Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Be Yours?! DAMN! Special part - Who I am To Say. (Erika's Story)





“Someone like you. Always hurting but, never give up.”

            “Erikaa...” Aku terbangun ketika suara lembut itu memanggilku. Aku berusaha tidur lagi, namun ternyata si empunya suara lembut itu tak membiarkanku tenggelam di alam mimpi lebih lama lagi. Dengan sigap, dia menarik – narik kedua kakiku hingga keluar dari selimut.

            Aku mengerang dan membuka mata perlahan. Sinar Matahari pagi yang terpancar dari jendela kamar sangat menyilaukan. Aku memicingkan mata dan melihat mamaku berada di depan tempat tidurku dan berkacak pinggang.
            “Kenapa ma?” Tanyaku dan duduk dengan rambut panjang menutupi sebagian muka dan mataku. Hingga seperti Dajjal, Setan bermata satu yang kulihat di buku yang malam tadi kubaca. Pemberian dia.
            Mamaku, Erza Noor Assifa. Seorang wanita paling cantik pernah ku lihat dan aku bangga mewarisi kecantikannya itu. Adikku, Elista, mewarisi wajah dan sifat kedua orang tua kami. Sedangkan kembaranku, Febrian, hanya kegantengan papahku. Itupun sudah membuatnya besar kepala dengan selalu menggoda cewek – cewek yang kepergok meliriknya.
            “Kamu kuliah jam berapa hari ini?” Di umurku yang 20 tahun ini, mamaku masih saja bertanya aku kuliah jam berapa. Seolah – olah aku baru saja masuk kuliah dan semester pertama. Padahal aku sudah jalan semester 5 Jurusan Kedokteran. Tak usah dikhawatirkan lagi untuk urusan seperti ini.
            “Jam 1 siang ma.” Jawabku dan duduk di tepi ranjang sambil mengacak – acak rambut. Ini sudah kesekian kalinya aku tidur dengan mata berkantong seperti Panda, rambut kesana – kemari seperti kesetrum, dan tatapan mata yang kata Bian, seperti ingin menerkam orang.
            Aku merebahkan kepalaku lagi di kasur yang empuk. Sebelum kepalaku benar – benar menempel, dengan kejamnya mama menarik bantal. “Gak boleh tidur lagi!” Perintahnya.
            “Yaaahh... ma, Rika baru aja tidur jam 3 subuh! Sekarang baru jam 7 pagi. Kuliah jam jam 1 siang. Ayolah... ngantukkk...maa...” Aku memohon dengan mata sayu. Otot mataku mengejang karna menahan kantuk. Membuat kepalaku sakit lagi.
            “Tapi.. tadi Yudha nelpon tuh ke rumah. Katanya mau jemput kamu kuliah. Gak siap – siap?” Umpan mama berhasil. Mendengar namanya, aku langsung tegak lagi.
            “Yudha?” Dengan cepat aku mengambil ponsel dan melihat ada sms disana. Dengan riang aku membalasnya. Melupakan kehadiran mama yang sudah mengeluarkan “taring” interogasinya.
            “Ehm... Katanya mau tidur lagi.” Godanya dan aku tak tau harus bereaksi apa selain menundukkan wajah malu.
            “Maa... ketahuan banget yah Rika naksir Yudha?” Aku bertanya kesekian kalinya pada mamaku soal Yudha, sahabatku sejak kami sama – sama masuk kedokteran. Dan entah kapan, perasaan suka itu hadir di antara persahabatan kami. Padahal aku tau kami takkan bisa bersatu kalaupun ingin, karna tradisi keluarganya mengatur demikian. Dan perbedaan agama juga semakin membuat jurang pemisah semakin lebar dan satu – satunya jalan untuk bersama adalah membangun jembatan persahabatan di antaranya.
           
            Aku tau mamaku berpikiran demokratis. Tapi, tak menutup keyakinan mamaku akan menyuruhku berpikir bila Yudha adalah kekasihku. Mengingat banyak perbedaan di antara kami. “di mata mama sih kelihatan banget. Sahabat tapi cinta nih ceritanya?” Godanya dan aku semakin menutup wajah dengan boneka Panda pemberian Yudha di saat aku ulang tahun ke- 20 minggu lalu.
            “Udahlah, ma...” Aku mendorong mamaku pelan ke samping dan dia hanya tertawa melihat tingkah maluku. Kalau Bian melihat ini, aku jamin dia akan membuatku lebih merah dari ini. Kalau perlu sampai mengeluarkan air mata saking malunya.
            “Jalani aja persahabatan kalian. Jangan terlalu berharap. Nanti kamu sakit. Sudah tidur lagi. Kasian tuh kantong mata kamu tambah bengkak. Keliatan tua.” Mama tersenyum dan keluar dari kamarku sambil menutup pintu.

            Seperginya mama, aku terdiam. Memikirkan ucapannya barusan dan mataku tertumbuk pada foto – foto di dinding kamarku yang penuh dengan kami berdua bersama Siska dan Winda. Sahabatku. Merasa pusing semakin menjadi – jadi, aku memutuskan tidur lagi. Berharap Yudha menjadi milikku walau hanya dalam mimpi.
           
           
♥ ♥

          “Aku membangun jembatan di antara jurang. Jagalah jangan sampai rubuh. Karna jembatan itulah satu – satunya cara agar aku dekat denganmu.

          “Rikaa...” Suara bariton yang seksi dan lembut sangat ku kenal menggangguku. Aku menutup telingaku dengan bantal dan berbalik ke samping. namun suara itu memanggilku kembali. lebih lembut.  Bahkan kakiku menjadi geli karna digelitikinya. Membuatku mengerang.
            Dengan perlahan, aku berbalik.  perlahan membuka mata dan... “Yudha?” Aku shock berat. Sahabatku, cowok yang kusukai, ada di samping tempat tidurku. Melihat rambutku yang acak – acakan. Baju piamaku yang sudah sangat lusuh ini.

            Oh Tuhan, apakah aku baik – baik dimatanya sekarang? Apakah ada air liur menetes di pipiku? Apakah aku mengigau? Sejak kapan dia disini?
           
            Seolah tau aku sibuk bertanya dan merutuk pada Tuhan, dia tersenyum. Membuat tuntutanku berhenti dan mengerang dalam hati. Tuhan... senyumnya manis sekali. “Lo gue telpon gak ngangkat. Yaudah, gue kesini. Dan nyokap lo nyuruh gue masuk aja ke kamar lo. ckckckc... percaya amat nyokap lo ma gue.” Dia dengan santainya berdiri dan berjalan mengitari kamarku dan tersenyum melihat  Biola, alat musik kesukaanku ada di atas meja belajar dan Tom, sebenarnya kucing dia juga. Mengingat kami patungan membelinya dan dia tak diijinkan mempunyai kucing karna alergi bulu yang parah. membuat Tom yang waktu itu masih berumur beberapa bulan, menjadi milikku.
            “Yaiyalah nyokap gue percaya. Mengingat wajah lo bukan wajah penjahat. Lagipula, kalaupun lo macam – macam ma gue, gue bisa hajar lo sampai tak bertulang.” Dan dia mengacungkan jari tanda setuju. “Ngapain juga gue macam – macam sama lo? terlalu beresiko bikin wajah ganteng gue hancur.” Aku hanya mencibir walau dalam hati menyetujuinya. Dia memang ganteng. Wajahnya mengingatkan pada penyanyi kesukaanku, Afgan. Dengan suara baritonnya yang seksi, Jari – jarinya yang juga seksi saat memetik gitar, dan romantis dalam menciptakan lagu. Untuknya atau untuk kami. Kata – kata setiap liriknya membuatku tersentuh dan berharap di antara sekian banyak lagu yang diciptakannya, ada sedikit tentangku.
            Seekor Cicak tau – tau mendarat di pahaku. Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan menjerit ketakutan. Dia hanya tertawa dan mengambil cicak yang ternyata hanya mainan. Membuatku merengut. “Lo!” Dan dia semakin tertawa. “Siapa suruh melamun? Udah sana. Mandi terus temanin gue ke cafe bentar sebelum ke kampus. Gue mau latihan bentar buat ntar malam.”
            “Ntar malam ada apa emangnya? Tampil lagi?”
            “Malam kan ada acara amal dan gue main Gitar akustik. Datang yah.” Dia menatap penuh harap dan aku tanpa ragu mengangguk.
           
            “Apa sih yang gak buat lo, Yudh? Udah sana! Gue mau mandi! Lo gak mungkin disini kan nungguin gue?”
            Tiba – tiba, seringai menggoda hadir di wajahnya. Terlihat semakin... Ganteng. “ Bisa kok. kalau lo yang nyuruh gue disini. Dengan senang hati gue turutin. Siapa sih yang gak bisa nurutin permintaan sahabat cantik gue satu ini?” Dengan enteng dia mencolek daguku dan bisa dipastikan, wajahku langsung merona.
            “Yudhaaaaa...” Aku berteriak keras ntuk menghapus wajah malu. dan dia tertawa sambil keluar dari kamarku dan menutup pintu.

            Sepeninggalnya. Aku langsung lari ke lemari baju, menyiapkan pakaian terbaik untuk bersamanya. Setelah selesai, aku langsung mandi secepat dan seharum mungkin.

♥ ♥

            “Terlalu banyak perbedaan. Sehingga aku hanya bisa berlindung di balik kata sahabat. Tapi, sampai kapan aku mampu bertahan, sayang?”

            Gue gak nyangka waktu bertamu di rumahnya, langsung berhadapan langsung dengan nyokapnya, Men! Oh God! Gue kagok melihat kecantikan nyokapnya yang memang 100% ada di diri Erika. Sahabat sekaligus cewek yang membuat gue sampai saat ini berusaha menolak perjodohan konyol yang dibuat oleh keluarga gue hanya karna ingin mengikuti tradisi konyol yang sudah ada jaman Siti Nurbaya itu. Dan gue korbannya. Disuruh menikah dengan cewek yang hanya keluarga besar gue kenal, tapi gue buta sama sekali.
            “Eh Yudha.. ayo masuk. Erika sedang tidur. Kamu bangunin aja di kamarnya.” Suara mamanya membuyarkan lamunan dan gue langsung Shock!
           
            Membangunkannya? Di kamar? Gue? Gak salah?

            Seolah tau kebimbangan gue, nyokapnya tersenyum. “Gak papa kok. siapa tau kalau kamu bangunin, dia mau. Tadi sudah tante bangunin tapi dia gak bangun – bangun.” Jelasnya. “Gak papa, tante? Yudha cowok loh.” Gue mencoba meyakinkan pikiran nyokapnya yang agak WAW di telinga gue dan sekali lagi, senyuman Erika terlihat di wajah nyokapnya. “Tante juga tau kamu cowok. Yang tante khawatirin malah kalau kamu banci. Kan susah mengingat dia anti sama banci. Kamu bangunin yah.” Pintanya dan dengan bloon gue mengangguk. Penuh semangat malah. “Ok tante. Kamar Rika dimana?”
            Dengan santainya tante gue menunjuk kamar Rika di lantai dua dan gue langsung menuju kesana dengan deg – degan seperti mau nyodorin skripsi dengan judul mengapa kodok dilahirkan kembar kepada dosen killer.
            Gue masuk ke kamarnya hati – hati dan melihat dia tidur sambil memeluk guling dan wajahnya, Tuhan... sangat damai sekali. Seperti melihat bidadari sedang tertidur. Gue sanggup berada disini selamanya hanya untuk melihatnya tertidur.
            Tapi, gue kaget ketika dia memanggil nama gue disela tidurnya. Mimpikah gue? “Yudhaaa...” Dia memanggil lagi dengan suara lembutnya. Membuat gue ingin menyahut panggilannya dengan kata “Iya sayang...” tapi, itu gak mungkin, kan? jadi, dengan berat hati gue berbisik memanggil namanya dengan setulus hati. Segenap perasaan yang gue miliki untuk bidadari yang sedang terlelap ini. Dia menggeliat dan berbalik sambil menutup telinganya dengan bantal. Membuat gue tersenyum dan dengan penuh sayang gue gelitiki kakinya. Dia pun berbalik ke arah gue dan matanya yang coklat itu melotot kaget ketika gue di sampinngnya. “Yudha?” Gue bisa merasakan nada pertanyaan dan kaget kenapa gue ada disini sekarang.
            Rambut panjangnya yang biasanya rapi, selalu dihiasi pita – pita, kini acak – acakan khas bangun tidur, baju piama lusuhnya melekat di tubuhnya, dan wajah cantiknya yang kaget itu membuat gue terbius untuk beberapa saat.
            Sebelum dia sadar karna gue terlalu terpesona, gue berdehem kecil. ““Lo gue telpon gak ngangkat. Yaudah, gue kesini. Dan nyokap lo nyuruh gue masuk aja ke kamar lo. ckckckc... percaya amat nyokap lo ma gue.” Sambil berkata begitu, gue memutuskan berkeliling di kamarnya dan melihat alat musik Biola, alat musik yang sangat gue sukai dan dia menyukainya juga serta Tom di dalam kandang yang sudah besar. Well, sebenarnya hanya akal – akalan gue saja ntuk beralasan gue alergi bulu kucing parah dan menyerahkan Tom padanya. Sebenarnya gue sengaja membelikannya kucing mengingat waktu gue ajak ke petshop matanya tak lepas dari Tom dan membuat gue rela membelikannya Cuma – Cuma. Tapi, dia menolak dan mengusulkan ntuk patungan saja. Ingin rasanya gue bilang gak usah, tapi takut radar curiganya mendadak On, gue akhirnya mengiyakan dengan senang hati walau dalam hati merutuk habis – habisan.
            Dia menjawab dengan candaan pula dan gue respon dengan acungan jempol. Dan dia menjawabnya lagi hingga gue memutuskan untuk menggodanya. Membuatnya mencibir. Salah satu kesukaan gue dalam dirinya.
            Melihat dia melamun, gue mengeluarkan cicak mainan yang sengaja gue selipin di kantong dan gue lempar ke arahnya. Membuatnya langsung meloncat bangun dan berteriak ketakutan. Gue tertawa melihatnya dan mengambil cicak itu. Sedangkan dia, menatap gue penuh emosi. “Lo!” Teriaknya dengan jari menunjuk ke wajah gue. Gue semakin tertawa melihatnya. Bahkan disaat emosi pun, dia sangat cantik dimata gue.
           
            “Siapa suruh melamun? Udah sana. Mandi terus temanin gue ke cafe bentar sebelum ke kampus. Gue mau latihan bentar buat ntar malam.”
            “Ntar malam ada apa emangnya? Tampil lagi?” dia bertanya dan gue mengerang. Tuhan... kenapa dia lupa dengan acara penting gue?!
            “Malam kan ada acara amal dan gue akan mainin gitar akustik.  Datang yah.” Ingin rasanya gue meloncat ntuk memeluknya ketika dia mengangguk senang.
            “Apa sih yang gak buat lo, Yudh? Udah sana! Gue mau mandi! Lo gak mungkin disini kan nungguin gue?” Gue semakin ingin terbang mendengarnya berkata seperti itu dan sebagai responnya, gue menggodanya.
            “Bisa kok. kalau lo yang nyuruh gue disini. Dengan senang hati gue turutin. Siapa sih yang gak bisa nurutin permintaan sahabat cantik gue satu ini?” Gue mencolek dagu lancipnya. Satu mimpi gue terwujud hari ini untuk menyentuh wajah mulusnya setelah 2 tahun ini gue hanya puas memandangnya dekat tanpa bisa gue sentuh. Seperti biasa, wajahnya langsung merona malu.
            “Yudhaaaaa...” Dia berteriak dan melemparkan bantal ke arah gue. Gue dengan gesit langsung menghindar dan keluar kamarnya dengan senyum. Hati gue dipenuhi bahagia saat ini.
            Di bawah, gue melihat Bian, salah satu teman akrab gue di kampus,sekutu di lapangan Basket serta mentor gue dalam bermusik, khususnya gitar mengingat dia sangat berbakat selain menggoda cewek dan juga kembaran Erika. Seandainya gue gak tau Bian kembarannya, mungkin gue akan bunuh diri melihat kedekatan mereka di kampus yang mengalahkan pasangan paling romantis sekalipun. Dengan mantap gue menyapanya dari atas dan bergegas turun ke bawah.


“Salahkah diriku ini ,apabila rasa ini, ada dihatiku
kau memang sahabatku, kau memang teman baikku
Dan aku, jatuh cinta padamu.”

          Aku turun dengan hati deg – degan. Dengan rok panjang bewarna peach yang menyelimuti kakiku, baju berlengan pendek dan wedges berhak rendah mengingat dosen mata kuliah ku hari hari ini tak menginginkan mahasiswinya dibalut celana Jins super kentat dan baju kaos. Dengan mantap menuruni anak tangga dan berjalan anggun seperti Cinderella dan melihat Yudha asyik memetik gitar dan Bian mengiringinya dengan piano di ruang keluarga.
            Entah apa, dia melihatku ke atas dan tersenyum lalu melanjutkan permainannya. namun tidak dengan Bian, dia mengikuti tatapan Yudha dan melihatku. Seringai godanya muncul. “Cantik banget lo kak hari ini. Beneran deh! kalah Ibu Pur kalo liat penampilan lo! iya kan, Yudh?” Dengan tenangnya dia meminta pendapat pada Yudha yang kini juga menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Lalu tersenyum. “Iyaa... kakak lo cantik banget. Andai gue gak sahabatan, udah gue pacarin kali.” Jawabannya membuatku kaget.
            Bian tak kalah kagetnya. Dia tau aku menyukai Yudha dari dulu. Dan wajah keterkejutannya langsung hilang. “Well, kaka gue gitu loh. Jangankan lo, Yudh. Andai Kak Rika bukan kakak gue, udah gue pacarin kali yah. Dia cewek paling cantik yang pernah gue lihat. Saking cantiknya, matipun gue rela asal demi dia.” Bian mengedipkan matanya. Membuatku merona.
            “Apa – apaan sih lo!” Aku menyerangnya dan dia tertawa. “Yuk, Yudh. Bisa gila lo dekat dengan Bian. dia penyebar virus!” Spontan, aku menarik lengannya menjauh dari piano. Membuat kami saling bertatapan dan melepas pegangannya segera. Aku bisa merasakan panas di wajahku semakin meningkat. Mengalahkan orang demam tinggi.
            “Virus cinta kak.” Bian menjawab enteng.
            “Virus patah hati!” Aku tak kalah sinisnya. Sudah banyak temanku menjadi korban patah hatinya karna dia terlalu mengumbar pesona. Dan dia menganggap enteng dengan peringatanku dan semakin menjadi – jadi.
            Yudha tertawa melihat pertengkaran kami. Lalu dia mencolek pundakku. “Yuk, Rika.” Ajaknya dan aku keluar dari rumah dan berjalan beriringan dengannya.

            “Ok... selamat tinggal pasangan kekasih yang berbunga – bunga , eh... pasangan sahabat yang setia maksudnya,” Entah sengaja atau tidak, Bian mengucapkan itu dan memainkan sebuah lagu That Somebody Was You – Tony Braxton, penyanyi favoritku dan menyanyikannya sepenuh hati. Dalam hati aku menyumpahi perilaku Bian dan meneruskan langkahku keluar tanpa memberi balasan.
            Yudha hanya menoleh ke arah Bian dan tersenyum. Lalu dia merangkul lenganku seolah – olah mengiyakan apa perkataan Bian. bisa didengar, adik sablengku semakin nyaring bernyanyi sampai keluar rumah.

♥ ♥

          Well, gue kaget luar biasa dengan apa yang dikatakan Bian waktu kami keluar bareng. Selamat jalan, pasangan kekasih? Ckckck... tapi, harus diakui, cukup membuat gue langsung terdiam dan berhenti. Gue menatap Erika yang menurut gue sangat cantik hari ini. Dengan rok panjang, bajunya yang pendek dengan bahan halus, dan rambutnya yang terurai. Dia sama shocknya dengan gue. Tapi, dia mengendalikannya dan terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
            Gue, menoleh ke arah Bian yang asyik saja menyanyikan lagu yang jujur, juga kesukaan gue. Bian sadar dengan tatapan gue, mengedipkan mata dan gue membalasnya dengan senyum lalu menggandeng lengan kakaknya. Dia semakin semangat bernyanyi.
            Well, Kita bawa mobil sendiri – sendiri kan?” Pertanyaan Erika membuat gue terhenti.
            “Gak... kita bareng ke kampus. Terus gue antar balik kerumah. Gimana?”
            Please, say yes. Say you want it.
            Tanpa disangka, dia mengangguk dan tersenyum ke arah gue. “Ok deh. udah lama gak bareng lo ke kampus.” Jawabnya dan dengan semangat ’45, gue langsung setengah berlari ke mobil dan membukakan pintu depan ntuknya dengan gaya seperti dia seorang Ratu. Membuatnya tertawa. “Konyol lo, Yudh.” Ucapnya dan masuk. Setelah itu, baru gue berlari masuk ke dalam mobil dan menjalankannya. Meninggalkan rumah.

            Lama di perjalanan kami habiskan dengan saling berdiskusi. Kecantikan dan kepintaran serta care membuat gue semakin menyukainya. Banyak yang mengincar sahabat gue yang satu ini. Bahkan terang – terangan banyak  yang minta dicomblangin lewat gue. Bisa dibayangkan, dengan halus gue menolak permintaan mereka bahkan gue gagalkan dengan secara halus setiap usaha mereka. Ok, itu licik. Tapi gue gak bisa terima kalau dia jadian sama cowok lain yang tak sesuai dengan apa yang dia punya. Bidadari gue, pantas mendapatkan yang terbaik. Walaupun gue kadang berharap, yang terbaik itu adalah gue.
            “Yudh...” Panggilannya membuyarkan lamunan. “Apa?”
            “Kayaknya lo kelewatan deh,” Dia menunjuk Cafe yang menjadi tempat tujuan menjadi kelewatan karna gue melamun. Dengan segera, gue memutar mobil ke arah kanan dan belok ke kiri untuk masuk ke halaman Cafe.
            “Gue suka cafe disini,” Pujinya dan gue tersenyum. “Gue juga. Adem.” Ingin rasanya saat berkata begitu, gue menoleh ke arahnya dan tersenyum. Tapi, dengan berat hati gue memilih untuk puas menatap ke arah depan Cafe yang memang mengundang untuk masuk.
            “Yuk...” Dia melangkah riang masuk ke cafe dan tersenyum kepada beberapa orang yang dikenalnya dan bercanda. Gue puas mengiringi berjalan di belakang. Tangannya yang terayun kesana – kemari, ingin rasanya gue tangkap terus gue gandeng. Tapi, gue hanya bisa menolak ajakan hati gue itu dengan sedih dan sebagai gantinya, gue merangkul pundaknya dan masuk ke dalam.

♥ ♥

          Hampir setengah jam aku ada disini. Menemani Yudha yang asyik memainkan gitarnya di depan. Dan aku memutuskan duduk paling pojok sambil mengeluarkan buku bacaan yang belum selesai ku baca dan terhanyut dengan kisahnya. Perilaku Yudha hari ini membuatku heran. Rangkulan di pundakku, senyumnya yang lebih sering, dan tatapan matanya, entahlah... semua terlihat tidak biasa. Membuatku...
            Tiba – tiba, ponselku bernyanyi. membuat lamunanku terhenti dan memutuskan mengangkatnya. “Halo...”
                        Suara Siska, salah satu sahabatku yang entah kenapa, akhir – akhir ini selalu mendekati Yudha. “Lo dimana, Rika?”
            “Gue di cafe sama Yudha. Temanin dia bentar.” Aku yakin, terdengar desahan kecewa dari suara serak – serak seksi yang menelponku sekarang ini.
            “Gak... tapi lo ke kampus kan?
            “Yap. Sama Yudha. Mungkin bentar lagi kami ke kampus. Nunggu Yudha selesai ma urusannya. Kenapa, Sis?”
            “gak kok.” Ada jeda sebentar. Lalu suara Siska terdengar lagi. “Rika... lo sama Yudha kan?” Dan aku mengangguk walau dia tak melihat. Sempat mataku dan Yudha saling bertatapan, lalu kami melempar senyum. “Gue titip salam yah sama Yudha. Sekalian, ada yang mau gue omongin sama lo. Bubye, Riri sayang... Siska memanggil nama panggilanku yang lain dan memutuskan telpon dengan riang. Hatiku entah kenapa sakit sendiri.
            Menyampaikan salam Siska pada Yudha? Sanggupkah?
            “Hai...” Yudha duduk di depanku dan dengan sengaknya meminum pesananku dengan enteng. Tanpa menyadari tatapan mataku ke arah sedotan bekas bibirnya. Apabila aku meminumnya lagi, apakah kami berciuman secara tak langsung? Pikiran itu langsung kusingkirkan secepat mungkin.
            “Kenapa lo?” Tanyanya melihatku menepuk pipi sendiri.
            “Tadi Siska nelpon. Dia bilang salam cinta dan sayang untuk lo. cieee... sahabat gue laku juga ternyata.” Aku memutuskan menyampaikan pesan Siska dan sedikit menambah – nambahi agar Yudha salting.
            “Oh...” Hanya itu respon Yudha dan tertawa melihatku melongo. “Udah biasa banyak cewek yang kirim salam sama gue. Bukan Cuma Siska doang. Yuk.” Dia langsung menarikku untuk keluar cafe.
            “Gue belum bayar minuman, Yudh.” Aku mencoba berhenti, namun Yudha semakin menarikku sambil melirik jam tangannya.
            “Kita telat kalau gak cepat, Rika. Udah gue bayarin saat lo telponan, ayooo..” Aku termangu mendengarnya dan buru – buru mengikuti langkahnya yang semakin cepat menuju mobil.

♥ ♥
            Siska nitip salam sama gue? Well, itu bukan berita baru lagi mengingat dia adalah salah satu kandidat calon tunangan gue karna kedua orang tuanya dekat dengan ortu gue dan kami cocok untuk disatukan secara tradisi konyol itu. Tapi, gue gak nyangka dia menitip salam lewat Erika. Ahhh..  seandainya Erika tau.
            Gue langsung menjawab datar menanggapi salamnya dan dia melongo. Dengan cepat gue memberikan alasan kalau sebelum dia, banyak yang nitip salam sama gue lewat yang lain. Jadi salam Siska biasa aja di mata gue. Baru dia percaya. Padahal sebenarnya gue tak ingin membahasnya.
            Dengan cepat gue menariknya keluar cafe dengan alasan kami mau terlambat. Memang itu bukan alasan karna waktu sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Jalan raya tak bisa diprediksi dan gue gak mau mengambil resiko terlambat ke kampus mengingat dosen hari ini killer luar biasa.
            “Tapi gue belum bayar, Yudh.” Teriaknya sempat membuat langkah gue terhenti dan dia menarik tangannya. Hati gue langsung merasa ada yang lepas ketika dia melakukan itu.
            “Udah gue bayarin waktu lo telponan sama Siska.” Dia hanya terdiam dan seolah hendak mengatakan sesuatu. Namun tak jadi dan memutuskan untuk mengikuti gue menuju mobil setengah berlari.

            Sepanjang perjalanan, dia memuji permainan gitar gue dan menyukai musiknya. Well,  gue memainkan depeape – One. Salah satu band gitar akustik kesukaan gue dan ntah kenapa, gue suka memainkannya apabila Rika ada disekitar gue. Bahkan, ide – ide ntuk membuat lagu pun semuanya karna dia ada. Mungkin benar kata pepatah, cinta membuat apa yang ngadat menjadi ngalir bagai air mengalir. Seperti gue alami sekarang.
            “Yudh...” Dia memanggilnya dan gue merespon dengan menoleh. “Iyaa...”
            “Pernah suka sama sahabat sendiri gak?” DEG! Pertanyaan ini kenapa harus keluar sekarang?
            “Gak kok. kenapa?” Gue menarik napas dan menjawab dengan nada tenang. Walau dalam hati, gue gugup.
            Gue melihat ekspresi wajahnya terlihat berpikir. “Kalau misalnya lo sayang sama sahabat lo sejak lama, terus ada cowok yang nitip salam ntuk sahabat lo, apa yang lo lakuin? Lo kasih tau atau lo diemin? Pura – pura gak ada yang ngasih salam ke sahabat lo itu?”
            “Gue diemin dan gue bilang ma tuh cowok kalo sahabat gue udah punya pacar! Yaitu gue sendiri!” Gue menjawab lantang dalam hati. Dengan sedikit berdehem untuk menyamarkan emosi, gue menjawab “Yaa gue kasih taulah. Kalau perlu gue dorong sahabat gue itu ntuk pacaran sama teman gue. Itung – itung jadi mak comblang. Hahahhaa... kenapa, Rik?” Gue menjawab dengan tertawa. tapi jujur, hati gue sakit, MEN!
           
“Gak...” Rika hanya tersenyum menjawabnya. Pikirannya ke arah lain. Entah kenapa, gue takut.
            “Jangan sampai lo comblangin gue sama Siska atau cewek lain, Rika! Karna hanya lo, yang gue inginkan.”

♥ ♥

          “Pernah suka sama sahabat sendiri gak?”
            Bodoh! Kenapa gue nanya pertanyaan sinting macam ini?!” Aku merutuk dalam hati.
            Takut – takut, aku meliriknya. Eskpresi wajahnya datar.   “Gak kok. kenapa?” Entah kenapa, aku berharap dia menjawab “iya, kenapa?” Tapi aku sadar, itu akan membuatku bertanya – tanya. Siapa?
            Sudah kepalang basah. Nyebur aja sekalian. Itu prinsipku “Kalau misalnya lo sayang sama sahabat lo sejak lama, terus ada cowok yang nitip salam ntuk sahabat lo, apa yang lo lakuin? Lo kasih tau atau lo diemin? Pura – pura gak ada yang ngasih salam ke sahabat lo itu?”
           
            please, jawab apa saja. Apa saja.
             “Yaa gue kasih taulah. Kalau perlu gue dorong sahabat gue itu ntuk pacaran sama teman gue. Itung – itung jadi mak comblang. Hahahhaa... kenapa, Rik?” Dia menjawab sambil tertawa. Oh Tuhan... kenapa aku sakit begini?
            “ Gak papa.” Hanya itu jawabku dan memutuskan “melarikan diri” dengan melihat sisi jalan yang penuh dengan kendaraan. Aku melamun. Apa jadinya kalau aku, sahabatnya, mencomblangkannya dengan Siska atau cewek lain sedangkan aku suka dengannya? Sanggupkah aku? Kuatkah aku?
            “Kenapa sih, Rika? Lo aneh deh.” Dia bertanya sekali lagi dan melirik spion kirinya untuk ancang – ancang berbelok ke arah kampus kami.
            “Gak... gue mikir aja untuk comblangin lo dengan Siska.” Aku keceplosan dan responnya tak terduga. Dia terdiam dan menatapku ketika mobil sudah terparkir sempurna.
            “Maka gue akan menolaknya sebelum lo mempunyai usul itu, Rika. Gue gak suka dicomblangin. Lo tau kan?” Dia menjawab dengan nada tegas dan wajah kami sangat berdekatan. Hampir saja hidung kami bersentuhan. Aku mengangguk sambil menahan napas.
            Tiba – tiba, Siska mendekati mobil Yudha. Dia langsung mundur dan tersenyum. Dan aku bersyukur karnanya.“Tuh sahabat lo nungguin. Samperin deh.” Dia membukakan pintu dan aku langsung turun. “Ok deh. ntar gue pulang mungkin sama Bian aja. Soalnya aja janji mau jalan sebentar. Gak papa kan?” Aku sempat berpikir dia marah dengan rencana dadakanku dengan Bian, namun dia hanya tersenyum. “Oke deh. asal lo ingat aja malam ada janji sama gue.” Dia mengingatkan. Dan aku memberikan senyum terbaikku. “Gue gak bakal lupa kok. see ya.” Aku keluar dari mobilnya dan Siska langsung merangkulku. Sempat kulihat, Siska tersenyum ke arah Yudha yang masih dalam mobil sebelum kami meninggalkan mobilnya. Hatiku mendadak sakit lagi melihatnya.

♥ ♥

            “gue mikir aja untuk comblangin lo dengan Siska.” Dia menjawab tanpa beban. Hati gue serasa ditimpuk batu ribuan ton ketika bibirnya yang selalu senyum itu mengucapkan kalimat sesakit itu ke gue.
            Gue terdiam. Dan memutuskan untuk menjawab dengan jarak kami yang sangat, sangat dekat. Nyaris saja menciumnya kalau tangan kiri gue berpegangan dengan bantalan kursinya. Gue mengucapkan penolakan dengan SANGAT JELAS. Dan dia mengangguk mengiyakan dengan wajah gugupnya. Tuhan.. dia sangat mempesona dilihat dari dekat. Pantas saja Bian tak pernah bosan bilang ma gue kalau kakaknya lebih seperti bidadari nyasar ke Bumi dan menjadi keluarganya daripada  manusia normal. Untuk hal ini, gue sangat setuju.
            Gue langsung mundur ketika melihat Siska datang dan tersenyum ke gue sebelum melirik Rika. Dengan berat hati gue menyuruhnya ntuk keluar dan dia bilang ingin pulang dengan Bian saja karna ada janji. Sebenarnya gue kecewa, tapi... gue langsung ingat malam ini dia akan ada di acara gue, dengan semangat gue mengingatkannya tentang itu dan dia tersenyum lalu keluar dari mobil gue dan berpelukan dengan Siska sebelum menghilang dari pandangan.
            “Tuhan...” Gue berdoa dalam hati. Mengucapkan harapan dan sebuah janji tulus untuk bidadari gue yang satu ini. “Jika umur gue panjang, ijinkanlah untuk gue mengatakan kalau gue mencintainya di atas perbedaan. Dan apabila dia juga mencintai gue, gue bersumpah, akan mempertahankannya. Walaupun,” Gue terdiam. Dengan yakin gue mengucapkan. “Gue harus melawan keluarga besar untuk memiliki seutuhnya. Ini janji gue, Tuhan. Bantu gue.”

“Bersamamu, ku lewati, lebih dari seribu malam
bersamamu, yang ku mau, namun kenyataan yang tak sejalan.”
*Gleen Fredly – Sekali ini saja.

♥ ♥
           
            “Tuhan... sanggupkah aku menanggungnya?”

            “Gue mau cerita, Rika!! AAAA... GUE TUNANGAN!” Siska menjerit riang ketika mengucapkan hal itu sambil memamerkan cincin di jermari lentiknya. Aku menatapnya penuh sukacita. Sahabatku, akhirnya menemukan belahan hatinya. Tuhan... kapan aku seperti dia? Tersenyum bangga sekaligus  malu – malu sambil memamerkan cincin tanda dia terikat dengan pujaan hatinya?
            “Tunangan sama siapa lo? Ciiee... ada yang mau married sekarang nih.” Godaku dan wajah imutnya memerah. Siapa yang tak menyukainya? Wajahnya yang imut, suaranya yang serak – serak seksi membuat Bian menggodanya setiap bertemu. Dan dia yang tau reputasi kembaranku, hanya tersenyum malu – malu kucing karan termakan rayuannya.
            “Gue dijodohin sebenarnya. Dan lo tau?! Cowok yang dijodohin sama gue itu adalah cowok yang gue suka! Yudha! Gue dijodohin sama dia oleh keluarga besar kami! WAW! Bumi memang sempit banget yah?! Bisa – bisanya...” Siska terus mencerocos panjang lebar tentang sempitnya Bumi mengalahkan daun kelor karna di jodohkan dengan pujaan hatinya. Tanpa menyadari, hatiku hancur berkeping – keping seperti Guci dari tanah liat dibanting dari ketinggian yang sangat tinggi. Pecah tak tersisa.
            Yudha? Tunangan dengan Siska? Sahabat gue sendiri? Bagaimana bisaaa?!” Tanpa sadar, aku mengucapkannya setengah berteriak. Suaraku seperti meminta keadilan daripada shock bahagia mendengar sahabat sendiri bertunangan dengan sahabatnya juga. Dan Siska yang rupanya tak menyadari itu, semakin tersenyum. Hatiku semakin teriris.
            “Keluarga gue sama dia sudah lama kenalan. Dan secara tradisi serta sisilah keluarga, kami cocok. Dan hal itu pulalah kami diwajibkan menikah ketika umur pria 22 tahun. Yudha sekarang 22 tahun kan?” Dan aku mengangguk lemas. Aku berbeda 2 tahun darinya karna cowok itu pernah 2 tahun tertinggal kelas bukan karna bodoh, tapi 2 kali mengikuti pertukaran pelajar selama setahun waktu kelas 2 SMP dan setahunnya saat dia kelas 2 SMA.
            “Dan kami sedang merencanakan pernikahan ini. Keluarga besar dialah yang menyerahkan cincin ini karna Yudha gak tau soal ini sama sekali. Dan malam ini, gue yang berniat memberitahunya. AAAAA... Erika... bagaimana bisa gue menikah dengan cowok yang gue mimpikan tiap malam? Bagaimana bisa ternyata dari orok, gue dijodohkan dengan dia? Terima kasih nenek moyang yang membuat tradisi macam ini!” Dia histeris sambil melantur dan memelukku erat. Tanpa mengabaikan yang lain melihat kami di sudut taman dengan tatapan terganggu karna teriakan Siska.
           
            Dan bagaimana bisa, sahabat yang gue cintai sepenuh hati, yang selalu gue sebut namanya dalam mimpi, beberapa bulan lagi akan menjadi milik lo? Bagaimana bisa? Tuhan... gue ambruk.

            “Mungkin, 2 atau 3 bulan nanti, gue akan menikah. Erika... doakan gue semoga langgeng yah.”
            “Lo benar – benar mencintai Yudha kan?” Aku mengumpulkan segenap keberanian  untuk bertanya. Dan Siska melepas pelukanku dan mengangguk penuh semangat. Aku lemas.
            “Tentu saja! Gue sangat mencintainya! Lebih dari siapapun, Rika. Yudha, my soulmate.” Dia mengucapkan penuh syahdu pada kalimat terakhir. Seperti doa yang dia ucapkan ntuk dikabulkan. Aku hampir saja menangis. Namun ku tahan.
            “Semoga lo bahagia dengan Yudha. Kalian pasangan serasi kok.” Aku mengucapkan penuh susah payah. Berulangkali mengernyit ketika setiap kata yang kuucap, menyayatkan luka di hati sangat dalam dan perih luar biasa. Memancing air mata. “Gue tau. Terimakasih, Erika.” Dia memelukku sekali lagi dan aku membalasnya. Tuhan.. aku butuh pegangan.
            “Siska... lo masuk gak hari ini?” Dia melepas pelukannya dan tersenyum. “ Tentu saja. Kenapa?”
            Mendadak, aku gak sanggup kuliah hari ini. Aku memutuskan untuk bolos hari ini. “Gue gak enak badan nih. Kepala gue muter mulu dari tadi sebenarnya. Gue mau pulang aja sama Bian. bisa nitip tugas gak?” Gue menatap penuh memohon dan dia mengangguk penuh semangat.
            “Tentu saja. Mana tugas lo?” Dan aku langsung menyerahkannya. “Hati – hati yah. Semoga cepat sembuh, Rika. Sahabat gue.” Aku tersenyum dan memberikan cipika – cipiki khas kami dan dia langsung melambaikan tangan ketika aku berjalan menjauh meninggalkannya yang masih saja tersenyum sambil memandang cincin tunangannya yang mungkin beberapa bulan lagi akan berubah menjadi cincin pernikahan.

            Merasa sudah jauh darinya, aku langsung bersandar di sebuah tembok dan mengambil ponsel di tas dan menelpon. “Bian.. lo dimana?” runtuh pertahananku ketika mendengar suara adikku panik mendengar ku menangis.           “Gue ingin pulang, Bian... Gue ambruk... please... gue tunggu di taman. Ok?”
            Tak sampai 5 menit, aku melihat mobil sedan Bian berhenti dan aku langsung masuk lalu memeluknya erat. Menumpahkan kesakitanku yang amat sangat. Yang tak sanggup ku tanggung. Dan Bian, membantuku berdiri tegak dengan pelukannya yang hangat. Seperti yang biasa dia lakukan apabila aku, atau Lista sedang down.
            “Lo mau kita pergi kemana, kak?” Dia menyerahkan tisu dan aku mengambilnya ntuk menghapus air mata yang masih membanjiri wajahku.
            “Kemana saja.” Hanya itu jawabku.
            “Oke deh kak. Tenang... menangis aja kalo lo masih sakit.” Dan aku mengangguk lalu melepas pelukan. Membiarkan dia menjalankan mobilnya dan membawaku ke suatu tempat yang biasa kami kunjungi bila sedang sakit sendiri.

♥ ♥

            “Gue mencintainya, dek. Diatas perbedaan. Di atas nama persahabatan. Tapi kenapa, dia dijodohkan dengan Siska? Sahabat gue sendiri? Gue gak bisa terima hal itu, sakit Bian, sakit... Ya Allah..” Aku terduduk di pasir putih di sebuah pantai yang sangat sepi, dengan air mata terus menetes membasahi wajah dan rokku kini. Bian yang awalnya berdiri, langsung duduk dan memelukku erat. Seolah ingin mentransfer kesakitan yang kurasa agar dapat dia rasakan juga.
            “Apa yang harus gue lakuin dek apabila bertemu dengannya? Malam ini, gue janji akan bertemu dengannya di cafe ntuk temanin dia. Gue gak sanggup, hati gue hancur... Bian... tolong gue...” Aku memukul dadanya pelan di pelukannya. Air mataku membasahi kemejanya.
            “Kuatlah, kak. Gue yakin, sangat yakin lo kuat. Lo teguh.” Hanya itu yang diucapkan Bian padaku. Dan aku menggeleng. Tak menyetujui ucapannya.
            “Yang jelas, lo lebih beruntung kak karna dia masih hidup walau tak bisa lo miliki hatinya, daripada lo bisa memiliki hati dan jiwanya, tapi raganya sudah terkubur di tanah. Lo tak bisa memeluknya apabila lo rindu, senyum wajahnya tak bisa lo lihat lagi.” Bian melanjutkannya dengan suara merenung. Membuatku seketika teringat dengan Jasmine. Yah,,, melati yang bisa dia genggam, dia miliki, namun sebentar saja karna waktu ingin memiliki seutuhnya.
            “Gue mending ikhlas kalau dia mati dek.”
            “Lo gak akan bisa bayangin sakitnya, kak. Sudah ada korbannya. Dipisahkan secara paksa karna maut.”
            “Bian...” Aku memanggilnya. “Gue mencintainya, dan gue harap, cinta gue, bisa  buat tegar menghadapi ini.” Aku mengucapkan dengan yakin. Berharap besar sekali agar mampu menghadapinya.
            Bian tersenyum melihat ketegaranku. “Gue yakin lo mampu kak. Cinta kadang tak harus memiliki. Ada kalanya kita harus ikhlas bahwa, orang yang kita cintai akan berbahagia meski bukan kita yang membuatnya bahagia.”
            “Ntuk saat ini, gue setuju dengan ucapan lo, dek. Thanks.” Ucapku penuh terima kasih.
            anytime.”

♥ ♥

            “Karna ku sanggup, walau ku tak mau,berdiri sendiri tanpamu.”

            “Tuhaaaannn... dimana Erikaa...” Gue hampir gila karna dia belum datang juga. Padahal gue sudah booking tempat duduk paling depan khusus untuknya. Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Seharusnya dia sudah ada di depan gue. Tapi, jangankan ada, gue aja gak tau dia ada dimana! Telpon gak aktif, gue ingin menelpon Bian, tapi gak ingin kecurigaannya mencuat seketika. Mengingat radar curiga terhadap sesuatu sama tingginya dengan Erika.
            “Bro... “ Sonny, pemain drum menepuk pelan pundak gue. Isyarat acara hendak dimulai.
            “Bentar lagi, oke?” Gue menjawab dengan emosi ditahan sedemikian rupa. gue pusing sekarang dengan banyak kejadian yang hampir membuat gue ingin terjun bebas untuk bunuh diri. Pertama, Siska dengan bangga mengatakan kalau dia tunangan gue sekarang dan pernikahan sedang disiapkan dari sekarang, ketika gue nelpon nyokap sambil marah – marah karna tak dikasih tau dan terlalu mendadak, gue langsung diomelin dan dianggap gak mengerti perasaan orang tua sendiri yang sudah lama mendamba cucu dan memutuskan pernikahan dini adalah jalan terbaik. Mengingat gue dan Siska saling kenal, semakin klop. Semakin mati gue.
            Kedua, Erika terancam tak datang bahkan dia tak ada saat kuliah! Oh Tuhan... Bidadari gue lagi dimana?
            Lutut gue hampir saja meleleh seperti bongkahan es mencair ketika Erika datang dengan gayanya sendiri. Rambut dikuncir dua, baju kaos dan celana jis serta wedges. Senyumnya ketika melihat gue membuat beberapa pengunjung, apalagi cowok, berbisik – bisik penuh kagum. Bahkan ada niat tersirat ingin mengajak kenalan, dengan cepat, gue mendekat dan menghampirinya.
            “Gue kira lo gak datang.” dan dia tersenyum. “sorry. Macet tadi di jalan.”
             Apa lo tau gue hampir aja membakar cafe ini hidup – hidup karna gelisah setengah mati menunggu lo, Erikaaaa?! Gue menunggu lo, sayang. Bidadari gue yang berharga.
            “Kok mata lo bengkak? Habis nangis?” Entah kenapa, pulasan make – up kali ini tak bisa menyamarkan kalau dia habis menangis hebat.
            Gue bisa melihat dia gelagapan menjawab. “Gak. Efek kurang tidur kali.” dia menjawabnya dengan senyum. Menyamarkan bengkak di matanya.
            Gue mengangguk dan dengan pelan merangkul pundaknya untuk membawanya ke tempat yang sudah gue sediakan. Khusus untuknya.
           
♥ ♥

          Sebenarnya sudah setengah jam yang lalu aku ada di cafe ini. Tapi aku memilih menyiapkan mental dengan berada di mobil, menangis sepuasnya, lalu menemuinya dan pasang wajah biasa – biasa saja. Dengan lancarnya aku menyalahkan kemacetan sebagai faktor utamanya. Dan untungnya dia percaya.
            Aku tak menyangka bahwa dia menyadari bengkaknya mataku. Padahal aku sudah menyamarkannya sehalus mungkin. Dengan spontan ku jawab bahwa hal ini terjadi karna kurang tidur. Thanks for God, he believe it.
            Dengan santai dia merangkulku menuju Tempat utama! Tempat dimana aku puas memandanginya bermain gitar! Tuhan... bagaimana caraku untuk menghilangkan perasaan ini sedangkan dia membuka pintu seluas – luasnya untuk bisa kudekati?
            Dia tersenyum padaku lalu memetikkan senarnya dengan lembut. Penuh perasaan. Aku menutup mata, menghayati setiap petikannya. Dan pikiran gilaku muncul, aku ingin menjadi gitarnya yang dipetiknya saat ini. Berada di pelukan lengannya yang hangat walau hanya sementara saja.

“ i sit out in crowded
close my eyes, dream you’ll mine
but you don’t know, you don’t even know that
i’m there

i wish that i was in your arms
like that, spanish guitar.
you will played me through that night
till the dawn

all night long.. i’ll be your song.”

*Tony Braxton – Spanish Guitar.

            Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 09.30 malam. Acara sudah selesai. Aku bersiap – siap pulang karna cafe mulai terlihat sepi. Namun dia menahanku.
            “Hai... gimana?”
            “bagus seperti biasa.” Aku memuji permainan gitarnya dan dia tersenyum mendengarnya.
            “Selamat yah.” Ucapku kemudian. Keningnya mengerut. “Selamat apa selamat karna permainan gue  atau selamat karna banyak yang beramal hari ini?” Dia menggodaku. Dan aku menggeleng.
            “Selamat karna lo sudah tunangan sama Siska. Gue udah tau. Dia cerita sama gue pas di kampus tadi. Well,  sebentar lagi lo akan menikah kan? selamat yah.” Aku mengucapkannya dengan tenang. Berusaha menghilangkan rasa sakit yang semakin menderaku.
            Dia terdiam mendengarnya. Matanya melotot. Tanpa bisa dicegah, dia meraih pinggangku agar dekat dengannya dan menciumku! Dia mencium bibirku dengan lembut dan penuh perasaan! Oh Tuhan...
            “Jangan ucapkan hal itu, Erika.” Bisiknya di depan bibirku. Pelukan semakin erat di pinggangku. “Aku mencintaimu.”

♥ ♥

            Well, ini kegilaan gue yang kesekian kalinya! Gue menciumnya! Yudha Prasetya, mencium sahabatnya sendiri, Erika Lestari Pradipta karna tak ingin mendengar ucapan selamat pernikahan darinya. Tapi, memang inilah sekarang. Gue gak sanggup mendengar dia mengucapkan dengan tenang sedangkan gue sama sekali gak berbahagia. Secara spontan, gue menarik pinggangnya dan menciumnya penuh dengan perasaan sayang yang gue miliki. Gue mencintainya, sangat.
            Dia kaget mendengar pengakuan gue yang blak – blakan. Dia mendorong pelan dan menggeleng. “Gak bisa, Yudha. Lo tunangan sahabat gue. Gue...”
            “Tapi... lo cinta kan sama gue?” Gue memaksanya dan memegang lengannya pelan. Tuhan, ingin rasanya gue peluk erat sampai tak bernapas agar gadis itu tau betapa dalamnya perasaan gue.
            “Tapi, terlalu banyak perbedaan di antara kita. Gue gak sanggup. Akan banyak yang menentang,Yudh.” Jelasnya dan dia meneteskan air matanya. Bidadari gue yang beharga, meneteskan air matanya di depan gue. Membuat gue serasa bajingan.
            “Gue akan menentangnya. Kalau perlu gue akan melawan keluarga besar ntuk mengatakan gue gak cinta dengannya. Gue hanya cinta sama lo, Erika. Sejak dulu. Sejak kita memutuskan ntuk bersahabat. Lo hanya katakan iya, dan gue akan lakuin semuanya.”
            Gue serasa tercabik – cabik ketika dia menggeleng pelan. Namun sarat ketegasan di matanya yang masih meneteskan air mata. “Gak, Yudha. Keluarga besar lo adalah segalanya. Gue gak bisa membuat lo menjauh dari hal itu hanya karna perasaan lo ke gue. Bagaimana kalo suatu saat kita berpisah? Dan orang tua lo terlanjur sakit hati dan gak mau menerima lo? lo mau mengadu kemana? Bagaimana orang tua gue juga gak setuju dengan hubungan kita, Yudh? Pertimbangan kita sangat banyak. Gue gak sanggup menjalaninya.”
            “Tapi lo mencintai gue, kan?”
            Just say yes. And i’ll be against the world. For you.
            “Sorry, Yudha, gue harus pergi. Goodbye.” Dia tak menjawab pertanyaan gue. Dia memutuskan meninggalkan gue dalam kegelapan. dan gue hanya bisa memandang sendu ketika mobilnya meninggalkan cafe.

♥ ♥

            Ingin aku menjawab “ya”. Tapi, akan banyak hati yang terluka. Dan aku tak sanggup menanggungnya. Mengertilah, sayangku. Inilah jalan terbaik.

            Aku menangis sepanjang jalan menuju rumah. Ciumannya, pengakuannya, penolakanku, wajah sedihnya ketika aku memutuskan pergi tanpa memberi jawaban, menari – nari di otakku. Tuhan... salahkah aku menolaknya? Jika aku mengiyakan, aku tak sanggup menanggung banyak kesedihan dan kemarahan yang akan menyerang hubungan kami bertubi – tubi. Jika aku mengiyakan, sanggupkah aku menjaga hubungan kami sampai akhir? Bagaimana kalau kami berpisah dan dia sudah terlanjur diusir dari keluarganya? Sanggupkah aku membiarkannya? Tidak, aku tak sanggup.
            “Biarlah kita yang sakit daripada semuanya sakit karna hubungan yang akan kita jalani, Yudha. Mengertilah.” Aku berdoa dengan tulus ketika mobilku sudah masuk parkiran. Aku menatap ponselku yang bergetar dan menampilkan namanya. Ku tekan tombol reject dan memutuskan dalam hati untuk menghapus bayangannya yang sudah terlanjur kuat di hati.

“Bukan ku tak yakini cinta di hatimu
namun ku tak mampu hadapi semua ini
biarkanlah semua berlalu, tanpa harus kita ingkari
Cinta yang, dulu pernah, terjalin indah di hati kita.”

*Audi – Kita takkan bersatu.*

♥ ♥

            Sudah 2 bulan setelah kejadian itu gue gak pernah ketemu Erika lagi. Dia sengaja menghilang dari gue setiap selesai kuliah. Gue mencoba mendekat, tapi Siska seperti cacing kepanasan mendekati gue, merangkul, dan dengan manja bergelayut di lengan gue dan semangat 45’ ntuk menceritakan daftar tetek bengek pernikahan. Dan gue menolaknya dengan tegas ajakannya hari ini ntuk mengajak gue fitting baju pernikahan.
            “Gue gak bisa, Siska. Ada urusan hari ini. Gak papa kan?” Gue bisa melihat kekecewaan yang sangat dalam di matanya yang besar itu. Tapi apa daya, gue tak mencintainya.
            “Yasudah. Aku bisa sendiri kok. tapi besok – besok bisa kan?” Dia bertanya penuh harap.
            “Gue gak janji. Duluan yah, bye.” Gue langsung berlari meninggalkannya ketika melihat sekelebat bayang Erika, gadis yang sangat gue cintai itu, lewat tak jauh dari hadapan. Dan gue meninggalkan Siska yang terdiam.
            “Erika..” Gue memanggilnya setelah hampir dekat dan dia terdiam. Namun tak menoleh.
            Gue mendekatinya dan melihat dia tak sendiri. Ada Bian yang tersenyum melihat kehadiran gue. “Gue tinggal dulu yah kak. Kayaknya Yudha mau ngomong sesuatu sama lo.” Ucapnya dengan nada riang seolah tak tau apa – apa. Gue tersenyum. Senang dia memutuskan untuk netral.
            Gue melihat Rika memegang lengan dan menggelengkan kepalanya. Namun, Bian  berbisik entah apa, tapi Erika hanya menunduk dan Bian mengacak rambut panjangnya lalu berjalan dan menepuk pundak gue pelan. “Jagain kakak gue yah.”
            “Sip. Thanks.”
            “Anytime.”

            “Erika?” Gue mendekatinya dan dia menatap ke arah gue. Tersenyum seperti biasa. Walau gue bisa lihat masih ada keterpaksaan.
            “Bisa kita ngomong sebentar? Gak disini. Tentang hubungan kita.” Gue melanjutkan dan dia mengangguk pelan. Dengan lembut, gue merangkul tangan lembutnya itu dan mengajaknya keluar.

♥ ♥

            Langkahku seakan membeku ketika dia memanggilku. Aku mengerang. Tuhan.. tak bisakah aku ditinggalkan sendirian? Aku berusaha memendam perasaan rinduku yang membuncah setiap ingin bertemu dengannya. Dan kenapa Kau memunculkannya?! Menggagalkan semua upayaku?!
            Bian, seolah tau, dia tersenyum. “Yudha manggil tuh. Tengok gih. Kasian..”
            Aku diam saja. Membuatnya memutuskan untuk menoleh dan tersenyum ketika Yudha mendekat ke arah kami. Jantungku semakin berdetak tak keruan. “Gue tinggal dulu yah kak. Kayaknya Yudha mau ngomong sesuatu sama lo.” Dengan santainya dia berkata begitu dan lekas ku pegang lengannya ketika dia hendak pergi. Menggeleng lemah. Menolak usulnya.
            Tapi, ucapannya membuatku harus brani maju. “Sampai kapan lo rapuh kak? Lari bukan solusi. Hadapi kak walau esoknya lo lebih hancur dari ini. Daripada lo menghindar, akan buat lo lebih hancur lagi karna tak mendapatkan apa – apa.”
            Aku mengangguk. Menyetujui ucapannya. Dan Bian mengacak rambutku, berjalan ke arahnya dan menepuk pundak sambil berkata sesuatu entah apa. Namun aku bisa merasakan tatapan Yudha melembut ke arahku.
            Sekali lagi dia memanggilku dan mendekat. Mengajakku pergi dari sini. Dan aku seperti kerbau dicocol hidung, mengikutinya. Membiarkannya merangkul tanganku.

--

            “Rika... lo sayang kan sama gue? Jawab dengan jujur, Rika. Gue gak mau seumur hidup gue akan tersiksa karna lo tak menjawab.” Gue memohon dengan sangat di sebuah taman yang jauh dari keramaian. Salah satu tempat untuk inspirasi gue mencari ide dalam membuat lagu.
            Dia hanya diam dan menundukkan badan untuk mengambil kerikil dan melempar ke danau yang tenang itu. Dan itupun dilakukannya berkali – kali. membuat gue hampir frustasi. Tapi gue menunggunya.
            “Gue, sayang sama lo, Yudha. Sama kayak lo. tapi... gue gak bisa terima lo. gue gak bisa senang – senang berhubungan dengan lo sedangkan banyak yang akan sakit karna kita. Jadi, gue pikir, gue pikir...” Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, gue langsung memeluknya. Membiarkannya menangis dipelukan gue.
            “Gue pikir lebih baik kita berdua yang terluka selamanya atau semua orang yang kita sayang akan sakit, Yudh. Gue gak sanggup menerima kesakitan banyak orang. Apalagi, Siska. Dia mencintai lo. sama kayak gue. Dan gue tau rasanya.” Gue mengelus rambut panjangnya perlahan.

            Inikah perbedaan? Kalau perbedaan ada, kenapa kami bisa menemukan kecocokan untuk bersatu? Dan kenapa perbedaan itu pulalah yang memaksa kami ntuk berpisah? Sungguh dunia tak adil.

            “Erika... maukah lo menuruti permintaan gue hari ini? Untuk hari ini saja, please. Untuk kebahagiaan kita. Sebagai kenangan kita apabila salah satu dari kita merindu, jadi kenangan itu bisa kita tarik perlahan dan rasakan cinta itu, lalu kita simpan lagi untuk dikenang. Maukah?”
            “Apa, Yudha?”
            “Jadilah pacar gue untuk hari ini saja. Untuk detik ini saja, setelah itu. Kita bebas. Gue menikah dengan Siska. Gue ikutin kemauan lo.” Permintaan gue membuatnya melepas dari pelukan gue dan menatap heran.
            please...”
            Dia mengangguk pelan dan gue langsung memeluknya. Gue akan catat dalam sejarah hidup gue selamanya, bahwa gue akhirnya bisa memilikinya, walau dalam sehari. Tapi, itu sama aja gue seperti bersamanya selamanya.


♥ ♥

            “Kau tau hari apa yang menyakitkan, sayang? Hari dimana aku kembali pada dunia nyata dan berhadapan bahwa kita memang tak ditakdirkan bersama.”

            “Apa, Yudha?”
            “Jadilah pacar gue untuk hari ini saja. Untuk detik ini saja, setelah itu. Kita bebas. Gue menikah dengan Siska. Gue ikutin kemauan lo.” Permintaan Yudha membuat gue tersentak kaget dan melepas pelukannya. Tuhan... apa yang harus aku jawab? Tawaran itu sangat menggoda. Walaupun sehari, itu sama saja seperti membalas 2 tahunku menunggunya.
            please...” Dia memohon dengan sangat. Apa yang bisa ku lakukan?
            Aku pun mengangguk dan membiarkan tubuh hangat itu memelukku erat. Aku akan menyimpan aroma dan hangat tubuhnya itu dalam hati. Agar apabila aku merindukan sentuhannya, aromanya, aku bisa menarik kenangan ini bersamaku dan menyelimuti hatiku yang merindu. Lalu ku simpan kembali ntuk menjadi kenangan.
            “Kita pergi kemana, sayang? Sebelum kereta Kuda berubah menjadi Labu, sebelum Cinderella menjadi Upik Abu, sebelum kita kembali ke dunia nyata, kemana kita akan menghabiskan waktu?” Dia berbisik di telingaku dengan lembut. Aku tersenyum mendengarnya.
            “Kemana saja sayang sebelum semua yang kau sebutkan itu terjadi. Lekaslah bergegas.”
            “Dengan senang hati, sayang.” Dia menjawab mesra ucapanku dan perlahan, menggendongku untuk ke mobil. Seperti yang sering dilakukan papahku pada mama setiap mereka bermesraan menuju kamar. Wajahku memerah seketika.
            “Kenapa?” Dia bingung melihat wajahku yang memerah tanpa sebab. Dan aku mencium pipinya yang hangat ketika dia menurunkanku tepat di samping mobil.
            “Gak papa.” Jawabku dan langsung masuk mobilnya. Diikuti dia yang tersenyum ketika masuk mobil dan menjalankannya.
            Sepanjang perjalanan, tanganku digenggamnya erat. Seolah kami tak terpisahkan. Menghargai setiap detik yang terbuang untuk bersama sebelum kembali ke dunia nyata.

            Sepanjang hari kami bersama, mulai dari ke Dufan, ke pantai, ke cafe favorit kami, ke tempat karaoke, dan banyak tempat yang kami kunjungi bersama dan tangan kami tak lepas. Selalu bergandengan.
            Hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul 09.00 malam. Sudah saatnya aku pulang. Takut kedua orang tuaku khawatir. Bian pun menelponku menanyakan keberadaanku. Ketika ku menjawab sedang bersama Yudha, aku bisa merasakan dia tersenyum dan menyuruhku hati – hati.
            “Erika...” Kami berada di sebuah taman yang indah dekat kompleks rumahku. Dia duduk di sampingku dan tersenyum manis.
            “Makasih untuk segalanya. Untuk hari yang indah ini.”
            Aku mengangguk. Akupun sama bahagianya sampai tak ingin menghadapi hari esok. Hari dimana kami akan biasa – biasa saja. Tak ada ikatan apapun.
            “Aku boleh gak menitip sesuatu yang sangat penting ini padamu?” Dia bertanya dan akupun mengangguk
            Dia meletakkan tanganku di tangannya. Dan menatapku dalam. “Sayang, bolehkah aku menitipkan hati yang suci ini padamu? Biarlah ragaku yang mati secara emosi ini menjadi miliknya. Tapi hati dan jiwaku, hanya kau yang pantas memilikinya.”
            “Yudha...” Aku berusaha melepas genggamannya. Tapi dia semakin mengeras.
            “Aku menitipkan hatiku, padamu, Erika. Aku tak mencintainya. Aku akan menjadi manusia tanpa hati, tanpa jiwa di pelaminan nanti. Tapi, aku tak ingin hatiku juga ikut mati, maka aku menitipkannya padamu. Please...”
            Aku tak tau harus berkata apa. Tanpa dia tau, aku menjaga hari ini sebagai kenangan yang paling indah dan dia menitipkan hatinya padaku? Sungguh, aku tak yakin apakah bisa.
            “Kau akan menyakiti Siska, Yudha. Dia mencintaimu sepenuh hati.”
            “Aku juga sakit, Erika. Aku mencintaimu, kau juga, tapi kita tak bisa bersama. Itu kenyataan yang sangat menyakitkan.”
            Aku langsung ambruk di pelukannya. “Aku tak ingin kehilanganmu, tak ingin kehilangan hari ini. Aku ingin hari ini berubah selamanya.” Dan menangis di pelukannya sekali lagi.
            “Seandainya bisa, pasti ku lakukan. Jagalah hatiku, Erika. Hanya itu yang ku pinta.”
            “Aku akan menjaganya bersama kenangan hari ini, Yudha.” Aku menjawabnya penuh terisak.
            “Terima kasih. Aku mencintaimu,”
            “Aku mencintaimu sejak dulu hingga sekarang.”

“Never gonna forget every single thing you do
When loving you is my finest hour
Leaving you, the hardest day of my life
The hardest day of my life.”

The Corrs – The hardest day.

♥ ♥


“Love of my life, my soulmate, You're my best friend
Part of me like breathing ,Now half of me is left.”

            Gue memeluknya erat. Mendengar dia mencintai gue, dia menginginkan hari ini berubah menjadi selamanya, membuat hati gue terasa tersayat – sayat. Dan dia mau menjaga hati gue pun sudah syukur. Mungkin memang benar, lebih baik kami berdua yang sakit daripada semua yang kami sayangi sakit. Ah... dia memang benar – benar Bidadari. Membiarkan diri kami sakit daripada orang lain yang tak mengenalnya, namun berhubungan dengan kami ikut terluka.
            “Bagaimana kalau kita pulang?” Sungguh gue tak ingin dia pulang. Tapi apa mau dikata, waktu menunjukkan harus pulang.
            Dia mengangguk dan melepas pelukannya. Gue mendongkakkan wajahnya dan menghapus air mata yang terus menetes. Tangannya gemetar.
            Entah apa yang merasukinya, dia memeluk gue lebih erat. Isakannya lebih sakit dari sebelumnya. Membuat gue khawatir takut asmanya kambuh. Mengingat dia mempunyai riwayat asma.
            “Syuutt.. Erika.. udah. Kita akan menyimpan hari ini sebagai kenangan terindah kita. Kalau waktunya ada, perbedaan pasti akan menghilang seiring waktu berjalan.”Gue menenangkannya.
            “Aku gak sanggup menghadapi esok, Yudha.”
            “Akupun begitu. Tapi... kita kuat, Oke? Tersenyumlah, Bidadariku. Jangan menangis.” Gue memintanya dan dia mengangguk lalu menghapus air matanya sendiri dan melepas pelukanku.
            “Aku takkan menangis lagi, see? Aku akan tersenyum paling lebar di saat pernikahanmu, Yudha.” Gue melihat senyum dimatanya yang terluka itu.
            “Dan aku akan menanti senyumanmu itu, Erika.” Dan kami berdua tersenyum bersama. Saling menggenngam tangan erat untuk terakhir kalinya.
            “Yuk...” Kini dia berdiri dan berjalan menuju mobil gue. Dan gue pun mengikutinya.

♥ ♥

            Kami diam tanpa kata setelah dia mengantarkanku di depan rumah. Jam menunjukkan pukul 09.30 malam. Papah dan mamaku sedang lembur. Jadi takkan tau anak gadis yang paling tua ini pulang larut malam dengan mata bengkak seolah menghabiskan air mata berliter – liter.
            “Sampai besok.” Ucapku. Namun tak jua aku keluar dari mobilku. Tanganku hanya memegang pintunya tanpa berniat membuka.
            “Erika...” Panggilnya dan aku menoleh. Terkejut tau – tau bibirnya kini memeluk bibirku dengan penuh hangat. Napas kami saling berbaur. Tanganku spontan memeluk lehernya dan tangannya memeluk pinggangku. tak berniat melepaskan.
            Ponselnya berdering. Membuat kami dengan enggan melepas . Aku melihat sekilas siapa yang menelpon dan membuat hatiku mendadak teriris. Siska menelponnya.
            “Angkat saja.” Ucapku namun dia menggeleng. Dan aku pun tak memaksanya.
            “Makasih... atas semuanya.” Ucapku. “Dan juga hatimu.” lanjutku dalam hati.
            “Sama – sama. Take care, Angel.” Dia memanggilku angel? Oh Tuhan, aku merasa air mataku ini akan keluar lagi.
            “Kamu juga.” Aku langsung keluar dari mobil dan melambaikan tangan ketika mobilnya pergi meninggalkan rumahku.
            Melihat kepergiannya, air mataku langsung menetes dan aku menghapusnya sebelum seluruh penghuni rumah ribut melihat mataku bengkak.

♥ ♥

            Aku masuk kamar dengan langkah gontai. Untunglah hari ini Bik Surti tidak cerewet ketika melihat mataku yang memerah. dia hanya tersenyum dan menawarkan apakah aku mau minum coklat panas. Aku menggeleng perlahan dan memutuskan masuk kamar.
            Di kamar, aku melihat sebuah undangan di meja belajar. Dengan kening berkerut aku mengambil dan membacanya.
            Lututku seperti kehilangan kekuatannya. Air mataku semakin menetes deras tak tercegah. Hatiku seperti disayat oleh pisau yang sangat tajam.
            Undangan Pernikahan Yudha dan Siska yang akan di adakan minggu ini. 3 hari lagi.

            Tuhan... sanggupkah aku?

♥ ♥

            “Bian... lo datang gak ke pernikahan Yudha?” Tanyaku ketika termenung memandang undangan pernikahannya. Foto prawedding mereka sangat indah. Tapi, ekspresi Yudha terlihat kosong. Seperti patung peraga yang didandani sangat tampan. Kontras dengan Siska yang tersenyum bahagia. Bahkan tatapan matanya penuh cinta. Membuat batinku teriris.
            “Gue ngikut kalo lo mau.” Jawabnya santai sambil menekan tuts – tuts piano dengan lembut lalu menyanyikan sebuah lagu yang tak ku kenal.
            “Gue datang gak yah?”
            “Bukannya lo janji ntuk datang ke pernikahan dia dan memberikan senyum paling lebar ntuknya? Bian mengingatkan janji 3 hari yang lalu ku ucapkan padanya. Aku tersenyum miris.
            “Entah kenapa, gue gak sanggup melihatnya berdiri di pelaminan.”
            “Kak... tunjukin kalo lo kuat. Lo tegar. Gue ada disamping lo, kak.”
            Aku berpikir lama. Kemudian aku mengangguk “Ok. gue siap – siap dulu yah. Thanks dek.” Ucapku tulus dan bergegas berlari ke kamar.
            Aku mendengar Bian melanjutkan permainannya dan lagunya sungguh membuatku tenang.

♥ ♥

          Bolehkah aku mendoakan kebahagiaanmu?

            Gue celingak – celinguk di kursi pelaminan. Kini, gue dan Siska resmi menjadi pasangan suami – istri. Gue menyebut janji pernikahan dengan wajah datar. Hati gue mati. Makna dari setiap janji yang gue ucap serasa seperti angin lalu.
            Erika mana?
            “Kamu cari siapa sayang?” Dia berbisik penuh lembut dan sensual. Tapi, gue tak bergetar untuk membalas bisikannya mesra seperti pengantin baru.
            “Erika.” Gue bisa merasakan dia menghela napas kecewa. Merasa diabaikan namun menerima sifat gue.

            Gue menyalami tamu – tamu sekedarnya saja. Terkadang membalas lelucon ketika bersalaman dengan teman – teman kuliah atau masa kecil gue.             Ekspresi wajah gue tetap datar sampai gue menyalami tangan yang sangat lembut dan gue kenal. Gue mendongkak dan  Jantung gue serasa lepas ketika Erika, mengenakan gaun panjang bewarna putih gading dan rambutnya dihiasi jepit besar berbentuk bunga, menyalami gue dan tersenyum manis. Diiringi Bian dan Lista, adiknya yang tomboy itu di belakang dan asyik berbicara dengan Siska.
            “Aku kira kamu gak akan datang.” Gue langsung memeluknya erat. Bodoh amat para tamu memperhatikan kami.
            “Aku sudah janji, kan akan tersenyum paling lebar di pelaminanmu? Semoga kamu berbahagia dengan Siska, Yudha. Dia istrimu dan aku masa lalumu. Lupakanlah.” Bisiknya membekukan gue. Dan dia melepasnya lalu tersenyum dan berjalan melewatiku.
            “Erika...” Gue memanggilnya sebelum dia menuruni tangga dan menoleh.
            “Aku mencintaimu dan jagalah hatiku.” Gue bergumam pelan dan bisa gue pastikan, Bian dan Lista yang lewat di depan gue setelah kami saling menyalami, terhenti. Dia hanya tersenyum manis ke arah gue tanpa membalas dan menuruni tangga dengan anggun.
           
            3 bulan kemudian...

            Aku duduk di pemakaman dan menaburkan bunga – bunga di makamnya. Aku mengelus nisannya yang bertuliskan “Yudha Prasetya” dengan lembut.
            Yah... dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. Meninggal dalam genggaman tanganku. Masih ingat dalam bayangan, ketika dia mengucapkan cinta padaku saat dia menikah dan aku hanya tersenyum tanpa meresponnya. Padahal hatiku saat itu berteriak ingin membalas ucapannya bahwa aku juga mencintainya dan menjaga hati yang dia titipkan padaku.
            Tapi, semua itu hilang ketika Siska, menelpon di hari itu dan menangis histeris sambil berkata bahwa Yudha kecelakaan hebat di jalan Tol karna melamun saat membawa mobil dan membuatnya ditabrak truk. Dan dia menelponku karna Yudha sadar dan hanya memanggil namaku saja. Padahal Siska ada disampingnya. Tanpa ragu aku langsung pergi ke rumah sakit untuk menjenguknya.
            Sesampai disana, aku langsung masuk dalam ruangan UGD dan miris melihatnya menderita dalam luka sekujur tubuhnya. napasnya semakin susah dan aku berdiri di sampingnya, mengelus rambutnya dan berbisik bahwa ku disampingnya.
            Dia membuka mata dan menatapku lalu menggenggam tanganku dan berkata “Erika, bolehkah aku menitip hatiku selamanya? Jagalah hatiku seperti kamu menjaga milikmu sendiri. Bila suatu hari nanti ada yang akan menggantikan posisi di hatimu dan dia memang terbaik ntukmu, maka dekatilah. Karna, dialah penggantiku. Dan kamu takkan pernah menangis lagi.” Sambil berkata begitu, dia menghapus air mataku yang membasahi wajahnya dan tersenyum.
            “Tersenyumlah bidadariku. Aku ingin pergi dengan membawa senyummu di alam sana. Bukan membawa air mata kesedihanmu.”
            Aku menghapus air mata yang terus membasahi wajahku dan tersenyum seperti permintaannya. Dia membalas senyumku dan merangkul tanganku erat. Aku melihatnya dia menutup mata dengan senyum di wajahnya. Rangkulan tangannya melemah, alat pencatat detak jantung itu menunjukkan garis lurus. Dia pergi... meninggalkanku.

            Dan hari itu semuanya terungkap. Siska menceritakan padaku semuanya bahwa Yudha, sudah menceritakan semua perasaannya dengannya dan dia pernah melihat lagu – lagu ciptaaan Yudha semuanya tertulis perasaannya padaku. Dan dia selama itu juga berusaha mengubah haluan hati Yudha yang berlayar ke arahku menjadi ke arahnya. Tapi dia tak bergeming. Tak tergoda.

            “Yudha...” Aku mengelus nisan itu dengan penuh sayang. Air mata membasahi tanah merah yang kini menjadi tempat istirahatnya. “Mungkin, aku dapat membaca maksud Tuhan memisahkan kita dengan cara ini. Karna, hanya cara inilah kita takkan saling tersakiti lagi. Kau tak sakit lagi karna harus bersama seseorang yang tak kau cintai selamanya, dan aku, bisa bangkit dari hal ini. Semoga kamu baik – baik saja, Yudha. Aku mencintaimu.” Selesai berkata begitu, aku berdiri dan menghapus air mata.
            Tiba – tiba ada yang jatuh dari atas kepalaku. Aku menggapainya. Ternyata Bunga Kamboja putih yang menaungi makamnya jatuh di atas kepalaku. Bunga kesukaan Yudha.  Aku tersenyum sambil memegang bunga itu dan menatap nisan itu sekali lagi. “Makasih atas bunganya, Yudha.” Aku memegang bunga itu dan melangkah menjauh meninggalkan makamnya.
“Bawalah pergi cintaku
Ajak kemana yang kau mau,
jadikan temanmu yang paling kau cinta

Disini ku pun begitu, terus cintaimu di hidupku
di dalam hatiku, sampai waktu mempertemukan, kita nanti”

*Afgan – Bawalah cintaku.

           

           

1 komentar: