Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Cintaku di Tiang Jemuran Part 2


“Hoaamm...” Akina bangun dari tidur panjangnya dan melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan langkah terseok – seok mengalahkan suster ngesot, dia berjalan ke dapur untuk membantu mamanya yang sudah “berperang” ria di dapur sambil menggaruk rambutnya yang panjang dan tebal.
            “Kinaa... Astaga! Kamu ngagetin mama tau!” Mamanya shock melihat anak tunggalnya berdiri di depan pintu dapur dengan mata merah, rambut awut – awutan dan baju kaos yang kebesaran untuk tubuhnya yang kurus dan kecil itu. Membuatnya seperti hantu penculik anak yang berasal dari Jepang.
            Kina nyengir kuda dan sambil mengucek matanya, dia mengambil gelas di samping ibunya, menuangkan air dan meminumnya. “Kina akhirnya bisa bangun pagi ma. Tanpa alarm loooo...” ucapnya dengan nada bangga seolah – olah itu adalah prestasi yang patut didaftarkan oleh MURI dengan kategori “Bangun pagi tercepat tanpa alarm setelah selama ini dibangunkan oleh benda – kecil – mungil – berisik itu selama 18 tahun.”
            “Iyaa... tapi mama jadi serasa meliat hantu Jepang bangkit dari kubur atau sumur daripada liat orang bangun tidur.” Balas mamanya sambil mengacak rambut Kina yang tebal. Warisan turun – temurun dari keluarganya dan menatap mata sipit namun bola matanya yang besar itu dengan jenaka. Tak menyangka anaknya yang satu ini sudah besar sekarang. Perasaan dia baru saja menggendong Akina kemana – mana. Ah... waktu terlalu cepat berlalu hingga dia tak menyadarinya. Batin mamanya.
            Akina mendadak salah tingkah sendiri dilihatin sedemikian rupa, seolah kesalahan dalam tubuh mungilnya di cari – cari oleh mamanya sendiri. Kina pun berdehem kecil. “Ma... ada jemuran gak?” tanyanya membuat mamanya melongo.
            “Jam 5 pagi ini apa yang mau dijemur, Kina? Kamu?” Tanya mamanya balik membuatnya manyun.
            “Kan siapa tauuuu....”
            Mamanya berpikir sebentar, lalu tersenyum. “Kamu sekarang terpesona dengan tiang jemuran yang baru dipasang yah jadi gak sabar mau jemur pakaian?” Pertanyaan ngawur mamanya membuat Kina entah harus tertawa terbahak – bahak atau malah sebaliknya.
            “Emang Kina segitu gilanya ma jadi terpesona dengan tiang jemuran yang baru dibeli kemaren?” Sahutnya sewot. “Ish! Kina terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari atas jemuran ma! Si Angga! Auoooo...” Batinnya menjerit senang.
            “Kan siapa tau... udah deh, kamu bangunin papah dulu. Setelah itu, ambil handuk di atas yah. Mama jemur malam tadi. Ok?” Perintah mamanya yang biasanya membuatnya manyun, kini menjadi semangat ’45 untuk dilaksanakan.
            “Ok deh,” Kina langsung siap lari untuk melaksanakan perintah. Tapi mendadak tangannya ditarik mamanya.
            “Sebelum kamu laksanakan itu semua, kamu sisir dulu tuh rambut. Takutnya nanti bila kamu bangunin papah, bukannya bangun, malah pingsan liat kamu kayak hantu.” Perintah mamanya yang membuatnya tertawa.
            “Hahahaha... ok deh ma.” Dia langsung berlari ke kamar untuk membereskan rambutnya sebelum membanguni papahnya.

            “Papah... pah... bangun dong...” Kina berbisik membangunkan papahnya sambil menggoyangkan perut tambunnya. Sukses membuat papahnya mengerang karna tidurnya terganggu.
            “Kamu ganggu tidur papah yah. Dasar bandel.” Papahnya bangun lalu duduk di samping Kina yang cengengesan. Tanpa peringatan apalagi sinyal bahaya, Kaki Kina sukses digelitiki papahnya hingga dia susah mencari napas karna terlalu tertawa.
            “Aaahaha.. sudah... pah... ampun... ampun... Hik...” Kina meminta ampun diselingi cegukan dan tawanya melengking nyaring. Membuat papahnya tak tega menyiksa anak kandungnya lebih jauh lagi dan menghentikan gelitikannya. Membiarkan Kina menarik napas lega.
            “Papah kejam!” Sungutnya sambil mengambil gelas berisi air putih di belakangnya dan meminumnya agar cegukannya hilang. “Habis kamu ganggu Papah sih. Gak tau papah lagi mimpi indah.”
            “Emang papah mimpi apaan?”
            “Mimpi mancing ikan di sungai, terus papah dapat ikan Arwana gede banget! Pas lagi senang – senangnya, ikan yang papah pancing susah payah malah lepas begitu saja karna suara kamu!” Papahnya menjelaskan dengan mulut tipis yang dimanyunkan. Persis seperti dirinya bila mengambek.
            Kina melongo total. Tak menyangka bahwa hobi papahnya yang freak memancing hingga tengah malam terbawa sampai alam mimpi. “Kalo papah kayak gini ma hobi mancingnya, gimana gue yah yang kayaknya kesengsem akut dengan pesona seorang Angga? Ngomong – ngomong soal dia, tuh anak udah bangun belum yah?”
            “Kok melamun? Anak gadis gak boleh melamun pagi – pagi. Ntar jadi ayam. Hahahahaa...”
            Kina manyun dan mencubit lengan papahnya agar berhenti tertawa. Usahanya berhasil karna sekarang papahnya menarik napas sehingga perut tambunnya seakan mengempis. “Handuk mandi mana?”
            “Di atas pah. Kenapa?”
            “Ambilin dong. papah mau mandi nih.”
            Kalau biasanya dia manyun disuruh mengambil handuk di tempat jemuran dengan udara subuh yang dingin menggigit tulang, kini dia malah sukarela melakukannya. Bahkan sambil tersenyum. “Ok deh pah. Bubye...” Ucapnya lalu bersinandung riang keluar kamar menuju lantai atas.
            Papahnya hanya mengerutkan keningnya dan memutuskan untuk berolahraga ringan.


♥ ♥
           
            “Gue cantik kan? Sudah cantik kan? Sip...” Kina berbicara sendiri sambil tangannya menyisir rambutnya yang tak mau kompromi untuk rapi sedetik saja. Sebelum membuka pintu jemurannya dan menghela napas. Udara dingin yang menggigit tulangnya tak dia rasakan lagi. Yang ada dia malah merasa deg – degan. Berharap bertemu Angga sedang bermain basket atau apa saja di saat subuh.
            Kina mengambil handuk yang tergantung di sisi pinggir kanan jemuran. Dia menoleh ke samping dan terpesona untuk kedua kalinya dengan apa yang dilihatnya.
            Di pagi buta, dia melihat Angga bertelanjang dada menjalankan mesin pemotong rumput dan berjalan mengitarinya. Memangkas rumput – rumput dengan mesin yang didorongnya. Dari atas dia bisa melihat apa yang dilakukannya dan matanya tak bisa beralih kemana – mana. Terlalu terpesona dengan Angga, otaknya mendadak tidak beres.
            “Angga! Angga! Met pagi!” Kina teriak gila – gilaan sambil loncat sana – sini agar Angga mengalihkan pandangan dari mesin rumput dan melirik ke arahnya.
            “Kok dia gak noleh yah? Ahh... mungkin suara gue kurang menggelegar.”  Kina bergumam dan berdehem sebentar lalu menatap Angga lurus yang tak bergeming.
            “Angga! Angga! Helooooo! Met pagi! Guten murgen! Good morning!” Kina semakin berteriak gila – gilaan dan usahanya berhasil. Angga menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.
            Dia langsung memasang senyum paling manis sambil melambaikan tangan sambil sesekali menyisir rambutnya yang mulai acak – acakan karna semilir angin pagi. Hatinya semakin jingkrak ketika Angga membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis. Membuatnya melayang.
            Kina melambaikan tangannya dan bergegas masuk dalam rumah. Tak ingin Angga melihat betapa merah wajahnya sekarang.

            Angga tersenyum sambil terus menatap ke atas. Awal pagi yang indah menurutnya setelah 18 tahun tinggal disini. Saking fokusnya, tak menyadari sang kakak sekarang berdiri di belakangnya dan ikut – ikutan melirik ke atas. “siapa?”
            Angga hampir terlonjak hingga tubuhnya menjauh karna pertanyaan kakaknya seperti sapaan roh halus. Sambil mengusap dadanya. Dia menatap ke atas lalu beralih ke kakaknya yang berkerut kening. “Gak papa kak.”
            “Gak papa kenapa lo lirik – lirik ke atas sambil senyum? Ada apaan sih?” Dia berdiri di samping. Namun tak melihat objek yang membuat adiknya tersenyum sendiri di pagi buta.
            Merasa tak bisa merahasiakan. Dia mengaku. “Tetangga kemaren yang gue ceritain. Tadi dia ada disitu.” Jelasnya sambil menunjuk ke tempat jemuran. “sifatnya anak – anaknya itu. Gue suka, kak.” Tambahnya lagi.
            Sang kakak hanya mengangguk. “Terus?”
            “Ya gitu aja kak.”
            “Oh... itu doang ternyata.” Respon kakaknya membuatnya tertawa.
            “Kalo kakak ketemu sama dia, dijamin responnya gak akan begitu.”
            “Terserah deh. Kakak juga gak berharap ketemu sama gadis jepang pujaan lo itu.”
            “Lo akan terpesona sama dia kak. Tapi sebelum lo terpesona, lo harus ingat kalo gue naksir dia.”
            “Hati gue udah mati untuk urusan kayak gituan. Jadi lo gak usah ngomong gitu. Santai aja.” Sang kakak menepuk pundaknya dan berjalan meninggalkannya yang terdiam.
            “Trauma bikin lo kayak manusia hidup tanpa hati, kak.” Bisiknya pelan lalu memutuskan masuk ke dalam rumah karna dia mulai merasa masuk angin.

g h

            “Ma... pah... Akina berangkat dulu yah,” Pamitnya sambil buru – buru mencium tangan kedua orang tuanya. Entah setan apa yang merasukinya, tapi setelah kejadian di atas tadi, Akina turun terburu – buru ke bawah hingga hampir jatuh, melakukan apa yang disuruh kedua orang tua dengan senang hati. Tanpa omelan. Bahkan dilengkapi senandung kecil dan senyuman khas gadis jatuh cinta. Membuat kedua orang tuanya bingung.
            “Anak kita kenapa ma?” Tanya papahnya yang bingung dengan perilaku drastis anaknya.
            Mamanya mengangkat bahu. Tanda tak tau. “ Gak tau pah. Mungkin... Kina lagi jatuh cinta dengan tiang jemuran yang kita beli kemaren itu. Soalnya mama liat dia pasti kesengsem sendiri setiap turun dari atas.” Teori mamanya membuat papahnya tertawa ngakak.
            “Teorimu sungguh sesat sekali, sayang.” Ucap papahnya sambil mengacak rambut istrinya yang ikut menertawakan teorinya sendiri.

           
            “Angga... selamat pagi.” Akina tanpa basa – basi mendekatinya bahkan menepuk pundaknya ketika dia hendak turun sekolah dengan sepedanya, melihat Angga berdiri membelakanginya.
            Cowok itu berbalik dan berdiri di depannya dengan tatapan mata yang sangat tidak bersahabat. Membuat Akina ingin menghilang saat itu juga. “Apa maksud lo tepuk pundak gue? Emang kita kenal?” Ucapannya membuat Akina diam membatu. Melongo drastis.
            “Angga makan apaan jadi amnesia seketika kayak gini? bukannya pagi tadi dia baru aja membalas lambaian tangan gue?”
            “Ah... Angga... lo jangan pura – pura amnesia di depan gue deh. muka lo gak ada tampang untuk kibulin gue.” Akina semakin merangkul pundak Angga yang menegang karna sentuhannya. Dan tatapan matanya semakin dingin, bahkan ingin menerkamnya. Membuat Akina mau tak mau ketakutan.
            Apa dia kesurupan mesin pemotong rumput yang dia gunakan pagi tadi yah? Atau penunggu rumahnya marah karna pagi – pagi buta bukannya shalat malah telanjang dada di halaman?”
            “Gue gak kenal sama lo. jadi gue mohon, lo lepasin rangkulan tangan sok akrab di pundak gue. Sebelum gue melakukan hal – hal yang di luar batas kemanusiaan.” Bisiknya lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan dengan Akina yang diam membatu diikuti matanya yang membulat. Terlalu shock hingga tak ada sepatah katapun keluar. Namun dia mengikuti perintahnya.
            “Bagus. Gadis bandel.” Cowok itu mengangguk dan berjalan meninggalkannya yang terdiam bagai patung Hachiko.
           
            Sadar, dia mengerjapkan matanya dan berteriak sekeras – kerasnya. “SHIT! LO SIAPAAAAAAAA??!!!!” Teriaknya walau tau cowok itu takkan bisa mendengarnya. Karna jauhnya jarak mereka sekarang.
            Cowok itu menoleh ke belakang dan melihatnya sedang berkacak pinggang, pipi menggelembung warna merah merona, dan matanya melotot. Entah kenapa, diresponnya dengan sinis. “Dasar tetangga sinting. Pagi – pagi bikin bad mood orang aja.” Ucapnya dan berbalik melanjutkan perjalanannya.

            Akina meregangkan tangannya, menggerakkan ke kiri – kanan kepalanya, senyumnya licik. “Gue tabrak lo pake sepeda baru tau rasa!” Umpatnya sambil menjalankan sepedanya penuh dendam kesumat ke arah cowok itu yang sedang berjalan santai dengan telinga tersumpal headset.

            “Kinaaa...” Seseorang memanggilnya ketika dia sudah sangat siap menyentuh sepeda kesayangannya ke salah satu bagian tubuh cowok yang membuatnya emosi di pagi hari ini hingga jatuh tersungkur mencium aspal. Dengan sebal, dia meremas rem sepedanya dan menoleh garang.
            “Angga?” Suaranya terdengar shock. “Kalo dia Angga, cowok yang mau gue tabrak siapa? Setan?”
            Angga menghampirinya dengan senyum. Cowok itu menatapnya penuh sinis ke arah Kina yang menatap marah. Hawa emosi terpancar kuat di antara mereka, namun Angga tak merasakannya. “Kenalin, dia kembaran gue yang keluar lebih dulu satu menit, Aditya Rajesha. Kak, dia Kina, cewek yang gue cerita kemarin.” Angga sibuk memperkenalkan diri mereka yang sudah bersitegang. Mengabaikan hawa permusuhan. Penjelasan Angga membuatnya tercengang. Dan dia menatap Angga dan Adit bergantian. Mencari kemiripan dan mendadak kepalanya pening sendiri.
            “Kembar? Angga punya kakak kembar yang dinginnya mengalahkan manusia kutub?! Dunia sudah gila.”
           
            “Apa lo cebol lirik – lirik gue?!” Adit menatap sinis Kina yang menatap tercengang ke arahnya. Tatapan besarnya mengganggu.
            “Apa lo tiang listrik natap gue rendah gitu? Gue tau gue cebol, tapi jangan  kecebolan gue bikin lo bisa rendahin gue!”
            “Emang lo udah rendah dari dulu kok.” Adit menjawab enteng dan menatap Angga yang bingung melihat pertengkaran mereka seperti Anjing dan Kucing. “Gue cabut dulu yah. Males dekat cebol, ntar tubuh gue ikutan cebol. Lo jangan dekatin dia deh, kasian ntar keturunan kita pada kecil semua.” Dia menatap penuh ejek ke arah Kina yang wajahnya memerah saking marahnya dan menggembungkan pipi. Tanda emosi hendak meletus.

            Angga entah harus tertawa melihat ekspresi Kina yang seperti badut atau harus menjadi pahlawan kesiangan sebelum salah satu dari mereka menyerang. “Cih! Siapa juga yang mau dekat sama cowok tiang listrik muka batu macam lo itu?! Gak sudi!” Kina menaiki sepedanya dan dengan sengaja dia melindas sepatu Adit dengan ban sepedanya hingga cowok itu berteriak kesakitan.
            “Dasar Cebol mata sipit!” Ejeknya.
            “Dasar Tiang listrik kulit item hati batu wajah Hanoman!” Balasnya sambil melet ke arah Adit dan mendengus kesal.
            “Dasar tetangga sinting!”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar