Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Cintaku di Tiang Jemuran Part 3


Seharian, gadis itu sangat kesal luar biasa sampai – sampai dia ingin melempar apapun yang ada di hadapannya. Bagaimana dia tak kesal, bahwa ternyata dia satu sekolah dengan Adit yang dia kira Angga itu. Membuat hidupnya penuh emosi negatif. Dan Kina memutuskan melarikan diri ke balkon sekolah yang pandangan langsung ke Lapangan basket. Daripada dia berada di sekitar teman – temannya yang berpotensi membuatnya semakin emosi, mending menjauh sementara.

            “Kenapa gue harus satu sekolah dengan tiang listrik itu sih?! Gue lebih ngarep satu sekolah dengan Angga! Tuh anak makan cabe berapa kilo jadi emosi mulu kerjaannya? Gue doain cepat ubanan!” Omelnya panjang pendek ketika melihat Adit berjalan dengan beberapa temannya menuju kantin. Wajahnya yang jujur, ganteng itu membuat beberapa cewek melirik ke arahnya. Dia mencibir.
            “Ganteng tapi sinis gitu mending gausah hidup sekalian!” Dia menyumpah dan entah kenapa, Adit menoleh ke atas dan melihat Kina yang juga menatapnya penuh benci. Jauh dari kata akur. Padahal mereka hanya kenal sehari.
            Adit tersenyum sinis dan mengucapkan sesuatu, “Dasar cebol mata sipit.” Begitu kira – kira ucapannya yang ditangkap Kina. Membuat gadis itu meradang.
            “Dasar tiang listrik mesum!” Jawabnya dengan emosi dan pergi meninggalkan balkon dengan kaki di langkahkan besar – besar saking emosinya. Membuat kejadian pagi tadi yang membuatnya semakin membenci Adit muncul lagi di pikirannya.

            Flashback

            “Angga?” Kina shock ketika sedang berlari menuju kelasnya karna mau terlambat, dia melihat sosok yang sangat dikenalnya berjalan di depannya. Dia yang sangat hapal lekuk tubuh Angga segera berlari menghampirinya. Terlalu bahagia sampai lupa bahwa pelajaran pertama hari ini adalah guru yang paling killer di sekolahnya.

            Kina mencoba memanggilnya, namun cowok itu tak bergeming, malah terus berjalan hingga belok ke kiri. Kina yang memang tak hapal dengan rute sekolahnya yang sangat luas ini. Mengira Angga akan masuk kelasnya, jadi dia mengikuti karna penasaran.
            “Sudah cukup ikutin gue?” Tanya seseorang berdiri di belakangnya dan menutup pintu. Kina mengikuti Angga hingga cowok itu masuk sebuah ruangan, antara bodoh atau terlalu penasaran, dia mengikutinya. Dan hasilnya, dia terjebak di ruangan yang sama sekali dia tak tahu apa namanya karna terlalu gelap.
            “Angga? Lo jangan bercanda dong! ngapain sih kita berdua disini? Kayak main petak umpet aja. Hahahaha...” Dia mencoba tertawa seolah – seolah berada di tempat gelap bersama cowok adalah hal yang paling lucu di dunia.
            Tiba – tiba, kejadian itu terlalu cepat hingga Kina tau – tau bersandar di dinding dengan kedua tangan di telikung ke belakang dan dipegang oleh cowok itu dan tangan kanannya menahan tubuhnya agar tak menimpanya yang sudah pucat. Napas mereka saling beradu. Lampu di ruangan pun menyala dan Kina bisa melihat tatapan cowok di depannya ini sungguh seperti ingin mengulitinya hidup – hidup sampai ke tulang. Terlalu mematikan.
            “Bisa gak gausah lari –lari di koridor sekolah seolah kita saling kenal? Gue gak kenal sama lo, gadis kecil. Sayang banget gue bukan Angga, jadi sorry yah gue hancurin harapan manis lo ntuk bisa satu sekolah dengan adik gue itu.” Bisiknya di atas kepala hingga napas cowok itu membuat ubun – ubunnya menjadi sedingin Kutub Utara. Sangat dingin.
            Kina menatapnya dengan tatapan dibuat sangar. Dia tak ingin cowok itu tau bahwa kakinya serasa ingin mencair menjadi genangan air saking takutnya. Aura intimidasi dan penuh ancaman memeluk tubuhnya. sangat jauh dengan aura persahabatan dan penuh keceriaan yang diberi Angga untuknya. Mereka kembar, berbagi rahim ibu mereka, tapi dilingkupi aura yang sangat jauh berbeda.
            “Kalau mata udah sipit itu gak usah sok galak. Bikin aneh.” Dia melepas cekalan di tangan Kina dan berjalan menjauh sambil membenarkan bajunya yang mulai berantakan.
            “Bisa gak sih jadi cowok sopan dikit?! Kalau lo bukan Angga, bilang! Gak usah main jebak cewek ke gudang! Cih! Gue kira lo Angga, makanya gue ikutin! Lagipula ngapain juga gue bela – belain ikutin lo sampai sini? Ogah banget, sok ngartis!” Jawabnya ketus dan berjalan melewati Adit, namun tangannya ditarik kasar dan didorong ke dinding hingga kepalanya terbentur. Dan Adit langsung mengurung dengan tubuh di depannya dan tangan sebagai penopangnya. Agar gadis itu tak kabur.
            “Coba bilang sekali lagi!” dia mulai menggeram menahan emosi.
            “Sok  ngartis!” Decit Kina yang terlalu ketakutan mendengar suaranya. Namun kata – katanya menantang.
            Dia mengangkat dagu Kina agar cewek itu menatapnya jelas. Tatapan mata cewek itu terlalu ketakutan hingga dia yakin kalau mereka semakin lama disini dengan posisi sekarang, cewek ini bakal ambruk saking ketakutan.
            “Lo...” Bisiknya sambil mendekatkan wajahnya dan mereka beradu hidung. Kina menarik napas dan membaca doa – doa pengusir makhluk halus yang dihapalnya dalam hati agar cowok yang dia yakin adalah makhluk halus ini pergi meninggalkannya.
            Jarak mereka semakin dekat, bahkan Kina bisa merasakan setiap kalimat yang diucapkan cowok itu hembusannya terasa di bibirnya. Membuat kelu.
            “Lo mikir gue bakal cium lo begitu?” Dia memundurkan jarak ketika Kina mulai menutup matanya. Dan dia melepas cekalannya dan menatap Kina dengan tatapan mencela. “Jangan mimpi gue mau cium bibir cewek ingusan macam lo! ketauan banget gak berpengalaman. Amatir.” Ucapnya sadis dan meninggalkan Kina yang terpaku menatap kepergiaannya. Tangannya mengepal penuh emosi. Bahkan jika cowok itu berbalik ke arahnya, dia akan menghajar wajahnya itu, terutama bibirnya biar jontor sekalian.
            “Dasar cowok gila, sinting, mesum, tiang listrik! Gue sumpahin lo jadi homo!” Umpatnya dalam bahasa papahnya yang dijamin cowok itu gak bakalan mengerti.
           
            Dan petakanya semakin berlanjut ketika dia masuk kelas karna terlambat, cowok itu duduk persis di belakangnya! Mereka satu sekolah, satu kelas, dan satu komplek dengannya! Mengingat kenyataan itu, dia ingin pingsan saat itu juga.

Flashback Off.
           
            “Kinaa...” Suara lembut Fira membuyarkan lamunannya. Dia menoleh dan melirik teman sebangkunya ini.
            “Tadi kenapa lo telat?”
            “Dicegat calon homo di gudang!” Jawabnya dalam hati. “Gue telat bangun. Hehehehheee..”
            Untungnya Fira percaya dengan alasan klisenya itu, “Oh.. untung lo bisa menjawab pertanyaan tuh guru dalam bahasa Jerman. Coba kalo lo gak bisa, mungkin lo gak bakalan bisa masuk. Lo belajar darimana? Bukannya lo jepang tulen?”
            Kina garuk – garuk kepalanya tak gatal. Bingung menjelaskan sisilah keluarganya. “Keluarga papah gue itu multikultural dan multiagama. Kalau udah ketemu, lo seperti berada di tengah – tengah duta besar rapat PBB dengan bahasa masing – masing daripada keluarga besar pada umumnya. Membuat nenek gue kadang harus berteriak untuk bicara bahasa inggris sebagai jembatan komunikasi kami yang ruwet. Gue belajar bahasa Jerman dari sepupu sengak gue, Bian. ntar deh kalau ketemu gue kenalin, tapi lo harus tahan banting sama dia. Dia itu...” Kina memutar bola matanya. Diantara sepupunya yang lain, Cuma Bian lah yang jujur, paling enak dipandang wajahnya dan sifatnya yang jahil dan menggoda itu kadang membuatnya senyum – senyum sendiri. “suka godain cewek. Hahahhaaaa...” dia tertawa ketika melihat Fira tertawa mendengar leluconnya.
            “Pantesan lo menjawab pertanyaan Ibu Sam selancar ini. Kalau bahasa indonesia siapa yang ngajarin, Kin? Lo baru tahun ini pindah ke Indonesia, kan?”
            “Dari kecil, gue diajarin tiga bahasa. Jepang, Indonesia, sama Jerman. Karna keluarga gue paling banyak berasal dari Jerman. Kalau indonesia, yang ngajarin itu nyokap. Gue dirumah pun pakai bahasa Indonesia. Sesuai tempat deh, kalau gue di Jepang, gue ngomong bahasa jepang, kalau gue mengunjungi keluarga papah gue yang lain di Jerman, gue ngomongnya bahasa Jerman walau patah – patah, kalau gue disini, ya ngomong bahasa ini. Ngapain gue sok – sokan bahasa inggris? Sesuai tempat kita berada deh. jadi gak terlihat aneh.” Jelasnya dan Fira mengangguk setuju.
            “Gue setuju dengan ucapan lo. kadang gue gemes sendiri kalau ada yang ngomong dengan bahasa inggris mix bahasa indonesia. Kesannnya gimana gitu...”
            Dia tersenyum mendengarnya. Kadang dia pun gemas sendiri mendengarnya. Serasa ingin ikut menimpali. “Lo udah makan? Temanin gue dong, lapar nih.” Ucapnya sambil menggandeng pundak Fira yang mengangguk dan pergi ke kantin. Masalahnya dengan Adit dilupakan untuk sementara.

♥ ♥

          “Ini apa?” Kina menatap bingung melihat pesanan Fira. Sebuah bau yang asing, dengan daging kecoklatan dan dilumuri seperti karih dan nasi goreng. Dia tak pernah memakan daging itu karna dirumah mamanya selalu menyajikan makanan Jepang dan sesekali makanan Indonesia hadir di meja makan. Itupun  sekedar nasi goreng atau bakso dan sesekali sate yang menurutnya sangat aneh.
            “ini?” Dia menunjuk pesanannya dan Kina mengangguk, “Ini masakan Padang. Namanya rendang. Enak loh. Mau?” Kina langsung mengangguk antusias dan membiarkan Fira menyuapinya sesendok. Matanya membelalak. Pedasnya, empuk daging itu, dan lidahnya bisa merasakan banyaknya bumbu – bumbu yang tercampur dalam sepotong daging yang dia telan sekarang ini. Dia langsung mengacungkan jempol.
            “Enak! Gue mau ah...” Dia tanpa ragu memesan seperti Fira dan sahabatnya itu membantu untuk menyicipi makanan Indonesia yang ada di kantinnya.

            “Ntar ada sosialisasi loh antara Fakultas Kedokteran dari kampus lain ke sekolah kita. Siapa tau ada yang ganteng.”Terdengar bisik – bisik dari temannya dengan nada antusias. Dia tak peduli dan melanjutkan makannya. Baginya siapapun yang datang nanti, takkan ada yang merubah nasibnya karna harus satu kelas dengan Adit. Mengingat cowok itu, membuatnya memotong daging dengan kasar dan hampir saja meloncat dari piringnya. Seolah daging itu ingin melarikan diri.
                       
            Dia mendongkakkan wajahnya ke atas. Meminta maaf karna cipratan rendang itu mungkin mengenai seseorang di depannya. Ketika mendongkak, wajah Adit yang dingin itu menatapnya, dan matanya berjalan ke dada cowok itu dan melihat cipratan mengenai seragam cowok itu. Mendadak dia susah menelan daging yang dia makan sekarang.
            Tanpa kata, cowok itu berdiri diikuti temannya. Tak sedikitpun Adit menoleh ke arahnya, “Sorry,” Kina mengucap dengan nada penuh menyesal bahkan tangannya sudah terulur untuk membersihkan bekasnya dengan tisu yang sudah dia kasih sedikit air mineralnya. Namun cowok itu menepis kasar. Seolah tak sudi tangan halus Kina menyentuh bajunya.
            Emosi, Kina menggebrak meja dengan kasar dan menatap Adit yang dingin itu dengan garang. Entah kenapa, berhadapan dengan cowok itu membuatnya menjadi tua setiap detiknya, “Lo itu ada masalah apa sih sama gue? Gue gak sengaja nyipratin dan gue tulus bersihin tapi lo anggap gue seperti sampah yang jijik untuk lo sentuh! Jadi cowok bisa gak sih hargain cewek?!” Kina sangat, sangat emosi dan meluapkan semua kekesalannya pada Adit, cowok yang menatapnya dengan wajah datar. Tak ada gurat emosi.
            Semua pengunjung kantin fokus menatap mereka. Mereka tau reputasi Aditya Rajesha, Wakil Ketua Osis yang berhati dingin terhadap perempuan, bahkan cenderung anti malah. Namun otaknya yang cerdas dan jenius dalam bermusik dan selalu menciptakan lagu – lagu romantis dan menyanyikannya setiap ada festival di sekolah mereka. Liriknya yang menghargai perempuan dan membuat para cewek seakan – akan pusat dunianya adalah kekuatan setiap lirik lagunya dan wajahnya yang tampan sanggup membuat para cewek meleleh dan berusaha mendekatinya walaupun tau pulang ke rumah bakal nangis tersedu – sedu karna tak di anggap.
            Pengunjung kantin sempat menghayal Adit akan menghamuk, atau mencium cewek itu sampai semaput kalau perlu seperti di novel – novel kebanyakan, namun reaksi Adit sangat membuat mereka terkejut. Dia menguap dan menatap Kina dengan tatapan malas, “Udah selesai curhatnya? Gue ngantuk, bye.” Dia pergi dengan memasukkan kedua tangan di saku celananya dan berjalan santai meninggalkan Kina yang tak kalah shock.
            “What the hell are you, Boy?!” Desisnya tajam sambil menatap punggung Adit yang semakin menjauh. Seandainya dia keturunan X-MEN, mungkin dia ingin kekuatan tatapan mata tajamnya bisa mengeluarkan pisau dan menusuk punggung cowok itu tanpa ampun.

            “Dia itu cowok jenis apa sih? Heran gue!” Kina duduk kembali dan Fira langsung menyodorkan air minum mineral yang langsung diteguk sampai habis. Dan botol mineral yang malang itu diremas kuat olehnya. Seolah – olah dia meremas Adit hingga remuk.
            “Adit emang kayak gitu. Udah jangan dipeduliin. Biarin aja. Mending lo makan gih,” Fira langsung menyodorkan coklat yang dia beli untuk Kina sebagai peredam emosi. Dan cewek itu langsung mengambil dan tersenyum, ”Thanks.” Ucapnya tulus dan memakan coklatnya.
            “sama – sama.”
♥ ♥

          Kina pusing melihat soal biologi yang berhubungan dengan anatomi manusia terpampang di hadapannya. Dia sungguh bodoh kalau berhadapan dengan Biologi. Makanya dia heran kenapa bisa duduk di kelas Jurusan IPA dan bertemu dengan pelajaran sialan ini. Dan sekelas dengan Adit membuatnya lebih sial lagi.
            Suara Ibu Andini, pengajar Biologi yang lembut namun mendadak sangar apabila tak ada yang bisa menjawab pertanyaannya itu membuyarkan lamunan, “Hari ini kalian akan bertemu dengan beberapa Mahasiswa – Mahasiswi FKUI semester 6 yang akan menjelaskan pelajaran ini lebih rinci lagi dalam segi ilmu kedokteran. Ini mereka,” Ibu Andini mempersilahkan mereka masuk satu – persatu dalam kelas dan terdengar desis kekaguman dan beberapa terpesona ketika tatapan semua cewek tertuju pada satu orang yang berjas almameter kuning, tersenyum manis dan wajahnya yang tampan, iris mata bewarna hijau toska semakin membuatnya terlihat... Waw!

            Kina melongo dibuatnya. Lebih melongo shock lagi ketika tatapan cowok – cowok kelasnya fokus pada satu cewek di belakang cowok itu. Dengan rambutnya yang disemir coklat, iris mata bewarna coklat terang, wajahnya khas wanita Turki itu dan tubuhnya yang langsing membuat para cowok dibuat ngiler.
            Mendadak, cowok yang menjadi pusat perhatian mereka menatap ke arahnya dan tersenyum manis. Lebih tepatnya senyum menggoda. Dan semua cewek menoleh ke arah Kina, seolah berkata “Siapa lagi Kina ini sampai kenal dengan cowok seganteng dan se HOT ini?!”
            Dan tatapan cewek itu ikut – ikutan menoleh ke arah Kina dan tersenyum, “Hai Kina. Welcome to the Bandung, again.” Ucapnya dengan nada manis. Semua perhatian kini tertuju ke arahnya. Membuatnya mengerang, “Kenapa gue lagi jadi fokus mereka?! Udah kalian liat ke depan dan pelototin si Bian tuh! Ini juga kenapa nyapa gue frontal begini?! Gak usah senyum – senyum!” Gerutu Kina dalam hati ketika senyum sepupunya yang satu itu semakin lebar dan membuatnya tambah tampan.
            “iya. Selamat datang juga untuk gue sendiri. I miss you a lot, guys” Jawabannya membuat mereka berdua tersenyum simpul lalu memutuskan perkenalan mereka dengan mengenalkan diri masing – masing.
            “Mereka siapa?” Tanya Fira sambil menunjuk Bian yang memegang replika jantung dan menjelaskan dengan bahasa yang manis. Tak terkesan menggurui. Bahkan diselingi dengan candaan. Membuat para cewek berharap bahwa jantung yang dipegang Bian itu adalah jantung mereka yang sekarang kebat – kebit saking terpesonanya. Atau Bian berhenti jadi dokter dan menjadi guru mereka saja. Dijamin kalau sampai terjadi, Pelajaran Biologi akan menjadi pelajaran paling favorit di sekolah mereka.
           
            “Yang cewek itu,” Kina menunjuk Erika yang sekarang menjelaskan reproduksi kewanitaan dibantu teman – temannya yang tak kalah enak dipandang. “Dia sepupu gue. Namanya Erika dan kembarannya itu,” Dia menunjuk Bian yang sekarang mengedipkan mata ke arahnya. Wajahnya merona seketika, “ Febrian. Dia penggoda cewek tapi anehnya masih jomblo saat ini. Ckkckc..”
            Fira hanya mangut – mangut dan berbisik malu,” Salamin yah ama sepupu lo, Bian. hahahaaa...” dan mereka tertawa lalu berhenti ketika Ibu Andini mempelototinya garang.


♥ ♥

          “Udah lama di Bandung?” Tanya Bian ketika mereka berada di parkiran mobil. Kina sengaja menunggunya di situ setelah bel pulang berbunyi karna dia terlalu kangen dengan sepupunya itu dan tak bisa mendekat karna mereka di tahan oleh teman – teman sekelasnya dengan segerombol pertanyaan kritis. Membuat bu Andini separo sisi senang, separo merasa tersaingi.
            “Gak juga sih. Sekitar dua minggu gue disini, kak.” Kina keceplosan memanggil Bian dengan sebutan kakak. Membuat cowok itu melotot.
            “Jangan panggil gue kakak dong. gue gak mau terlihat tua. Kalau kak Erika dipanggil begitu sih gak papa.” Dia mengingatkan dan Kina tertawa. Bian paling tak suka dipanggil kakak karna dia seperti tua dan merasa seperti ada perbedaan status yang tak kasat mata. Membuat Erika yang berdiri di sampingnya, mencibir.
            “Lo bilang gue tua gitu?!”
            “Gue gak bilang lo tua loh, kak.”
            “Tapi lo isyaratin kalo gue ini tua! Kita kan seumuran, Bian! Cuma beda 10 menit doang!”           
            “Udah... udah...” Mau tak mau Kina melerai mereka dan tersenyum sendiri. Kalau seperti ini, mereka tak terlihat seperti anak kuliah yang masuk Jurusan Kedokteran. Tapi seperti seumurannya.
            Bian nyengir di buatnya, “Tapi lo kakak gue paling cantik kok. gue gak nyesal bisa satu darah dan berbagi rahim sama mama dengan cewek secantik lo. kembaran gue lagi. Love you, sista.”
            Hate you, brotha,” Erika menjawab sinis dan Bian tertawa.
            “Kapan – kapan kerumah dong. Lista kangen sama lo. katanya dia gak mungkin loncat ke Jepang hanya untuk ketemu lo, kan? kalau gue sih, gak apa – apa. Sekalian cuci mata dan gue kursus bahasa Jepang loh sekarang. Siapa tau nanti gue berjodoh dengan cewek Jepang karna gue jago bahasa mereka. Hahahhaaaa...”
            Erika semakin mencibir mendengarnya, “mimpi yang terlalu muluk, dek. Jangankan bahasa sepupu kita, bahasa papah kita aja lo masih terbata – bata!” Ucapnya sinis karna setiap mereka ke tempat papahnya, Jerman, Bian semakin menempel dengannya seperti siput dengan cangkangnya karna tak bisa berbicara semahir dirinya. membuatnya menjadi translator dadakan untuk adiknya yang satu ini.
            Kina tertawa mendengarnya, “Hahahahaa... kalau begitu lo belajar sama mama gue aja bagaimana gebet orang Jepang dan menikah. Hahahaaa... gue pulang dulu yah. bubye.” Kina mencium pipi Bian dan memeluknya. Begitu juga dengan Erika. “Mau pulang bareng kami?” Tawarnya namun Kina menggeleng, “Gak kak, makasih. Gue bawa sepeda tuh. Duluan yah,” Dia berlari menuju sepedanya yang terparkir di sudut dan menginjaknya sambil bersinandung.

            Tiba – tiba, Bian menepuk kening sendiri, “Astaga! Gue lupa kak!” Teriaknya ketika masuk dalam mobil dan hendak menjalankannya. Membuat Erika berkerut kening.
            “Apaan?”
            “Yang sebangku sama Kina tadi namanya siapa yah? gue pengen nanya itu daritadi. Hahahaaa...” Tawanya ketika melihat kakaknya manyun.
            “Lo itu yah!”

♥ ♥

            “Capek...” Dia terduduk di depan rumah dengan tangan sibuk mengipas – ngipas dirinya. perjalanan dari sekolah ke rumah dengan sepeda benar – benar ide yang buruk. Kenapa? Karna udara siang ini sangat membunuhnya. Membuatnya sebentar lagi akan mati karna dehidrasi parah.
            Gerakannya terhenti ketika dia menoleh ke arah kanan, dia melihat sesosok cowok yang paling dibencinya sejagat raya hendak menghampiri. Membuatnya berdecak kesal. “Cih! Si setan ngapain kesini?! Bikin udara tambah panas aja!” ucapnya kesal dan langsung masuk ke rumah sebelum dia emosi dan ujung – ujungnya bertengkar di depan rumahnya sendiri.
           
            Di kejauhan, Angga, cowok yang dikira Adit itu bingung melihat Kina menatapnya penuh dendam dan bergegas masuk rumah. Padahal dia ingin menyapa dan memberikan coklat yang dibelinya untuk gadis itu. Keningnya berkerut, “Dia kenapa sih?” Batinnya dalam hati.

♥ ♥

            “Gue bingung.” Ucapnya membuat Adit yang asyik memainkan gitar, terhenti. Dia menatap kembarannnya yang berwajah kusut itu dan melihat coklat di tangan kanannya. Keningnya berkerut, “Sejak kapan adek gue suka makan coklat?”
            “Bingung kenapa lo?” Dia memutuskan untuk tidak memikirkan coklat di tangan Angga dan memainkan gitar kembali sambil sesekali menulis di kertas dengan tangan kirinya. Perbedaan dia dan Angga sangat banyak. Tapi yang paling mendasar adalah dia kidal dan Angga tidak.
            “Kina kok ngeliat gue kayak cowok yang patut dia bunuh, yah? gue ngerasa gak punya dosa deh perasaan. Perasaan gue baik – baik aja kemaren, gak nyari masalah. Hmmmm....” Dia bertopang dagu di meja belajar dan melihat kakaknya yang tetap saja menulis lirik lagu dengan chord – chord gitar di atasnya. Dia tau kakaknya yang satu ini jago bermusik apalagi dalam urusan menulis lirik – lirik cinta. Tapi yang dia tak habis pikir, dimana kakaknya yang selisih 10 menit darinya ini mendapatkan inspirasi? Mengingat, dia adalah dingin terhadap cewek, pacaran Cuma sekali dan itupun putus entah karna apa.
            Adit mau tak mau tersenyum samar mendengar cerita adiknya itu. Mungkin Kina mengira Angga adalah Adit hingga cewek itu menjauh darinya.
            “Kira – kira dia sekolah dimana yah, kak? Gue sih pengen ngajak keliling komplek untuk saling kenal, tapi melihat dia kayak gitu jadi bingung. Dosa gue apa?”
            “Dia satu sekolah dan sekelas sama gue, Ngga.” Ucap Adit datar membuat adiknya melongo. “Serius?”
            “Ngapain gue bohong?” Adit balik bertanya dan sekarang menatap adiknya itu. Wajah mereka sangat mirip. Bagai pinang dibelah dua. Tapi, perbedaan mereka sangat luas. Sehingga mereka seperti orang yang kebetulan berwajah mirip karna saking banyak perbedaannya.
            “Gue jadi curiga nih,” Angga menatap kakaknya dengan curiga. Jangan – jangan kebencian kakaknya terhadap cewek ada hubungannya dengan Kina menatapnya penuh dendam hari ini, “Lo apain si Kina jadi benci gitu liat gue? Pasti dia mikir kalo gue ini adalah lo. pasti deh. yakin gue.”
            Adit tertawa mendengar hipotesa adiknya yang sangat tepat itu, “Gue gak ngapa – ngapain dia kok. dianya aja yang sensi seolah – olah gue cowok apaan gitu.”
            “Lo kenapa jadi antipati begini? Jangan lo bandingin semua cewek itu seperti Sesil kak. Gue rugi dong kalau begini.”
            Ucapan Angga terakhir membuat tawanya terhenti. Tangannya berhenti menulis lirik lagu dan matanya melotot tajam. Namun Angga tak bergeming. Dugaannya benar. Kakaknya masih terbayang – bayang dengan Sesil hingga menjadi seperti ini, “Lo jangan pernah sebut nama dia disini! Dimanapun gue berpijak, gue gak mau mendengar namanya! Ngerti?”
            Angga berdiri dari duduknya dan melangkah keluar, “Gue tau hati lo itu sebenarnya baik kak. Jangan karna satu cewek, cewek kayak Kina lo anggap dia juga.”
            “Jangan sok asal nilai orang deh,”
            “Gue kembaran lo, Adit.” Dia menghilangkan embel – embel “kakak” dan menatap Adit tajam, “Gue tau hati lo. kalo lo jahat, kenapa lo sampai saat ini bisa menulis lirik cinta untuk cewek, menyanjungnya, sedangkan lo sendiri patah hati karna itu? Gue pernah dengar pepatah, “Menulis lirik cinta adalah bahasa pikiran yang paling dalam, bahasa hati yang murni ketika bibir tak mampu menjelaskannya secara logika.”
            “Seharusnya lo yang gue panggil kakak kalau begitu,” Adit tersenyum miring dan Angga nyengir.
            “Seharusnya. Tapi gue lebih suka menjadi adik lo daripada menjadi kakak yang punya adik seperti lo. udah ah, gue mau cabut,”  Dia tersenyum dan menutup pintu. Meninggalkan Adit yang terdiam.
            “Sesil...” Ucapnya dalam hening. Entah kenapa, mengucapkan nama itu membuat hatinya seperti tersayat.
            Dia melihat coklat yang ada di atas mejanya. Coklat dari Angga untuk Kina. Entah kenapa, dia mengambil coklat silver queen itu dan membawanya keluar. Dia harus melakukan sesuatu.sangat mengganggu.

♥ ♥

          “Permisi, tante. Kina nya ada? Saya Angga dari tetangga sebelah.” Dia memperkenalkan diri dengan ramah ketika seorang wanita berumur 35 tahun membuka pintu dan menatapnya bingung. Lalu dia tersenyum manis. Senyum Kina rupanya didapat dari wanita ini, begitu pikirnya.
            “Oh, Angga. Kina ada kok di kamarnya. Ayo masuk...”
            “Gak usah, tante. Saya disini ada. Mau ketemu sebentar.” Tolaknya halus membuat wanita itu mengerti.
            “Yasudah. Kamu duduk aja dulu. Biar tante panggilkan Kina.” Mamanya menunjuk kursi panjang d samping dan dia mengikutinya lalu mengangguk sopan.

            Tak lama kemudian, Kina keluar dengan daster dan rambut panjang acak – acakan serta matanya yang semakin sipit. Melihat dirinya, dia langsung tersenyum lebar dan tanpa ragu – ragu duduk di sampingnya, “Hai Angga, kenapa? Tumben nyari gue.”
            “Gak. gue mau ngantar ini,” Dia memberikan bungkusan kepada Kina dan cewek itu menatapnya bingung. Bungkusan yang sangat indah. Dengan pita manis sebagai penutup kotak kecil itu. “Loh? Gue gak ulang tahun hari ini, Ngga. Ulang tahun gue masih 6 bulan lagi. Dan kado ini, indah banget. boleh gue buka?”
            “Boleh kok. buka aja.” Dan Kina terkejut melihatnya. Sebuah coklat berbentuk hati sangat indah. Apalagi itu adalah coklat putih. Dia sangat menyukai coklat putih dan tersenyum lebar pada Angga.
            “Thanks yah, Ngga. Tau aja lo suka coklat.”
            “Sama – sama. Oh iya, Adit minta maaf sama lo soal siang tadi. Dia udah cerita sama gue kalau kalian satu sekolah dan sekelas. Tingkahnya buat lo jengkel. Tapi, Adit emang begitu. Dia itu sebenarnya baik kok.”
            “Baik dalam apaan? Tuh cowok gak ada bagus – bagusnya sama sekali di mata cewek normal!”
            Angga tertawa melihat ekspresi Kina yang masam itu, “Coklat putih itu sebenarnya usul Adit loh. Gue pengen ngasih lo sesuatu Cuma bingung apaan sebagai tanda kita kenalan, yaudah Adit nyaranin coklat putih aja dan sekalian nitip maaf. Dia terlalu pemalu untuk mengucapkan maaf. Egonya tinggi sih.”
            “Gak usah lo kasih tau pun gue bisa rasain egonya yang selangit itu!” Jawabnya jengkel, “Tapi gue gak nyangka dia bisa mikir coklat putih dan minta maaf ma gue. Bikin gue terharu. Makasih yah atas coklatnya,” Kina tersenyum dan memakan satu. Lalu menawarkannya ke Angga, dan cowok itu tak menolak dan ikut memakannya, “Enak, kan?” Dan Kina mengangguk. Membuatnya tak segan – segan bertanya apa saja dan Kina dengan senang hati menjawabnya.

♥ ♥

          “Cukup hari ini gue lakuin hal sinting!” Adit menggerutu ketika masuk dalam rumah. Sungguh, beramah – tamah dengan Kina dan menjadi Angga sangat melelahkannya. Memberikannya coklat putih dibungkus dengan kado, menjadi Angga dan menyampaikan permintaan maaf dari Adi dengan wajah sangat menyesal itu sangat membuatnya muak. Dan dia bertekad dalam hati kejadian hari ini hanya akan terjadi dalam sekali dalam hidupnya.
            Tapi, senyum Kina yang manis, ceritanya tentang keluarganya, teman – teman sekolahnya dulu, sangat membekas di hatinya. Entah kenapa, dia merasa hangat untuk sementara sebelum perasaan itu menghilang.
            “Ternyata gak buruk juga, yah.” Gumamnya dalam hati.

            Tiba – tiba Angga masuk ke kamarnya dengan wajah bingung, membuatnya kaget dan buru – buru pasang wajah datar.“Tadi tumben si Kina nyamperin gue dengan sumringah dan nitip salam damai sama lo. ada apaan yah? Bingung gue,” Dia duduk di ranjang kakaknya dan melihat coklatnya sudah tak ada lagi, “Coklat gue buat Kina mana, kak?”
            “Cewek aneh dan labil ampun – ampunan gak usah lo pikirin. Bikin sakit kepala aja. Udah gue makan. Soalnya sayang coklat seenak itu dikasih buat  cewek cebol macam dia.”
            Angga tertawa mendengarnya, “Hhhaaaa... aneh lo, kak.” Dia melangkah keluar dan berhenti, “Gue baru ingat, dia udah maafin lo tuh. Walaupun gue gak tau apa yang terjadi antara lo sama dia, tapi senang gue dengarnya ada cewek mau maafin lo yang egois ini. Lo baik – baik yah sama dia.”

            Entah kenapa, dia tersenyum samar, “Gue gak janji bisa damai sama dia. Liat wajahnya aja gue males. Apalagi damai. Makasih deh,”
            “Terserah lo deh, kak.” Dia menutup pintu kamar kakaknya dengan sempurna.
            Di dalam, Adit hanya termenung sambil menulis nama Kina di kertasnya, “Akina yah, Hmmmm... asyik juga kalau jadi tikus mainan gue,” Ucapnya samar dengan nada entah kenapa. Sanggup membuat hidup cewek itu menjadi amburadul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar