Seharian,
gadis itu sangat kesal luar biasa sampai – sampai dia ingin melempar apapun
yang ada di hadapannya. Bagaimana dia tak kesal, bahwa ternyata dia satu
sekolah dengan Adit yang dia kira Angga itu. Membuat hidupnya penuh emosi
negatif. Dan Kina memutuskan melarikan diri ke balkon sekolah yang pandangan
langsung ke Lapangan basket. Daripada dia berada di sekitar teman – temannya
yang berpotensi membuatnya semakin emosi, mending menjauh sementara.
“Kenapa gue harus satu sekolah dengan tiang listrik itu sih?! Gue lebih ngarep satu sekolah dengan Angga! Tuh anak makan cabe berapa kilo jadi emosi mulu kerjaannya? Gue doain cepat ubanan!” Omelnya panjang pendek ketika melihat Adit berjalan dengan beberapa temannya menuju kantin. Wajahnya yang jujur, ganteng itu membuat beberapa cewek melirik ke arahnya. Dia mencibir.
“Ganteng tapi sinis gitu mending
gausah hidup sekalian!” Dia menyumpah dan entah kenapa, Adit menoleh ke atas
dan melihat Kina yang juga menatapnya penuh benci. Jauh dari kata akur. Padahal
mereka hanya kenal sehari.
Adit tersenyum sinis dan mengucapkan
sesuatu, “Dasar cebol mata sipit.” Begitu kira – kira ucapannya yang ditangkap
Kina. Membuat gadis itu meradang.
“Dasar tiang listrik mesum!”
Jawabnya dengan emosi dan pergi meninggalkan balkon dengan kaki di langkahkan
besar – besar saking emosinya. Membuat kejadian pagi tadi yang membuatnya
semakin membenci Adit muncul lagi di pikirannya.
Flashback
“Angga?” Kina shock ketika sedang
berlari menuju kelasnya karna mau terlambat, dia melihat sosok yang sangat
dikenalnya berjalan di depannya. Dia yang sangat hapal lekuk tubuh Angga segera
berlari menghampirinya. Terlalu bahagia sampai lupa bahwa pelajaran pertama
hari ini adalah guru yang paling killer di sekolahnya.
Kina mencoba memanggilnya, namun
cowok itu tak bergeming, malah terus berjalan hingga belok ke kiri. Kina yang
memang tak hapal dengan rute sekolahnya yang sangat luas ini. Mengira Angga
akan masuk kelasnya, jadi dia mengikuti karna penasaran.
“Sudah cukup ikutin gue?” Tanya
seseorang berdiri di belakangnya dan menutup pintu. Kina mengikuti Angga hingga
cowok itu masuk sebuah ruangan, antara bodoh atau terlalu penasaran, dia
mengikutinya. Dan hasilnya, dia terjebak di ruangan yang sama sekali dia tak
tahu apa namanya karna terlalu gelap.
“Angga? Lo jangan bercanda dong!
ngapain sih kita berdua disini? Kayak main petak umpet aja. Hahahaha...” Dia
mencoba tertawa seolah – seolah berada di tempat gelap bersama cowok adalah hal
yang paling lucu di dunia.
Tiba – tiba, kejadian itu terlalu
cepat hingga Kina tau – tau bersandar di dinding dengan kedua tangan di
telikung ke belakang dan dipegang oleh cowok itu dan tangan kanannya menahan
tubuhnya agar tak menimpanya yang sudah pucat. Napas mereka saling beradu.
Lampu di ruangan pun menyala dan Kina bisa melihat tatapan cowok di depannya
ini sungguh seperti ingin mengulitinya hidup – hidup sampai ke tulang. Terlalu
mematikan.
“Bisa gak gausah lari –lari di
koridor sekolah seolah kita saling kenal? Gue gak kenal sama lo, gadis kecil.
Sayang banget gue bukan Angga, jadi sorry yah gue hancurin harapan manis lo
ntuk bisa satu sekolah dengan adik gue itu.” Bisiknya di atas kepala hingga
napas cowok itu membuat ubun – ubunnya menjadi sedingin Kutub Utara. Sangat
dingin.
Kina menatapnya dengan tatapan
dibuat sangar. Dia tak ingin cowok itu tau bahwa kakinya serasa ingin mencair
menjadi genangan air saking takutnya. Aura intimidasi dan penuh ancaman memeluk
tubuhnya. sangat jauh dengan aura persahabatan dan penuh keceriaan yang diberi
Angga untuknya. Mereka kembar, berbagi rahim ibu mereka, tapi dilingkupi aura
yang sangat jauh berbeda.
“Kalau mata udah sipit itu gak usah
sok galak. Bikin aneh.” Dia melepas cekalan di tangan Kina dan berjalan menjauh
sambil membenarkan bajunya yang mulai berantakan.
“Bisa gak sih jadi cowok sopan
dikit?! Kalau lo bukan Angga, bilang! Gak usah main jebak cewek ke gudang! Cih!
Gue kira lo Angga, makanya gue ikutin! Lagipula ngapain juga gue bela – belain
ikutin lo sampai sini? Ogah banget, sok ngartis!” Jawabnya ketus dan berjalan
melewati Adit, namun tangannya ditarik kasar dan didorong ke dinding hingga
kepalanya terbentur. Dan Adit langsung mengurung dengan tubuh di depannya dan
tangan sebagai penopangnya. Agar gadis itu tak kabur.
“Coba bilang sekali lagi!” dia mulai
menggeram menahan emosi.
“Sok
ngartis!” Decit Kina yang terlalu ketakutan mendengar suaranya. Namun
kata – katanya menantang.
Dia mengangkat dagu Kina agar cewek
itu menatapnya jelas. Tatapan mata cewek itu terlalu ketakutan hingga dia yakin
kalau mereka semakin lama disini dengan posisi sekarang, cewek ini bakal ambruk
saking ketakutan.
“Lo...” Bisiknya sambil mendekatkan
wajahnya dan mereka beradu hidung. Kina menarik napas dan membaca doa – doa
pengusir makhluk halus yang dihapalnya dalam hati agar cowok yang dia yakin
adalah makhluk halus ini pergi meninggalkannya.
Jarak mereka semakin dekat, bahkan
Kina bisa merasakan setiap kalimat yang diucapkan cowok itu hembusannya terasa
di bibirnya. Membuat kelu.
“Lo mikir gue bakal cium lo begitu?”
Dia memundurkan jarak ketika Kina mulai menutup matanya. Dan dia melepas
cekalannya dan menatap Kina dengan tatapan mencela. “Jangan mimpi gue mau cium
bibir cewek ingusan macam lo! ketauan banget gak berpengalaman. Amatir.”
Ucapnya sadis dan meninggalkan Kina yang terpaku menatap kepergiaannya.
Tangannya mengepal penuh emosi. Bahkan jika cowok itu berbalik ke arahnya, dia
akan menghajar wajahnya itu, terutama bibirnya biar jontor sekalian.
“Dasar cowok gila, sinting, mesum,
tiang listrik! Gue sumpahin lo jadi homo!” Umpatnya dalam bahasa papahnya yang
dijamin cowok itu gak bakalan mengerti.
Dan petakanya semakin berlanjut
ketika dia masuk kelas karna terlambat, cowok itu duduk persis di belakangnya!
Mereka satu sekolah, satu kelas, dan satu komplek dengannya! Mengingat
kenyataan itu, dia ingin pingsan saat itu juga.
Flashback
Off.
“Kinaa...” Suara lembut Fira
membuyarkan lamunannya. Dia menoleh dan melirik teman sebangkunya ini.
“Tadi kenapa lo telat?”
“Dicegat calon homo di gudang!” Jawabnya dalam hati. “Gue telat bangun. Hehehehheee..”
Untungnya Fira percaya dengan alasan klisenya itu, “Oh.. untung lo bisa menjawab pertanyaan tuh guru dalam bahasa Jerman. Coba kalo lo gak bisa, mungkin lo gak bakalan bisa masuk. Lo belajar darimana? Bukannya lo jepang tulen?”
“Dicegat calon homo di gudang!” Jawabnya dalam hati. “Gue telat bangun. Hehehehheee..”
Untungnya Fira percaya dengan alasan klisenya itu, “Oh.. untung lo bisa menjawab pertanyaan tuh guru dalam bahasa Jerman. Coba kalo lo gak bisa, mungkin lo gak bakalan bisa masuk. Lo belajar darimana? Bukannya lo jepang tulen?”
Kina garuk – garuk kepalanya tak
gatal. Bingung menjelaskan sisilah keluarganya. “Keluarga papah gue itu
multikultural dan multiagama. Kalau udah ketemu, lo seperti berada di tengah –
tengah duta besar rapat PBB dengan bahasa masing – masing daripada keluarga
besar pada umumnya. Membuat nenek gue kadang harus berteriak untuk bicara
bahasa inggris sebagai jembatan komunikasi kami yang ruwet. Gue belajar bahasa
Jerman dari sepupu sengak gue, Bian. ntar deh kalau ketemu gue kenalin, tapi lo
harus tahan banting sama dia. Dia itu...” Kina memutar bola matanya. Diantara
sepupunya yang lain, Cuma Bian lah yang jujur, paling enak dipandang wajahnya
dan sifatnya yang jahil dan menggoda itu kadang membuatnya senyum – senyum
sendiri. “suka godain cewek. Hahahhaaaa...” dia tertawa ketika melihat Fira
tertawa mendengar leluconnya.
“Pantesan lo menjawab pertanyaan Ibu
Sam selancar ini. Kalau bahasa indonesia siapa yang ngajarin, Kin? Lo baru
tahun ini pindah ke Indonesia, kan?”
“Dari kecil, gue diajarin tiga
bahasa. Jepang, Indonesia, sama Jerman. Karna keluarga gue paling banyak
berasal dari Jerman. Kalau indonesia, yang ngajarin itu nyokap. Gue dirumah pun
pakai bahasa Indonesia. Sesuai tempat deh, kalau gue di Jepang, gue ngomong
bahasa jepang, kalau gue mengunjungi keluarga papah gue yang lain di Jerman,
gue ngomongnya bahasa Jerman walau patah – patah, kalau gue disini, ya ngomong
bahasa ini. Ngapain gue sok – sokan bahasa inggris? Sesuai tempat kita berada
deh. jadi gak terlihat aneh.” Jelasnya dan Fira mengangguk setuju.
“Gue setuju dengan ucapan lo. kadang
gue gemes sendiri kalau ada yang ngomong dengan bahasa inggris mix
bahasa indonesia. Kesannnya gimana gitu...”
Dia tersenyum mendengarnya. Kadang
dia pun gemas sendiri mendengarnya. Serasa ingin ikut menimpali. “Lo udah
makan? Temanin gue dong, lapar nih.” Ucapnya sambil menggandeng pundak Fira
yang mengangguk dan pergi ke kantin. Masalahnya dengan Adit dilupakan untuk
sementara.
♥
♥
“Ini apa?” Kina menatap bingung melihat
pesanan Fira. Sebuah bau yang asing, dengan daging kecoklatan dan dilumuri
seperti karih dan nasi goreng. Dia tak pernah memakan daging itu karna dirumah
mamanya selalu menyajikan makanan Jepang dan sesekali makanan Indonesia hadir
di meja makan. Itupun sekedar nasi
goreng atau bakso dan sesekali sate yang menurutnya sangat aneh.
“ini?”
Dia menunjuk pesanannya dan Kina mengangguk, “Ini masakan Padang. Namanya rendang.
Enak loh. Mau?” Kina langsung mengangguk antusias dan membiarkan Fira
menyuapinya sesendok. Matanya membelalak. Pedasnya, empuk daging itu, dan
lidahnya bisa merasakan banyaknya bumbu – bumbu yang tercampur dalam sepotong
daging yang dia telan sekarang ini. Dia langsung mengacungkan jempol.
“Enak!
Gue mau ah...” Dia tanpa ragu memesan seperti Fira dan sahabatnya itu membantu
untuk menyicipi makanan Indonesia yang ada di kantinnya.
“Ntar
ada sosialisasi loh antara Fakultas Kedokteran dari kampus lain ke sekolah
kita. Siapa tau ada yang ganteng.”Terdengar bisik – bisik dari temannya dengan
nada antusias. Dia tak peduli dan melanjutkan makannya. Baginya siapapun yang
datang nanti, takkan ada yang merubah nasibnya karna harus satu kelas dengan
Adit. Mengingat cowok itu, membuatnya memotong daging dengan kasar dan hampir
saja meloncat dari piringnya. Seolah daging itu ingin melarikan diri.
Dia mendongkakkan wajahnya ke atas.
Meminta maaf karna cipratan rendang itu mungkin mengenai seseorang di depannya.
Ketika mendongkak, wajah Adit yang dingin itu menatapnya, dan matanya berjalan
ke dada cowok itu dan melihat cipratan mengenai seragam cowok itu. Mendadak dia
susah menelan daging yang dia makan sekarang.
Tanpa kata, cowok itu berdiri
diikuti temannya. Tak sedikitpun Adit menoleh ke arahnya, “Sorry,” Kina
mengucap dengan nada penuh menyesal bahkan tangannya sudah terulur untuk
membersihkan bekasnya dengan tisu yang sudah dia kasih sedikit air mineralnya.
Namun cowok itu menepis kasar. Seolah tak sudi tangan halus Kina menyentuh
bajunya.
Emosi, Kina menggebrak meja dengan
kasar dan menatap Adit yang dingin itu dengan garang. Entah kenapa, berhadapan
dengan cowok itu membuatnya menjadi tua setiap detiknya, “Lo itu ada masalah
apa sih sama gue? Gue gak sengaja nyipratin dan gue tulus bersihin tapi lo
anggap gue seperti sampah yang jijik untuk lo sentuh! Jadi cowok bisa gak sih
hargain cewek?!” Kina sangat, sangat emosi dan meluapkan semua kekesalannya
pada Adit, cowok yang menatapnya dengan wajah datar. Tak ada gurat emosi.
Semua pengunjung kantin fokus
menatap mereka. Mereka tau reputasi Aditya Rajesha, Wakil Ketua Osis yang
berhati dingin terhadap perempuan, bahkan cenderung anti malah. Namun otaknya
yang cerdas dan jenius dalam bermusik dan selalu menciptakan lagu – lagu
romantis dan menyanyikannya setiap ada festival di sekolah mereka. Liriknya
yang menghargai perempuan dan membuat para cewek seakan – akan pusat dunianya
adalah kekuatan setiap lirik lagunya dan wajahnya yang tampan sanggup membuat
para cewek meleleh dan berusaha mendekatinya walaupun tau pulang ke rumah bakal
nangis tersedu – sedu karna tak di anggap.
Pengunjung kantin sempat menghayal
Adit akan menghamuk, atau mencium cewek itu sampai semaput kalau perlu seperti
di novel – novel kebanyakan, namun reaksi Adit sangat membuat mereka terkejut.
Dia menguap dan menatap Kina dengan tatapan malas, “Udah selesai curhatnya? Gue
ngantuk, bye.” Dia pergi dengan memasukkan kedua tangan di saku celananya dan
berjalan santai meninggalkan Kina yang tak kalah shock.
“What the hell are you, Boy?!” Desisnya
tajam sambil menatap punggung Adit yang semakin menjauh. Seandainya dia
keturunan X-MEN, mungkin dia ingin kekuatan tatapan mata tajamnya bisa
mengeluarkan pisau dan menusuk punggung cowok itu tanpa ampun.
“Dia itu cowok jenis apa sih? Heran
gue!” Kina duduk kembali dan Fira langsung menyodorkan air minum mineral yang
langsung diteguk sampai habis. Dan botol mineral yang malang itu diremas kuat
olehnya. Seolah – olah dia meremas Adit hingga remuk.
“Adit emang kayak gitu. Udah jangan
dipeduliin. Biarin aja. Mending lo makan gih,” Fira langsung menyodorkan coklat
yang dia beli untuk Kina sebagai peredam emosi. Dan cewek itu langsung
mengambil dan tersenyum, ”Thanks.” Ucapnya tulus dan memakan coklatnya.
“sama – sama.”
♥
♥
Kina pusing melihat soal biologi yang
berhubungan dengan anatomi manusia terpampang di hadapannya. Dia sungguh bodoh
kalau berhadapan dengan Biologi. Makanya dia heran kenapa bisa duduk di kelas
Jurusan IPA dan bertemu dengan pelajaran sialan ini. Dan sekelas dengan Adit
membuatnya lebih sial lagi.
Suara
Ibu Andini, pengajar Biologi yang lembut namun mendadak sangar apabila tak ada
yang bisa menjawab pertanyaannya itu membuyarkan lamunan, “Hari ini kalian akan
bertemu dengan beberapa Mahasiswa – Mahasiswi FKUI semester 6 yang akan
menjelaskan pelajaran ini lebih rinci lagi dalam segi ilmu kedokteran. Ini
mereka,” Ibu Andini mempersilahkan mereka masuk satu – persatu dalam kelas dan
terdengar desis kekaguman dan beberapa terpesona ketika tatapan semua cewek
tertuju pada satu orang yang berjas almameter kuning, tersenyum manis dan
wajahnya yang tampan, iris mata bewarna hijau toska semakin membuatnya
terlihat... Waw!
Kina melongo dibuatnya. Lebih melongo shock lagi ketika tatapan cowok – cowok kelasnya fokus pada satu cewek di belakang cowok itu. Dengan rambutnya yang disemir coklat, iris mata bewarna coklat terang, wajahnya khas wanita Turki itu dan tubuhnya yang langsing membuat para cowok dibuat ngiler.
Mendadak,
cowok yang menjadi pusat perhatian mereka menatap ke arahnya dan tersenyum
manis. Lebih tepatnya senyum menggoda. Dan semua cewek menoleh ke arah Kina,
seolah berkata “Siapa lagi Kina ini sampai kenal dengan cowok seganteng dan
se HOT ini?!”
Dan
tatapan cewek itu ikut – ikutan menoleh ke arah Kina dan tersenyum, “Hai Kina. Welcome
to the Bandung, again.” Ucapnya dengan nada manis. Semua perhatian kini
tertuju ke arahnya. Membuatnya mengerang, “Kenapa gue lagi jadi fokus
mereka?! Udah kalian liat ke depan dan pelototin si Bian tuh! Ini juga kenapa
nyapa gue frontal begini?! Gak usah senyum – senyum!” Gerutu Kina dalam
hati ketika senyum sepupunya yang satu itu semakin lebar dan membuatnya tambah
tampan.
“iya.
Selamat datang juga untuk gue sendiri. I miss you a lot, guys”
Jawabannya membuat mereka berdua tersenyum simpul lalu memutuskan perkenalan
mereka dengan mengenalkan diri masing – masing.
“Mereka
siapa?” Tanya Fira sambil menunjuk Bian yang memegang replika jantung dan
menjelaskan dengan bahasa yang manis. Tak terkesan menggurui. Bahkan diselingi
dengan candaan. Membuat para cewek berharap bahwa jantung yang dipegang Bian
itu adalah jantung mereka yang sekarang kebat – kebit saking terpesonanya. Atau
Bian berhenti jadi dokter dan menjadi guru mereka saja. Dijamin kalau sampai
terjadi, Pelajaran Biologi akan menjadi pelajaran paling favorit di sekolah
mereka.
“Yang
cewek itu,” Kina menunjuk Erika yang sekarang menjelaskan reproduksi kewanitaan
dibantu teman – temannya yang tak kalah enak dipandang. “Dia sepupu gue.
Namanya Erika dan kembarannya itu,” Dia menunjuk Bian yang sekarang mengedipkan
mata ke arahnya. Wajahnya merona seketika, “ Febrian. Dia penggoda cewek tapi
anehnya masih jomblo saat ini. Ckkckc..”
Fira
hanya mangut – mangut dan berbisik malu,” Salamin yah ama sepupu lo, Bian.
hahahaaa...” dan mereka tertawa lalu berhenti ketika Ibu Andini mempelototinya
garang.
♥
♥
“Udah lama di Bandung?” Tanya Bian ketika
mereka berada di parkiran mobil. Kina sengaja menunggunya di situ setelah bel
pulang berbunyi karna dia terlalu kangen dengan sepupunya itu dan tak bisa
mendekat karna mereka di tahan oleh teman – teman sekelasnya dengan segerombol
pertanyaan kritis. Membuat bu Andini separo sisi senang, separo merasa
tersaingi.
“Gak
juga sih. Sekitar dua minggu gue disini, kak.” Kina keceplosan memanggil Bian
dengan sebutan kakak. Membuat cowok itu melotot.
“Jangan
panggil gue kakak dong. gue gak mau terlihat tua. Kalau kak Erika dipanggil
begitu sih gak papa.” Dia mengingatkan dan Kina tertawa. Bian paling tak suka
dipanggil kakak karna dia seperti tua dan merasa seperti ada perbedaan status
yang tak kasat mata. Membuat Erika yang berdiri di sampingnya, mencibir.
“Lo
bilang gue tua gitu?!”
“Gue
gak bilang lo tua loh, kak.”
“Tapi
lo isyaratin kalo gue ini tua! Kita kan seumuran, Bian! Cuma beda 10 menit
doang!”
“Udah...
udah...” Mau tak mau Kina melerai mereka dan tersenyum sendiri. Kalau seperti
ini, mereka tak terlihat seperti anak kuliah yang masuk Jurusan Kedokteran.
Tapi seperti seumurannya.
Bian
nyengir di buatnya, “Tapi lo kakak gue paling cantik kok. gue gak nyesal bisa
satu darah dan berbagi rahim sama mama dengan cewek secantik lo. kembaran gue
lagi. Love you, sista.”
“Hate
you, brotha,” Erika menjawab sinis dan Bian tertawa.
“Kapan
– kapan kerumah dong. Lista kangen sama lo. katanya dia gak mungkin loncat ke
Jepang hanya untuk ketemu lo, kan? kalau gue sih, gak apa – apa. Sekalian cuci
mata dan gue kursus bahasa Jepang loh sekarang. Siapa tau nanti gue berjodoh
dengan cewek Jepang karna gue jago bahasa mereka. Hahahhaaaa...”
Erika
semakin mencibir mendengarnya, “mimpi yang terlalu muluk, dek. Jangankan bahasa
sepupu kita, bahasa papah kita aja lo masih terbata – bata!” Ucapnya sinis
karna setiap mereka ke tempat papahnya, Jerman, Bian semakin menempel dengannya
seperti siput dengan cangkangnya karna tak bisa berbicara semahir dirinya. membuatnya
menjadi translator dadakan untuk adiknya yang satu ini.
Kina
tertawa mendengarnya, “Hahahahaa... kalau begitu lo belajar sama mama gue aja
bagaimana gebet orang Jepang dan menikah. Hahahaaa... gue pulang dulu yah. bubye.”
Kina mencium pipi Bian dan memeluknya. Begitu juga dengan Erika. “Mau pulang
bareng kami?” Tawarnya namun Kina menggeleng, “Gak kak, makasih. Gue bawa
sepeda tuh. Duluan yah,” Dia berlari menuju sepedanya yang terparkir di sudut
dan menginjaknya sambil bersinandung.
Tiba
– tiba, Bian menepuk kening sendiri, “Astaga! Gue lupa kak!” Teriaknya ketika
masuk dalam mobil dan hendak menjalankannya. Membuat Erika berkerut kening.
“Apaan?”
“Yang
sebangku sama Kina tadi namanya siapa yah? gue pengen nanya itu daritadi.
Hahahaaa...” Tawanya ketika melihat kakaknya manyun.
“Lo
itu yah!”
♥
♥
“Capek...”
Dia terduduk di depan rumah dengan tangan sibuk mengipas – ngipas dirinya.
perjalanan dari sekolah ke rumah dengan sepeda benar – benar ide yang buruk.
Kenapa? Karna udara siang ini sangat membunuhnya. Membuatnya sebentar lagi akan
mati karna dehidrasi parah.
Gerakannya
terhenti ketika dia menoleh ke arah kanan, dia melihat sesosok cowok yang
paling dibencinya sejagat raya hendak menghampiri. Membuatnya berdecak kesal.
“Cih! Si setan ngapain kesini?! Bikin udara tambah panas aja!” ucapnya kesal
dan langsung masuk ke rumah sebelum dia emosi dan ujung – ujungnya bertengkar
di depan rumahnya sendiri.
Di
kejauhan, Angga, cowok yang dikira Adit itu bingung melihat Kina menatapnya
penuh dendam dan bergegas masuk rumah. Padahal dia ingin menyapa dan memberikan
coklat yang dibelinya untuk gadis itu. Keningnya berkerut, “Dia kenapa sih?”
Batinnya dalam hati.
♥
♥
“Gue
bingung.” Ucapnya membuat Adit yang asyik memainkan gitar, terhenti. Dia
menatap kembarannnya yang berwajah kusut itu dan melihat coklat di tangan
kanannya. Keningnya berkerut, “Sejak kapan adek gue suka makan coklat?”
“Bingung
kenapa lo?” Dia memutuskan untuk tidak memikirkan coklat di tangan Angga dan
memainkan gitar kembali sambil sesekali menulis di kertas dengan tangan
kirinya. Perbedaan dia dan Angga sangat banyak. Tapi yang paling mendasar
adalah dia kidal dan Angga tidak.
“Kina
kok ngeliat gue kayak cowok yang patut dia bunuh, yah? gue ngerasa gak punya
dosa deh perasaan. Perasaan gue baik – baik aja kemaren, gak nyari masalah.
Hmmmm....” Dia bertopang dagu di meja belajar dan melihat kakaknya yang tetap
saja menulis lirik lagu dengan chord – chord gitar di atasnya. Dia tau kakaknya
yang satu ini jago bermusik apalagi dalam urusan menulis lirik – lirik cinta.
Tapi yang dia tak habis pikir, dimana kakaknya yang selisih 10 menit darinya
ini mendapatkan inspirasi? Mengingat, dia adalah dingin terhadap cewek, pacaran
Cuma sekali dan itupun putus entah karna apa.
Adit
mau tak mau tersenyum samar mendengar cerita adiknya itu. Mungkin Kina mengira
Angga adalah Adit hingga cewek itu menjauh darinya.
“Kira
– kira dia sekolah dimana yah, kak? Gue sih pengen ngajak keliling komplek
untuk saling kenal, tapi melihat dia kayak gitu jadi bingung. Dosa gue apa?”
“Dia
satu sekolah dan sekelas sama gue, Ngga.” Ucap Adit datar membuat adiknya
melongo. “Serius?”
“Ngapain
gue bohong?” Adit balik bertanya dan sekarang menatap adiknya itu. Wajah mereka
sangat mirip. Bagai pinang dibelah dua. Tapi, perbedaan mereka sangat luas.
Sehingga mereka seperti orang yang kebetulan berwajah mirip karna saking banyak
perbedaannya.
“Gue
jadi curiga nih,” Angga menatap kakaknya dengan curiga. Jangan – jangan
kebencian kakaknya terhadap cewek ada hubungannya dengan Kina menatapnya penuh
dendam hari ini, “Lo apain si Kina jadi benci gitu liat gue? Pasti dia mikir
kalo gue ini adalah lo. pasti deh. yakin gue.”
Adit
tertawa mendengar hipotesa adiknya yang sangat tepat itu, “Gue gak ngapa –
ngapain dia kok. dianya aja yang sensi seolah – olah gue cowok apaan gitu.”
“Lo
kenapa jadi antipati begini? Jangan lo bandingin semua cewek itu seperti Sesil
kak. Gue rugi dong kalau begini.”
Ucapan
Angga terakhir membuat tawanya terhenti. Tangannya berhenti menulis lirik lagu
dan matanya melotot tajam. Namun Angga tak bergeming. Dugaannya benar. Kakaknya
masih terbayang – bayang dengan Sesil hingga menjadi seperti ini, “Lo jangan
pernah sebut nama dia disini! Dimanapun gue berpijak, gue gak mau mendengar
namanya! Ngerti?”
Angga
berdiri dari duduknya dan melangkah keluar, “Gue tau hati lo itu sebenarnya
baik kak. Jangan karna satu cewek, cewek kayak Kina lo anggap dia juga.”
“Jangan
sok asal nilai orang deh,”
“Gue
kembaran lo, Adit.” Dia menghilangkan embel – embel “kakak” dan menatap Adit
tajam, “Gue tau hati lo. kalo lo jahat, kenapa lo sampai saat ini bisa menulis
lirik cinta untuk cewek, menyanjungnya, sedangkan lo sendiri patah hati karna itu?
Gue pernah dengar pepatah, “Menulis lirik cinta adalah bahasa pikiran yang
paling dalam, bahasa hati yang murni ketika bibir tak mampu menjelaskannya
secara logika.”
“Seharusnya
lo yang gue panggil kakak kalau begitu,” Adit tersenyum miring dan Angga
nyengir.
“Seharusnya.
Tapi gue lebih suka menjadi adik lo daripada menjadi kakak yang punya adik
seperti lo. udah ah, gue mau cabut,” Dia
tersenyum dan menutup pintu. Meninggalkan Adit yang terdiam.
“Sesil...”
Ucapnya dalam hening. Entah kenapa, mengucapkan nama itu membuat hatinya
seperti tersayat.
Dia
melihat coklat yang ada di atas mejanya. Coklat dari Angga untuk Kina. Entah
kenapa, dia mengambil coklat silver queen itu dan membawanya keluar. Dia
harus melakukan sesuatu.sangat mengganggu.
♥
♥
“Permisi, tante. Kina nya ada? Saya Angga dari
tetangga sebelah.” Dia memperkenalkan diri dengan ramah ketika seorang wanita
berumur 35 tahun membuka pintu dan menatapnya bingung. Lalu dia tersenyum
manis. Senyum Kina rupanya didapat dari wanita ini, begitu pikirnya.
“Oh,
Angga. Kina ada kok di kamarnya. Ayo masuk...”
“Gak
usah, tante. Saya disini ada. Mau ketemu sebentar.” Tolaknya halus membuat
wanita itu mengerti.
“Yasudah.
Kamu duduk aja dulu. Biar tante panggilkan Kina.” Mamanya menunjuk kursi panjang
d samping dan dia mengikutinya lalu mengangguk sopan.
Tak
lama kemudian, Kina keluar dengan daster dan rambut panjang acak – acakan serta
matanya yang semakin sipit. Melihat dirinya, dia langsung tersenyum lebar dan
tanpa ragu – ragu duduk di sampingnya, “Hai Angga, kenapa? Tumben nyari gue.”
“Gak.
gue mau ngantar ini,” Dia memberikan bungkusan kepada Kina dan cewek itu
menatapnya bingung. Bungkusan yang sangat indah. Dengan pita manis sebagai
penutup kotak kecil itu. “Loh? Gue gak ulang tahun hari ini, Ngga. Ulang tahun
gue masih 6 bulan lagi. Dan kado ini, indah banget. boleh gue buka?”
“Boleh
kok. buka aja.” Dan Kina terkejut melihatnya. Sebuah coklat berbentuk hati
sangat indah. Apalagi itu adalah coklat putih. Dia sangat menyukai coklat putih
dan tersenyum lebar pada Angga.
“Thanks
yah, Ngga. Tau aja lo suka coklat.”
“Sama
– sama. Oh iya, Adit minta maaf sama lo soal siang tadi. Dia udah cerita sama
gue kalau kalian satu sekolah dan sekelas. Tingkahnya buat lo jengkel. Tapi,
Adit emang begitu. Dia itu sebenarnya baik kok.”
“Baik
dalam apaan? Tuh cowok gak ada bagus – bagusnya sama sekali di mata cewek
normal!”
Angga
tertawa melihat ekspresi Kina yang masam itu, “Coklat putih itu sebenarnya usul
Adit loh. Gue pengen ngasih lo sesuatu Cuma bingung apaan sebagai tanda kita
kenalan, yaudah Adit nyaranin coklat putih aja dan sekalian nitip maaf. Dia
terlalu pemalu untuk mengucapkan maaf. Egonya tinggi sih.”
“Gak
usah lo kasih tau pun gue bisa rasain egonya yang selangit itu!” Jawabnya
jengkel, “Tapi gue gak nyangka dia bisa mikir coklat putih dan minta maaf ma
gue. Bikin gue terharu. Makasih yah atas coklatnya,” Kina tersenyum dan memakan
satu. Lalu menawarkannya ke Angga, dan cowok itu tak menolak dan ikut
memakannya, “Enak, kan?” Dan Kina mengangguk. Membuatnya tak segan – segan
bertanya apa saja dan Kina dengan senang hati menjawabnya.
♥
♥
“Cukup hari ini gue lakuin hal sinting!” Adit
menggerutu ketika masuk dalam rumah. Sungguh, beramah – tamah dengan Kina dan
menjadi Angga sangat melelahkannya. Memberikannya coklat putih dibungkus dengan
kado, menjadi Angga dan menyampaikan permintaan maaf dari Adi dengan wajah
sangat menyesal itu sangat membuatnya muak. Dan dia bertekad dalam hati
kejadian hari ini hanya akan terjadi dalam sekali dalam hidupnya.
Tapi,
senyum Kina yang manis, ceritanya tentang keluarganya, teman – teman sekolahnya
dulu, sangat membekas di hatinya. Entah kenapa, dia merasa hangat untuk
sementara sebelum perasaan itu menghilang.
“Ternyata
gak buruk juga, yah.” Gumamnya dalam hati.
Tiba
– tiba Angga masuk ke kamarnya dengan wajah bingung, membuatnya kaget dan buru
– buru pasang wajah datar.“Tadi tumben si Kina nyamperin gue dengan sumringah
dan nitip salam damai sama lo. ada apaan yah? Bingung gue,” Dia duduk di
ranjang kakaknya dan melihat coklatnya sudah tak ada lagi, “Coklat gue buat
Kina mana, kak?”
“Cewek
aneh dan labil ampun – ampunan gak usah lo pikirin. Bikin sakit kepala aja.
Udah gue makan. Soalnya sayang coklat seenak itu dikasih buat cewek cebol macam dia.”
Angga
tertawa mendengarnya, “Hhhaaaa... aneh lo, kak.” Dia melangkah keluar dan
berhenti, “Gue baru ingat, dia udah maafin lo tuh. Walaupun gue gak tau apa
yang terjadi antara lo sama dia, tapi senang gue dengarnya ada cewek mau maafin
lo yang egois ini. Lo baik – baik yah sama dia.”
Entah
kenapa, dia tersenyum samar, “Gue gak janji bisa damai sama dia. Liat wajahnya
aja gue males. Apalagi damai. Makasih deh,”
“Terserah
lo deh, kak.” Dia menutup pintu kamar kakaknya dengan sempurna.
Di
dalam, Adit hanya termenung sambil menulis nama Kina di kertasnya, “Akina yah,
Hmmmm... asyik juga kalau jadi tikus mainan gue,” Ucapnya samar dengan nada
entah kenapa. Sanggup membuat hidup cewek itu menjadi amburadul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar