Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Be Yours?! DAMN! PART 6 -Dark Secret


“Hatiku beku. Oleh cinta, oleh setia.
Bagaimana bisa aku mempercayainya kalau orang yang aku cintai pergi karna dua hal itu?
Mereka memberi cinta, tapi diabaikan.
Mereka memegang kesetiaan yang tulus, tapi dikhianati.
Bukan salahku, jika akhirnya aku membentengi diriku sendiri dari dua hal itu.
Aku dan hatiku, Jiwaku, sudah mati sebelum bertemu denganmu.”
           

            “Jangan seperti kakak, Ando. Biarkan kakak pergi.” Bisiknya lemah dengan napas tersengal – sengal kepada adiknya, Ando yang masih menangis dan menggenggam tangannya.
            “Kak! Kalo kakak pergi, Gue dengan siapa? Kak! Bangun kak! Bangun! Lo gak boleh tidur! Lo belum jawab pertanyaan gue, kak!” Teriaknya sambil mengguncang – guncang tubuhnya yang sudah diam membisu dengan meninggalkan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Kakaknya, yang selalu membelanya, selalu memperhatikannya dikala semua orang membuangnya, pergi meninggalkannya dengan membawa hatinya yang patah karna dikhianati tunangannya sendiri.
            “Kak Rafa... kalo lo pergi, gue dengan siapa? Gue gak punya siapa – siapa lagi, kak.” Isaknya sambil terus mengguncang pelan kakaknya yang tubuhnya sudah dingin. Berharap bangun dan tersenyum padanya. Walau dia tau, akal sehatnya tau, kakaknya takkan pernah kembali lagi,  kakaknya lebih memilih membawa perasaan sakit itu pergi bersamanya daripada berjuang untuknya.

“Hatinya sudah mati, sebelum bertemu denganmu.
Dia berteman dengan sedih dan lara
Bersahabat dengan benci dan dendam.
Bermusuhan dengan cinta, bahagia, dan setia
Karna baginya, ketiga hal itu adalah dongeng anak – anak sebelum tidur.
Yang tak berlaku untuknya.”


           
            “Ando! Ando!” Panggilnya membuat cowok itu seolah tersadar dari lamunannya. Tanpa sadar, dia meneteskan air matanya dan menatap Lista yang bingung dengannya.
           
            Lista duduk di sampingnya. Bingung melihat perubahan emosi Ando yang berubah mendadak. “Kenapa dia? Jangan bilang dia nangis karna gue bentar pergi ke kamar kak Rika untuk pinjam kunci mobil!”
           
            Ando mengedipkan matanya. sungguh tak menyangka, memori yang sudah dia kubur 3 tahun yang lalu bersama hatinya yang ikut hancur hadir kembali. tak menyangka sifat over – protective kedua kakaknya Lista mau tak mau mengingatkan pada kakaknya sendiri, lebih memilih mati konyol dengan meminum wine berakohol tinggi yang dicampur dengan narkoba hanya karna tunangannya yang pergi karna hamil dengan sahabatnya sendiri daripada bersamanya, adiknya sendiri yang masih membutuhkannya.
            “Lo kenapa?” Lista bertanya dengan nada lembut. Di depannya sekarang, dia melihat bukan Ando yang arogan, playboy cap Sapi, yang selalu menyakiti hati cewek yang tulus sayang padanya, tukang paksa dan sejuta cap jelek lainnya, tapi sebagai Ando yang biasa, yang punya masa lalu yang pahit.
            Ando menggeleng. Kemudian menyentuh pipi Lista dengan lembut. Membuatnya menegang seketika oleh sentuhan itu. “Lo orang yang beruntung, Lista.” Ucapnya lalu melepas sentuhannya ketika gadis itu terlihat tak nyaman.
            “Beruntung kenapa?” Tanyanya. Namun Ando memilih mengabaikannya. Untuk saat ini.
            “Gimana? Udah bisa pulang?” Tanyanya mengalihkan tatapan Lista yang penasaran dengannya.
            Lista menggoyangkan kunci mobil Kak Bian yang berhasil dipinjamnya dengan wajah penuh kemenangan penuh walau harus digoda habis – habisan karna mobil kak Rika dibawa ke bengkel.
            “Ayooo....” Ajaknya dan menarik Ando yang mulai melamun lagi.

♥ ♥

          Baru kali ini, selama pacaran dengan berbagai cewek, dia diantar pulang oleh pacarnya dengan kondisi wajah masih lebam sana – sini, lengan dan perutnya apalagi. Masih nyeri hebat setiap digerakkan. Kakinya, jangan ditanya, sudah memar bahkan jalannya agak pincang. Membuatnya mau tak mau bersyukur pada Tuhan karna diijinkan masih hidup. Bukan tewas ditangan kakaknya Lista.
            “Kakak lo gimana?” Tanya Ando. karna pada saat pulang tadi, mereka hanya berpamitan dengan Bian yang senyam – senyum jahil kearah mereka berdua. Bahkan masih sempat bilang bahwa lain kali dia harus bermain dengannya. Membuatnya tersenyum pahit.
            Mati remuk gue kalo main dengan Bian. Cukup Erika.
            “Kak Erika tadi tidur. Dia memang kayak gitu, kalau udah selesai tanding, pasti tidur pulas banget.”
            “Kakak lo gak papa kan?” Mau tak mau dia khawatir dengan Erika. Walau dia jago, tapi tetap saja dimatanya Erika itu cewek.
            “Gak kok. 11 : 12 deh keadaannya sama lo.”
            Ando pun mengangguk dan lebih memilih diam sambil memberikan Lista arahan soal alamat rumahnya.
           
           
            “Baru kali ini gue dianterin cewek. Ckckkck... lo bikin harga diri gue terluka, Lista.” Ucapnya ketika Lista konsen dengan perjalanan mereka. Dan membuatnya manyun.
            “Dan harga diri gue lebih terluka lagi kalo membiarkan lo pulang kerumah sendiri dengan seluruh tubuh babak belur. Memangnya selama lo pacaran, gak pernah dianter cewek?” Tanyanya dan Ando tersenyum mengejek.
            “Tentu saja gak! Harga diri gue tinggi kalau soal beginian. Gue anti diantar – jemput cewek.”
            “Jadi selama ini lo sering jemput cewek kalau jalan?”
            “Gak tuh. Gue gak pernah kalau mau jalan jemput cewek kerumahnya, apalagi ijin dengan kedua orang tuanya. Jadi kami ketemuan di suatu tempat terus pulang sendiri – sendiri. Cuma sama lo aja gue kayak gini.” Jawabnya enteng sambil menatap Lista yang melongo.
            Ingat Lista! Dia playboy! Jangan terpesona!
            Tapi untuk sementara, dia mengabaikan peringatan kata hatinya dan wajahnya memerah malu. Mau tak mau merasa tersanjung.



            “Ini rumah lo?” Tanyanya sambil terpesona ketika akhirnya tiba di depan rumah Ando yang lebih besar dan mewah dibandingkan dengan yang lain. Bahkan dia merasa rumahnya tak ada apa – apanya.
            “Mau masuk?” Tawar Ando turun dari mobil dan tersenyum ketika Lista menatapnya ragu. “Tenang aja. Gue gak gigit kok.” Katanya ketika melihat Lista menatapnya.  
            “Beneran? Gue langsung pulang aja deh.” Elaknya namun wajah memaksa Ando membuatnya ngalah dan dia memparkir mobilnya di garasi yang 2 kali lebih luas dari garasinya dan membiarkan dirinya ditarik masuk ke dalam.

            Bik Ijah, pembantu di rumah Ando membukakan pintu dan memandang bingung melihat gadis cantik namun tomboy dibawa masuk ke dalam rumah. Bukannya apa – apa, semenjak kematian kakaknya, majikannya seperti merubah diri seketika. Tak pernah membawa teman, apalagi cewek ke rumah. Hanya Lista yang pertama. Mau tak mau membuat pembantunya yang mengasuh mereka sejak kecil tersenyum. Membisikkan harapan untuk Ando dalam hati. Karna dia tau, di lubuk hatinya, Ando lebih hancur dari yang lain.

            Tak habis – habisnya Lista terpesona dengan kemewahan dalam rumah Ando. berbentuk minimalis namun terkesan mewah, dan matanya langsung tertuju dengan taman yang luar biasa luasnya dengan pintu taman dari kaca. Dia melangkah ringan dan melihat Gazebo yang dihiasi dengan tanaman anggrek di setiap sisinya dan kolam renang dan di seberangnya dia bisa melihat mini bar dan kursi malas. Sungguh seperti surga.
            Ando tersenyum melihat ekspresi Lista melihat rumahnya hingga tidak menyadari satu hal, rumahnya dingin, berselimut sepi, berteman amarah. Dan takkan ada yang betah tinggal disini, walau indahnya seperti surga dunia.
            “Gue ke kamar dulu yah,” Pamitnya dan Lista mengangguk. Menikmati kenyamanan rumah Ando.

            Puas, dia masuk kembali dan kakinya melangkah ringan berkeliling sesekali mengagumi keindahannya. Hingga dia berhenti di ruangan paling besar, ruang keluarga. Disana, dia melihat banyak foto – foto keluarga Ando. bahkan Ando masih kecilpun ada. Sangat lucu dan menggemaskan. Tanpa sadar dia memegangnya dan tersenyum sambil mengelus bingkai foto itu. Dan matanya tiba – tiba tertuju foto paling besar yang dibingkai dengan indahnya dan di tempel di dinding. Foto keluarga besarnya. Dia melihat bahwa Ando kecil berdiri di samping mamanya yang cantik luar biasa dengan wajah khas Indonesia dan papahnya yang bule mempunyai tatapan mata mirip Ando. Dia bahkan tak tau kalo cowok itu punya seorang kakak cowok yang kira – kira lebih tua sekitar 4 tahun dari Bian. Dan wajah mereka mirip. Hanya saja, senyum kakaknya lebih hangat dan tulus daripada Ando.
            “Itu kakak gue, Rafael Alexander Hayman. Lebih tua dari kedua kakak lo. Dan mereka, kedua orang tua gue.” Entah sejak kapan, Ando bersandar di dinding dengan tatapan menerawang ke pigura foto itu. Penuh sakit dan luka. Membuat Lista hampir terlonjak kaget dan meletakkan pigura foto yang dia pegang tadi ke asalnya.
            “Kakak sama ortu lo kemana? Kok gue gak liat? Sibuk kerja?” Tanyanya dan dia melihat tatapan sakit itu hadir lagi. Bahkan lebih sakit dari yang dilihatnya. “Ada apa sebenarnya?”
            “Mereka mati.” Jawabnya dengan dengan tatapan kosong. Lalu  berjalan ke arahnya seolah terhipnotis. Lista mundur perlahan, separo bingung separo waspada. Hingga akhirnya dia tak bisa kemana – mana lagi, terhalang oleh tembok di belakangnya, dan Ando didepannya yang sudah separuh hilang kesadaran.
            “Ndo...” Panggilnya pelan. Terlalu takut untuk berteriak, terlalu gemetar untuk menyentuh lengannya yang kini mengurung di sisi kiri dan kanannya. Dia terjebak.
            Dia hanya menatap dengan tatapan hitam kosongnya. Perlahan, dia mulai menarik lengannya dan tanpa peringatan, kini kedua lengannya itu melingkar tubuhya. Membuat Lista kaget karna dipeluk Ando segitu eratnya, membuatnya sesak napas. Kedua pundaknya basah karna Ando menangis dipelukannya. Tanpa suara, tanpa kata. Namun sakitnya menusuk hingga ke hati Lista sendiri.
            Ragu – ragu, dia mengelus punggung Ando dengan lembut, berusaha menenangkannya dan rambutnya tak luput dari sentuhnya. “Kenapa, Ndo?” Tanyanya dengan lembut, “Lo bisa cerita sama gue. Gue siap dengarin.” Lanjutnya lagi ketika pelukan itu semakin mengerat. Dan berusaha menahan gejolak seluruh tubuhnya yang membunyikan alarm penolakan di dalam tubuhnya karna sentuhan Ando yang terlalu intens.

            Perlahan, dia mengurai pelukannya ketika dia merasa Lista tak nyaman dengan sentuhannya. Lista menatap Ando yang kini di depannya, hilang semua wajah arogansinya, yang didepannya sekarang adalah Ando, seorang cowok biasa yang menangis dipelukannya tanpa mempedulikan harga diri yang selalu dijunjungnya tinggi. Lama bertatapan, Ando memegang tangan kanannya. “Sorry... hanya saja... gue...” Ando mencari alasan atas tingkahnya yang sangat memalukan itu. Dia melirik ke arah lain dengan wajah malu. membuat Lista tersenyum dan menghapus air mata yang masih menetes di wajah Ando. “Lo kalo nangis jadi kayak cowok pada umumnya,” Ucapnya dan buru – buru menambahkan ketika Ando memelototinya. Seolah terluka. “Tenang aja, wajar kok. Kak Bian aja dulu pernah nangis di depan gue ma kak Erika. Jadi gue gak aneh liat lo nangis.”
           
            “Baru kali ini gue nangis di depan cewek. Dan itu bikin aneh.” Ucapnya sambil menggaruk – garuk kepalanya yang tak gatal dan dia menatap figura foto itu sekali lagi. Lalu menghela napas. Sedangkan Lista, menanti setiap ucapan yang akan dikeluarkannya.
            “Kakak gue sudah meninggal waktu gue kelas 3 SMP. Dia seperti kedua kakak lo. pelindung dikala gue tidak diinginkan di keluarga ini. Tembok dikala gue rapuh, dia segalanya buat gue, Lista.” Jelasnya dan ada nada kesedihan mendalam di setiap ucapannya.
            Dia menatap Lista sekali lagi. Lalu menghela napas. Sudah saatnya Lista tau seperti apa dirinya. dia lelah menyimpannya sendiri. Dengan cepat dia menarik Lista untuk berjalan menuju pigura foto keluarga besarnya dan mereka berdiri diam. Seperti patung.       “Ndo...” Panggil Lista pelan.
            “Foto ini diambil saat gue berumur 3 tahun. Masih kecil. Gak mengerti bahwa ke depannya kehadiran gue akan ditolak segitu kerasnya oleh orang tua sendiri.”
            Lista terkesiap kaget. Ando tak diinginkan? Maksudnya? Semua pertanyaan itu menari di otaknya. “Tidak ada anak yang tak diinginkan orang tuanya, Ndo.”
            “Ada, Lista! Yaitu gue!” Ando berteriak dan mengguncang pelan tubuhnya. Membuat lengannya sakit karna kedua tangan Ando meremasnya kuat. “Sorry...” Ucapnya ketika melihat Lista meringis kesakitan dan melepas cekalannya.
            “Waktu kak Rafa lahir, keluarga gue bisa dibilang makmur banget, pokoknya lo tinggal bilang ini – itu, sorenya langsung ada. Bisnis papah gue lagi bagus – bagusnya. Dan mama sama papah gue tak mau menambah anak lagi. Pengen jadiin kak Rafa sebagai pewaris tunggal perusahaan. Tapi...” Ando menghela napas berat dan menunduk. “Kalo lo gak sanggup, gak usah diceritain, Ndo.” Ucapnya mengulangi perkataan Ando kemarin soal pengakuannya. Membuat Ando tersenyum.
            “Lo copas kata – kata gue, sayang. Gue sanggup kok. gue hanya gak sanggup memendam sendiri. Udah terlalu lama.” Ucapnya pelan lalu dia menarik Lista ke pojok dan duduk di lantai berhadapan dengan foto keluarganya.
            “Mama hamil gue saat papah lagi ke luar negeri untuk urusin bisnisnya. Dari situlah, bisnis properti papah semakin, semakin naik. Saking naiknya, Waktu mama berjuang untuk melahirkan gue, Papah gak ada di samping mama. Dia malah sibuk dengan bisnisnya. Sampai gue besar, papah semakin meninggalkan kami, Kak Rafa pernah keceplosan setelah melahirkan gue, papah semakin sibuk dan mama kecewa. Tapi tak tau dilampiaskan dengan siapa. Sama kak Rafa, gak mungkin karna mama terlalu sayang, Jadi mama melampiaskan semua kekecewaan dan emosinya ke gue, Lis. Dia bilang karna keberadaan gue papah jadi menjauh, karna gue lahir, papah gak peduli sama kami lagi. Dan puncaknya, waktu gue kelas 1 SMP, mama selingkuh dengan seorang duda berumur 20 tahun lebih tua dari papah dan ninggalin kami bertiga, Lis dirumah. Lo tau apa yang diomongin mama gue sebelum pergi selama – lamanya ninggalin papah?” Ando menghela napas sebentar dan menengadahkan wajahnya menatap langit - langit. Masih teringat memori kepergian mamanya yang memilih bersama kakek – kakek daripada dengannya, keluarganya sendiri. “Dia bilang kalau semua ini berawal karna gue ada di sini, seandainya gue gak lahir, mungkin keadaan tetap damai. Dan dia bilang kalau tiap hari dia berdoa agar keguguran terus gue mati! dia bilang begitu, Lis saat gue baru pulang sekolah. Gue hanya bisa diam, gak berani ngomong. Padahal gue sudah melakukan semuanya, apa yang anak – anak lain tak bisa lakukan agar mama bahagia sama prestasi gue. Gue melakukan semuanya, Lis. Tapi mama gue gak pernah melihatnya. Mama gue ...”Ucapannya terhenti ketika Lista memeluknya sambil menangis. Dia tak sanggup mendengar Ando bercerita lebih banyak lagi tentang kehancuran keluarganya sendiri. “Please, Ndo... gak usah cerita lagi... jangan sakitin diri lo sendiri.” Isaknya ketika Ando membalas pelukannya.
            “Gue mau membagi semuanya, Lis. Seperti lo membagi masa lalu pada gue kemarin.” Ucapnya lalu menghapus air mata yang menetes di matanya.
            “Saat mama pergi, papah shock dengan kepergian mama. Gue gak bisa nyalahin kesibukan papah, karna gue tau, sesibuk – sibuknya papah, dia selalu memperhatikan mama dengan membelanjakan barang – barang mewah untuk mama. Tapi... mama gak butuh barang, mama hanya butuh kasih sayang papah yang hilang. Dan mungkin, mama gue menemukannya di duda kakek – kakek itu. Papah ikut – ikutan menyalahkan keberadaan gue di sini dan kak Rafa, yang dari dulu jadi tameng gue, jadi teman curhat gue disaat gue gak tahan dengan perlakukan mama, membela gue hingga dia hampir di tampar. Sejak saat itu, papah patah hati dan akhirnya pergi meninggalkan kami berdua disini. Kak Rafa yang sudah mempunyai tunangan, pernah bilang dia akan menjual rumah ini dan akan pindah ke tempat lain. Agar gak teringat lagi dengan perlakuan kedua orang tua gue sendiri. Bahkan dia malah menyuruh gue untuk tinggal bersamanya kalau sudah menikah. Gue setuju dan kami bahagia, Lis. Walau hanya berdua.” Ando tersenyum ketika teringat masa – masa waktu kakaknya masih ada. Mereka tinggal berdua, melakukan apa yang disukainya berdua tanpa harus mendapat cela dari mamanya sendiri. Dan masih ingat dalam benaknya ketika kakaknya hampir menangis haru yang setengah mati ditahannya ketika dia memenangkan lomba Judo tingkat Nasional. Dan dia ingat ketika kakaknya dengan pelan mengobati luka – luka yang ada di sekujur tubuhnya setiap dia selesai pertandingan. Padahal dia tau kakaknya lelah karna habis bekerja.
           

                “Tapi ... kebahagiaan itu tak berlangsung abadi, Lis.” Lanjutnya ketika ada jeda sebentar. Ando meneteskan air matanya ketika menatap foto kakaknya yang tersenyum. “Waktu gue kelas 3 SMP, mau Ujian Nasional, gue dihadapkan hal paling menyakitkan di dunia. Lebih sakit daripada kedua orang tua pergi dan menganggap gue pembawa sial. Kak Rafa, gue temukan keracunan di kamar dengan sabu – sabu di tangannya dan botol wine dosis tinggi yang mampu buat seekor Gajah teler itu habis ditenggak kakak gue. Dia begitu karna tunangannya, Seilla, mengaku hamil 3 bulan oleh sahabat kak Rafa sendiri! Kakak gue patah hati, dia sangat menyayangi Seila, bahkan dia mau tanggung jawab atas kehamilan Seila. Tapi cewek itu malah memilih sahabat kakak gue. Patah hatinya membuat dia meninggalkan gue sendiri di sini, Lis. Dia memilih meninggalkan gue, yang masih membutuhkannya, daripada bertahan. Lo gak tau hancurnya gue, Lis.” Ando menekuk kedua kakinya dan tangan menutup wajahnya. Air matanya terus menetes teringat bahwa dialah yang menemukan kakaknya keracunan di kamarnya dan dia jugalah yang mengantarkan kakaknya tengah malam ke rumah sakit, dan dia jugalah yang menghadapi saat – saat kematian kakaknya dengan membawa hatinya yang patah. “Gue bahkan hampir mencoba bunuh diri dengan nyayat urat nadi sendiri karna gue merasa gak ada artinya hidup. Dan minum racun dosis tinggi. Gue putus asa. Gak ada gunanya hidup kalau orang yang selalu ada di samping gue, pergi.” Ucap Ando sambil memperlihatkan bekas sayatan yang tepat di urat nadinya di tangan kirinya dengan tersenyum miris. Lista menghapus air mata yang masih menetes di wajah Ando dan menyentuh lembut bekas sayatan ditangannya.     
            “Tapi, Tuhan sayang sama gue, gue gak dibiarkan merasa sakitnya kematian karna Bik Ijah langsung membawa gue ke rumah sakit. Dan dialah yang menguatkan hati gue. Di saat kedua orang tua hilang dengan urusan dan dendam masing - masing, dialah yang menjaga gue di rumah sakit, berdoa siang – malam untuk gue. Mengucapkan nama gue di setiap doanya. Buat gue terharu. Buat gue...” Ucapannya terhenti untuk mengambil napas sebentar. Lalu menatap Lista yang sudah basah karna air mata yang terus menetes lalu mengusapnya pelan dan mencium pipinya. Membuatnya terkesiap kaget.
           
            “Sejak itu, gue hanya tinggal berdua dengan Bik Ijah. Uang bulanan yang cukup untuk beli mobil tiap bulan dan gaji Bik Ijah yang besarnya membuat dia mampu membeli berpetak – petak sawah di kampung, selalu di transfer sama papah gue yang entah berada dimana sekarang. Dan kak Rafa, ntah kapan dia menyiapkan semuanya, telah meninggalkan perusahaan dan satu mall serta hotel bintang lima untuk gue lanjutkan. Seluruh asetnya diwariskannya untuk gue. Bahkan semua asuransi dibuat atas nama gue dan tanah untuk membangun rumah impiannya, dirubah menjadi atas nama gue. Semua itu sekarang dipegang  oleh Ibu Chris, sahabat kak Rafa yang paling dipercayainya, setelah gue berumur 20 tahun, semuanya akan jatuh ke tangan gue, Lis. Dan gue sekarang lagi belajar mati – matian sama beliau agar bisa melanjutkan usaha kakak gue. Lebih sukses dari semua yang kakak gue lakukan untuk gue. Bahkan di saat matipun, dia memikirkan masa depan gue. Dan penghasilan bersih perusahaan dan semua bisnisnya masuk ke rekening gue. Benar – benar...” Ando menggelengkan kepalanya dan menatap Lista yang meneteskan air matanya lalu menghapusnya lembut.

            “Sejak saat itu, gue gak percaya cinta, gak percaya setia, gak percaya apa arti bahagia. Bagi gue, itu hanya mimpi indah yang orang – orang tertentu aja yang bisa milikin. Dan gue tidak termasuk di dalamnya.”
           
            “Lo salah, Ndo. Semua orang bisa bahagia, semua orang bisa merasakan cinta dan kesetiaan yang tulus. Hanya lo nya aja yang gak pernah mencarinya lebih serius.”
           
            “Tidak ada alasan kenapa gue harus mencarinya, Lis. Kebahagiaan takkan pernah lama singgah disini. Seandainya lama, mungkin gue akan bahagia walau hanya berdua dengan kak Rafa. Gue akan tinggal berdua dengannya. Ditambah bik Ijah. Gue hanya butuh kasih sayang mereka. Karna gue gak pernah merasakan bagaimana indahnya kasih sayang orang tua gue sendiri.” Ando menjawabnya dengan wajah kosong. Setiap malam dia mengucapkan harapan agar bisa selalu bersama kakaknya, tapi harapan tulusnya itu mengambang dilangit. Tak dibawa pergi oleh penghuni langit untuk dikabulkan, dibiarkan saja hingga menguap sia – sia.

            “Kenapa lo menceritakan semuanya ke gue, Ndo? Gue bukan siapa – siapa lo,” Tanyanya dan berdiri untuk mengambil tisu di dalam tasnya lalu menghapus air matanya yang masih menetes.
            “Entahlah,” Ando ikut berdiri dan memeluk Lista dari belakang. Mengabaikan keterkejutan dan gesture tubuh yang menolak sentuhannya. Dan dia menenggelamkan wajahnya di rambut pendek Lista yang harum. Menghirup aromanya. “Hanya saja, di dekat lo, gue jadi melakukan hal – hal yang kurang waras untuk dicerna. Seperti mengaku kepada semua keluarga lo bahwa kita pacaran, rela bonyok dihajar kakak lo yang dari pertama kali ketemu memang ingin menghajar gue entah apa alasannya, dan menceritakan masa lalu gue yang luar biasa pahitnya. Bahkan gue sendiripun terkadang merasa tak pantas hidup. Itu sebabnya juga, gue playboy, Lis. Gue gak peduli cewek – cewek yang dulu gue pacarin memang beneran sayang sama gue. Gue gak peduli dengan harapan – harapan mereka yang hancur oleh gue. Karna harapan gue sendiripun lebih hancur dari mereka. Mereka bisa menemukan yang lebih baik dari gue, sedangan gue, gak akan pernah menemukannya. Percuma setia kalau suatu saat nanti gue dikhianati. Seperti kakak gue.” Ucapnya sambil mempererat pelukannya.

            Lista mendadak tak nyaman dengan pelukan Ando. dia berusaha melepasnya dengan menyentuh tangan yang melingkar di pinggangnya, menariknya menjauh, menundukkan kepalanya agar Ando tak menghirup aroma tubuhnya. tapi usahanya sia – sia. Dia terlalu betah ditubuhnya hingga mengabaikan penolakannya. “Ndo...” Panggilnya hati – hati. Tak ingin mengacaukan ketenangan cowok itu di belakang tubuhnya. sedangkan dia tersiksa ingin menjauh. “Bisa lepasin pelukan lo? Gue gak nyaman.” Tanyanya ketika Ando merespon dengan helaan napas yang terasa hingga di ubun – ubun kepalanya.

            Ando melepas pelukannya dan membalikkan tubuh Lista hingga berhadapan dengannya. Lalu dia merangkul dan mencium keningnya lama dan lembut. Hingga Lista bisa merasakan air mata Ando menetes dan mengenai rambutnya. “Makasih sudah dengarin cerita gue. Gue lega, Lis.” Ucapnya tulus membuat Lista tersenyum di pelukannya.
            “Gue senang kalo lo lega. Sekarang... setelah kita tau masing – masing, lo akan bersifat lunak kan sama gue? Membiarkan gue gini. kan lo tau gue tomboy karna apa.” Tanyanya penuh harap membuat Ando tertawa dan mengacak – acak rambutnya.
            “Peraturan tetap peraturan. Lo harus jadi cewek feminin setiap jalan sama gue, bawain gue bekal pagi apa aja mengingat gue tak pernah sarapan dan ... bersifat layaknya pacar baik sama gue. Kalo lo gak lakuin itu, yah... dengan senang hati gue menghukum lo dengan hukuman manis.” Ucapnya dengan nada sensual terselip disitu membuatnya merah padam.
            Dengan jengkel Lista melepas pelukannya dan menginjak kaki Ando dengan keras hingga dia mendengking kesakitan. “Rasain lo sana!” Ucapnya puas ketika melihat wajah Ando kesakitan lalu berlari menjauh.

            Tertatih, Ando berlari mengejar Lista yang berteriak melihat tingkahnya. Mereka saling berkejaran di dalam rumah. Saling tertawa lepas. Seolah bebas. Tak ada beban.

            Bik Ijah yang mendengar Ando tertawa lepas untuk pertama kalinya setelah kejadian 3 tahun yang lalu, hanya bisa tersenyum dan tanpa sadar meneteskan air matanya. Ando sudah dianggap anaknya sendiri dan dia menyayanginya. Bahkan tak digaji pun dia rela asal bisa bersama Ando. menghabiskan sisa waktu untuk bersamanya. Karna dia sadar, hanya dirinya lah yang tersisa untuk membuatnya kuat. Membuatnya hidup dan bertahan di dunia ini.

            “Semoga kamu bahagia, nak.” Ucapnya pelan dengan nada penuh ketulusan ketika melihat Ando berhasil menangkap Lista dari belakang dia menggendongnya dan berputar hingga Lista berteriak minta diturunkan. Sempat dilihatnya, Ando menurunkannya dan mereka saling bertatapan lalu tertawa senyaring – nyaringnya di taman sambil berpegangan tangan.

“Hold my hands, againts the worlds. Together.”

♥ ♥

          “Gue pulang dulu yah,” Pamitnya ketika dirasa sudah terlalu lama berdua dengannya. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hampir seharian dia dirumah Ando. Dan dia buru – buru melepas pegangan tangannya.
            “Kok buru – buru?” Ando mengernyit bingung melihat tingkah Lista yang agak ganjil dimatanya. Namun disimpannya keanehan itu dalam hati. Dia akan mencari tau sendiri.
            “Takutnya semakin gue lama disini, semakin panjang godaan yang akan dilakukan kedua kakak gue itu. Males.” Lista memutar bola matanya ketika teringat kedua kakaknya yang mungkin sekarang sedang berbisik – bisik heboh di rumah.
            Ando tertawa mendengarnya. Dia tak pernah tertawa selepas ini, seringan ini. Dia tersenyum lalu memeluk Lista yang kaget dengan tingkahnya. “Makasih yah. Udah dengerin cerita masa lalu gue. Gue lega, Lis.” Ucapnya tulus sambil mencium puncak kepala Lista.
            Gemetar akan sentuhnya, Lista mencoba menormalkan hatinya lagi yang ikut – ikutan mem protect dirinya. “Ando bukan dia, Lis.” Dia mengucapkannya berkali – kali dalam hati. Seperti mantra. “ Sa... ma sama... gue senang dengarnya.” Jawabnya dengan suara agak terbata – bata dan melepas diri dari pelukannya.
            Ando merangkulnya dan melihat Lista mengernyit tak nyaman. Namun diabaikannya saat ini. “Gue antar sampai depan rumah yah,” Bisiknya lalu mereka keluar rumah beriringan.

♥ ♥

          “Hati – hati yah,” Pesannya ketika Lista sudah di dalam mobil. Siap menjalankannya.
            Dia hanya mengangguk dan tersenyum manis lalu memundurkan mobilnya perlahan dan akhirnya keluar dari rumah Ando.
            Dia terdiam memandang kepergian Lista. Perasaan kosong itu hadir lagi. Menggerogotinya perlahan. Dengan langkah kosong, dia melangkah masuk ke dalam rumahnya lagi sambil mengelus perutnya yang mulai keroncongan karna lapar.

♥ ♥

            Sepanjang perjalanan menuju rumah, Lista terdiam. Kejadian hari ini sungguh diluar nalarnya. Masa lalu Ando yang tak pernah dikiranya akan sesakit ini. Seandainya itu terjadi padanya, belum tentu dia kuat.
            “Lo pernah mengalaminya, Lis. Masa lalu berbeda, namun sakitnya sama.” Suara hatinya berkata. Membuatnya teringat dengan masa lalunya sendiri. Yang menghancurkannya perlahan – lahan seperti rayap menggerogoti kayu hingga menjadi serbuk.
            “Mungkin lebih nyakitin gue,” Gumamnya sambil tatapan fokus ke jalan raya. Pikiran kemana – mana.

            Asyik menyetir, tiba – tiba ponsel di dalam tasnya berbunyi, dia menepikan mobilnya ke pinggir jalan lalu mencarinya dan mengangkat telponnya. “Kenapa kak?” Tanyanya ketika nama Kak Bian tertera di layar ponsel.
            “Lo dimana?” Tanya Bian dengan suara cemas dan kelegaan luar biasa. Bagaimana dia tak cemas, puluhan kali menelpon dan sms ke Lista, tak ada jua balasannya. Wajar ketika mendengar Lista mengangkat telponnya, kecemasannya menguap tak tersisa dan dipenuhi dengan kelegaan.
            “Gue menuju rumah kak. Kenapa? Ada apa?”
            “Gak papa. Habis lo lama banget di rumah Ando! lo ngapain aja sih? Gak buat aneh – aneh kan?” Tuduhnya membuat Lista sewot.
            “Aneh – aneh apaan? Ngaco lo kak! Gue gak ngapa – ngapain! Lo mikirnya serong mulu nih! Gerutunya membuat Bian tertawa terbahak – bahak.
            “Hahahhaa... ya... yah... lo di jalan mana? Sekarang posisi lo angkat telpon gue gak lagi nyetir kan? kak Erika nyari lo tuh. Mama papah lagi pacaran di luar. Cepat pulang dek...” Ucapnya tanpa jeda.
            “Kak... dalam waktu setengah jam lagi gue akan nyampe rumah kalo lo dengan senang hati mau sudahin pembicaraan kita. Gue lagi menepi nih.”
            “Iya deh... ati – ati dek. Sekalian bawa martabak yah. Hahahaaa..” Dan telpon pun langsung diputusnya tanpa membiarkan Lista menjawabnya.
            “Dasar kakak sinting!” Gerutunya namun tersenyum juga mendengar bahwa kakaknya prihatin dengan dirinya. dibandingkan dengan nasib Ando, dia jauh beribu kali lebih beruntung dari cowok itu. Membuatnya bersyukur.

            Dengan hati – hati takut mobil kakaknya lecet, dia menjalankan mobilnya kembali dan bergegas pulang kerumah.

♥ ♥

          “Martabaakkk!!!” Teriak Bian dari lantai atas dan bergegas turun ke bawah ketika harum makanan kesukaannya yang dibelikan Lista untuknya tercium. Membuat Lista manyun.
            “Sebenernya adek lo ini gue atau martabak sih? Kayaknya lo lebih sayang martabak daripada gue.” Gerutunya ketika Bian merebut bungkusan yang dipegangnya lalu menghirup aromanya.
            “Gue sayang sama lo dan martabak. Thanks yah dek.” Ucapnya dan bergegas membawanya ke dapur sambil bersinandung.
            Erika yang baru keluar dari kamarnya, melihat Lista manyun ditinggal Bian membuatnya tertawa. “Gimana kabar Ando, Lis?” Tanyanya membuat Lista menoleh ke atas dan melihat kakaknya turun ke bawah lalu duduk di tangga dengan anggunnya.
            “Bonyok sekujur tubuh kak. Jalannya aja pincang. Kasian gue...” Ucapnya tanpa sadar. Membuat Erika tersenyum.
            “Hahahhaa... kasian sama dia aja nih ceritanya? Gue gak? Kakak lo sendiri?”
            Lista tertawa melihat wajah pura – pura merajuknya. Lalu di memeluk kakaknya. “Makasih yah kak udah lindungin Lista sejauh ini. Lista sayang sama kakak, sama kak Bian. Banget malah.” Ucapnya tulus dan tanpa dicegah, dia menangis di pelukannya. Membuat Erika langsung melepas pelukannya dan berkerut kening.
            “Lo kenapa nangis, dek? Ando nyakitin lo? dia ngapain lo? bilang sama gue, sama kak Bian, biar kami hajar!” Ucapnya dengan nada penuh emosi tertahan. Bahkan ada kilatan marah di mata kakaknya. Membuat Lista menggeleng.
            “Gak... gak... Ando gak nyakitin gue, kak. Percaya deh.”
            “Kalo dia gak nyakitin lo, kenapa nangis?” Tanya Erika sambil menghapus air mata yang menetes di matanya.
            Lista menceritakan semuanya yang diceritakan Ando padanya. Kehancuran keluarganya secara rinci, kecuali tentang Ando mengapa menjadi  playboy yang memecahkan rekor mempunyai mantan hampir seluruh cewek di sekolahnya. Dan Erika, terdiam mendengarnya.
            “Yah... wajar aja sih kalau dia seperti sekarang. Gue baru ketemu dia, bertanding, bisa membaca karakternya, Lis. Dia cowok paling buat gue penasaran. Setiap dia mengambil ancang – ancang untuk membalas, gue bisa liat wajahnya mikir banget. Kayak “kalo gue tendang dia, akan nyakitin gak yah? Lukain gak yah?”  dan itu keliatan banget. Selama gue bertanding, gue ga pernah menemukan cowok yang memikirkan akibat setiap serangannya. Dan gue merasa, dia beberapa kali kehilangan konsen karna melirik lo, Lis. Itu suatu keberuntungan mengingat sebenarnya gue kewalahan melawannya.” Perkataan kakaknya membuat Lista kaget. Ando kehilangan konsen karnanya? Dan dia memikirkan akibat setiap serangannya pada kakaknya? Benar – benar...
           
            Ando melirik gue? WAW!
           
            “Tapi...” Kata Erika membuyarkan lamunan Lista akan Ando, “Gue akan senang hati bila suatu saat bertanding lagi. Dia lawan yang sepadan. Dan gue  suka semangatnya untuk membuat gue kalah, dek. Lo harus liat tatapan matanya saat dia menolak ajakan gue ntuk nyerah. Mengingatkan gue dengan lo. Dan masa lalu dia, wajarlah kalo dia seperti sekarang. Berusaha sempurna untuk menutupi hatinya yang terluka.” Tutupnya membuat Lista mengangguk dan mencium pipi kakaknya.
            “Gue mandi dulu yah kak,” Pamitnya dan Erika mengangguk.
            Lista dengan cepat berlari ke kamarnya untuk mandi.

♥ ♥

          Ando memijit lehernya yang pegal luar biasa karna berjam – jam mengurung diri di kamar kerja kakaknya untuk mengurus berkas – berkas perusahaan Properti dan hotel serta Mall yang diwariskan untuknya. Memang dalam surat wasiat kakaknya, dia boleh mehandle semuanya pada umur 20 tahun. Tapi dia ingin sekarang, dia ingin belajar dan untunglah kakaknya mempercayakan kepada Ibu Chris, yang sabar mengajarinya dan otaknya yang memang cerdas dapat menerima semuanya tanpa kesulitan.
            “Lista ngapain yah?” Tanyanya dan dia menatap kosong ruangan kerja kakaknya. Tempat dimana kakaknya mengurung diri berjam – jam seperti dirinya sekarang.
            “Gue telpon ah,” Putusnya dan dia mengambil ponselnya untuk menelpon Lista. Sekedar menanyakan kabar.

            “Halo...” suara lembut Lista saat mengangkat telpon entah kenapa membuat bebannya terbang seketika. Dan dia tersenyum.
            “Lo lagi ngapain?” Tanyanya basa – basi. Dia tak pernah sebelumnya menelpon cewek untuk menanyakan kabar. Yang ada dia selalu ditelpon cewek untuk menanyakan kabarnya.
            Sejenak tak ada suara. lalu dia mendengar suara cekikikan di telpon dan omelan panjang lebar. Membuatnya tersenyum. Sepertinya dia membuat gadis itu digoda habis – habisan lagi. “Gue lagi sedih. John Travolta mati,” ucapnya dengan nada sedih. Membuat Ando bingung.
            “John Travolta masih idup, Lis. Lo baca berita hoax darimana? Ngaco!” Sambil berkata begitu, dia membuka komputernya dan mencari tau berita di internet apakah benar artis itu meninggal dunia. Namun dia tak menemukannya.
            “Serius, Ndo! Dia mati!” Lista dengan keras kepalanya membantah setiap ucapan Ando. membuatnya semakin bingung.
            “Elista sayang... Ando gak kenal John Travolta yang lo maksud itu.” Suara Bian terdengar geli mendengar kengototan Lista. Membuat Ando yang mendengar dari balik telpon, bingung.
            “Gue lupa jelasin,” Suara Lista terdengar sangat pelan. Terdengar malu – malu. “Gue punya sepasang burung merpati. Namanya John Travolta dan Hannah Montana. Lo jangan ketawa!” Teriaknya ketika Ando tertawa ngakak, “Nah, John Travolta itu mati karna dia baru aja digigit kucing sinting entah punya siapa pas gue lagi mandi! Padahal mereka baru aja nikah dan gue sayang banget sama tuh hewan. Gue nangis – nangis pas Kak Bian nguburin dia. Kasian Hannah Montana, jadi janda sekarang karna ditinggal suaminya.” Tutupnya dengan nada sedih. Membuat Ando yang awalnya ingin tertawa lagi menjadi simpati. “Gue juga dulu punya sepasang kura – kura yang dibelikan Kak Rafa untuk gue.” Dia menekan dadanya sendiri ketika teringat kejadian itu. Sakit karna mengingat masa lalunya yang indah, kini terkubur bersama jasad kakaknya. “Namanya Tom untuk Kak Rafa, Jerry untuk gue. Mereka kemana – mana bersama. Sampai suatu ketika, Jerry mati karna dicakar kucing liar. Gue sedih saat itu. Terus kak Rafa janjiin gue untuk beli yang baru. Tapi, sebelum terwujud, kakak gue udah meninggal. Tapi gue senang, setidaknya ada Jerry yang wakilin posisi gue untuk kak Rafa. Dan Tom, juga mati karna umurnya udah ketuaan.” Dia tersenyum mengingat hal itu. “Nanti gue temanin lo ke pasar burung beli yang merpati yang baru. Biar Hannah Montana gak jadi janda lagi.” Ucapnya membuat Lista kaget.
            “Serius? Gak usah.. gue bisa beli sendiri kok dengan kak Bian atau kak Rika.”
            “Serius, Lista. Lagipula, gue pengen beli hewan peliharaan nih. Bosan juga rumah sepi.” Ucapnya dengan senyuman mengembang. Entah kenapa, hatinya bahagia.
            Lista garuk – garuk kepala. Dia melirik jam di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Waktu tidurnya sudah lewat sejam yang lalu. Dan kedua kakaknya sekarang sudah masuk kamar masing – masing. “Yaudah deh. Gue tidur dulu yah, udah malam. Bye.” Ucapnya.
            “Iya... Lis, besok bawain gue sandwich 3 iris deh. plus keju dan daging. Ok? bubye sayang.” Ucapnya lalu langsung memutuskan telponnya sebelum Lista mengomel panjang lebar karna perintahnya.
            Ponselnya tiba – tiba bergetar ada pesan masuk. Penasaran, dia membuka.
Lista, My Girlfriend (?)
“Lo kira gue siapa jadi harus bawain lo bekal?! Males! Gue kira kita bisa gencat senjata! Sinting!” Sms penuh gerutuan membuatnya tertawa. dengan senyum, dia membalasnya.
For : Lista, My Girfriend (?)
“Sayang... kan kita udah punya perjanjian kalau lo harus bawain gue bekal tiap hari. Kita cerita sedekat ini bukan berarti perjanjian batal, Lis. Lo, tetap pacar gue dan HARUS ikutin apa yang gue mau! Jelas? Kalo lo nolak sih gak papa, tapi siap aja dengan hukumannya besok. Otak gue udah mulai merancang rencana manis nih apa yang akan gue lakuin kalo lo gak mau.” Dia membaca sekilas lalu mengirim tombol “send” dan tersenyum sendiri.
            Diseberang sana, Lista hanya manyun membaca balasan Ando dan berusaha untuk tidak memikirkannya dengan tidur.

♥ ♥

          Jam 01.00 pagi, Ando baru keluar dari ruang kerja kakaknya dengan seluruh tubuh pegal. Dia melihat Bik Ijah setia menunggunya dengan duduk di depan TV. “Udah selesai, Mas?” Tanyanya ketika melihat Ando keluar dengan memjit lehernya sendiri.
            “Udah kok. Lily udah tidur, Bik?”Tanyanya dan Bik ijah hanya mengangguk. “Dia tidur di kamar mas tuh. Katanya gak bisa tidur di kamar sendiri.”
            Ando terdiam dan menghela napas. Seolah paham, Bik Ijah melanjutkan. “Kalo Mas keberatan, Lily bisa digendong untuk tidur di kamarnya.” Sarannya.
            Dia menggeleng lemah. Tubuhnya sudah lelah, tak sanggup mengangkat apapun. “Gak usah , Bi. Biarin aja dia sekamar ma Ando. udah lama.” Ando tersenyum dan masuk ke dalam kamarnya untuk tidur.
            Bik Ijah yang melihat itu, hanya tersenyum dan masuk ke kamarnya karna sudah lewat tengah malam.

♥ ♥

          Pelan – pelan, dia naik ke atas ranjangnya dan mengelus rambut panjang hitam gadis di sebelahnya. Dengan sayang dia mencium pipinya dan menatapnya lama. Menatap gadis tanpa dosa itu tidur nyenyak di sampingnya. Dengan senyumnya yang mampu membuat hatinya yang keras menjadi lumer perlahan
            “Kita senasib, dek. Sama – sama terbuang.” Ucapnya pelan dan tanpa dicegah, masa lalunya, hadir lagi.

Flashback.
            “Ngapain lo kesini? Udah puas kan liat kakak gue mati?” Ucapnya dengan nada dingin ketika melihat mantan tunangan kakaknya, yang membunuhnya perlahan, Seilla berdiri di depannya sambil menggendong bayinya.
            “Ijinin gue bicara, Ando.” Ucapnya lembut dan penuh ketenangan. Namun dia terlanjur terluka. Tak tersentuh dengan kelembutan suaranya.
            “Ngapain gue ijinin pembunuh hati kakak gue untuk ngomong?! Lo gak puas liat kakak gue terkubur seminggu yang lalu di liang lahat?! Lo tau kan betapa pentingnya kakak gue?! Lo tau kan?! Sialan lo, kak! Lo...” Ando hampir saja hendak menamparnya penuh emosi kalau tidak melihat bayi digendongannya.
            Seolah tau, Seilla meletakkan bayinya yang tidur di sofa. Lalu berjalan mendekati Ando yang napasnya naik turun saking emosinya. “Lo boleh tampar gue, hajar gue sampai mati kalau itu memuaskan emosi lo tentang Rafa. Tapi, Ndo...” Dia semakin mendekat dan tanpa ragu memegang pipinya, “Rafa gak akan bangkit dari kubur walaupun lo hajar gue sampai mati.” Tutupnya.
            Ando mengatur napas. Seminggu kematian kakaknya yang menyakitkan, kedatangan orang tuanya yang berakting seolah – olah Ando bukan anaknya, dan kemudian pergi keesokan harinya tanpa kabar, dan hadirnya mantan tunangan kakaknya semakin membuatnya kelabu. “Lo mau ngomong apa?”
           
            Seilla terdiam melihat Ando menahan emosinya. Sejenak dia menyiapkan mental kalau – kalau dia dihajar sampai mati oleh Ando. dia memang pantas mendapatkannya. Mengingat banyaknya kesakitan yang dialaminya, membuatnya merasa wanita yang paling kejam sedunia karnanya lah kakaknya meninggal.
            “Anak ini,” Dia menggendong anaknya yang tertidur pulas. Tak menyadari keributan. “Dia anak Rafa.”
            Ando bagai tersambar petir. Jelas – jelas kakaknya bunuh diri karna cewek di depannya ini meninggalkannya karna hamil dengan sahabatnya! Dan sekarang, dengan tenangnya, seolah tanpa dosa, berkata bahwa ini anak kakaknya! Benar – benar ...
            Melihat Ando tak bereaksi. Hanya mempelototinya. Dia mendesah. “Gue tau lo kaget, lo shock mengingat gue pergi karna lebih memilih Shandy daripada Rafa. Tapi... lo gak tau, Ndo. Gue sudah berhubungan dengan kakak lo sebelum kami tunangan. Kami selalu melakukannya, hingga gue...” Dia terdiam dan air mata menetes dan mengenai pipi anak yang digendongnya. “Gue selingkuh dengan Shandy. Gue bukannya gak cinta. Hanya saja, gue bosan. Rafa terlalu sempurna, terlalu berkilau di mata gue. Bikin gue merasa gak pantas disampingnya. Di samping Shandy, gue merasa inilah diri gue sebenarnya. Dan gue ... seperti pelacur, berhubungan tanpa batas, tanpa ikatan, hanya saling membutuhkan dengannya. Hingga hamil.” Dia terdiam dan melihat ekspresi Ando yang mulai mengepal tangannya hingga memutih semuanya. Tatapan matanya terlihat ingin mencabik – cabik tubuhnya. “Gue, jujur gak tau anak siapa yang gue kandung. Karna gue juga berhubungan dengan kakak lo. dengan mudahnya, gue berasumsi dia anak Shandy dan gue melepas kakak lo semudah gue mendapatkannya.” Dia tertawa miris mengingat kecantikan fisiknya ternyata menyeretnya dalam jurang kehancuran. “Kakak lo hancur. Gue tau. Tapi gue menutup mata. Gue mengejar Shandy dan kami menikah sampai anak ini hadir. Tapi... disaat itulah gue yakin dia anak Rafa. Lo tau darimana gue mendapat ilham begitu?” Tanyanya ketika Ando menatap anak digendongannya dan dia menyerahkannya.
            Ando menatap anak di gendongannya dan tau apa yang dimaksud Sheila. Hidungnya, bibirnya, dan ketika bayi itu membuka mata, bukan mata Sheilla atau Shandy yang coklat kehitaman, tapi mata hitam legam seperti kakaknya! ketika tersenyum. Terlihat lesung sebelah kirinya. Begitu banyak kemiripan kakaknya yang diwariskan bayi ini. Membuatnya shock. “Lo udah liat kan?” Tanyanya dengan suara pedih. “Dia anak Rafa. Bukan anak Shandy. Kemiripan wajah yang terlalu mirip tak bisa dibohongi. Keluarga Shandy marah besar dan tak mau menerimanya. Apalagi keluarga gue...” Seilla terhenti dan menangis. Pedih hatinya ketika buah hatinya tak diterima dimanapun dia ada.     “Gue ingin menjelaskan ke Rafa, tapi sebelum itu terjadi. Gue malah dapat kabar Rafa meninggal bunuh diri dan itu karna gue! Oh God.. gue benar – benar menyesal, Ndo. Dia hancur, gue hancur.”
            “Dan gue lebih hancur lagi, Seilla! Lo menghancurkan harapan kakak gue, harapan gue! Lo tau apa yang dia impikan?!” Dia meletakkan bayi itu perlahan ke sofa dan menatap Sheilla tajam. “Dia sudah beli tanah, siap membangun rumah sesuai impian lo! dia ingin membangun keluarga dengan lo, anak yang lo kandung, dan gue! Kakak gue menerima kehamilan lo dengan ikhlas asalkan lo disamping dia! Tapi lo,” Dia menatap jijik, “Lo malah meninggalkannya dan sekarang lo duduk disini, menceritakan semuanya, apakah akan buat kakak gue bangkit dari kubur terus tersenyum di depan pintu?! Gak akan, Sel! Kakak gue tetap diam di liang lahat! Melihat kita dari atas langit tanpa gue bisa melihatnya balik dan tersenyum!”

            “Gue tau,” Seilla menjawabnya dengan berurai air mata. Dia membenarkan semua ucapan Ando. “Gue sadar, keberadaan gue pun gak akan membuat dia hidup. Tapi, Ndo...” Dian terdiam sebentar. Mengatur napas. “Maukah lo merawat dia? Gue gak yakin bisa bertahan hidup lebih lama lagi, Ndo. Keluarga gue gak mau menerimanya, apalagi keluarga Shandy. Hanya lo harapan gue.”
            “Dan lo sekarang memohon untuk merawat anak ini?!” Ando tersenyum mengejek. Dia mengusap air mata yang terus menetes dengan kasar. “Setelah itu lo mau kemana? Mau lari dari tanggung jawab sebagai ibu?! Lo ternyata lebih sinting dari orang tua gue ternyata!”
            “Gue gak lari, Ndo. Gue ingin lo menjaga anak ini, anak dari kakak lo. please...”
            “Kalo gue gak mau?”
            “Gue gak yakin bisa menjaga selama gue mampu, Ndo.” Dia terdiam ketika Ando menatap bayi yang menatap pertengkarannya dengan tatapan mata polosnya dan senyumnya yang tulus mencairkan hati Ando.
            “Gue akan merawatnya. Dan gue mau bukan karna kasian sama nasib lo atau gimana, gue kasihan sama nasib anak kakak gue yang akan berujung terbuang seperti gue. Cukup gue yang terbuang.” Dia menggendongnya dan bayi itu, entah kenapa, menyentuh pipinya dan tersenyum seolah mengatakan, “Terima kasih, kak.” Dan itu membuatnya tersenyum.
            Seilla tersenyum dan mencium anak yang digendongan Ando. tenang hatinya sekarang. Dia bisa meninggalkan anaknya dengan aman. Ditangan yang aman. “Lo mau tau namanya?” Dia menatap Ando yang penasaran, “Lily Angelina Patricia Hayman. Lo pasti tau kan arti nama itu?” Tanyanya membuat Ando terdiam.
            Gabungan nama nenek dan mamanya. Salah satu keinginan kakaknya.
            “Gue pergi dulu, Ndo. Gue tau maaf gue takkan pernah membuat dia bangun. Tapi lo harus ingat, dia akan ada di hati lo, Ndo. Jasadnya tak terlihat, tapi lo bisa merasakannya.” Dia tersenyum lalu menatap anaknya, “Mama pergi dulu yah, baik – baik yah sayang sama kakak Ando. adik papah kamu,” Dia tersenyum dan mencium kening anaknya lama lalu pergi keluar dengan perasaan lega luar biasa.

            Tiga Bulan sesudahnya, Ando mendengar kabar bahwa Seilla meninggal dengan damai di Rumah Sakit karna kanker payudara stadium akhir

            “Kak...” Igaunya membuat Ando tersadar dari lamunannya. Dia menatap Lily dengan sayang dan mengelus pipinya.
            “Iya dek?” Jawabnya dan tersenyum ketika gadis itu membuka matanya. Membuatnya sekilas teringat kakaknya.
            “Lily tadi mimpi mama sama papah,” Dia tersenyum dan menatap Ando di antara remang – remang lampu kamar. “Kata mama, makasih sudah jaga Lily dan kata papah, kakak harus kejar kebahagiaan kakak yang sudah di depan mata. Jangan dilepas. Lily bingung, artinya apaan yah kak?” Tanyanya polos membuat Ando mengacak – acak rambut hitamnya dengan gemas.
            “Anak kecil gak boleh tau. Ayo tidur. Kakak ngantuk.” Ajaknya dan dia menurut lalu tidur sambil memeluk Ando yang tersenyum menatap foto kakaknya.
            “Gue akan melakukan itu kalau gue sudah bisa berdamai dengan masa lalu gue sendiri,” Jawabnya pelan dan dia mencoba untuk tidur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar