Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Be Yours?! DAMN! Special Part - Only hope (Bian's story)





“Bian...” Erika memanggil ketika melihatnya asyik bertopang dagu di meja makan saat sarapan. Tak biasanya adiknya selisih 10 menit keluar dari rahim mamanya ini melamun. Biasanya ada saja yang digodanya.

            Lista melihat kakaknya yang aneh beberapa akhir ini, mengerutkan keningnya. “Kak...” Dia ikut memanggil sambil mengguncang pelan tubuhnya. usahanya berhasil, Bian menoleh dan tersenyum. Namun tatapan matanya tak fokus.
            “Eh... Anu... Apa yah?” Geragapnya sambil menggaruk – garukkan kepalanya. Membuat kerutan Erika semakin dalam. Untung mama papahnya sedang dinas keluar kota selama 3 minggu. Jadi mereka bertiga bebas melakukan apa saja asal tak merugikan.
            “Lo kenapa sih? Melamun mulu. Ada masalah? Ada cewek yang nolak cinta lo?”
            Bian mencibir mendengar pertanyaan kakaknya yang terakhir. “ Gak ada istilah dalam kamus hidup gue soal ditolak cewek. Yang ada, gue nolak cewek. Gue.. hanya kangen sama dia. Udah lama gak ngunjungin.” Ucapnya pelan di kalimat terakhir. Membuat Erika dan Lista yang tau maksudnya, tersenyum penuh mengerti.
            “Yaudah, temuin sana deh kalau kangen. Apa perlu gue dan Lista temanin?” Erika menawarkan diri sambil memegang tangan Bian.
            “Gausah. Gue sendiri aja. Ada yang mau diomongin. Gue keatas dulu yah,” Pamitnya sambil mengacak rambut pendek Lista, membuatnya merengut dan mengomel ketika kakaknya hanya tertawa sambil keluar dari ruang makan. Membuat mereka saling bertatapan.
            “Kak Bian kenapa?”
            Erika mengangkat bahu. Dia sama tak taunya dengan Lista. Dalam hati berharap, semoga Bian baik – baik saja.
♥ ♥

          Bian terduduk di meja belajarnya. Dia membuka buku album yang berisi beberapa foto tentangnya 3 tahun yang lalu dengan seorang gadis yang sangat dicintainya, kemudian pergi meninggalkannya dengan senyum manis yang sanggup membuatnya seperti ini. Mabuk kepayang sekaligus patah hati luar biasa hingga dunianya serasa gelap seketika.
            “Hai... bagaimana kabarmu? Udah 3 tahun yah ternyata. Gak nyangka selama itu kamu pergi. Tapi...” Bian tersenyum sambil mengelus foto dimana gadis itu, mataharinya yang kini meredup, sedang tersenyum bahagia. “Selama itu juga aku tak pernah ninggalin kamu. Aku tepatin janji loh. Kamu tau kan?” Ucapnya sambil meletakkan foto itu kembali di meja dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Air mata menetes dan membasahi foto itu.
           
            “3 tahun, ataupun selamanya takkan sanggup buat gue ntuk lupain lo. Lo, melati paling indah dan harum yang pernah gue temui dan akhirnya gue ikhlasin pergi.” Bisiknya pelan.

“Aku pernah mencintaimu hingga lupa bahwa batas antara cinta dan perpisahan itu setipis kabut asap.
Hari ini dan kemarin Aku mencintaimu, menyayangimu, dan memilikimu.
Tapi esoknya, kau milik Sang Waktu.
Bukan milikku lagi, sayang.


Flashback...

            “Pah, Bian boleh minta tolong gak? Urgent  nih.” Bian yang baru saja menginjak semester 1 di Universitas terkenal Jurusan Kedokteran buru – buru masuk ke ruang kerja papahnya dengan wajah panik. Membuat Putra yang asyik mengoreksi, mendongkakkan wajahnya dengan kening berkerut.
            “Minta tolong apa? Kamu masuk gak ketuk pintu,” Tegurnya ketika Bian nyengir dan duduk di kursi.
            “Pah... boleh gak Bian wawancara pasien papah di rumah sakit? Yang sudah lama dirawat disitu lebih dari setahun? Bian mau nanya – nanya. Buat middle test, pah.” Pintanya ketika kerutan di keningnya semakin dalam.
            Putra mengetuk – ngetuk pulpen di mejanya sambil menatap Bian yang penuh harap. “Ada kok. dia pasien papah sejak masih kecil dan sekarang jadi pasien Om Restu karna menderita penyakit jantung sejak kecil. Membuat fisiknya lemah dan dirawat hampir seumur hidupnya. Dia seumuran kamu loh.”
            Bian menangkap semua informasi penuh antusias. “Siapa namanya pah? Cewek atau cowok? Kalau bisa sih, cewek pah. Biar enak wawancaranya.” Ucapnya dengan wajah jahil seperti biasa. Membuat Putra tertawa.
            “Kamu mau wawancara buat tugas kuliah atau mau godain cewek? Dia pasien papah sejak kecil tuh. Jangan kamu gangguin. Kamu gangguin yang lain aja,” *Ini papah ama anak sama sablengnya –“
            Bian nyengir mendengar jawaban papahnya. “Hehehe.. sambil menyelam minum air, pah. Namanya siapa, pah?”
            “Jasmine Khairunnisa.” Entah kenapa, namanya membuat Bian tertegun. Ada suatu perasaan yang aneh. Berdesir halus dalam hatinya.
            “Kamu kenapa?” Putra bingung melihat anaknya terdiam ketika dia menyebutkan nama Jasmine, pasien kesayangannya yang sudah dia anggap anak sendiri. Gadis cantik yang malang, namun kuat. Bahkan istrinya, Erza pun sering mengunjunginya ke ruangan Jasmine. Menemani gadis itu.
           
            Bian mengerdipkan matanya dan menatap papahnya yang kini fokus meliriknya. Membuatnya salah tingkah. “ Gak papa, Pah. Kapan Bian bisa wawancara nih? Secepatnya loh pah. Keburu nih...”
            “Kok kamu jadi desak papah? Nanti papah tanya dulu Om Restu dan Jasminenya mau gak kamu tanya macam – macam. Ingat yah, Cuma nanya! Jangan digodain.” Pesan papahnya membuat Bian nyengir. Bagaimana gak diingatkan kalau pesona anaknya lebih mengundang dari pesonanya sendiri. Bahkan suster – suster di sana pernah mogok kerja karna asyik diajak Bian ngobrol dan jurus rayuannya sejak saat itu semakin maut saja.

            Bian mengacungkan jempolnya. “Ok deh pah. Makasih,” Ucapnya dan berjalan keluar. Namun terhenti ketika Putra memanggilnya.
            Good luck.” Hanya itu yang diucapkan papahnya. Membuat Bian berkerut kening ketika dia hanya tersenyum dan keluar ruangan lalu menatap di sekelilingnya.

            “Good Luck buat apa?”

♥ ♥

“Aku ingat saat pertama kali bertemu denganmu
kau hanya menatapku datar. Bukan tatapan memuja.
tapi... mampu membuatku terpaku sejenak dan berkata.
“You, my girl.”

          “Lo mau kemana, Bian?” Tanya Erika ketika melihat adiknya pagi – pagi sudah buru – buru turun dari tangga dengan pakaian amburadul.
            “Mau wawancara tugas kuliah.” Jawabnya ketika dia sekarang berdiri di depan kakaknya. Membuat Erika menghela napas dan merapikan kerah baju kaos adiknya yang terlipat. Bian nyengir melihat perhatian kakaknya.
            “Udah ketemu pasien yang akan lo wawancarain?” Tanya Erika takjub. Tak biasanya Bian menemukan secepat itu.
            “Udah dong. Gue nanya sama papah soal itu terus dibantuin deh. Dia pasien papah waktu masih kecil dan sekarang jadi pasien Om Restu karna penyakitnya yang semakin parah.” Jelasnya. Masih teringat ketika Om Restu, dokter spesialis Jantung yang juga omnya menelponnya malam tadi dan mengatakan dia mengijinkan untuk mewawancarai pasiennya asal dalam hal yang benar. Mengingat pesona Bian dikhawatirkan membuat pasiennya semakin parah. Membuatnya tertawa dan senang hingga terlambat bangun pagi.
            Erika mangut – mangut. “Namanya siapa?”
            “Jasmine Khairunnisa, Kak.” Ucapnya membuat Erika melongo.
            “Cewek? Kenapa gak cowok aja? Wah... lo nyogok papah apa jadi dikasih pasien cewek? Jasmine lagi! Gue udah pernah ketemu kok. cantik orangnya. Awas lo godain!”
            “Lo pernah ketemu?” Kini gantian dia yang kaget. “Kenapa gak ngajak gue?”
            “Waktu itu gue kan ada ajak lo, tapi lo malah nyelonyor pergi ke cafetaria tempat suster – suster sering ngumpul! Otak lo cewek mulu sih.” Erika menoyor kepalanya Bian dengan jengkel.
            “Aduh... kak! Lo noyor ingat – ingat dong! gue adek lo! dia cantik yah kak? Ok deh, gue berangkat dulu yah. Bubye..” Dengan songongnya dia mencium kilat pipi kakaknya dan berlari ke luar rumah tanpa mempedulikan teriakan kakaknya.
            “BIAN! AWAS LO!”

♥ ♥
          “Temuin papah diruangan. Jangan masuk kamar Jasmine sendiri.” Sms papahnya baru saja dia baca ketika sudah tiba di rumah sakit. Dia tersenyum lalu turun dari mobilnya dengan tangan membawa membawa buku kecil dan buah – buahan yang baru dibelinya untuk Jasmine serta makanan kesukaan papahnya.
            Sepanjang lorong menuju ruangan papahnya, suste – suster menatapnya tanpa kedip dan tersenyum paling manis ketika dia menoleh dan tersenyum balik. Bahkan menyapa beberapa suster yang dikenalnya dan mengobrol sebentar.

            “Maaf sus, apakah Dokter Putra Eduardo Pradipta ada diruangannya?” Tanyanya kepada resepsionis yang dari tadi meliriknya sejak masuk dalam rumah sakit. Membuatnya ingin bermain – main sebentar.
            “Dokter Putra?” Tanyanya dengan nada gugup sambil mencari daftar kehadiran dengan sembrono saking gugupnya. Tak pernah didatangi pasien yang tampannya seperti Dokter yang dicarinya sekarang. Wajahnya bagai pinang dibelah dua.
            “Iya... dokter Putra ada diruangannya. Sudah ada janji?”
            “Sudah. Bisa anda lihat di situ, nama saya Febrian Risnadi Pradipta.”
            Suster malang itu mencarinya dengan gugup dan tersenyum. “Iya.. silahkan masuk, mas.” Ucapnya sambil menunjuk ruangan Putra yang diujung.
            Bian tersenyum dan menatap suster itu intens. Seperti yang sering dia lakukan apabila ingin membuat cewek – cewek terdiam seperti patung di depannya. “Terima kasih.” Dan dia melenglang kangkung menuju ruangan papahnya yang sangat dihapalnya.

            Bian mengetuk ruang papahnya setelah dipersilahkan oleh asistennya yang selalu duduk didepan pintu. Jam praktek belum dimulai membuatnya leluasa masuk tanpa harus ikut antri seperti pasien papahnya yang lain.
            “Sudah siap?” Tanya Putra ketika melihat Bian berdiri di depannya dengan buku dan keranjang buah – buahan di tangannya. Membuatnya nyengir.
            “Buat papah mana nih? Kan papah yang urusin kamu sama Om Restu. Kayak kamu gak  tau ruwetnya berurusan dengan om kamu satu itu.”
            Bian ikutan nyengir. “ Mama tau gak pah Bian disini? Ini buat papah.” Katanya sambil meletakkan plastik bertuliskan merek restoran mahal yang berisi makanan favorit papahnya di meja.
            “Tau kok. yuk...” Ajaknya sambil merangkul Bian keluar ruangannya menuju tempat Jasmine.

♥ ♥

            “Tasya... kalau istri saya mencari, bilang saja saya sama Bian lagi di ruangan Jasmine. Kalau dokter lain mencari, bilang saya lagi ada urusan sebentar.” Perintahnya ketika dia keluar dan Tasya, suster yang paling beruntung karna menjadi asistennya dan paling cantik serta cerdas di antara yang lain. Sempat membuat istrinya mencak – mencak.
            Tasya melirik Bian. sudah lama dia mengincar anak dokternya yang menjadi trending topic di pembicaraan antar suster karna ganteng dan flamboyan membuatnyanya semakin dikejar.
            “Iya pak.” Jawabnya dengan senyum paling manis yang jarang dia beri untuk cowok – cowok lain khusus untuk Bian seorang. Sadar hal itu, dia memberikan senyuman yang biasa digunakan untuk buat cewek – cewek pingsan dan berjalan beriringan dengan papahnya.
            Tasya mengelus dadanya yang serasa hendak pecah saking gugupnya. Senyuman Bian ternyata jauh lebih mempesona daripada papahnya. Membuatnya menggeleng. “Anak dan papah sama mautnya.” Gumamnya pelan sambil terus menenangkan diri.

♥ ♥
         
          Bian masuk ke tempat khusus untuk penderita Jantung. Dia tak pernah memasuki ruangan ini karna papahnya di bagian Poli anak dan ibunya yang Poli kandungan membuatnya tak ada kesempatan untuk menginjakkan kaki di Poli ini.
            “Papah sering temuin Jasmine?” Tanyanya
            Putra mengangguk, “Kalo gak sibuk papah nengok sebentar. Kan dia pasien papah waktu masih kecil. Walau sekarang gak, apa salahnya perhatiin dia?”
            “Pah... suster Poli Jantung cantik – cantik yah. Hmmm... lumayan cuci mata pah kalo puyeng.” Bisiknya membuat papahnya tertawa.
            “Iyaa.. cantik – cantik kok. Tapi... kalau kamu liat Jasmine, papah gak tau apakah kamu masih bilang bahwa suster disini lebih cantik daripada Jasmine atau gak.”
            Sebelum Bian bertanya apa maksud ucapan papahnya, dia berada di sebuah ruangan lebih private dari ruangan sebelumnya. Yang dia ketahui ini adalah kelas VIP. Dengan tenang dia mengikuti papahnya masuk ke dalam dan membuka salah satu pintu kamar yang bernomor 204.

            Ketika masuk, Bian melihat seorang gadis cantik berwajah lembut dengan rambut panjang ikal terurai, mata coklatnya di bingkai oleh kacamata minusnya dan tubuhnya yang kurus namun tak mengurangi kecantikan wajahnya serta bibirnya agak pucat, sedang duduk di ranjang sambil asyik membaca novel terjemahan yang jauh lebih tebal dari koleksi Erika di perpustakaan mungilnya. Jasmine tersenyum ke arah Putra, dokter yang paling ramah dan ganteng pernah dilihatnya lalu melirik ke arahnya dan tersenyum sekilas lalu membaca novel kembali. seolah tak peduli dengan pesona Bian yang sudah menguat di setiap sisinya sejak dalam kandungan.
            Bian takjub dibuatnya. Gadis yang sanggup tak pesona di awal bertemu dengannya hanyalah Gina, mantan pacarnya waktu SMP. sisi penasarannya hadir lagi. Ingin menaklukannya.
            Seolah tau apa yang dipikirkan anaknya,Putra berdehem. “Hai Jasmine, gimana kabarnya? Sudah baikan?” Sapanya ramah. Prosedur standar yang sering dilakukannya setiap menanyakan pasiennya dan senyum khasnya. Membuat pasien mendadak tak ingin pulang.
            Jasmine menoleh ke arah Putra dan tersenyum lembut lalu melepas kacamatanya dan menutup novelnya. “Baik kok, Pak. Cuma tadi saya keliling taman sebentar karna bosan sendiri disini.” Keluhnya sambil menatap jendela rumah sakit yang besar dan berhadapan langsung dengan taman. Membuatnya ingin keluar. Namun kekuatan fisiknya tak mengijinkannya.
            Putra tersenyum penuh mengerti lalu mendorong Bian ke depan yang mendadak seperti anak pemalu di belakangnya. “Oh iya, Jasmine, tadi Pak Restu ada bilang kan kamu kedatangan tamu?” Dan Jasmine mengangguk, “Ini tamunya, Bian. dia anak bapak. Mau tanya – tanya sama kamu. Boleh kan?”
            Jasmine melirik Bian dengan tatapan menilai. Dia tak pernah kedatangan tamu kecuali Dokter Restu, dokter yang merawatnya sekarang, Dokter Putra yang dulu adalah dokternya waktu masih kecil, dan Dokter Erza, dokter cantik dan penuh keibuan yang selalu menjenguknya tiap hari. Bahkan kedua orang tuanya tak pernah seperti itu padanya. Selalu sibuk mengejar materi di luar sana hingga lupa bahwa dia berada disini, menghitung hari sambil menunggu kapan malaikat maut menjemput raganya yang masih hidup untuk menyusul jiwanya yang sudah mati beberapa tahun lalu.
            “Boleh kok, Pak. Saya gak ada teman ngobrol soalnya. Salam kenal,” Dia tersenyum dan Bian membalas senyumnya.
            Merasa sebagai nyamuk di antara dua anak muda yang saling menilai lewat tatapan, Putra merasa tahu diri untuk mundur. “Yasudah, Om tinggal dulu yah kalian berdua.” Dia tersenyum. Khusus Jasmine, dia ingin dipanggil Om karna mereka sudah akrab, namun gadis itu sampai hari ini tak ingin memanggilnya dengan sebutan itu. “Ingat yah, Just Asking! Not filtring, Boy.” Dia berbisik ke arah Bian yang nyengir dengan peringatan papahnya. “Gak janji loh, Pah.” Balasnya pelan ketika Putra keluar dari ruangan dan meninggalkan mereka berdua.
            Bian mendekati Jasmine dan duduk di sampingnya. Gadis itu hanya tersenyum. Tak ada embel – embel supaya membuatnya terpesona. “Apa yang mau kamu tanyain sama aku?”
            Bian mulai mengajukan beberapa pertanyaan yang sudah disusunnya malam tadi diselingi gombalan tersirat. Dia sangat menyukai aroma tubuh Jasmine, aroma melati yang menenangkannya, namun misterius. Ketika dia mengutarakan itu padanya, Jasmine hanya tersenyum sambil menjawab sekenanya sambil menatap jendela besar yang akses langsung ke taman. Membuatnya menggeleng pelan dengan senyum sedih.
            Bian tau apa yang dipikiran gadis itu sejak tadi. Dia melirik kursi roda di sudut dan tersenyum. Sebuah ide brilian muncul di otaknya. “Kamu pengen keluar?” Tanyanya dan gadis itu mengangguk. “Tapi, aku akan kecapekan jalan sendiri. Aku gak bisa terlalu capek.” Ucapnya pelan.
            Bian berdiri dan berjalan ke arah kursi roda itu lalu mendorong ke arahnya. “Kamu bisa duduk disini. Ntar aku dorongin. Tenang aja, aku gak jahat kok.” Ucapnya ketika Jasmine menatapnya ragu.
            “Apa gak papa? Kita baru kenal. Aku gak mau repotin kamu,”
            “Aku gak merasa direpotin kok. Soalnya aku juga pengen keliling Poli ini tapi gak ada teman dan kamu juga pengen keluar. Yaudah, kita klop.” Jawabnya membuat Jasmine tertawa.
            “Iya... kita klop kok.” Dia berdiri dari ranjangnya dan ingin duduk di kursi roda, namun keburu dibantu Bian dengan mengalungkan lengan Jasmine di lehernya untuk membantunya duduk. Dia kaget dengan perlakuannya, namun Bian hanya tersenyum manis. “Gak papa. Jangan merasa gak enak.” Ucapnya seolah tau apa yang hendak diucapkan.
            Bian mendorong kursi roda itu keluar ruangan dan berkeliling Poli bersama Jasmine, gadis melatinya.
           
♥ ♥

          “Kamu berapa bersaudara, Bian?” Tanya Jasmine ketika mereka sudah berada di taman yang paling besar di Poli ini. Penuh dengan bunga Anggrek disekitarnya dan ada air mancur kecil serta burung merpati jinak yang sengaja dilepas untuk menambah suasana nyaman. Bian duduk di kursi taman sambil bersiul untuk membuat beberapa merpati mendekat ke arah mereka ketika Jasmine dilihatnya sangat antusias. “Aku tiga bersaudara. Kamu pernah ketemu dengan Erika?” Jasmine mengerutkan keningnya sejenak. Berusaha mengingat. “Erika Assifa?” Bian mengangguk mendengarnya, “Dia saudara kembarku. Kami selisih 10 menit. Dan Elista, dia adikku sekarang sudah 3 SMP. Kalau kamu?” Tanyanya balik membuat Jasmine terdiam.
            “Aku anak paling bungsu dari empat bersaudara. Dua kakakku kembar dan sudah menikah sedangkan kakakku yang satunya menikah tahun depan, dan aku, disini, sendiri.”
            “Setidaknya kalau bertemu denganku, kamu gak akan sendiri lagi.” Bian mengedipkan matanya dan dia hanya tersenyum. Pesona Bian memantul. Tak mempan.
            “Pede sekali anda.” Jawabnya membuat Bian tertawa dan menatap di sekelilingnya. Bisa dilihat mereka sekarang jadi pusat perhatian para suster, apalagi dirinya. entah kenapa membuatnya tak nyaman.
            “Kamu pernah ke taman Poli Anak sama Kandungan?” Dan Jasmine menggeleng lemah. “Hampir seumur hidup aku selalu disini dan gak ada yang mengajakku ke luar dari Poli ini.”
            Bian mengangguk. Lalu dia berlutut ke arah Jasmine yang kaget dengannya. Mereka saling bertatapan. “Kalau begitu, aku orang pertama yang akan mengajakmu keliling rumah sakit.” Ucapnya yakin lalu berdiri dan mendorong kursi roda keluar untuk mengajaknya keliling taman di semua Poli yang dia tau beserta cafetaria yang paling enak.

♥ ♥

          “Bagaimana? Suka?” Tanyanya ketika Jasmine asyik memakan mie ayam pesanannya. Mereka sekarang berada di cafetaria Poli Kandungan. Salah satu cafetaria favoritnya bila sedang menunggu mamanya selesai praktik. Selain makanannya enak –enak, para suster pun enak dipandang.
            Jasmine tersenyum manis ke arah Bian lalu memakan pesanannya kembali. membuat Bian tertegun lalu memilih menatap disekelilingnya. “Enak kok. Soalnya aku sering makan masakan rumah sakit sampai ingin muntah saking bosannya. Dan ini, adalah kemajuan.”
            Bian tersenyum. “Maaf, tapi sejak kapan kamu berada disini?” Tanyanya pelan dan hati – hati. Dari semua pertanyaannya, yang inilah paling ingin dia tanyakan.
            Jasmine memilih menghabiskan makanannya sebelum menjawab pertanyaan Bian yang menjurus pribadi. “Umur 17 tahun aku sudah berada disini setelah pingsan di sekolah karna kelelahan dan membuatku kena serangan. Setelah itu, aku home schooling di sini 3 kali seminggu dan kuliah jarak jauh jurusan Psikologi di Singapura. Fisikku semakin lemah membuatku tak bisa kemana – mana. Kalaupun keluar, paling jauh yah... keluar Poli. Setelah itu, aku lebih mengurung diri di kamar dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliah dan novel yang aku beli lewat online dan diantar oleh supir mamaku.”
            “Kamu kayaknya berusaha menikmati keadaan sekarang ternyata,”
            “Iya... kalau gak disiasati begitu, aku gila sendiri disana tanpa ada yang bisa ku lakuin. Untungnya Wi-fi disini cepat. Tapi... ada kalanya aku ingin kuliah seperti anak normal lainnya. Jalan – jalan, seperti aku lakuin waktu SMA dulu.” Jasmine menundukkan wajahnya sedih. Kadang dia menangis tengah malam, kesepian dan mengutuk dirinya sendiri kenapa harus hidup namun seperti dipenjara di sangkar emas oleh tubuhnya sendiri yang tak kuat menanggung penyakitnya.
            “Mama papahmu selalu menjengukmu kan?” gelengan Jasmine mengejutkannya.
            “Papahku jarang kesini. Mamaku apalagi. Kalaupun ada, palingan sebentar doang. Tapi ketiga kakakku selalu kesini, kak Oryza, Kak Sativa dan kak Magnolia.”
            “Kok nama kakakmu nama tumbuhan semua?” Tanya Bian bingung mendengar nama ketiga kakaknya yang unik.
            Jasmine tertawa. senang bisa keluar dari diskusi ini. “Kata mama, tiap kami lahir, kami seolah mengeluarkan bau khas tumbuhan dalam tubuh kami. Kedua kakak kembarku, seperti bau padi yang menguning, makanya dinamakan kak Oryza dan kak Sativa, dan kak Agni baunya seperti harum bunga Magnolia. Sedangkan aku, Jasmine karna katanya seperti bau melati. Aneh kan?” Tanyanya sambil menertawakan alasan konyol mamanya yang memang freak dengan tanaman.
            Tawanya seperti bel yang berdenting merdu di telinganya. Manis dan lembut. “Tapi betul kok. bau kamu seperti bunga melati yang harum di padang bunga. Indah dan mengundang orang untuk mendekat dan memetiknya untuk dibawa pulang.”
            “Berarti kamu salah satu orang yang ingin memetikku lalu membawanya pulang?” Pancing Jasmine mendengar deskripsinya dari Bian.
            “Gak. Aku lebih memilih melati itu di padang yang luas daripada aku petik namun dia akan mati karna tak kurawat.”
            Jasmine tersenyum lalu menatapnya. “Pulang yuk. Aku capek...” Pintanya dan Bian langsung sigap mendorong kursi roda itu untuk mengantarnya pulang untuk beristirahat.

“Taukah kamu, Aku melati yang hidup di padang luas.
Namun kesepian.”

♥ ♥

          “Gimana hubungan lo sama Jasmine?” Tanya Erika dengan senyum di wajahnya ketika Bian baru pulang dari rumah sakit. Sejak tugas kuliah 4 bulan yang lalu, mereka semakin dekat dan kadang dia menemani pemeriksaan Jasmine dan memberi semangat. Membuat Jasmine sedikit demi sedikit membuka diri dan menerima kehadirannya. Bahkan kedua orang tuanya tau dengan kedekatannya.
            “Baik kok.” Bian tersenyum ketika teringat kejadian siang tadi dimana gadis itu, melatinya, tersenyum ke arahnya ketika dia datang sambil membawa makanan kesukaan mereka, Pizza dan martabak. Dan masih diingatnya ketika dia menyuapi Jasmine makan dan membantunya minum obat. Bahkan mereka sempat foto – foto di taman dengan ponselnya dan foto itu langsung dijadikan layar utama. Membuat senyumnya semakin melebar.
            “Kenapa lo senyum – senyum kak? Gila yah?” Tanya Lista yang baru datang dari latihan cheers  untuk lomba antar SMP minggu depan duduk di samping Erika yang asyik menatap Bian dengan intens. Minta penjelasan.
            Merasa ditatap segitu intensnya, Bian tertawa. “Gue keingatan kejadian pagi tadi aja,” tanpa diminta,  Bian menceritakan semuanya pada mereka.
            “Lo sayang gak sama Jasmine?” Tanya Erika setelah mendengar ceritanya. Lista mengangguk antusias mendengar pertanyaan kakaknya.
            “Gue sayang kak. Gue terima dia apa adanya, fisiknya sekarang. Tapi...”
            “Tapi apa?”
            “Dia ragu sama gue. Apa karna gue hobi goda suster lain dan dia tau kali yah? Tapi kak, semenjak ketemu dia, gue gak pernah goda yang lain. Cuma dia aja yang gue goda. Walaupun dia gak pernah merespon.”
            “Kalau begitu,” Lista ikut nimbrung, “Lo harus buktiin kalo lo bener – bener sayang dia apa adanya, bukan ada apanya. Lagipula, dia cocok kok imbangin keras kepala lo.” Lanjutnya ketika dia semalam sengaja ke rumah sakit bareng Erika karna penasaran dengan cewek yang membuat kakak jahilnya seperti sekarang ini dan dalam hati menyetujuinya ketika Jasmine menyambutnya penuh ramah dan dia bisa melihat tatapan cinta dari kakaknya setiap menatapnya. Namun Jasmine mengabaikannya.
            Bian mengacak – acak rambut Lista, “Sejak kapan lo jadi dewasa begini?  Anak SMP yang seminggu lagi mau prom night lebih baik urusin dandanan aja.” Bian mengacak rambut panjang Lista yang terurai. Membuatnya merengut.
            “Lo jadi kakak kok jahil banget sih?!” Rengutnya sambil merapikan rambut panjangnya yang sangat disukainya dan pacarnya sekarang, Dylan.
            Ponsel Bian bergetar, dia mengambilnya dan berkerut kening ketika mamanya nelpon. Tak biasanya, “Kenapa ma?” Bian mengangkat telponnya. Entah kenapa hatinya tak tenang.
            “Jasmine... kena serangan.” Bian langsung pucat seketika dan menatap kakaknya. Ponsel langsung dimatikan.
            “Mau kemana, Bian?!” Teriak kakaknya melihatnya lari keluar rumah.
            “Ke rumah sakit!” Bian berteriak dan langsung masuk mobil.
            “Ya tuhan... semoga dia gak papa. Gue belum bilang cinta, Tuhan, gue sayang. Please... panjangin umurnya.” Bian merapal harapan berulang kali dalam hatinya.

♥ ♥

          “Gimana, Om? Jasmine baik – baik aja kan?” Bian langsung berlari mendatangi Restu, Omnya ketika dilihatnya baru keluar dari ruangan Jasmine. Jantungnya serasa loncat kodok seketika.
            “Baik kok. tadi dia sedikit nyeri. Mungkin kecapekan. Wajah kamu jadi lebih pucat dari Jasmine loh.”
            Bian langsung bersandar di tembok untuk menenangkan dirinya. “Syukur... sekarang Bian boleh masuk kan?” Tanyanya dan dia mengangguk mengijinkan.
            Tanpa buang waktu, Bian masuk ke ruangan Jasmine dan melihat gadis itu duduk dengan wajah tersenyum seperti biasa. Bibir yang semakin pucat dan tatapan matanya lembut, membuatnya ingin memeluknya agar gadis itu tau, betapa dia sangat khawatir.
            “Hai...” Sapanya lemah ketika Bian mendekat dan duduk disampingnya.
            Bian tersenyum lalu mengelus rambut panjangnya. “Tadi mama sama papah kamu kesini loh. Pasti mereka yang ngasih tau. Iya kan?” Dan Bian hanya mengangguk sambil terus mengelus rambutnya dan mendekatkan dahi ke dahinya.
            “Bian... i’m okay. See?”
            Dia masih saja diam dan mengangguk. “Aku tau. Aku sempat mikir kalau hari ini akan jadi hari terakhir kita bertemu. Padahal aku belum ngomong sesuatu sama kamu.” Ucapnya dan menatapnya intens. Entah kenapa, malam ini Bian terlihat sangat mempesonanya, semua kekhawatirannya membuatnya merasa berarti di hidup cowok yang sedang beradu dahi dengannya ini.
            “Aku mencintaimu, Jasmine Khairunnisa.” Ucapnya pelan. Namun membuat Jasmine langsung mendorong mundur. Dia menggeleng lemah.
            “Kamu gak bisa cinta sama aku, Bian. hidupku takkan lama lagi. Aku sakit.”
            “Aku tak peduli dengan sakitmu, Jasmine. Aku mencintaimu dan kamu juga, kan?” Tanyanya, “Lihat aku, sayang.” Bian menoleh wajah Jasmine dengan lembut ketika gadis itu berpaling.
            “Aku tak ingin kamu sakit, Bian. kamu bisa mencintai gadis lain yang bisa kamu bawa keluar, kamu ajak jalan bersama dengan teman – teman kamu. Aku gak bisa, Bian. fisikku memenjarakanku.”
            “Aku gak peduli, Jasmine. Aku menikmati detik demi detik bersamamu walau harus keliling rumah sakit stiap hari, di taman yang sama setiap hari, itu sangat spesial untukku, Jasmine. Please...” Bian memohon bahkan berlutut didepannya. Dia tak pernah memohon seperti ini kepada gadis manapun. Kecuali pada mamanya waktu dia masih berumur 6 tahun.
            “Kamu gak ngerti, Bian... aku berbeda...”
            “Di mataku, kamu tetap sama. Aku tak peduli dengan kekuatan fisikmu yang melemah. Jasmine...”
           
            Jasmine menggigit bibirnya. Bohong bila dia tak merasakan apa yang dirasakan Bian. dia sangat mencintai cowok yang masih berlutut di hadapannya. Tapi dia sadar, hidupnya takkan lama lagi untuk merajut cinta. Dia tak ingin cowok itu sakit karna kepergiaannya. Tapi, dia juga tak sanggup untuk menolaknya. Penembakannya bagai apel yang mengundang untuk digigit walau dia tau itu beracun dan suatu saat akan membunuhnya.
            “Aku mau, Bian...” Dia menghela napas dan membiarkan dirinya dipeluk Bian segitu eratnya dan rambut panjangnya dielus. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Bian.
            “Makasih. Aku mencintaimu, Jasmine.” Ucapnya dan dia hanya mengangguk. Tak sanggup membalasnya betapa dia sangat mencintai Bian.
           
****

            Jasmine melirik jam dindingnya sekarang. Bian sudah pergi setelah dia usir pulang karna jam menunjukkan pukul 11 malam. Dia tak ingin Bian diteror kedua orang tuanya karna tak pulang kerumah.
            Perlahan, dia turun dari ranjangnya dengan memegang dadanya. Entah kenapa, dadanya semakin sakit saja. Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang – bintang dari jendela besar kamarnya dan duduk di sudut. Dia mendongkakkan wajahnya, beberapa minggu lagi tahun baru. Dia ingin merayakannya dengan Bian. cowok yang sangat dicintainya. Tapi apa pantas?
            “Tuhan...” Dia mulai berdoa. Air matanya menetes. Hatinya mendadak lebih sakit dari sebelumnya. “Aku mencintainya, Tuhan. Bolehkah aku meminta supaya umurku dipanjangkan supaya bisa bersamanya? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku menginginkannya lebih dari apa yang ku inginkan selama ini. Hampir seumur hidupku membusuk disini, dan dia hadir dengan menawarkan cinta tanpa syarat. Bisakah aku meraihnya? Aku ingin seperti yang lain, Tuhan. Ku harap kau mengerti inginku. Aku jarang meminta padaMu.” Dia menangis keras sambil memeluk lututnya. Dia tak ingin kematian menghampirinya sebelum bahagia dengan Bian. setiap malam dia selalu berdoa supaya kematian lekas mendatanginya agar dia bisa tenang disana, dan sekarang, malam ini dia ingin kematian menunda kedatangannya. dia bahkan takut memejamkan mata. Takut apabila dia membukanya lagi, bukan rumah sakit yang dia lihat, tapi sebuah dimensi lain yang dilihatnya. Dan dia takkan pernah bisa kembali lagi.

“Oh Tuhan ku cinta dia
berikanlah aku hidup.
takkan ku sakiti dia...
hukum aku bila terjadi.

Aku tak mudah untuk mencintai
aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
senandungku hanya untuk cinta
tirakatku hanya untuk engkau
tiada dusta, sumpah ku cinta, sampai ku menutup mata.

Cintaku, sampai ku menutup mata....”

*Acha Septriasa – sampai menutup mata.

♥ ♥

          “Kak... Lista,” Bian pulang kerumah dengan wajah sumringah. Membuat mereka saling berkerut kening.
            “Gue pacaran sama Jasmine. Gue menembaknya.” Ucapnya membuat mereka saling berpandangan dan melongo.
            “Serius? Dia mau terima cowok sableng macem lo? Lista, Let’s prayer for her.”  Erika memasang ekspresi berdoa dan membuat Lista tertawa.
            Bian hanya tersenyum. Tak ingin membalas ledekan kakaknya untuk saat ini. Hatinya terlalu bahagia untuk dirusak sedikit ledekan. Melatinya kini menjadi miliknya. Melati yang berharga. “Udah ah, mama dan papah dimana?” Dan Erika menunjuk ke lantai atas. Bian mengangguk. “Gue tidur dulu yah, Bye.” Ucapnya dan langsung naik ke lantai atas dengan wajah sumringah.

            Mereka hanya geleng – geleng kepala melihatnya. Sisi lain Bian muncul lagi. Bertingkah seperti anak kecil dan mereka menyukainya.

♥ ♥

          “Sayang...” Bian masuk dalam ruangan dengan wajah tersenyum. Di tangan kirinya ada sebuket bunga segar yang dia beli di depan rumah sakit khusus untuknya. Jasmine yang melihat senyum pacarnya, tersenyum dan menutup novel yang baru kemarin dibelikan Bian untuknya.
            “Bunga yang indah. Aku suka.” Pujinya ketika melihat bunga itu diletakkan Bian di Vas dan ditaruh di sampingnya.
            “Seperti kamu, sayang. Melatiku yang harum dan indah.” Sanjungnya dan mencium keningnya. Jasmine menutup matanya. Berharap perlakuan Bian ini selamanya dapat dia rasakan dan dia akan sangat bersyukur apabila keinginannya terwujud.
            “Bian... aku boleh minta sesuatu gak?” Tanyanya dan Bian menatapnya dengan tatapan sayang lalu mengangguk. “Mau minta apa, melatiku?”
            “Aku..” Dadanya mulai terasa sakit lagi. Namun dia mengabaikan. Tak ingin pacarnya panik dan rencananya berantakan. “hari ini tahun baru kan? aku ingin kita merayakan hari jadian kita yang ke 4 bulan ini dengan jalan – jalan keluar. Aku ingin liat kembang api, Bian.”
            “Kamu benar – benar menginginkannya?” Bian mulai ragu sekarang. Membawa Jasmine keluar dari Poli sama saja membunuh gadis yang dicintainya perlahan. Namun dia tak sanggup menolaknya melihat tatapannya begitu berharap padanya.
            “Sangat ingin. Aku ingin jalan – jalan dengan pacarku untuk pertama kalinya.” Jawabnya tersipu.
            “Jadi... aku pacar pertama kamu ceritanya?” Dan Jasmine mengangguk malu.
            Bian tersenyum. Senang menjadi yang pertama dalam hidup gadis ini.“Aku bilang sama doktermu dulu yah. Berdoa saja semoga kamu diijinkan.” Bian mencium pipinya dan tangannya lalu keluar ruangan.

            Sepeninggal Bian, Jasmine memegang dadanya yang semakin sakit. Keringat dingin semakin banyak keluar, napasnya mulai tersengal. Ingin pingsan rasanya. Namun dia menahannya.“Please, Tuhan. Tunda... aku ingin merayakan tahun baru dengannya. Please, Tuhan.... kabulkan permintaanku.” Harapnya dalam hati.

ÎÎ

“So i lay my head back down
and i lift my hand and pray, to be only yours,
to be only yours, i pray...

your my only hope.”


            Bian masuk lagi setelah setengah jam dia menunggu. Wajahnya terlihat muram. Namun berusaha tersenyum ketika dia tersenyum. “Kenapa?” Tanyanya ketika Bian duduk di samping dan menyentuh wajahnya.
            “Aku diomelin Om ku sendiri karna usulin kamu keluar. Benar – benar!” Gerutunya ketika dia hampir setengah jam berdebat secara pribadi namun panas dengan Omnya, Restu yang juga dokter Jasmine. Dan dia terpaksa mengalah karna omnya mengusulkan taman rumah sakit yang paling kecil di sudut Poli Jantung namun paling indah bisa dia gunakan untuk Jasmine. Mengingat tempatnya yang agak jauh membuat para pasien jarang mendatanginya. Dan papahnya yang juga menjabat sebagai direktur rumah sakit mengijinkannya asal di atas jam 10 malam. Mengingat jam besuk sudah lewat.
            “Jadi gimana?” Jasmine tak bisa menghilangkan kekecewaannya. Dia sungguh ingin keluar dengan Bian. namun lagi – lagi fisik tak mengijinkannya.
            Bian mengelus rambut panjangnya dan tersenyum. Dia ingin merahasiakan rencananya yang sudah disusunnya setelah selesai berdebat dengan Omnya. Rencana yang dia susun dengan papahnya yang super romantis itu dijamin membuat Jasmine akan tersenyum bahagia untuknya.
            Pintu ruangannya terbuka dan masuklah Erika dan Lista ke dalam dengan senyum. Bian sengaja menelponnya untuk membantunya menjalankan rencananya. “Hai...” Sapa Lista manis sambil meletakkan tas besar di meja rias dan Erika melakukan hal yang sama. Senyumnya terlihat bahagia.
           
            “Kamu suka gak pergi ke pantai?” Tanya Bian dan dia mengangguk antusias.
            “Aku ingin mengajakmu ke pantai dekat sini. Aku tau pantai yang indah dan sepi.” Dan Jasmine membelalakkan matanya. Keluar dari Poli? Oh... beranikah dia mewujudkan apa yang diinginkan selama ini? Mimpikah?
            “Serius? Bukannya kamu gak diijinkan sama dokter untuk bawa aku keluar?”
            Erika melihat keraguan di mata Jasmine. Tersenyum. “Bukan Bian namanya kalau gak bisa bujuk Omnya, Jasmine. Apa yang lo lakuin dengan om tersayang kita, Bian?”
            “Sedikit bantuan dari papah dan rayuan mama cukup meluluhkan hati Om Restu.” Bian nyengir bagaimana kedua orangtuanya turun tangan membantunya dalam membujuk Omnya sendiri.
            “Aku keluar dulu, yah. Ada yang ingin aku lakuin. I love you, Jasmine,” Ucapnya tulus sambil mencium kening Jasmine dan keluar ruangan.

            Jasmine hanya pasrah ketika kedua kakak  beradik yang sangat cantik ini mempermaknya habis – habisan.

♥ ♥

          “Cantik...” Puji Bian ketika melihat Jasmine keluar dengan memakai dress Erika bewarna peach yang ditutupi dengan sweater bewarna senada serta flatshoes dan sedikit make – up natural membuat wajahnya segar. Tidak pucat.
            Jasmine tersenyum dan menggandeng tangan Bian ntuk keluar Poli. Menghabiskan waktu bersama selama dia ingin. Dan Bian dengan manis memperlakukannya ketika tiba dimobil.

♥ ♥

          Pantai yang indah,” Pujinya ketika melihat pantai pilihan Bian yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Terakhir dia ke pantai pada umur 6 tahun. Waktu dia masih bisa lari keliling pantai walau napasnya berat. Namun dia bahagia.
            “Suka?” Tanya Bian dan senang bisa melihat ekspresi Jasmine yang mengatakan dia lebih dari bahagia. Membuatnya ikut tersenyum.
            “Makasih, Bian.” Ucapnya tulus dan merangkul tangannya lalu menyandarkan kepalanya di pundak kanan Bian. sungguh tenang rasanya. Seakan melupakan waktu terus berjalan, memotong jarak umur yang tersisa untuknya sekarang.
            Bian tersenyum dan mengelus rambutnya, “Anytime, Sayang.” Dan dia merangkul Jasmine sambil menatap matahari telah terbenam. Menutup hari dengan sempurna.

            “Jasmine?” Panggilnya dan dia mengerjap – ngerjapkan matanya. Lalu menatap Bian yang disampingnya.
            “Iya... kenapa?”
            Your my sun for me. My Jasmine.” Ucapnya dan dia tersenyum. “Dan kamu adalah malaikat penyelamatku, Bian.” balasnya dalam hati.
            “Pulang yuk? Ntar kamu dicariin dokter Restu lagi.” Jawabnya dan dia mengangguk. Jam menunjukkan pukul 8 malam. Dan dia kedinginan sekarang.
            “Dingin...” Keluhnya sambil mengusap – usap tubuhnya sendiri. Membuat Bian melepas sweater yang dia kenakan dan disampirkan ke pundaknya. “Masih dingin?” Dan Jasmine menggeleng. Baginya, kehangatan tubuh Bian di sweaternya lebih hangat dari apapun.
            Bian merangkulnya dan membukakan pintu mobil untuknya lalu dia masuk dan menjalankan mobil meninggalkan pantai.

♥ ♥

          “Bian...” Panggilnya pelan ketika mobil sudah tiba di depan rumah sakit. Entah kenapa, dadanya semakin sakit saja. Bahkan kepalanya sudah mulai berputar – putar. Dia menyentuh lengan Bian pelan ketika cowok itu sudah memparkirkan mobilnya sempurna.
            “Astaga, Jasmine! Badan kamu dingin sekali!” Serunya kaget ketika dia menyentuh tangan Jasmine yang dingin. Bibirnya bergetar dan wajahnya pucat. Dia segera keluar dari mobil lalu menggendong Jasmine keluar untuk dibawakan ke Poli. Namun cewek itu menolak.
            “Bian... aku ingin liat kembang api,” Pintanya ketika mereka berbelok ke Poli dan melewati taman yang sudah dijanjikan Bian untuknya agar bisa melihat kembang api. Namun Bian menggeleng dan dia dibawa keruangan lalu  ditidurkan di ranjang dan Bian hendak meninggalkannya, namun tangannya ditahan.
            “Demi Tuhan, Jasmine! Kamu sakit! Aku akan panggilin dokter dulu untuk kamu!” Bian berusaha melepas, namun Jasmine semakin erat memegangnya.
            “Aku ingin melihat kembang api, Bian. aku gak papa. Aku sehat. Please,” Jasmine memohon penuh harap. Dia ingin mewujudkan impiannya.
            Bian bimbang. Antara ingin menuruti keinginan Jasmine atau tetap memanggil dokter. Namun melihat wajahnya yang penuh harap, membuatnya mengalah. “Aku gendong kamu ke taman atau didorong pakai kursi roda?” Tanyanya dengan helaan napas mengalah dan menggenggam tangan yang memegang lengannya.
            Jasmine tersenyum. “Aku ingin digendong sama kamu, Bian.” Jawabnya dan dia tersenyum. “Dengan senang hati aku menggendongmu, sayang. Melatiku.” Jawabnya dan dia menggendong Jasmine keluar ruangan menuju taman yang sudah dia rencanakan bersama papahnya untuk Jasmine.

♥ ♥

            “Aku mencintaimu, Melatiku.”

            “Jam berapa sekarang?” Tanya Jasmine ketika dia berada di taman, duduk dengan Bian yang merangkulnya. Dia menyandarkan kepalanya di pundak sambil meremas tangannya di pinggiran dress. Dadanya semakin sakit. Namun dia menahannya.
            “Jam 10 malam. 2 jam lagi akan tahun baru, Sayang.” Bian menoleh dan panik melihat wajah Jasmine semakin memucat.
            “Kamu harus di dalam ruangan, sayang. Bukan disini.” Bujuknya namun dia menggeleng tegas.
            “Aku ingin melihat kembang api bersamamu, Bian. disini. Bukan di ruanganku.” Jawabnya tegas.

            “Bian... ceritakan apa yang kamu impikan kepadaku. Aku mau tau,” Pintanya sambil terus menatap langit.
            “Tuhan... sebentar lagi... aku ingin bersamanya. Please.” Pintanya dalam hati.
            “Mimpiku adalah bersamamu, Jasmine. Aku akan menyelesaikan kuliah secepatnya, mengambil spesialis Jantung agar bisa mengobatimu, dan kita akan menikah. Itu mimpiku. Bagaimana dengan mimpimu?” Tanyanya sambil menatap Jasmine yang semakin dingin.
            “Aku...” Dia terdiam. Mimpinya sangat banyak. Namun waktu takkan pernah bisa mewujudkannya. “Mimpiku, hanya ingin bersamamu melihat kembang api disini, dan itu terwujud sebentar lagi. Hanya itu, bian.” dia tersenyum.
            “Maukah kau berjanji padaku sesuatu, Bian?” Tanyanya. Napasnya semakin tersengal – sengal. Dia semakin kedinginan dan dadanya serasa ingin pecah saking sakitnya. Namun dia menahannya.
            Bian cemas melihat keadaan Jasmine yang semakin memucat. Dia berdiri dan ingin menggendongnya. Namun Jasmine menggeleng tegas. “Aku gak mau.”
            “Kamu sakit, jasmine! Aku gak akan maafin diriku sendiri kalau kamu kenapa – apa karna aku!”
            “Aku gak apa – apa, Bian. sungguh.” Jasmine menyentuh pipinya dengan tangan yang dingin dan Bian meresponnya lalu duduk kembali.
            “Maukah kau berjanji padaku, Bian?” Tanyanya sekali lagi.
            “Apa, Melatiku?”
            “Aku...” Jasmine menarik napas yang mulai susah dia ambil, “Jika aku pergi, maukah kamu menempatkanku di sudut hatimu paling dalam agar aku abadi disana?” Pintanya dan membuat Bian kaget.
            “Demi Tuhan, Jasmine! Jangan ngomong seperti itu.”
            “Just promise, Bian.”
            “Aku akan menempatkanmu di sudut hati yang paling dalam dan tersembunyi agar kamu abadi disini, Jasmine.” Dia meraih tangan Jasmine untuk diletakkan di dadanya.
            “Bian...” Panggilnya dan tersenyum. “Berjanjilah untuk tidak menangis dan mengutuk dirimu sendiri bila aku pergi,”
            “Jasmine...” Panggilnya. Dia tak ingin gadis itu menyebutkan permintaan seolah – olah dia akan pergi saat ini juga. Disaat dia sangat mencintai gadis itu. Melatinya.
            “Aku mencintaimu, Bian. sangat mencintaimu. Cintailah aku dalam diam. Simpanlah aku dalam sudut hatimu yang paling dalam agar aku abadi selamanya dan tersenyumlah jika aku memang meninggalkanmu. Aku hanya ingin senyummu.” Jasmine tersenyum dan mencium pipinya pelan.
            “Jasmine... aku...” Bian terdiam dan mencium bibirnya lembut. Dia sangat mencintai gadis ini sampai kata – kata indah pun takkan bisa menggambarkan perasaannya. Dan Jasmine menyambut ciumannya dengan tulus. Murni perpisahan.
            “Bian... bolehkah aku memelukmu?” Pintanya setelah mereka berciuman dan dia menghapus air mata di pipi Jasmine.
            “Peluk aku selama kamu ingin sayang.” Jawabnya dan memeluk Jasmine erat. Menghangatkan tubuh gadis itu yang semakin mendingin.
            Kembang api mulai bermunculan di atas langit dengan indahnya. Jasmine melihat itu dan tersenyum. Dia menatap Bian masih terpesona. Berterima kasih kepada Tuhan karna mewujudkan impiannya yang terakhir. Pergi di pelukan orang yang paling disayanginya.
            “Aku mencintaimu, Bian. tersenyumlah untukku.” Bisiknya dan dia mulai menutup matanya pelan. Tertidur di pelukan Bian.

            “Jasmine...” Panggilnya namun dia tak menyahut. Tak ada lagi helaan napas terasa di pelukannya. Bian masih menatap langit dan meneteskan air matanya. Lalu dia menatap kebawah dan melihat Jasmine tertidur dalam senyum. Dia tersenyum dan air mata semakin membasahi pipinya. Melatinya kini pergi. Meninggalkannya.

            Goodbye, Lullaby. I love you.” Ucapnya pelan dan mencium kening Jasmine yang tubuhnya mendingin.

“Aku pergi. Dari dunia ini...
tapi aku meninggalkan satu hal.
cinta yang ku titipkan padamu.”

♥ ♥

          “Bian...” Panggil Erika ketika melihat adiknya terdiam di taman sambil memegang sebatang rokok. Seharian dia tak berbicara dengan Bian karna cowok itu sibuk dengan pemakaman Jasmine. Bahkan dia ikut turun menguburkannya bersama saudara Jasmine yang lain. Selama itu juga, Bian tak bicara pada siapapun. Dia hanya tersenyum dan menggeleng. Luka yang ditanggung terlalu berat untuknya.
            Erika duduk disampingnya sambil membawa asbak. Siapa tau cowok itu membutuhkannya. “Bian...” Panggilnya sekali lagi sambil menyentuh pundaknya pelan. Bian tak bereaksi. Dia hanya menghisap rokok dengan pelan. Seumur hidupnya, Bian hanya sekali ini merokok.
            “Mungkin..” Bian terdiam sambil menghisap rokoknya lagi. Dia menatap sendu langit yang masih saja mendung. Seperti hatinya.
            “Gue akan lebih ikhlas kalau dia pergi karna khianatin gue. Dengan begitu gue punya alasan untuk melupakannya dan membencinya. Gue masih bisa lihat dia hidup dan bernapas walau bukan untuk gue, Kak. Tapi... dia pergi bukan karna itu, dia pergi karna waktunya di dunia sudah habis. Gue gak punya alasan untuk bisa melupakannya, Kak.” Bian terdiam dan menghela napas. Masih ingat bagaimana hancur hatinya ketika dialah yang menguburkan Jasmine bersama yang lainnya. Dan dialah yang terakhir pulang dari pemakaman.
            “Dia pergi dalam pelukan gue, Kak. Meminta gue tersenyum di saat kepergiannya. Lo tau, kak. Itu sakit...” Runtuh pertahanannya sekarang. Bian menginjak rokok yang belum habis dia hisap ke tanah dan menutup wajahnya dengan tangannya. Hancur pertahanannya berusaha tabah seharian, seolah tak kehilangan. Padahal hatinya saat itu juga ikut mati. Bian menangis mengingat besok dan besoknya lagi, dia takkan pernah melihat melatinya lagi tersenyum ke arahnya setiap dia datang. melatinya...
            Erika tak pernah melihatnya menangis segitu emosinya. Dia menghapus air mata yang turun dari matanya dan menepuk pelan punggungnya. “Cerita aja apa yang lo rasa, dek. Jangan dipendam.”
            “Lo tau permintaan dia sebelum pergi, kak?” Tanyanya dan tersenyum miris. “Aku mencintaimu, bian. sangat mencintaimu. Cintailah aku dalam diam, simpanlah aku dalam sudut hatimu paling dalam agar cintaku abadi disana.” Bian mengulang ucapan Jasmine dan air matanya semakin menetes.
            “Seebelum dia minta, gue sudah mencintainya, Kak. Dia...” Bian terdiam. Kata – kata indah di dunia ini takkan bisa mendeskripsikan betapa cintanya dia.
            “Dan dia minta gue tersenyum kak walaupun dia tak ada lagi. Apakah gue bisa, Kak?” Tanyanya dan memeluk Erika erat. Dia butuh pegangan. Tubuh dan hatinya rapuh.
            “Gue mencintainya, Kak.”

Flashback Off.

            “Bian...” Panggilnya membuatnya kaget dan menoleh ke belakang. Dia melihat Erika menatapnya bingung di depan pintu. Dia teringat Jasmine hingga tak mendengar kakaknya masuk.
            “Kenapa lo nangis?” Tanyanya dan Bian terdiam sambil melirik foto – fotonya yang berserakan di meja belajar. 3 tahun 7 bulan waktu yang sangat lama untuk melupakan sosok Jasmine yang mengakar dihatinya.
            Erika memakluminya. Bian memang sensitif sejak saat itu. “Kunjungi dia deh kalau lo kangen.” Sarannya dan Bian tersenyum.
            “Gue pergi dulu yah, mau kunjungin Jasmine. Melati gue.” Ucapnya dan menatap fotonya sekali lagi lalu tersenyum.

♥ ♥

          “Hai Jasmine, melatiku. Bagaimana kabarmu disana?” Bian tersenyum di depan makam Jasmine dan meletakkan sebuket bunga melati segar di atas makamnya.
            “kalau kamu tanya kabarku, kamu bisa lihat sekarang kan? butuh waktu lama untuk bangkit, sayang.” Bian tersenyum dan memegang nisannya. “Tapi... aku menepati janjiku, Jasmine. Selamanya kamu ada dihatiku. Melatiku. Aku mencintaimu.” Dia tersenyum dan berdiri. Samar – samar, dia mencium bau melati disekitarnya. Padahal dia tau tak ada yang menanam bunga melati disekitarnya. Membuatnya tersenyum.
            “Tetaplah disampingku, Jasmine. Walau kau tak terlihat. Tapi aku merasakannya. Because, Our love is like the wind. You can’t touch. But you can feel it.” Ucapnya dan pergi meninggalkan makam Jasmine dengan senyum di wajahnya.

“Bawalah pergi cintaku.
Ajak kemana yang kau mau
jadikan temanmu, memeluk paling kau cinta
disini ku pun begitu, terus cintaimu dihidupku
di dalam hatiku, sampai waktu yang temukan, kita nanti.”

*Afgan – bawalah Cintaku.

            Di kejauhan, ada seorang wanita berpakaian putih, rambut hitam lurus ikal menatap kepergian Bian dengan tersenyum manis. “Aku akan selalu disampingmu, Bian. sampai kau menemukan melatimu yang sesungguhnya. Aku mencintaimu.” Bisiknya tulus yang dibawa pergi oleh angin sebagai doa tulus untuk pria yang dicintainya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar