“Bian...” Erika
memanggil ketika melihatnya asyik bertopang dagu di meja makan saat sarapan.
Tak biasanya adiknya selisih 10 menit keluar dari rahim mamanya ini melamun.
Biasanya ada saja yang digodanya.
Lista melihat kakaknya yang aneh
beberapa akhir ini, mengerutkan keningnya. “Kak...” Dia ikut memanggil sambil
mengguncang pelan tubuhnya. usahanya berhasil, Bian menoleh dan tersenyum.
Namun tatapan matanya tak fokus.
“Eh... Anu... Apa yah?” Geragapnya sambil
menggaruk – garukkan kepalanya. Membuat kerutan Erika semakin dalam. Untung
mama papahnya sedang dinas keluar kota selama 3 minggu. Jadi mereka bertiga
bebas melakukan apa saja asal tak merugikan.
“Lo kenapa sih? Melamun mulu. Ada
masalah? Ada cewek yang nolak cinta lo?”
Bian mencibir mendengar pertanyaan
kakaknya yang terakhir. “ Gak ada istilah dalam kamus hidup gue soal ditolak
cewek. Yang ada, gue nolak cewek. Gue.. hanya kangen sama dia. Udah lama gak
ngunjungin.” Ucapnya pelan di kalimat terakhir. Membuat Erika dan Lista yang
tau maksudnya, tersenyum penuh mengerti.
“Yaudah, temuin sana deh kalau
kangen. Apa perlu gue dan Lista temanin?” Erika menawarkan diri sambil memegang
tangan Bian.
“Gausah. Gue sendiri aja. Ada yang
mau diomongin. Gue keatas dulu yah,” Pamitnya sambil mengacak rambut pendek
Lista, membuatnya merengut dan mengomel ketika kakaknya hanya tertawa sambil
keluar dari ruang makan. Membuat mereka saling bertatapan.
“Kak Bian kenapa?”
Erika mengangkat bahu. Dia sama tak
taunya dengan Lista. Dalam hati berharap, semoga Bian baik – baik saja.
♥
♥
Bian terduduk di meja belajarnya. Dia membuka
buku album yang berisi beberapa foto tentangnya 3 tahun yang lalu dengan
seorang gadis yang sangat dicintainya, kemudian pergi meninggalkannya dengan senyum
manis yang sanggup membuatnya seperti ini. Mabuk kepayang sekaligus patah hati luar
biasa hingga dunianya serasa gelap seketika.
“Hai...
bagaimana kabarmu? Udah 3 tahun yah ternyata. Gak nyangka selama itu kamu
pergi. Tapi...” Bian tersenyum sambil mengelus foto dimana gadis itu,
mataharinya yang kini meredup, sedang tersenyum bahagia. “Selama itu juga aku
tak pernah ninggalin kamu. Aku tepatin janji loh. Kamu tau kan?” Ucapnya sambil
meletakkan foto itu kembali di meja dan menutup wajah dengan kedua tangannya.
Air mata menetes dan membasahi foto itu.
“3 tahun, ataupun selamanya takkan sanggup
buat gue ntuk lupain lo. Lo, melati paling indah dan harum yang pernah gue
temui dan akhirnya gue ikhlasin pergi.” Bisiknya pelan.
“Aku pernah mencintaimu hingga lupa bahwa
batas antara cinta dan perpisahan itu setipis kabut asap.
Hari ini dan kemarin Aku mencintaimu, menyayangimu, dan memilikimu.
Tapi esoknya, kau milik Sang Waktu.
Bukan milikku lagi, sayang.
Hari ini dan kemarin Aku mencintaimu, menyayangimu, dan memilikimu.
Tapi esoknya, kau milik Sang Waktu.
Bukan milikku lagi, sayang.
Flashback...
“Pah,
Bian boleh minta tolong gak? Urgent nih.” Bian yang baru saja menginjak semester 1
di Universitas terkenal Jurusan Kedokteran buru – buru masuk ke ruang kerja
papahnya dengan wajah panik. Membuat Putra yang asyik mengoreksi, mendongkakkan
wajahnya dengan kening berkerut.
“Minta
tolong apa? Kamu masuk gak ketuk pintu,” Tegurnya ketika Bian nyengir dan duduk
di kursi.
“Pah...
boleh gak Bian wawancara pasien papah di rumah sakit? Yang sudah lama dirawat
disitu lebih dari setahun? Bian mau nanya – nanya. Buat middle test,
pah.” Pintanya ketika kerutan di keningnya semakin dalam.
Putra
mengetuk – ngetuk pulpen di mejanya sambil menatap Bian yang penuh harap. “Ada
kok. dia pasien papah sejak masih kecil dan sekarang jadi pasien Om Restu karna
menderita penyakit jantung sejak kecil. Membuat fisiknya lemah dan dirawat
hampir seumur hidupnya. Dia seumuran kamu loh.”
Bian
menangkap semua informasi penuh antusias. “Siapa namanya pah? Cewek atau cowok?
Kalau bisa sih, cewek pah. Biar enak wawancaranya.” Ucapnya dengan wajah jahil
seperti biasa. Membuat Putra tertawa.
“Kamu
mau wawancara buat tugas kuliah atau mau godain cewek? Dia pasien papah sejak
kecil tuh. Jangan kamu gangguin. Kamu gangguin yang lain aja,” *Ini papah ama
anak sama sablengnya –“
Bian
nyengir mendengar jawaban papahnya. “Hehehe.. sambil menyelam minum air, pah.
Namanya siapa, pah?”
“Jasmine
Khairunnisa.” Entah kenapa, namanya membuat Bian tertegun. Ada suatu perasaan
yang aneh. Berdesir halus dalam hatinya.
“Kamu
kenapa?” Putra bingung melihat anaknya terdiam ketika dia menyebutkan nama
Jasmine, pasien kesayangannya yang sudah dia anggap anak sendiri. Gadis cantik
yang malang, namun kuat. Bahkan istrinya, Erza pun sering mengunjunginya ke
ruangan Jasmine. Menemani gadis itu.
Bian
mengerdipkan matanya dan menatap papahnya yang kini fokus meliriknya.
Membuatnya salah tingkah. “ Gak papa, Pah. Kapan Bian bisa wawancara nih?
Secepatnya loh pah. Keburu nih...”
“Kok
kamu jadi desak papah? Nanti papah tanya dulu Om Restu dan Jasminenya mau gak
kamu tanya macam – macam. Ingat yah, Cuma nanya! Jangan digodain.” Pesan
papahnya membuat Bian nyengir. Bagaimana gak diingatkan kalau pesona anaknya
lebih mengundang dari pesonanya sendiri. Bahkan suster – suster di sana pernah
mogok kerja karna asyik diajak Bian ngobrol dan jurus rayuannya sejak saat itu
semakin maut saja.
Bian
mengacungkan jempolnya. “Ok deh pah. Makasih,” Ucapnya dan berjalan keluar.
Namun terhenti ketika Putra memanggilnya.
“Good
luck.” Hanya itu yang diucapkan papahnya. Membuat Bian berkerut kening
ketika dia hanya tersenyum dan keluar ruangan lalu menatap di sekelilingnya.
“Good
Luck buat apa?”
♥
♥
“Aku
ingat saat pertama kali bertemu denganmu
kau hanya menatapku datar. Bukan tatapan memuja.
tapi... mampu membuatku terpaku sejenak dan berkata.
“You, my girl.”
kau hanya menatapku datar. Bukan tatapan memuja.
tapi... mampu membuatku terpaku sejenak dan berkata.
“You, my girl.”
“Lo mau kemana, Bian?” Tanya Erika ketika
melihat adiknya pagi – pagi sudah buru – buru turun dari tangga dengan pakaian
amburadul.
“Mau
wawancara tugas kuliah.” Jawabnya ketika dia sekarang berdiri di depan kakaknya.
Membuat Erika menghela napas dan merapikan kerah baju kaos adiknya yang
terlipat. Bian nyengir melihat perhatian kakaknya.
“Udah
ketemu pasien yang akan lo wawancarain?” Tanya Erika takjub. Tak biasanya Bian
menemukan secepat itu.
“Udah
dong. Gue nanya sama papah soal itu terus dibantuin deh. Dia pasien papah waktu
masih kecil dan sekarang jadi pasien Om Restu karna penyakitnya yang semakin
parah.” Jelasnya. Masih teringat ketika Om Restu, dokter spesialis Jantung yang
juga omnya menelponnya malam tadi dan mengatakan dia mengijinkan untuk
mewawancarai pasiennya asal dalam hal yang benar. Mengingat pesona Bian
dikhawatirkan membuat pasiennya semakin parah. Membuatnya tertawa dan senang
hingga terlambat bangun pagi.
Erika
mangut – mangut. “Namanya siapa?”
“Jasmine
Khairunnisa, Kak.” Ucapnya membuat Erika melongo.
“Cewek?
Kenapa gak cowok aja? Wah... lo nyogok papah apa jadi dikasih pasien cewek?
Jasmine lagi! Gue udah pernah ketemu kok. cantik orangnya. Awas lo godain!”
“Lo
pernah ketemu?” Kini gantian dia yang kaget. “Kenapa gak ngajak gue?”
“Waktu
itu gue kan ada ajak lo, tapi lo malah nyelonyor pergi ke cafetaria
tempat suster – suster sering ngumpul! Otak lo cewek mulu sih.” Erika menoyor
kepalanya Bian dengan jengkel.
“Aduh...
kak! Lo noyor ingat – ingat dong! gue adek lo! dia cantik yah kak? Ok deh, gue
berangkat dulu yah. Bubye..” Dengan songongnya dia mencium kilat pipi kakaknya
dan berlari ke luar rumah tanpa mempedulikan teriakan kakaknya.
“BIAN!
AWAS LO!”
♥
♥
“Temuin papah diruangan. Jangan masuk kamar
Jasmine sendiri.” Sms papahnya baru
saja dia baca ketika sudah tiba di rumah sakit. Dia tersenyum lalu turun dari
mobilnya dengan tangan membawa membawa buku kecil dan buah – buahan yang baru
dibelinya untuk Jasmine serta makanan kesukaan papahnya.
Sepanjang
lorong menuju ruangan papahnya, suste – suster menatapnya tanpa kedip dan
tersenyum paling manis ketika dia menoleh dan tersenyum balik. Bahkan menyapa
beberapa suster yang dikenalnya dan mengobrol sebentar.
“Maaf
sus, apakah Dokter Putra Eduardo Pradipta ada diruangannya?” Tanyanya kepada
resepsionis yang dari tadi meliriknya sejak masuk dalam rumah sakit. Membuatnya
ingin bermain – main sebentar.
“Dokter
Putra?” Tanyanya dengan nada gugup sambil mencari daftar kehadiran dengan sembrono
saking gugupnya. Tak pernah didatangi pasien yang tampannya seperti Dokter yang
dicarinya sekarang. Wajahnya bagai pinang dibelah dua.
“Iya...
dokter Putra ada diruangannya. Sudah ada janji?”
“Sudah.
Bisa anda lihat di situ, nama saya Febrian Risnadi Pradipta.”
Suster
malang itu mencarinya dengan gugup dan tersenyum. “Iya.. silahkan masuk, mas.”
Ucapnya sambil menunjuk ruangan Putra yang diujung.
Bian
tersenyum dan menatap suster itu intens. Seperti yang sering dia lakukan
apabila ingin membuat cewek – cewek terdiam seperti patung di depannya. “Terima
kasih.” Dan dia melenglang kangkung menuju ruangan papahnya yang sangat dihapalnya.
Bian
mengetuk ruang papahnya setelah dipersilahkan oleh asistennya yang selalu duduk
didepan pintu. Jam praktek belum dimulai membuatnya leluasa masuk tanpa harus
ikut antri seperti pasien papahnya yang lain.
“Sudah
siap?” Tanya Putra ketika melihat Bian berdiri di depannya dengan buku dan
keranjang buah – buahan di tangannya. Membuatnya nyengir.
“Buat
papah mana nih? Kan papah yang urusin kamu sama Om Restu. Kayak kamu gak tau ruwetnya berurusan dengan om kamu satu itu.”
Bian
ikutan nyengir. “ Mama tau gak pah Bian disini? Ini buat papah.” Katanya sambil
meletakkan plastik bertuliskan merek restoran mahal yang berisi makanan favorit
papahnya di meja.
“Tau
kok. yuk...” Ajaknya sambil merangkul Bian keluar ruangannya menuju tempat
Jasmine.
♥
♥
“Tasya...
kalau istri saya mencari, bilang saja saya sama Bian lagi di ruangan Jasmine.
Kalau dokter lain mencari, bilang saya lagi ada urusan sebentar.” Perintahnya
ketika dia keluar dan Tasya, suster yang paling beruntung karna menjadi
asistennya dan paling cantik serta cerdas di antara yang lain. Sempat membuat
istrinya mencak – mencak.
Tasya
melirik Bian. sudah lama dia mengincar anak dokternya yang menjadi trending
topic di pembicaraan antar suster karna ganteng dan flamboyan
membuatnyanya semakin dikejar.
“Iya
pak.” Jawabnya dengan senyum paling manis yang jarang dia beri untuk cowok –
cowok lain khusus untuk Bian seorang. Sadar hal itu, dia memberikan senyuman
yang biasa digunakan untuk buat cewek – cewek pingsan dan berjalan beriringan
dengan papahnya.
Tasya
mengelus dadanya yang serasa hendak pecah saking gugupnya. Senyuman Bian
ternyata jauh lebih mempesona daripada papahnya. Membuatnya menggeleng. “Anak
dan papah sama mautnya.” Gumamnya pelan sambil terus menenangkan diri.
♥
♥
Bian masuk ke tempat khusus untuk penderita
Jantung. Dia tak pernah memasuki ruangan ini karna papahnya di bagian Poli anak
dan ibunya yang Poli kandungan membuatnya tak ada kesempatan untuk menginjakkan
kaki di Poli ini.
“Papah
sering temuin Jasmine?” Tanyanya
Putra
mengangguk, “Kalo gak sibuk papah nengok sebentar. Kan dia pasien papah waktu
masih kecil. Walau sekarang gak, apa salahnya perhatiin dia?”
“Pah...
suster Poli Jantung cantik – cantik yah. Hmmm... lumayan cuci mata pah kalo
puyeng.” Bisiknya membuat papahnya tertawa.
“Iyaa..
cantik – cantik kok. Tapi... kalau kamu liat Jasmine, papah gak tau apakah kamu
masih bilang bahwa suster disini lebih cantik daripada Jasmine atau gak.”
Sebelum
Bian bertanya apa maksud ucapan papahnya, dia berada di sebuah ruangan lebih private
dari ruangan sebelumnya. Yang dia ketahui ini adalah kelas VIP. Dengan tenang
dia mengikuti papahnya masuk ke dalam dan membuka salah satu pintu kamar yang
bernomor 204.
Ketika
masuk, Bian melihat seorang gadis cantik berwajah lembut dengan rambut panjang
ikal terurai, mata coklatnya di bingkai oleh kacamata minusnya dan tubuhnya
yang kurus namun tak mengurangi kecantikan wajahnya serta bibirnya agak pucat,
sedang duduk di ranjang sambil asyik membaca novel terjemahan yang jauh lebih
tebal dari koleksi Erika di perpustakaan mungilnya. Jasmine tersenyum ke arah
Putra, dokter yang paling ramah dan ganteng pernah dilihatnya lalu melirik ke
arahnya dan tersenyum sekilas lalu membaca novel kembali. seolah tak peduli
dengan pesona Bian yang sudah menguat di setiap sisinya sejak dalam kandungan.
Bian
takjub dibuatnya. Gadis yang sanggup tak pesona di awal bertemu dengannya
hanyalah Gina, mantan pacarnya waktu SMP. sisi penasarannya hadir lagi. Ingin
menaklukannya.
Seolah
tau apa yang dipikirkan anaknya,Putra berdehem. “Hai Jasmine, gimana kabarnya?
Sudah baikan?” Sapanya ramah. Prosedur standar yang sering dilakukannya setiap
menanyakan pasiennya dan senyum khasnya. Membuat pasien mendadak tak ingin
pulang.
Jasmine
menoleh ke arah Putra dan tersenyum lembut lalu melepas kacamatanya dan menutup
novelnya. “Baik kok, Pak. Cuma tadi saya keliling taman sebentar karna bosan
sendiri disini.” Keluhnya sambil menatap jendela rumah sakit yang besar dan
berhadapan langsung dengan taman. Membuatnya ingin keluar. Namun kekuatan
fisiknya tak mengijinkannya.
Putra
tersenyum penuh mengerti lalu mendorong Bian ke depan yang mendadak seperti
anak pemalu di belakangnya. “Oh iya, Jasmine, tadi Pak Restu ada bilang kan
kamu kedatangan tamu?” Dan Jasmine mengangguk, “Ini tamunya, Bian. dia anak
bapak. Mau tanya – tanya sama kamu. Boleh kan?”
Jasmine
melirik Bian dengan tatapan menilai. Dia tak pernah kedatangan tamu kecuali
Dokter Restu, dokter yang merawatnya sekarang, Dokter Putra yang dulu adalah
dokternya waktu masih kecil, dan Dokter Erza, dokter cantik dan penuh keibuan
yang selalu menjenguknya tiap hari. Bahkan kedua orang tuanya tak pernah
seperti itu padanya. Selalu sibuk mengejar materi di luar sana hingga lupa
bahwa dia berada disini, menghitung hari sambil menunggu kapan malaikat maut
menjemput raganya yang masih hidup untuk menyusul jiwanya yang sudah mati
beberapa tahun lalu.
“Boleh
kok, Pak. Saya gak ada teman ngobrol soalnya. Salam kenal,” Dia tersenyum dan
Bian membalas senyumnya.
Merasa
sebagai nyamuk di antara dua anak muda yang saling menilai lewat tatapan, Putra
merasa tahu diri untuk mundur. “Yasudah, Om tinggal dulu yah kalian berdua.”
Dia tersenyum. Khusus Jasmine, dia ingin dipanggil Om karna mereka sudah akrab,
namun gadis itu sampai hari ini tak ingin memanggilnya dengan sebutan itu.
“Ingat yah, Just Asking! Not filtring, Boy.” Dia berbisik ke arah Bian
yang nyengir dengan peringatan papahnya. “Gak janji loh, Pah.” Balasnya pelan
ketika Putra keluar dari ruangan dan meninggalkan mereka berdua.
Bian
mendekati Jasmine dan duduk di sampingnya. Gadis itu hanya tersenyum. Tak ada
embel – embel supaya membuatnya terpesona. “Apa yang mau kamu tanyain sama aku?”
Bian
mulai mengajukan beberapa pertanyaan yang sudah disusunnya malam tadi diselingi
gombalan tersirat. Dia sangat menyukai aroma tubuh Jasmine, aroma melati yang
menenangkannya, namun misterius. Ketika dia mengutarakan itu padanya, Jasmine
hanya tersenyum sambil menjawab sekenanya sambil menatap jendela besar yang
akses langsung ke taman. Membuatnya menggeleng pelan dengan senyum sedih.
Bian
tau apa yang dipikiran gadis itu sejak tadi. Dia melirik kursi roda di sudut
dan tersenyum. Sebuah ide brilian muncul di otaknya. “Kamu pengen keluar?”
Tanyanya dan gadis itu mengangguk. “Tapi, aku akan kecapekan jalan sendiri. Aku
gak bisa terlalu capek.” Ucapnya pelan.
Bian
berdiri dan berjalan ke arah kursi roda itu lalu mendorong ke arahnya. “Kamu
bisa duduk disini. Ntar aku dorongin. Tenang aja, aku gak jahat kok.” Ucapnya
ketika Jasmine menatapnya ragu.
“Apa
gak papa? Kita baru kenal. Aku gak mau repotin kamu,”
“Aku
gak merasa direpotin kok. Soalnya aku juga pengen keliling Poli ini tapi gak
ada teman dan kamu juga pengen keluar. Yaudah, kita klop.” Jawabnya membuat
Jasmine tertawa.
“Iya...
kita klop kok.” Dia berdiri dari ranjangnya dan ingin duduk di kursi roda,
namun keburu dibantu Bian dengan mengalungkan lengan Jasmine di lehernya untuk
membantunya duduk. Dia kaget dengan perlakuannya, namun Bian hanya tersenyum
manis. “Gak papa. Jangan merasa gak enak.” Ucapnya seolah tau apa yang hendak
diucapkan.
Bian
mendorong kursi roda itu keluar ruangan dan berkeliling Poli bersama Jasmine,
gadis melatinya.
♥
♥
“Kamu berapa bersaudara, Bian?” Tanya Jasmine
ketika mereka sudah berada di taman yang paling besar di Poli ini. Penuh dengan
bunga Anggrek disekitarnya dan ada air mancur kecil serta burung merpati jinak
yang sengaja dilepas untuk menambah suasana nyaman. Bian duduk di kursi taman
sambil bersiul untuk membuat beberapa merpati mendekat ke arah mereka ketika
Jasmine dilihatnya sangat antusias. “Aku tiga bersaudara. Kamu pernah ketemu
dengan Erika?” Jasmine mengerutkan keningnya sejenak. Berusaha mengingat.
“Erika Assifa?” Bian mengangguk mendengarnya, “Dia saudara kembarku. Kami
selisih 10 menit. Dan Elista, dia adikku sekarang sudah 3 SMP. Kalau kamu?”
Tanyanya balik membuat Jasmine terdiam.
“Aku
anak paling bungsu dari empat bersaudara. Dua kakakku kembar dan sudah menikah
sedangkan kakakku yang satunya menikah tahun depan, dan aku, disini, sendiri.”
“Setidaknya
kalau bertemu denganku, kamu gak akan sendiri lagi.” Bian mengedipkan matanya
dan dia hanya tersenyum. Pesona Bian memantul. Tak mempan.
“Pede
sekali anda.” Jawabnya membuat Bian tertawa dan menatap di sekelilingnya. Bisa
dilihat mereka sekarang jadi pusat perhatian para suster, apalagi dirinya.
entah kenapa membuatnya tak nyaman.
“Kamu
pernah ke taman Poli Anak sama Kandungan?” Dan Jasmine menggeleng lemah.
“Hampir seumur hidup aku selalu disini dan gak ada yang mengajakku ke luar dari
Poli ini.”
Bian
mengangguk. Lalu dia berlutut ke arah Jasmine yang kaget dengannya. Mereka
saling bertatapan. “Kalau begitu, aku orang pertama yang akan mengajakmu
keliling rumah sakit.” Ucapnya yakin lalu berdiri dan mendorong kursi roda
keluar untuk mengajaknya keliling taman di semua Poli yang dia tau beserta cafetaria
yang paling enak.
♥
♥
“Bagaimana? Suka?” Tanyanya ketika Jasmine
asyik memakan mie ayam pesanannya. Mereka sekarang berada di cafetaria
Poli Kandungan. Salah satu cafetaria favoritnya bila sedang menunggu
mamanya selesai praktik. Selain makanannya enak –enak, para suster pun enak
dipandang.
Jasmine
tersenyum manis ke arah Bian lalu memakan pesanannya kembali. membuat Bian
tertegun lalu memilih menatap disekelilingnya. “Enak kok. Soalnya aku sering
makan masakan rumah sakit sampai ingin muntah saking bosannya. Dan ini, adalah
kemajuan.”
Bian
tersenyum. “Maaf, tapi sejak kapan kamu berada disini?” Tanyanya pelan dan hati
– hati. Dari semua pertanyaannya, yang inilah paling ingin dia tanyakan.
Jasmine
memilih menghabiskan makanannya sebelum menjawab pertanyaan Bian yang menjurus
pribadi. “Umur 17 tahun aku sudah berada disini setelah pingsan di sekolah
karna kelelahan dan membuatku kena serangan. Setelah itu, aku home schooling
di sini 3 kali seminggu dan kuliah jarak jauh jurusan Psikologi di
Singapura. Fisikku semakin lemah membuatku tak bisa kemana – mana. Kalaupun
keluar, paling jauh yah... keluar Poli. Setelah itu, aku lebih mengurung diri
di kamar dan menyibukkan diri dengan tugas – tugas kuliah dan novel yang aku
beli lewat online dan diantar oleh supir mamaku.”
“Kamu
kayaknya berusaha menikmati keadaan sekarang ternyata,”
“Iya...
kalau gak disiasati begitu, aku gila sendiri disana tanpa ada yang bisa ku
lakuin. Untungnya Wi-fi disini cepat. Tapi... ada kalanya aku ingin kuliah
seperti anak normal lainnya. Jalan – jalan, seperti aku lakuin waktu SMA dulu.”
Jasmine menundukkan wajahnya sedih. Kadang dia menangis tengah malam, kesepian
dan mengutuk dirinya sendiri kenapa harus hidup namun seperti dipenjara di
sangkar emas oleh tubuhnya sendiri yang tak kuat menanggung penyakitnya.
“Mama
papahmu selalu menjengukmu kan?” gelengan Jasmine mengejutkannya.
“Papahku
jarang kesini. Mamaku apalagi. Kalaupun ada, palingan sebentar doang. Tapi
ketiga kakakku selalu kesini, kak Oryza, Kak Sativa dan kak Magnolia.”
“Kok
nama kakakmu nama tumbuhan semua?” Tanya Bian bingung mendengar nama ketiga
kakaknya yang unik.
Jasmine
tertawa. senang bisa keluar dari diskusi ini. “Kata mama, tiap kami lahir, kami
seolah mengeluarkan bau khas tumbuhan dalam tubuh kami. Kedua kakak kembarku,
seperti bau padi yang menguning, makanya dinamakan kak Oryza dan kak Sativa,
dan kak Agni baunya seperti harum bunga Magnolia. Sedangkan aku, Jasmine karna katanya
seperti bau melati. Aneh kan?” Tanyanya sambil menertawakan alasan konyol
mamanya yang memang freak dengan tanaman.
Tawanya
seperti bel yang berdenting merdu di telinganya. Manis dan lembut. “Tapi betul
kok. bau kamu seperti bunga melati yang harum di padang bunga. Indah dan
mengundang orang untuk mendekat dan memetiknya untuk dibawa pulang.”
“Berarti
kamu salah satu orang yang ingin memetikku lalu membawanya pulang?” Pancing
Jasmine mendengar deskripsinya dari Bian.
“Gak.
Aku lebih memilih melati itu di padang yang luas daripada aku petik namun dia
akan mati karna tak kurawat.”
Jasmine
tersenyum lalu menatapnya. “Pulang yuk. Aku capek...” Pintanya dan Bian
langsung sigap mendorong kursi roda itu untuk mengantarnya pulang untuk
beristirahat.
“Taukah kamu, Aku melati yang hidup di padang luas.
Namun kesepian.”
Namun kesepian.”
♥
♥
“Gimana hubungan lo sama Jasmine?” Tanya Erika
dengan senyum di wajahnya ketika Bian baru pulang dari rumah sakit. Sejak tugas
kuliah 4 bulan yang lalu, mereka semakin dekat dan kadang dia menemani
pemeriksaan Jasmine dan memberi semangat. Membuat Jasmine sedikit demi sedikit
membuka diri dan menerima kehadirannya. Bahkan kedua orang tuanya tau dengan
kedekatannya.
“Baik
kok.” Bian tersenyum ketika teringat kejadian siang tadi dimana gadis itu,
melatinya, tersenyum ke arahnya ketika dia datang sambil membawa makanan
kesukaan mereka, Pizza dan martabak. Dan masih diingatnya ketika dia menyuapi
Jasmine makan dan membantunya minum obat. Bahkan mereka sempat foto – foto di
taman dengan ponselnya dan foto itu langsung dijadikan layar utama. Membuat
senyumnya semakin melebar.
“Kenapa
lo senyum – senyum kak? Gila yah?” Tanya Lista yang baru datang dari latihan cheers
untuk lomba antar SMP minggu depan duduk
di samping Erika yang asyik menatap Bian dengan intens. Minta penjelasan.
Merasa
ditatap segitu intensnya, Bian tertawa. “Gue keingatan kejadian pagi tadi aja,”
tanpa diminta, Bian menceritakan
semuanya pada mereka.
“Lo
sayang gak sama Jasmine?” Tanya Erika setelah mendengar ceritanya. Lista
mengangguk antusias mendengar pertanyaan kakaknya.
“Gue
sayang kak. Gue terima dia apa adanya, fisiknya sekarang. Tapi...”
“Tapi
apa?”
“Dia
ragu sama gue. Apa karna gue hobi goda suster lain dan dia tau kali yah? Tapi
kak, semenjak ketemu dia, gue gak pernah goda yang lain. Cuma dia aja yang gue
goda. Walaupun dia gak pernah merespon.”
“Kalau
begitu,” Lista ikut nimbrung, “Lo harus buktiin kalo lo bener – bener sayang
dia apa adanya, bukan ada apanya. Lagipula, dia cocok kok imbangin keras kepala
lo.” Lanjutnya ketika dia semalam sengaja ke rumah sakit bareng Erika karna
penasaran dengan cewek yang membuat kakak jahilnya seperti sekarang ini dan
dalam hati menyetujuinya ketika Jasmine menyambutnya penuh ramah dan dia bisa
melihat tatapan cinta dari kakaknya setiap menatapnya. Namun Jasmine
mengabaikannya.
Bian
mengacak – acak rambut Lista, “Sejak kapan lo jadi dewasa begini? Anak SMP yang seminggu lagi mau prom night
lebih baik urusin dandanan aja.” Bian mengacak rambut panjang Lista yang
terurai. Membuatnya merengut.
“Lo
jadi kakak kok jahil banget sih?!” Rengutnya sambil merapikan rambut panjangnya
yang sangat disukainya dan pacarnya sekarang, Dylan.
Ponsel
Bian bergetar, dia mengambilnya dan berkerut kening ketika mamanya nelpon. Tak
biasanya, “Kenapa ma?” Bian mengangkat telponnya. Entah kenapa hatinya tak
tenang.
“Jasmine...
kena serangan.” Bian langsung pucat seketika dan menatap kakaknya. Ponsel
langsung dimatikan.
“Mau
kemana, Bian?!” Teriak kakaknya melihatnya lari keluar rumah.
“Ke
rumah sakit!” Bian berteriak dan langsung masuk mobil.
“Ya
tuhan... semoga dia gak papa. Gue belum bilang cinta, Tuhan, gue sayang.
Please... panjangin umurnya.” Bian merapal harapan berulang kali dalam
hatinya.
♥
♥
“Gimana, Om? Jasmine baik – baik aja kan?”
Bian langsung berlari mendatangi Restu, Omnya ketika dilihatnya baru keluar
dari ruangan Jasmine. Jantungnya serasa loncat kodok seketika.
“Baik
kok. tadi dia sedikit nyeri. Mungkin kecapekan. Wajah kamu jadi lebih pucat
dari Jasmine loh.”
Bian
langsung bersandar di tembok untuk menenangkan dirinya. “Syukur... sekarang
Bian boleh masuk kan?” Tanyanya dan dia mengangguk mengijinkan.
Tanpa
buang waktu, Bian masuk ke ruangan Jasmine dan melihat gadis itu duduk dengan
wajah tersenyum seperti biasa. Bibir yang semakin pucat dan tatapan matanya
lembut, membuatnya ingin memeluknya agar gadis itu tau, betapa dia sangat
khawatir.
“Hai...”
Sapanya lemah ketika Bian mendekat dan duduk disampingnya.
Bian
tersenyum lalu mengelus rambut panjangnya. “Tadi mama sama papah kamu kesini
loh. Pasti mereka yang ngasih tau. Iya kan?” Dan Bian hanya mengangguk sambil
terus mengelus rambutnya dan mendekatkan dahi ke dahinya.
“Bian...
i’m okay. See?”
Dia
masih saja diam dan mengangguk. “Aku tau. Aku sempat mikir kalau hari ini akan
jadi hari terakhir kita bertemu. Padahal aku belum ngomong sesuatu sama kamu.”
Ucapnya dan menatapnya intens. Entah kenapa, malam ini Bian terlihat sangat
mempesonanya, semua kekhawatirannya membuatnya merasa berarti di hidup cowok
yang sedang beradu dahi dengannya ini.
“Aku
mencintaimu, Jasmine Khairunnisa.” Ucapnya pelan. Namun membuat Jasmine
langsung mendorong mundur. Dia menggeleng lemah.
“Kamu
gak bisa cinta sama aku, Bian. hidupku takkan lama lagi. Aku sakit.”
“Aku tak peduli dengan sakitmu, Jasmine. Aku mencintaimu dan kamu juga, kan?” Tanyanya, “Lihat aku, sayang.” Bian menoleh wajah Jasmine dengan lembut ketika gadis itu berpaling.
“Aku tak peduli dengan sakitmu, Jasmine. Aku mencintaimu dan kamu juga, kan?” Tanyanya, “Lihat aku, sayang.” Bian menoleh wajah Jasmine dengan lembut ketika gadis itu berpaling.
“Aku
tak ingin kamu sakit, Bian. kamu bisa mencintai gadis lain yang bisa kamu bawa
keluar, kamu ajak jalan bersama dengan teman – teman kamu. Aku gak bisa, Bian.
fisikku memenjarakanku.”
“Aku
gak peduli, Jasmine. Aku menikmati detik demi detik bersamamu walau harus
keliling rumah sakit stiap hari, di taman yang sama setiap hari, itu sangat
spesial untukku, Jasmine. Please...” Bian memohon bahkan berlutut
didepannya. Dia tak pernah memohon seperti ini kepada gadis manapun. Kecuali
pada mamanya waktu dia masih berumur 6 tahun.
“Kamu
gak ngerti, Bian... aku berbeda...”
“Di
mataku, kamu tetap sama. Aku tak peduli dengan kekuatan fisikmu yang melemah.
Jasmine...”
Jasmine
menggigit bibirnya. Bohong bila dia tak merasakan apa yang dirasakan Bian. dia
sangat mencintai cowok yang masih berlutut di hadapannya. Tapi dia sadar,
hidupnya takkan lama lagi untuk merajut cinta. Dia tak ingin cowok itu sakit
karna kepergiaannya. Tapi, dia juga tak sanggup untuk menolaknya. Penembakannya
bagai apel yang mengundang untuk digigit walau dia tau itu beracun dan suatu
saat akan membunuhnya.
“Aku
mau, Bian...” Dia menghela napas dan membiarkan dirinya dipeluk Bian segitu
eratnya dan rambut panjangnya dielus. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Bian.
“Makasih.
Aku mencintaimu, Jasmine.” Ucapnya dan dia hanya mengangguk. Tak sanggup
membalasnya betapa dia sangat mencintai Bian.
****
Jasmine
melirik jam dindingnya sekarang. Bian sudah pergi setelah dia usir pulang karna
jam menunjukkan pukul 11 malam. Dia tak ingin Bian diteror kedua orang tuanya
karna tak pulang kerumah.
Perlahan,
dia turun dari ranjangnya dengan memegang dadanya. Entah kenapa, dadanya
semakin sakit saja. Dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang – bintang
dari jendela besar kamarnya dan duduk di sudut. Dia mendongkakkan wajahnya,
beberapa minggu lagi tahun baru. Dia ingin merayakannya dengan Bian. cowok yang
sangat dicintainya. Tapi apa pantas?
“Tuhan...”
Dia mulai berdoa. Air matanya menetes. Hatinya mendadak lebih sakit dari
sebelumnya. “Aku mencintainya, Tuhan. Bolehkah aku meminta supaya umurku
dipanjangkan supaya bisa bersamanya? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Aku
menginginkannya lebih dari apa yang ku inginkan selama ini. Hampir seumur
hidupku membusuk disini, dan dia hadir dengan menawarkan cinta tanpa syarat.
Bisakah aku meraihnya? Aku ingin seperti yang lain, Tuhan. Ku harap kau
mengerti inginku. Aku jarang meminta padaMu.” Dia menangis keras sambil memeluk
lututnya. Dia tak ingin kematian menghampirinya sebelum bahagia dengan Bian.
setiap malam dia selalu berdoa supaya kematian lekas mendatanginya agar dia
bisa tenang disana, dan sekarang, malam ini dia ingin kematian menunda
kedatangannya. dia bahkan takut memejamkan mata. Takut apabila dia membukanya
lagi, bukan rumah sakit yang dia lihat, tapi sebuah dimensi lain yang
dilihatnya. Dan dia takkan pernah bisa kembali lagi.
“Oh Tuhan ku
cinta dia
berikanlah aku hidup.
takkan ku sakiti dia...
hukum aku bila terjadi.
berikanlah aku hidup.
takkan ku sakiti dia...
hukum aku bila terjadi.
Aku tak mudah
untuk mencintai
aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
senandungku hanya untuk cinta
tirakatku hanya untuk engkau
tiada dusta, sumpah ku cinta, sampai ku menutup mata.
aku tak mudah mengaku ku cinta
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta
senandungku hanya untuk cinta
tirakatku hanya untuk engkau
tiada dusta, sumpah ku cinta, sampai ku menutup mata.
Cintaku, sampai
ku menutup mata....”
*Acha Septriasa –
sampai menutup mata.
♥
♥
“Kak... Lista,” Bian pulang kerumah dengan
wajah sumringah. Membuat mereka saling berkerut kening.
“Gue
pacaran sama Jasmine. Gue menembaknya.” Ucapnya membuat mereka saling
berpandangan dan melongo.
“Serius?
Dia mau terima cowok sableng macem lo? Lista, Let’s prayer for her.” Erika memasang ekspresi berdoa dan membuat
Lista tertawa.
Bian
hanya tersenyum. Tak ingin membalas ledekan kakaknya untuk saat ini. Hatinya
terlalu bahagia untuk dirusak sedikit ledekan. Melatinya kini menjadi miliknya.
Melati yang berharga. “Udah ah, mama dan papah dimana?” Dan Erika menunjuk ke
lantai atas. Bian mengangguk. “Gue tidur dulu yah, Bye.” Ucapnya dan langsung
naik ke lantai atas dengan wajah sumringah.
Mereka
hanya geleng – geleng kepala melihatnya. Sisi lain Bian muncul lagi. Bertingkah
seperti anak kecil dan mereka menyukainya.
♥
♥
“Sayang...” Bian masuk dalam ruangan dengan
wajah tersenyum. Di tangan kirinya ada sebuket bunga segar yang dia beli di
depan rumah sakit khusus untuknya. Jasmine yang melihat senyum pacarnya,
tersenyum dan menutup novel yang baru kemarin dibelikan Bian untuknya.
“Bunga
yang indah. Aku suka.” Pujinya ketika melihat bunga itu diletakkan Bian di Vas
dan ditaruh di sampingnya.
“Seperti
kamu, sayang. Melatiku yang harum dan indah.” Sanjungnya dan mencium keningnya.
Jasmine menutup matanya. Berharap perlakuan Bian ini selamanya dapat dia
rasakan dan dia akan sangat bersyukur apabila keinginannya terwujud.
“Bian...
aku boleh minta sesuatu gak?” Tanyanya dan Bian menatapnya dengan tatapan
sayang lalu mengangguk. “Mau minta apa, melatiku?”
“Aku..”
Dadanya mulai terasa sakit lagi. Namun dia mengabaikan. Tak ingin pacarnya
panik dan rencananya berantakan. “hari ini tahun baru kan? aku ingin kita
merayakan hari jadian kita yang ke 4 bulan ini dengan jalan – jalan keluar. Aku
ingin liat kembang api, Bian.”
“Kamu
benar – benar menginginkannya?” Bian mulai ragu sekarang. Membawa Jasmine
keluar dari Poli sama saja membunuh gadis yang dicintainya perlahan. Namun dia
tak sanggup menolaknya melihat tatapannya begitu berharap padanya.
“Sangat
ingin. Aku ingin jalan – jalan dengan pacarku untuk pertama kalinya.” Jawabnya
tersipu.
“Jadi...
aku pacar pertama kamu ceritanya?” Dan Jasmine mengangguk malu.
Bian
tersenyum. Senang menjadi yang pertama dalam hidup gadis ini.“Aku bilang sama
doktermu dulu yah. Berdoa saja semoga kamu diijinkan.” Bian mencium pipinya dan
tangannya lalu keluar ruangan.
Sepeninggal
Bian, Jasmine memegang dadanya yang semakin sakit. Keringat dingin semakin
banyak keluar, napasnya mulai tersengal. Ingin pingsan rasanya. Namun dia
menahannya.“Please, Tuhan. Tunda... aku ingin merayakan tahun baru
dengannya. Please, Tuhan.... kabulkan permintaanku.” Harapnya dalam hati.
ÎÎ
“So
i lay my head back down
and i lift my hand and pray, to be only yours,
to be only yours, i pray...
your my only hope.”
and i lift my hand and pray, to be only yours,
to be only yours, i pray...
your my only hope.”
Bian
masuk lagi setelah setengah jam dia menunggu. Wajahnya terlihat muram. Namun
berusaha tersenyum ketika dia tersenyum. “Kenapa?” Tanyanya ketika Bian duduk
di samping dan menyentuh wajahnya.
“Aku
diomelin Om ku sendiri karna usulin kamu keluar. Benar – benar!” Gerutunya
ketika dia hampir setengah jam berdebat secara pribadi namun panas dengan
Omnya, Restu yang juga dokter Jasmine. Dan dia terpaksa mengalah karna omnya
mengusulkan taman rumah sakit yang paling kecil di sudut Poli Jantung namun
paling indah bisa dia gunakan untuk Jasmine. Mengingat tempatnya yang agak jauh
membuat para pasien jarang mendatanginya. Dan papahnya yang juga menjabat
sebagai direktur rumah sakit mengijinkannya asal di atas jam 10 malam.
Mengingat jam besuk sudah lewat.
“Jadi
gimana?” Jasmine tak bisa menghilangkan kekecewaannya. Dia sungguh ingin keluar
dengan Bian. namun lagi – lagi fisik tak mengijinkannya.
Bian
mengelus rambut panjangnya dan tersenyum. Dia ingin merahasiakan rencananya
yang sudah disusunnya setelah selesai berdebat dengan Omnya. Rencana yang dia
susun dengan papahnya yang super romantis itu dijamin membuat Jasmine akan
tersenyum bahagia untuknya.
Pintu
ruangannya terbuka dan masuklah Erika dan Lista ke dalam dengan senyum. Bian
sengaja menelponnya untuk membantunya menjalankan rencananya. “Hai...” Sapa
Lista manis sambil meletakkan tas besar di meja rias dan Erika melakukan hal
yang sama. Senyumnya terlihat bahagia.
“Kamu suka gak pergi ke pantai?” Tanya Bian dan dia mengangguk antusias.
“Aku
ingin mengajakmu ke pantai dekat sini. Aku tau pantai yang indah dan sepi.” Dan
Jasmine membelalakkan matanya. Keluar dari Poli? Oh... beranikah dia mewujudkan
apa yang diinginkan selama ini? Mimpikah?
“Serius? Bukannya kamu gak diijinkan sama dokter untuk bawa aku keluar?”
“Serius? Bukannya kamu gak diijinkan sama dokter untuk bawa aku keluar?”
Erika
melihat keraguan di mata Jasmine. Tersenyum. “Bukan Bian namanya kalau gak bisa
bujuk Omnya, Jasmine. Apa yang lo lakuin dengan om tersayang kita, Bian?”
“Sedikit
bantuan dari papah dan rayuan mama cukup meluluhkan hati Om Restu.” Bian
nyengir bagaimana kedua orangtuanya turun tangan membantunya dalam membujuk
Omnya sendiri.
“Aku
keluar dulu, yah. Ada yang ingin aku lakuin. I love you, Jasmine,”
Ucapnya tulus sambil mencium kening Jasmine dan keluar ruangan.
Jasmine
hanya pasrah ketika kedua kakak beradik
yang sangat cantik ini mempermaknya habis – habisan.
♥
♥
“Cantik...” Puji Bian ketika melihat Jasmine
keluar dengan memakai dress Erika bewarna peach yang ditutupi
dengan sweater bewarna senada serta flatshoes dan sedikit make
– up natural membuat wajahnya segar. Tidak pucat.
Jasmine
tersenyum dan menggandeng tangan Bian ntuk keluar Poli. Menghabiskan waktu
bersama selama dia ingin. Dan Bian dengan manis memperlakukannya ketika tiba
dimobil.
♥
♥
Pantai yang indah,” Pujinya ketika melihat
pantai pilihan Bian yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Terakhir dia ke
pantai pada umur 6 tahun. Waktu dia masih bisa lari keliling pantai walau napasnya
berat. Namun dia bahagia.
“Suka?”
Tanya Bian dan senang bisa melihat ekspresi Jasmine yang mengatakan dia lebih
dari bahagia. Membuatnya ikut tersenyum.
“Makasih,
Bian.” Ucapnya tulus dan merangkul tangannya lalu menyandarkan kepalanya di
pundak kanan Bian. sungguh tenang rasanya. Seakan melupakan waktu terus
berjalan, memotong jarak umur yang tersisa untuknya sekarang.
Bian
tersenyum dan mengelus rambutnya, “Anytime, Sayang.” Dan dia merangkul
Jasmine sambil menatap matahari telah terbenam. Menutup hari dengan sempurna.
“Jasmine?”
Panggilnya dan dia mengerjap – ngerjapkan matanya. Lalu menatap Bian yang
disampingnya.
“Iya...
kenapa?”
“Your
my sun for me. My Jasmine.” Ucapnya dan dia tersenyum. “Dan kamu adalah
malaikat penyelamatku, Bian.” balasnya dalam hati.
“Pulang
yuk? Ntar kamu dicariin dokter Restu lagi.” Jawabnya dan dia mengangguk. Jam
menunjukkan pukul 8 malam. Dan dia kedinginan sekarang.
“Dingin...”
Keluhnya sambil mengusap – usap tubuhnya sendiri. Membuat Bian melepas sweater
yang dia kenakan dan disampirkan ke pundaknya. “Masih dingin?” Dan Jasmine
menggeleng. Baginya, kehangatan tubuh Bian di sweaternya lebih hangat
dari apapun.
Bian
merangkulnya dan membukakan pintu mobil untuknya lalu dia masuk dan menjalankan
mobil meninggalkan pantai.
♥
♥
“Bian...” Panggilnya pelan ketika mobil sudah
tiba di depan rumah sakit. Entah kenapa, dadanya semakin sakit saja. Bahkan
kepalanya sudah mulai berputar – putar. Dia menyentuh lengan Bian pelan ketika
cowok itu sudah memparkirkan mobilnya sempurna.
“Astaga,
Jasmine! Badan kamu dingin sekali!” Serunya kaget ketika dia menyentuh tangan
Jasmine yang dingin. Bibirnya bergetar dan wajahnya pucat. Dia segera keluar
dari mobil lalu menggendong Jasmine keluar untuk dibawakan ke Poli. Namun cewek
itu menolak.
“Bian...
aku ingin liat kembang api,” Pintanya ketika mereka berbelok ke Poli dan
melewati taman yang sudah dijanjikan Bian untuknya agar bisa melihat kembang
api. Namun Bian menggeleng dan dia dibawa keruangan lalu ditidurkan di ranjang dan Bian hendak
meninggalkannya, namun tangannya ditahan.
“Demi
Tuhan, Jasmine! Kamu sakit! Aku akan panggilin dokter dulu untuk kamu!” Bian
berusaha melepas, namun Jasmine semakin erat memegangnya.
“Aku
ingin melihat kembang api, Bian. aku gak papa. Aku sehat. Please,”
Jasmine memohon penuh harap. Dia ingin mewujudkan impiannya.
Bian
bimbang. Antara ingin menuruti keinginan Jasmine atau tetap memanggil dokter.
Namun melihat wajahnya yang penuh harap, membuatnya mengalah. “Aku gendong kamu
ke taman atau didorong pakai kursi roda?” Tanyanya dengan helaan napas mengalah
dan menggenggam tangan yang memegang lengannya.
Jasmine
tersenyum. “Aku ingin digendong sama kamu, Bian.” Jawabnya dan dia tersenyum.
“Dengan senang hati aku menggendongmu, sayang. Melatiku.” Jawabnya dan dia
menggendong Jasmine keluar ruangan menuju taman yang sudah dia rencanakan
bersama papahnya untuk Jasmine.
♥
♥
“Aku mencintaimu,
Melatiku.”
“Jam
berapa sekarang?” Tanya Jasmine ketika dia berada di taman, duduk dengan Bian
yang merangkulnya. Dia menyandarkan kepalanya di pundak sambil meremas
tangannya di pinggiran dress. Dadanya semakin sakit. Namun dia
menahannya.
“Jam
10 malam. 2 jam lagi akan tahun baru, Sayang.” Bian menoleh dan panik melihat
wajah Jasmine semakin memucat.
“Kamu
harus di dalam ruangan, sayang. Bukan disini.” Bujuknya namun dia menggeleng
tegas.
“Aku
ingin melihat kembang api bersamamu, Bian. disini. Bukan di ruanganku.”
Jawabnya tegas.
“Bian...
ceritakan apa yang kamu impikan kepadaku. Aku mau tau,” Pintanya sambil terus
menatap langit.
“Tuhan...
sebentar lagi... aku ingin bersamanya. Please.” Pintanya dalam hati.
“Mimpiku
adalah bersamamu, Jasmine. Aku akan menyelesaikan kuliah secepatnya, mengambil
spesialis Jantung agar bisa mengobatimu, dan kita akan menikah. Itu mimpiku.
Bagaimana dengan mimpimu?” Tanyanya sambil menatap Jasmine yang semakin dingin.
“Aku...”
Dia terdiam. Mimpinya sangat banyak. Namun waktu takkan pernah bisa
mewujudkannya. “Mimpiku, hanya ingin bersamamu melihat kembang api disini, dan
itu terwujud sebentar lagi. Hanya itu, bian.” dia tersenyum.
“Maukah
kau berjanji padaku sesuatu, Bian?” Tanyanya. Napasnya semakin tersengal –
sengal. Dia semakin kedinginan dan dadanya serasa ingin pecah saking sakitnya.
Namun dia menahannya.
Bian
cemas melihat keadaan Jasmine yang semakin memucat. Dia berdiri dan ingin
menggendongnya. Namun Jasmine menggeleng tegas. “Aku gak mau.”
“Kamu
sakit, jasmine! Aku gak akan maafin diriku sendiri kalau kamu kenapa – apa
karna aku!”
“Aku
gak apa – apa, Bian. sungguh.” Jasmine menyentuh pipinya dengan tangan yang
dingin dan Bian meresponnya lalu duduk kembali.
“Maukah
kau berjanji padaku, Bian?” Tanyanya sekali lagi.
“Apa,
Melatiku?”
“Aku...”
Jasmine menarik napas yang mulai susah dia ambil, “Jika aku pergi, maukah kamu
menempatkanku di sudut hatimu paling dalam agar aku abadi disana?” Pintanya dan
membuat Bian kaget.
“Demi
Tuhan, Jasmine! Jangan ngomong seperti itu.”
“Just
promise, Bian.”
“Aku
akan menempatkanmu di sudut hati yang paling dalam dan tersembunyi agar kamu
abadi disini, Jasmine.” Dia meraih tangan Jasmine untuk diletakkan di dadanya.
“Bian...”
Panggilnya dan tersenyum. “Berjanjilah untuk tidak menangis dan mengutuk dirimu
sendiri bila aku pergi,”
“Jasmine...”
Panggilnya. Dia tak ingin gadis itu menyebutkan permintaan seolah – olah dia
akan pergi saat ini juga. Disaat dia sangat mencintai gadis itu. Melatinya.
“Aku
mencintaimu, Bian. sangat mencintaimu. Cintailah aku dalam diam. Simpanlah aku
dalam sudut hatimu yang paling dalam agar aku abadi selamanya dan tersenyumlah
jika aku memang meninggalkanmu. Aku hanya ingin senyummu.” Jasmine tersenyum
dan mencium pipinya pelan.
“Jasmine...
aku...” Bian terdiam dan mencium bibirnya lembut. Dia sangat mencintai gadis
ini sampai kata – kata indah pun takkan bisa menggambarkan perasaannya. Dan
Jasmine menyambut ciumannya dengan tulus. Murni perpisahan.
“Bian...
bolehkah aku memelukmu?” Pintanya setelah mereka berciuman dan dia menghapus
air mata di pipi Jasmine.
“Peluk
aku selama kamu ingin sayang.” Jawabnya dan memeluk Jasmine erat. Menghangatkan
tubuh gadis itu yang semakin mendingin.
Kembang
api mulai bermunculan di atas langit dengan indahnya. Jasmine melihat itu dan
tersenyum. Dia menatap Bian masih terpesona. Berterima kasih kepada Tuhan karna
mewujudkan impiannya yang terakhir. Pergi di pelukan orang yang paling
disayanginya.
“Aku
mencintaimu, Bian. tersenyumlah untukku.” Bisiknya dan dia mulai menutup
matanya pelan. Tertidur di pelukan Bian.
“Jasmine...”
Panggilnya namun dia tak menyahut. Tak ada lagi helaan napas terasa di
pelukannya. Bian masih menatap langit dan meneteskan air matanya. Lalu dia
menatap kebawah dan melihat Jasmine tertidur dalam senyum. Dia tersenyum dan
air mata semakin membasahi pipinya. Melatinya kini pergi. Meninggalkannya.
“Goodbye,
Lullaby. I love you.” Ucapnya pelan dan mencium kening Jasmine yang
tubuhnya mendingin.
“Aku
pergi. Dari dunia ini...
tapi aku meninggalkan satu hal.
cinta yang ku titipkan padamu.”
tapi aku meninggalkan satu hal.
cinta yang ku titipkan padamu.”
♥
♥
“Bian...” Panggil Erika ketika melihat adiknya
terdiam di taman sambil memegang sebatang rokok. Seharian dia tak berbicara
dengan Bian karna cowok itu sibuk dengan pemakaman Jasmine. Bahkan dia ikut
turun menguburkannya bersama saudara Jasmine yang lain. Selama itu juga, Bian
tak bicara pada siapapun. Dia hanya tersenyum dan menggeleng. Luka yang
ditanggung terlalu berat untuknya.
Erika
duduk disampingnya sambil membawa asbak. Siapa tau cowok itu membutuhkannya.
“Bian...” Panggilnya sekali lagi sambil menyentuh pundaknya pelan. Bian tak
bereaksi. Dia hanya menghisap rokok dengan pelan. Seumur hidupnya, Bian hanya
sekali ini merokok.
“Mungkin..”
Bian terdiam sambil menghisap rokoknya lagi. Dia menatap sendu langit yang
masih saja mendung. Seperti hatinya.
“Gue
akan lebih ikhlas kalau dia pergi karna khianatin gue. Dengan begitu gue punya
alasan untuk melupakannya dan membencinya. Gue masih bisa lihat dia hidup dan
bernapas walau bukan untuk gue, Kak. Tapi... dia pergi bukan karna itu, dia
pergi karna waktunya di dunia sudah habis. Gue gak punya alasan untuk bisa
melupakannya, Kak.” Bian terdiam dan menghela napas. Masih ingat bagaimana
hancur hatinya ketika dialah yang menguburkan Jasmine bersama yang lainnya. Dan
dialah yang terakhir pulang dari pemakaman.
“Dia
pergi dalam pelukan gue, Kak. Meminta gue tersenyum di saat kepergiannya. Lo
tau, kak. Itu sakit...” Runtuh pertahanannya sekarang. Bian menginjak rokok
yang belum habis dia hisap ke tanah dan menutup wajahnya dengan tangannya.
Hancur pertahanannya berusaha tabah seharian, seolah tak kehilangan. Padahal
hatinya saat itu juga ikut mati. Bian menangis mengingat besok dan besoknya
lagi, dia takkan pernah melihat melatinya lagi tersenyum ke arahnya setiap dia
datang. melatinya...
Erika
tak pernah melihatnya menangis segitu emosinya. Dia menghapus air mata yang
turun dari matanya dan menepuk pelan punggungnya. “Cerita aja apa yang lo rasa,
dek. Jangan dipendam.”
“Lo
tau permintaan dia sebelum pergi, kak?” Tanyanya dan tersenyum miris. “Aku
mencintaimu, bian. sangat mencintaimu. Cintailah aku dalam diam, simpanlah aku
dalam sudut hatimu paling dalam agar cintaku abadi disana.” Bian mengulang
ucapan Jasmine dan air matanya semakin menetes.
“Seebelum
dia minta, gue sudah mencintainya, Kak. Dia...” Bian terdiam. Kata – kata indah
di dunia ini takkan bisa mendeskripsikan betapa cintanya dia.
“Dan
dia minta gue tersenyum kak walaupun dia tak ada lagi. Apakah gue bisa, Kak?”
Tanyanya dan memeluk Erika erat. Dia butuh pegangan. Tubuh dan hatinya rapuh.
“Gue
mencintainya, Kak.”
Flashback Off.
“Bian...”
Panggilnya membuatnya kaget dan menoleh ke belakang. Dia melihat Erika
menatapnya bingung di depan pintu. Dia teringat Jasmine hingga tak mendengar kakaknya
masuk.
“Kenapa
lo nangis?” Tanyanya dan Bian terdiam sambil melirik foto – fotonya yang
berserakan di meja belajar. 3 tahun 7 bulan waktu yang sangat lama untuk
melupakan sosok Jasmine yang mengakar dihatinya.
Erika
memakluminya. Bian memang sensitif sejak saat itu. “Kunjungi dia deh kalau lo
kangen.” Sarannya dan Bian tersenyum.
“Gue
pergi dulu yah, mau kunjungin Jasmine. Melati gue.” Ucapnya dan menatap fotonya
sekali lagi lalu tersenyum.
♥
♥
“Hai Jasmine, melatiku. Bagaimana kabarmu
disana?” Bian tersenyum di depan makam Jasmine dan meletakkan sebuket bunga
melati segar di atas makamnya.
“kalau
kamu tanya kabarku, kamu bisa lihat sekarang kan? butuh waktu lama untuk
bangkit, sayang.” Bian tersenyum dan memegang nisannya. “Tapi... aku menepati
janjiku, Jasmine. Selamanya kamu ada dihatiku. Melatiku. Aku mencintaimu.” Dia
tersenyum dan berdiri. Samar – samar, dia mencium bau melati disekitarnya.
Padahal dia tau tak ada yang menanam bunga melati disekitarnya. Membuatnya
tersenyum.
“Tetaplah
disampingku, Jasmine. Walau kau tak terlihat. Tapi aku merasakannya.
Because, Our love is like the wind. You can’t touch. But you can feel it.” Ucapnya
dan pergi meninggalkan makam Jasmine dengan senyum di wajahnya.
“Bawalah pergi
cintaku.
Ajak kemana yang kau mau
jadikan temanmu, memeluk paling kau cinta
disini ku pun begitu, terus cintaimu dihidupku
di dalam hatiku, sampai waktu yang temukan, kita nanti.”
Ajak kemana yang kau mau
jadikan temanmu, memeluk paling kau cinta
disini ku pun begitu, terus cintaimu dihidupku
di dalam hatiku, sampai waktu yang temukan, kita nanti.”
*Afgan – bawalah
Cintaku.
Di
kejauhan, ada seorang wanita berpakaian putih, rambut hitam lurus ikal menatap
kepergian Bian dengan tersenyum manis. “Aku akan selalu disampingmu, Bian.
sampai kau menemukan melatimu yang sesungguhnya. Aku mencintaimu.” Bisiknya
tulus yang dibawa pergi oleh angin sebagai doa tulus untuk pria yang
dicintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar