“Hoaamm...”
Akina bangun dari tidur panjangnya dan melirik jam di dinding yang menunjukkan
pukul 5 pagi. Dengan langkah terseok – seok mengalahkan suster ngesot, dia
berjalan ke dapur untuk membantu mamanya yang sudah “berperang” ria di dapur
sambil menggaruk rambutnya yang panjang dan tebal.
“Kinaa... Astaga! Kamu ngagetin mama
tau!” Mamanya shock melihat anak tunggalnya berdiri di depan pintu dapur dengan
mata merah, rambut awut – awutan dan baju kaos yang kebesaran untuk tubuhnya
yang kurus dan kecil itu. Membuatnya seperti hantu penculik anak yang berasal
dari Jepang.
Kina nyengir kuda dan sambil
mengucek matanya, dia mengambil gelas di samping ibunya, menuangkan air dan
meminumnya. “Kina akhirnya bisa bangun pagi ma. Tanpa alarm loooo...” ucapnya
dengan nada bangga seolah – olah itu adalah prestasi yang patut didaftarkan
oleh MURI dengan kategori “Bangun pagi tercepat tanpa alarm setelah selama ini
dibangunkan oleh benda – kecil – mungil – berisik itu selama 18 tahun.”
“Iyaa... tapi mama jadi serasa
meliat hantu Jepang bangkit dari kubur atau sumur daripada liat orang bangun
tidur.” Balas mamanya sambil mengacak rambut Kina yang tebal. Warisan turun –
temurun dari keluarganya dan menatap mata sipit namun bola matanya yang besar
itu dengan jenaka. Tak menyangka anaknya yang satu ini sudah besar sekarang.
Perasaan dia baru saja menggendong Akina kemana – mana. Ah... waktu terlalu
cepat berlalu hingga dia tak menyadarinya. Batin mamanya.
Akina mendadak salah tingkah sendiri
dilihatin sedemikian rupa, seolah kesalahan dalam tubuh mungilnya di cari –
cari oleh mamanya sendiri. Kina pun berdehem kecil. “Ma... ada jemuran gak?”
tanyanya membuat mamanya melongo.
“Jam 5 pagi ini apa yang mau
dijemur, Kina? Kamu?” Tanya mamanya balik membuatnya manyun.
“Kan siapa tauuuu....”
Mamanya berpikir sebentar, lalu
tersenyum. “Kamu sekarang terpesona dengan tiang jemuran yang baru dipasang yah
jadi gak sabar mau jemur pakaian?” Pertanyaan ngawur mamanya membuat Kina entah
harus tertawa terbahak – bahak atau malah sebaliknya.
“Emang Kina segitu gilanya ma jadi
terpesona dengan tiang jemuran yang baru dibeli kemaren?” Sahutnya sewot. “Ish!
Kina terpesona dengan pemandangan yang terlihat dari atas jemuran ma! Si Angga!
Auoooo...” Batinnya menjerit senang.
“Kan siapa tau... udah deh, kamu
bangunin papah dulu. Setelah itu, ambil handuk di atas yah. Mama jemur malam
tadi. Ok?” Perintah mamanya yang biasanya membuatnya manyun, kini menjadi
semangat ’45 untuk dilaksanakan.
“Ok deh,” Kina langsung siap lari
untuk melaksanakan perintah. Tapi mendadak tangannya ditarik mamanya.
“Sebelum kamu laksanakan itu semua,
kamu sisir dulu tuh rambut. Takutnya nanti bila kamu bangunin papah, bukannya
bangun, malah pingsan liat kamu kayak hantu.” Perintah mamanya yang membuatnya
tertawa.
“Hahahaha... ok deh ma.” Dia
langsung berlari ke kamar untuk membereskan rambutnya sebelum membanguni
papahnya.
“Papah... pah... bangun dong...”
Kina berbisik membangunkan papahnya sambil menggoyangkan perut tambunnya.
Sukses membuat papahnya mengerang karna tidurnya terganggu.
“Kamu ganggu tidur papah yah. Dasar
bandel.” Papahnya bangun lalu duduk di samping Kina yang cengengesan. Tanpa
peringatan apalagi sinyal bahaya, Kaki Kina sukses digelitiki papahnya hingga
dia susah mencari napas karna terlalu tertawa.
“Aaahaha.. sudah... pah... ampun...
ampun... Hik...” Kina meminta ampun diselingi cegukan dan tawanya melengking
nyaring. Membuat papahnya tak tega menyiksa anak kandungnya lebih jauh lagi dan
menghentikan gelitikannya. Membiarkan Kina menarik napas lega.
“Papah kejam!” Sungutnya sambil
mengambil gelas berisi air putih di belakangnya dan meminumnya agar cegukannya
hilang. “Habis kamu ganggu Papah sih. Gak tau papah lagi mimpi indah.”
“Emang papah mimpi apaan?”
“Mimpi mancing ikan di sungai, terus papah dapat ikan Arwana gede banget! Pas lagi senang – senangnya, ikan yang papah pancing susah payah malah lepas begitu saja karna suara kamu!” Papahnya menjelaskan dengan mulut tipis yang dimanyunkan. Persis seperti dirinya bila mengambek.
“Mimpi mancing ikan di sungai, terus papah dapat ikan Arwana gede banget! Pas lagi senang – senangnya, ikan yang papah pancing susah payah malah lepas begitu saja karna suara kamu!” Papahnya menjelaskan dengan mulut tipis yang dimanyunkan. Persis seperti dirinya bila mengambek.
Kina melongo total. Tak menyangka
bahwa hobi papahnya yang freak memancing hingga tengah malam terbawa
sampai alam mimpi. “Kalo papah kayak gini ma hobi mancingnya, gimana gue yah
yang kayaknya kesengsem akut dengan pesona seorang Angga? Ngomong – ngomong
soal dia, tuh anak udah bangun belum yah?”
“Kok melamun? Anak gadis gak boleh
melamun pagi – pagi. Ntar jadi ayam. Hahahahaa...”
Kina manyun dan mencubit lengan
papahnya agar berhenti tertawa. Usahanya berhasil karna sekarang papahnya
menarik napas sehingga perut tambunnya seakan mengempis. “Handuk mandi mana?”
“Di atas pah. Kenapa?”
“Ambilin dong. papah mau mandi nih.”
Kalau biasanya dia manyun disuruh
mengambil handuk di tempat jemuran dengan udara subuh yang dingin menggigit
tulang, kini dia malah sukarela melakukannya. Bahkan sambil tersenyum. “Ok deh
pah. Bubye...” Ucapnya lalu bersinandung riang keluar kamar menuju lantai atas.
Papahnya hanya mengerutkan keningnya
dan memutuskan untuk berolahraga ringan.
♥
♥
“Gue cantik kan? Sudah cantik kan?
Sip...” Kina berbicara sendiri sambil tangannya menyisir rambutnya yang tak mau
kompromi untuk rapi sedetik saja. Sebelum membuka pintu jemurannya dan menghela
napas. Udara dingin yang menggigit tulangnya tak dia rasakan lagi. Yang ada dia
malah merasa deg – degan. Berharap bertemu Angga sedang bermain basket atau apa
saja di saat subuh.
Kina mengambil handuk yang tergantung
di sisi pinggir kanan jemuran. Dia menoleh ke samping dan terpesona untuk kedua
kalinya dengan apa yang dilihatnya.
Di pagi buta, dia melihat Angga
bertelanjang dada menjalankan mesin pemotong rumput dan berjalan mengitarinya.
Memangkas rumput – rumput dengan mesin yang didorongnya. Dari atas dia bisa
melihat apa yang dilakukannya dan matanya tak bisa beralih kemana – mana.
Terlalu terpesona dengan Angga, otaknya mendadak tidak beres.
“Angga! Angga! Met pagi!” Kina
teriak gila – gilaan sambil loncat sana – sini agar Angga mengalihkan pandangan
dari mesin rumput dan melirik ke arahnya.
“Kok dia gak noleh yah? Ahh...
mungkin suara gue kurang menggelegar.”
Kina bergumam dan berdehem sebentar lalu menatap Angga lurus yang tak
bergeming.
“Angga! Angga! Helooooo! Met pagi!
Guten murgen! Good morning!” Kina semakin berteriak gila – gilaan dan usahanya
berhasil. Angga menoleh ke arahnya dengan kening berkerut.
Dia langsung memasang senyum paling
manis sambil melambaikan tangan sambil sesekali menyisir rambutnya yang mulai
acak – acakan karna semilir angin pagi. Hatinya semakin jingkrak ketika Angga
membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis. Membuatnya melayang.
Kina melambaikan tangannya dan
bergegas masuk dalam rumah. Tak ingin Angga melihat betapa merah wajahnya
sekarang.
Angga tersenyum sambil terus menatap
ke atas. Awal pagi yang indah menurutnya setelah 18 tahun tinggal disini.
Saking fokusnya, tak menyadari sang kakak sekarang berdiri di belakangnya dan
ikut – ikutan melirik ke atas. “siapa?”
Angga hampir terlonjak hingga
tubuhnya menjauh karna pertanyaan kakaknya seperti sapaan roh halus. Sambil
mengusap dadanya. Dia menatap ke atas lalu beralih ke kakaknya yang berkerut
kening. “Gak papa kak.”
“Gak papa kenapa lo lirik – lirik ke
atas sambil senyum? Ada apaan sih?” Dia berdiri di samping. Namun tak melihat
objek yang membuat adiknya tersenyum sendiri di pagi buta.
Merasa tak bisa merahasiakan. Dia
mengaku. “Tetangga kemaren yang gue ceritain. Tadi dia ada disitu.” Jelasnya
sambil menunjuk ke tempat jemuran. “sifatnya anak – anaknya itu. Gue suka,
kak.” Tambahnya lagi.
Sang kakak hanya mengangguk.
“Terus?”
“Ya gitu aja kak.”
“Oh... itu doang ternyata.” Respon
kakaknya membuatnya tertawa.
“Kalo kakak ketemu sama dia, dijamin
responnya gak akan begitu.”
“Terserah deh. Kakak juga gak
berharap ketemu sama gadis jepang pujaan lo itu.”
“Lo akan terpesona sama dia kak.
Tapi sebelum lo terpesona, lo harus ingat kalo gue naksir dia.”
“Hati gue udah mati untuk urusan
kayak gituan. Jadi lo gak usah ngomong gitu. Santai aja.” Sang kakak menepuk
pundaknya dan berjalan meninggalkannya yang terdiam.
“Trauma bikin lo kayak manusia hidup
tanpa hati, kak.” Bisiknya pelan lalu memutuskan masuk ke dalam rumah karna dia
mulai merasa masuk angin.
g h
“Ma... pah... Akina berangkat dulu
yah,” Pamitnya sambil buru – buru mencium tangan kedua orang tuanya. Entah
setan apa yang merasukinya, tapi setelah kejadian di atas tadi, Akina turun
terburu – buru ke bawah hingga hampir jatuh, melakukan apa yang disuruh kedua
orang tua dengan senang hati. Tanpa omelan. Bahkan dilengkapi senandung kecil
dan senyuman khas gadis jatuh cinta. Membuat kedua orang tuanya bingung.
“Anak kita kenapa ma?” Tanya
papahnya yang bingung dengan perilaku drastis anaknya.
Mamanya mengangkat bahu. Tanda tak
tau. “ Gak tau pah. Mungkin... Kina lagi jatuh cinta dengan tiang jemuran yang
kita beli kemaren itu. Soalnya mama liat dia pasti kesengsem sendiri setiap
turun dari atas.” Teori mamanya membuat papahnya tertawa ngakak.
“Teorimu sungguh sesat sekali,
sayang.” Ucap papahnya sambil mengacak rambut istrinya yang ikut menertawakan
teorinya sendiri.
“Angga... selamat pagi.” Akina tanpa
basa – basi mendekatinya bahkan menepuk pundaknya ketika dia hendak turun
sekolah dengan sepedanya, melihat Angga berdiri membelakanginya.
Cowok itu berbalik dan berdiri di
depannya dengan tatapan mata yang sangat tidak bersahabat. Membuat Akina ingin
menghilang saat itu juga. “Apa maksud lo tepuk pundak gue? Emang kita kenal?”
Ucapannya membuat Akina diam membatu. Melongo drastis.
“Angga makan apaan jadi amnesia
seketika kayak gini? bukannya pagi tadi dia baru aja membalas lambaian tangan
gue?”
“Ah... Angga... lo jangan pura – pura amnesia di depan
gue deh. muka lo gak ada tampang untuk kibulin gue.” Akina semakin merangkul
pundak Angga yang menegang karna sentuhannya. Dan tatapan matanya semakin
dingin, bahkan ingin menerkamnya. Membuat Akina mau tak mau ketakutan.
“Apa dia kesurupan mesin pemotong
rumput yang dia gunakan pagi tadi yah? Atau penunggu rumahnya marah karna pagi
– pagi buta bukannya shalat malah telanjang dada di halaman?”
“Gue gak kenal sama lo. jadi gue mohon, lo lepasin
rangkulan tangan sok akrab di pundak gue. Sebelum gue melakukan hal – hal yang
di luar batas kemanusiaan.” Bisiknya lalu memutar tubuhnya hingga berhadapan
dengan Akina yang diam membatu diikuti matanya yang membulat. Terlalu shock
hingga tak ada sepatah katapun keluar. Namun dia mengikuti perintahnya.
“Bagus. Gadis bandel.” Cowok itu
mengangguk dan berjalan meninggalkannya yang terdiam bagai patung Hachiko.
Sadar, dia mengerjapkan matanya dan
berteriak sekeras – kerasnya. “SHIT! LO SIAPAAAAAAAA??!!!!” Teriaknya walau tau
cowok itu takkan bisa mendengarnya. Karna jauhnya jarak mereka sekarang.
Cowok itu menoleh ke belakang dan
melihatnya sedang berkacak pinggang, pipi menggelembung warna merah merona, dan
matanya melotot. Entah kenapa, diresponnya dengan sinis. “Dasar tetangga
sinting. Pagi – pagi bikin bad mood orang aja.” Ucapnya dan berbalik
melanjutkan perjalanannya.
Akina meregangkan tangannya,
menggerakkan ke kiri – kanan kepalanya, senyumnya licik. “Gue tabrak lo pake sepeda
baru tau rasa!” Umpatnya sambil menjalankan sepedanya penuh dendam kesumat ke
arah cowok itu yang sedang berjalan santai dengan telinga tersumpal headset.
“Kinaaa...” Seseorang memanggilnya
ketika dia sudah sangat siap menyentuh sepeda kesayangannya ke salah satu
bagian tubuh cowok yang membuatnya emosi di pagi hari ini hingga jatuh
tersungkur mencium aspal. Dengan sebal, dia meremas rem sepedanya dan menoleh
garang.
“Angga?” Suaranya terdengar shock.
“Kalo dia Angga, cowok yang mau gue tabrak siapa? Setan?”
Angga menghampirinya dengan senyum. Cowok itu menatapnya penuh sinis ke
arah Kina yang menatap marah. Hawa emosi terpancar kuat di antara mereka, namun
Angga tak merasakannya. “Kenalin, dia kembaran gue yang keluar lebih dulu satu
menit, Aditya Rajesha. Kak, dia Kina, cewek yang gue cerita kemarin.” Angga
sibuk memperkenalkan diri mereka yang sudah bersitegang. Mengabaikan hawa
permusuhan. Penjelasan Angga membuatnya tercengang. Dan dia menatap Angga dan
Adit bergantian. Mencari kemiripan dan mendadak kepalanya pening sendiri.
“Kembar? Angga punya kakak kembar
yang dinginnya mengalahkan manusia kutub?! Dunia sudah gila.”
“Apa lo cebol lirik – lirik gue?!” Adit menatap sinis Kina yang menatap
tercengang ke arahnya. Tatapan besarnya mengganggu.
“Apa lo tiang listrik natap gue
rendah gitu? Gue tau gue cebol, tapi jangan
kecebolan gue bikin lo bisa rendahin gue!”
“Emang lo udah rendah dari dulu
kok.” Adit menjawab enteng dan menatap Angga yang bingung melihat pertengkaran
mereka seperti Anjing dan Kucing. “Gue cabut dulu yah. Males dekat cebol, ntar
tubuh gue ikutan cebol. Lo jangan dekatin dia deh, kasian ntar keturunan kita
pada kecil semua.” Dia menatap penuh ejek ke arah Kina yang wajahnya memerah
saking marahnya dan menggembungkan pipi. Tanda emosi hendak meletus.
Angga entah harus tertawa melihat
ekspresi Kina yang seperti badut atau harus menjadi pahlawan kesiangan sebelum
salah satu dari mereka menyerang. “Cih! Siapa juga yang mau dekat sama cowok
tiang listrik muka batu macam lo itu?! Gak sudi!” Kina menaiki sepedanya dan
dengan sengaja dia melindas sepatu Adit dengan ban sepedanya hingga cowok itu
berteriak kesakitan.
“Dasar Cebol mata sipit!” Ejeknya.
“Dasar Tiang listrik kulit item hati
batu wajah Hanoman!” Balasnya sambil melet ke arah Adit dan mendengus kesal.
“Dasar tetangga sinting!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar