinginan gue? Gampang! Lo harus ingat siapa Erza di hidup lo sebelum
amnesia, dan apa yang paling dia takutin dan dia senang. Kalo lo bisa mengingat
semuanya, gue akan restuin. Kalo enggak, jangan harap lo bisa keluar kamar
dengan gue didepan lo ini, Putra!”
“Lo gila kak!” Kathy mendengus marah. Dia tak yakin Putra bisa
mengingat semua itu disaat terjepit.
“Gue gak gila, Katherine! Gue hanya ingin dia sadar, siapa Erza di
hidup dia dulu dan sekarang, itu saja! Dia selama ini meremehkan sepupu gue
akan terima keadaan amnesianya tanpa harus berusaha mengingatnya lagi!”
Putra merasa tertampar mendengar ucapan Reno. Dia berusaha mengingat
keras siapa Erza dikehidupannya dulu sebelum amnesia, dia harus ingat...sebelum
semuanya terlambat, sebelum dia tak bisa bertemu lagi, sebelum... ah... dia tak
bisa membayangkan apabila itu terjadi. Entah dia harus kemana lagi kalau sampai
itu terjadi, Belanda sangat luas, jauh dari genggamannya.
“Arrgghh...” Putra mengernyit kesakitan sambil memegang kepalanya.
Semuanya, kenangannya, hadir dalam otaknya tanpa antre. Dia mengingat semuanya,
dia ingat saat pertama kali ketemu Erza, saat mereka main pentas Putri tidur,
saat dia mencium gadis itu pertama kali waktu tidur dan sampai saat ini Erza
tak tau, dan saat dia pergi meninggalkan Erza dan memberinya sebuah janji...
yah ... janji yang dia buat, namun dia sendiri menghancurkan karna membawa
Selvi kedalam hidupnya.
“Lo kenapa kak?” Kathy cemas sambil mendelik jengkel ke arah Reno. Kalau
sampai Putra kenapa-napa, Reno lah yang akan dia tuntut terlebih dahulu.
“Gue ingat siapa dia,” Putra terbata-bata mengucapkan sambil memegang
kepalanya yang serasa ingin pecah.
“Oh ya? Siapa dia buat lo, Putra?”
“Dia..” Putra tersenyum walau kepalanya sakit.“cewek paling galak dan
gak tau diri waktu MOS, dia bentak gue padahal dia tau gue panitia, dia cewek
yang paling gak terpesona sama gue disaat teman-temannya memuja gue, dia cewek
yang bikin gue bertekad untuk mendapatkannya. Dan dia... cewek yang dijodohin
nyokap sama gue dan gue sempat tinggal dirumahnya selama 4 bulan. Dia suka
bunga tulip, coklat dan hujan. Paling takut dengan petir, dan film hantu.”
Putra menjelaskan panjang lebar. Membuat Reno tersenyum. Kathy hendak menangis
saking terharunya.
“Kejarlah dia, Putra. Gue yakin, lo pasti tau dimana dia berada kan?”
Reno menepuk pundak Putra.
“Thanks. Gue tau dia dimana,” Putra tersenyum dan langsung keluar kamar
meninggalkan mereka yang berdoa, agar bisa bertemu Erza.
“Kalau sampai sepupu gue gak ketemu Erza...” Kathy mengancam Reno
dengan suara mendesis “Lo yang pertama akan gue bunuh, kak.”
Restu hanya mengangguk tanda menyetujui dan Reno hanya nyegir.
΅΅΅
“Hujan...” Serunya
pelan sambil menengadahkan tangan. Menikmati tetesan hujan yang dari dulu
sangat disukainya. Erza duduk di taman sambil menatap danau yang tenang meski
hujan semakin deras. tak ada niat sedikitpun untuk masuk mobil. Dia membiarkan
tubuhnya basah kuyup. Dia menutup matanya. Mengingat semua yang pernah terjadi
dengan Putra dikala hujan. Membuatnya menangis.
“Kenapa lo nyakitin gue, Putra? Udah cukup lo pergi tanpa pamit,
kembali dengan bawa Selvi dan sekarang lo malah menghamilinya. Dan sekarang,
dengan bodohnya gue duduk disini, di tempat lo pernah bilang kita akan ketemu
lagi, walau gue sadar 100%, lo gak akan pernah ingat janji itu.” Yah... lo gak
akan pernah ingat.” Erza bergumam sendiri. Meratapi kebodohannya.
“Kata siapa gue lupa sama janji yang pernah gue ucapin?” Tau-tau Putra
berdiri dibelakangnya. Membuat Erza terlonjak dan menoleh.
“Hujan sayang, teduhan yuk.” Ajaknya sambil mengulurkan tangan kanannya
sedangkan tangan kirinya memegang payung. Namun ditepisnya.
“Buat apa lo kesini?” Erza bertanya dengan suara dingin dan gemetar
menahan dingin.
“Menyusul lo, sayang. Sekalian mau menyuruh lo pulang.”
“Gue gak mau pulang! Lo tau, Putra, 2 jam lagi gue akan ke bandara!
Ninggalin lo! Jadi, gue mohon, lo pergi dari kehidupan gue! Gue benci!” Erza
menjerit ketika tangannya dipegang dan dipeluk Putra dengan payung yang menaungi
mereka.
“Please... don’t leave me, dear.”
“Lo gak tau betapa sakitnya saat gue tau bahwa pacar gue ternyata akan
punya anak dari mantannya. Tunangan pula! Gue ngerasa bodoh mau menerima cinta
lo.”
“Demi Tuhan, Erza Noor Assifa, Gue gak pernah hamilin Selvi! Lo boleh
minta gue test DNA kalo lo mau, gue gak tunangan sayang. Gue gak pernah
tunangan sama dia, sama cewek lain. Gue hanya mau lo.”
“Bulshit!” Erza mendesis. Membuat Putra langsung melepas pelukannya dan
menatapnya.
“Look at me,dear. You’ll be see a honesty in my eyes. I just love you.
Gue gak pernah hamilin dia. Percaya sama gue, Erza.”
“Tapi..foto itu.. gue liat lo ciuman sama dia, lo pasangin cincin ke
dia, gue liat semuanya, Putra! Gue liat! Dan USG itu, Oh God... you can’t
imagine how broke my heart when i knew it!”
“USG bisa aja dia ambil foto lain terus ngaku-ngaku itu punya dia,
Erza.”
“Kalo foto lo ciuman? Lo mau bilang dia nyewa orang yang mirip lo terus
ciuman gitu?”
“Gue gak nyangkal hal itu, Erza.” Putra masih menatap Erza yang menangis
dan menghapus air matanya yang terus membasahi pipinya. “Gue pernah sayang sama
dia, tak ingin kehilangan dia, dan gue abadikan dalam foto. Dan foto yang lo
bilang itu kami tunangan, lo salah besar. Karna apa? Seingat gue, itu foto
diambil pada saat sepupu gue di Jerman, James ingin mengajak pasangannya
tunangan. Dan kebetulan postur tubuh tunangannya itu mirip sama Selvi, jadi
kami nyoba cincin itu di toko perhiasan dan minta James yang fotoin. Tapi gue
gak nyangka itu akan jadi senjata mata tuan untuk kehilangan cewek yang sangat
gue cintai,”
“Lo sayang sama gue?” Erza luluh dengan penjelasan Putra. Namun tak
ingin menunjukkan.
“Lebih dari apapun didunia ini, Erza.”
“Lo sayang, tapi lo lupa siapa gue, Buktinya... sampai sekarang, lo gak
ingat kan siapa gue?”
“Lo liat wajah gue bonyok karna apa?” Putra menunjuk wajahnya sendiri.
Membuat Erza sadar banyak memar diwajahnya. Bahkan darah masih menetes karna
tercampur dengan air hujan.
“Lo dihajar siapa?”
“Gue dihajar Reno karna tak bisa mengingat siapa lo di dunia ini.
Seandainya gue gak bisa ingat lagi, mungkin kita gak akan ketemu lagi, Za. lo
pergi, dan gue disini, menyesali nasib gue.”
“Siapa gue di hidup lo, Putra Eduardo Pradipta?”
“Kamu...” Putra mengubah panggilannya dan mengecup kening Erza. “Cewek
yang bikin aku merasa paling beruntung karna mengenalmu, cewek yang bikin aku
merasa, ini adalah hari terindah dalam hidupku karna bisa mengingatmu dan
mengatakan, kalau aku mencintaimu lebih dari yang pernah kamu bayangkan, Erza
Noor Assifa. Dan...” kedua pipinya tak luput dari ciuman Putra. “Maukah kamu
menjadi cewek yang terakhir untukku? Aku memang tak menjanjikan bisa
melindungimu, tapi aku berjanji akan selalu ada disisimu di saat kamu butuh.”
Dan Putra menatap Erza yang hendak mengeluarkan kristal dipelupuk matanua.
“Kamu mau mencintaiku? Baik buruknya?”
“Iya... baik buruknya aku terima. Karna disitulah sisi sempurnamu,
Erza.”
“Aku mau mendampingi dirimu
Aku mau cintai kekuranganmu
Selalu bersedih apapun terjadi
Apapun yang terjadi...
Kau jadikan aku, ada.
“Once*
Erza menganggukkan wajahnya. Dia
tersenyum dengan air mata menetes. Sungguh, dia terharu dengan keseriusan
Putra. Semua halangan yang dia hadapi, terbayar dengan Putra mengucapkan
kalimat itu padanya. Kalimat yang dia tunggu. Dan tak ada lagi yang meghalangi
mereka untuk bersatu.
“Tiada lagi yang mampu berdiri
Halangi
rasaku, cintaku, padamu.”
“Aku mau” Ucapnya dan Putra melepas
payung yang menaungi mereka dan berpelukan erat. Inilah yang dia inginkan.
Bersama gadis yang sangat dia cintai. Dan takkan pernah dia lepas lagi,
sejengkal pun.
“Kamu jadi ke Belanda? Tinggalkan
aku?” Putra melepas pelukannya dan menatap Erza.
“Iya... karna aku sudah mengurus semuanya.”
“Iya... karna aku sudah mengurus semuanya.”
“Aku ikut,” putusnya dan Erza
melongo.
“Ikut aku?”
“Ikut aku?”
“Iya... aku gak mau kamu sendiri
disana, terus kecantol pria Belanda dan melupakanku. Bulan depan, aku akan
menyusulmu. Karna aku juga mendapat beasiswa.” Ucapnya dan membuat Erza
melompat bahagia.
“Serius? Akhirnya...” Erza terlalu
bahagia untuk bisa berkata apa-apa dan dia menatap langit dan melihat pelangi
seolah diatasnya. Menaungi mereka.
“Beautiful Rainbow.” Pujinya sambil
mendongkakkan wajah keatas.
“Iya... tapi tak secantik kamu, Erza
Noor Assifa. I love you, for yesterday, now, and tomorrow.” Ucapnya dan sebelum
Erza menjawab, dia sudah membungkam dengan ciumannya. Erza yang kaget dengan
itu, langsung membalasnya dan melingkarkan tangan dilehernya. Dengan pelangi
diatas mereka dan hujan yang sudah mulai mereda. Dan dia bersyukur, karna telah
menemukan apa yang menjadi sumber senyumannya.
“Ku
bahagia, kau telah terlahir didunia
Dan kau
ada, diantara miliaran manusia
Dan ku
bisa, dengan radarku, menemukanmu.”
*Maudy Ayunda –
Perahu Kertas*
Epilog.
“Sayang... Bagaimana kalo kita satu kamar aja? Biar hemat bayar gitu,”
Putra menggoda Erza yang asyik melirik jalan raya dari atas apartemennya di
Belanda. Ya... mereka berdua pergi ke Belanda untuk beasiswa, Putra menepati
janjinya untuk mengikuti kemanapun Erza pergi asalkan dia mau menunda
keberangkatannya. Maksudnya biar bareng nyampe. Dan Erza pun, dengan sedikit
ancaman maut ala Putra, akhirnya menggeser semua jadwalnya.
Erza menatap Putra dengan kesal. Kadang dia bertanya dalam hati, kenapa
mau-maunya sayang dengan cowok genit, sengak macam Putra. “Sejak kapan kamu
mikir soal hemat biaya? Yang ada kamu lebih boros dari aku, sayang.”
Putra tersenyum untuk meluluhkan hati Erza. Namun sayangnya, Erza sudah
tak mempan lagi dengan senyum maut bikin cewek-cewek histeris itu. “Jadi, kita
pisah kamar gitu?” Tanyanya dengan wajah pura-pura kecewa.
Erza mendekati Putra dan mendongkakkan wajahnya karna Putra terlalu
tinggi untuknya sekarang. “ Memangnya aku harus berapa kali mengingatkan
perjanjian yang kita bikin, Putra? Kamu kan sudah setuju!”
“Iya sih... Tapi...” Putra menggaruk kepalanya yang tak gatal dan
menatap Erza. Dia yang tau apa arti tatapan pacarnya itu, pasang badan siap
lari. “Apa kamu lirik-lirik?! Mau maksa aku untuk tidur bareng? Gak usah!”
Tanpa bisa dicegah apalagi diantisipasi, Putra langsung menggendong
Erza masuk kedalam kamarnya dan menutup pintu dengan kakinya dan meninggalkan
barang-barangnya diluar kamar. Baginya, menggoda Erza lebih penting.
“Sayang... are you ready?” Ucapnya ketika dia menidurkan Erza dikasur
dan tersenyum. Membuat Erza mendadak sulit menelan ludah.
“Rileks,” Putra menenangkan Erza yang agak panik dan dia mendekatkan
wajah kearahnya dan ...dan...
Oke semuanya... akhirnya ending juga. Thanks yah yang selama ini ikutin
ceritaku dari awal berantem hingga menjadi... yah... seperti ini. Hahahaha...
without you, reader, they just my imagination who i can’t explore it.
PS : kalau ada yang nunggu sekuelnya, tunggu aja ampe lumutan yah.
Kenapa? Soalnya cerbung lain menunggu dikelarin. hahahahaha
FIN