Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Bestfriend? Hmmm... Part 1



Hahaay semuanya… ini cerbung kolaborasi antara si Kakak Galak suka Galau, Kak Andini ama aku. Wkakaka… happy read all.. *Gatau mau nulis apalagi*
-Regina Maharani Nurlie-

            hellooo... ini dia cerbung bikinan aku sama si cerewet Rere yang dulu aku janjiin :D semoga kalian semua suka yaa :)
-Andini Ekaputri Nur'aulia- 


            “Andrew, sahabat terbaik yang pernah gue miliki. Tapi… untuk jadi pacar? Gak deh. Biar wajahnya seganteng apapun, tetep aja gak ngaruh buat mata dan hati gue. Lagipula, gue gak percaya dan malah menertawakan mitos bulshit yang berkoar-koar dari zaman dahulu kala bahwa bersahabat lama dengan cowok, akan menjadi cinta. Menurut gue, cinta yah cinta, sahabat yah sahabat. Gak bisa digabungin. Ribet. Lagipula, kayak gak ada cowok lain aja, jadi sahabat dipacarin.”– Gwen.


            “Gwen, sahabat paling urakan diantara yang lain. Dan dia adalah cewek yang apa adanya dimata gue dan mengerti apa yang gue rasain tanpa harus diungkapin. Tapi… untuk jadi pacar? Gak deh… Gue masih waras buat cari cewek lain yang lebih dari Gwen. Tapi bukan berarti dia gak cocok jadi pacar gue, hanya saja, dia perfect untuk jadi sahabat gue. That’s it.” – Andrew.



            Terdengar dering lagu Rihanna- where have you been menggema di kamar ukuran cukup besar namun berantakan melebihi gudang angkut kapal itu. Merasa terganggu karna suara ngoroknya tersaingi dengan suara indah Rihanna, si penghuni kamar langsung menggapai-gapai tangannya di meja kecil sebelahnya dan mengangkatnya tanpa melirik siapa yang nelpon.
Hello, Gwen’s here. Who is it?” Dengan mata terpejam dan ileran, dia menyapa si penelpon dengan gaya operator seluler dengan bahasa inggris yang ancur-ancuran.
“Eh Gwen, lo gak usah sok gak kenal gue deh! Pake bahasa Inggris segala lagi! Sok bener lo! Bangun Gwen! Liat jam woy!!!” Si penelpon berteriak penuh frustasi karna yang ditelpon bukannya merespon apalagi panik, malah terdengar ngorok.
Telinganya terasa berdenging dan Gwen membuka matanya lalu menjauhkan ponselnya dan melihat ke layar siapa yang menelponnya dipagi yang cerah ini dan sukses menghancurkan mimpi indahnya menjadi Putri Salju dan hampir kissing dengan Sang Pangeran. Kemudian cengengesan sendiri ketika teringat lagi mimpi itu. “Eh…Iya Ndrew, apaan?” Tanyanya polos.
Si penelpon, Andrew hanya bisa menepuk jidat sendiri sambil mengurut dada dan berdoa dalam hati semoga siapapun yang menjadi sahabat Gwen, termasuk dirinya, akan diberi ketabahan tiada tara menghadapi sifatnya, terlebih untuk orang tua gadis itu sendiri. “Gwen Lucynda Evelyn, sahabat gue dari kelas 1 SMA hingga saat ini, lo lirik jam dinding deh sekarang!” Perintahnya dengan suara penuh halus namun bernada gemas pengen melayangkan jitakan jarak jauh.
Gwen melirik jam dindingnya dan histeris sendiri “Astaga Ndrew! Jam 6 sekarang! OMIGOSH! Gue telat dong! Kayak gimana nih? Aduh… PR belom gue kerjain, baju sekolah belom gue gosok, buku pelajaran belom gue beresin, jadwal pelajaran gue ilang! HUAAAA!!! Gimana ini? Gimanaaaaa?!!!” Gwen berteriak frustasi sambil mengacak rambutnya yang udah acak dari sononya.
“Lo belom ngerjain pr Gwen? Astagaaaa!!! Pr apaan yang belom lo kerjain?” Andrew mau tak mau ikutan mumet sendiri dan berharap semoga cuma 1 pr yang belom dikerjakan.
“Semuanya Ndrew! Fisika, kimia, Biologi, semuanya belom gue kerjain! Gimana… ini gimanaaa??? Kiamaattt gueee kiaamat!!”
Andrew gantian histeris hingga Gwen harus menjauhkan telponnya karna suaranya menggema di telpon. “WHAT?! Lo belom ngerjain semuanya, Gwen?! Apa yang lo kerjain selama 2 hari ini?!”
“Main game online Ndrew. Habis gue mau game over sih. Jadi kudu harus diselamatkan.” Gwen membela dirinya sambil cengengesan.
            “Yang ada lo yang perlu diselamatkan Gwen! Kalo Game over bisa diulang lagi. Lah elo? Kalo jadi tumbal sekolah, siapa yang nyelamatin?”
“Kan ada lo yang bakal nyelamatin gue.” Gwen menjawab enteng.
“Mati deh gue.” Andrew membatin sendiri. Membayangkan kesibukan yang akan dilaluinya untuk mencegah gadis itu jadi tumbal bergilir oleh para guru.
“Alamak Gwen… Habis kalimat yang mau gue jadiin nasihat biar lo tobat! Udah, lo mandi sana, terus gosok tuh baju seragam dan ngebut kesekolah! Ntar gue bantuin deh!” Andrew memberikan solusi biar gadis itu tak frustasi.
“Mandi? Gue gak mandi deh, toh cuma cuci muka dan sikat gigi, selesai deh. Toh, Andrew gak tau juga. Waktunya mepet sangat nih!” Pikir Gwen ketika mendengar perintah Andrew.
Tahu apa yang direncanakan sahabatnya, Andrew mendesis “Lo harus mandi, Gwen! Gue tau akal bulus yang lo anggap sangat jenius itu, lo pasti gak mau mandi kan biar cepat?! Lo gak mandi, jangan harap duduk disamping gue! Dan, lo harus siapin buku pelajaran, ntar jadwal gue sms deh! Dan… lo harus sampai disekolah jam 7 tepat! Lo mau terbang kek, ngesot kek, pake sapu terbang kek, terserah! Pokoknya harus sampai jam segitu! Gue gak mau jadi ayan untuk kesekian kalinya sampai lo datang biar pagar gak dikunci Mang Udin! Gwen Lucynda Evelyn, do you hear me?” Ucapnya ketika tak mendengar ocehan apalagi keluhan dari Gwen.
Gwen menguap sendiri mendengar ocehan Andrew yang semakin hari semakin mirip mamanya, bahkan terlalu mirip malah hingga dia mikir bahwa sebenarnya Andrew anak mamanya dan dia, entah anak siapa. “Iye…Iye…Gue mandi terus sikat gigi dan nyiapin buku terus dandan yang cantik deh. Bubye Andrew…” Gwen menjawab dengan suara ala banci kaleng yang sanggup membuat sahabatnya merinding. Kemudian dia memutuskan telponnya dan ngakak ketika Andrew mengomel panjang pendek sebelum telponnya putus.
“Ubanan juga lama-lama tuh anak omelin gue mulu.” Gwen berbicara sendiri sambil masuk kamar mandi dan mandi secepat kilat, melebihi kucing dimandikan oleh majikan.
Selesai mandi dan menggosok pakaian kemudian mengenakannya, Gwen Lucynda Evelyn, Cewek yang baru saja berumur 18 tahun seminggu lalu—dengan wajahnya yang sebetulnya manis, namun karna sifatnya urakan, membuatnya menjadi jomblo abadi dan tubuhnya yang proposional cukup membuat para cowok menoleh kearahnya dan bersiul jahil—sedang asyik menyiapkan buku pelajaran sambil melirik jadwal pelajaran yang baru saja dikirim Andrew. Setelah selesai, dia tersenyum sambil menyisir rambutnya yang pendek dan merapikan bajunya. Kemudian cewek itu melirik jam dinding dan histeris sendiri. “WHAT?! JAM SETENGAH 7?! MAMPUS!” Umpatnya dan langsung mengambil tas sekolahnya dan ponselnya tanpa membereskan kamar.
“Gwen… gak sarapan dulu?” Mamanya menegur ketika Gwen langsung menuruni 2 anak tangga sekaligus dan hampir jatuh kalau tak pegangan.
“Gak sempat Mah! Gwen berangkat dulu yah Mah, Pah.” Gwen berhenti tepat didepan kedua orang tuanya dan menyalaminya satu-satu. Kemudian melanjutkan larinya.
“Lo kesekolah pake apa? Lari?” Kakak perempuannya, Rere, menegur sambil memegang kunci kendaraan Gwen.
Gwen menoleh dan nyengir. Tahu yang dimaksud, Rere melempar kunci dan langsung ditangkap mulus. “Thanks kak.” Gwen berkata singkat dan lari keluar halaman. Beberapa detik kemudian, terdengar deru motor matic Mio meninggalkan rumah.
“Gue harus ngebut! Harus ngebut! Udah jam 6.45!” Gwen membatin sambil meliuk-liuk dengan motornya ala pembalap professional membelah Jakarta.

***

Di sekolah, SMA PELITA HARAPAN, Andrew duduk frustasi di depan pos satpam sambil sesekali melirik jam tangan mahal pemberian sahabatnya, Gwen dan berkacak pinggang. “Lo telat, gak akan gue bantuin, Gwen!” Desisnya membuat sebagian cewek-cewek yang mengagumi Andrew, merinding.
“Cakep-cakep tapi kok galak yah?” Ucap salah satu cewek sambil mengusap tengkuknya karna merinding.
“Biar galak, tapi keren kok dimata gue.” Timpal yang satunya sambil terus menatap Andrew Janson Maynard, Cowok yang sukses menjadi Pangeran bagi para cewek karna tubuhnya yang tegap dengan tinggi 170 cm, tatapan matanya yang tajam dibalik kacamata minusnya, wajahnya yang tampan mirip Tom Cruise waktu muda dan blasteran Jerman – Inggris, serta otaknya yang jenius dan perhatian sama sahabatnya, Gwen, membuatnya semakin dipuja dan berharap bisa menjadi Gwen sehari aja.
Melihat Motor Gwen melaju masuk parkiran hingga hampir menabrak pohon Kelapa, membuat Andew langsung menghampiri gadis itu dan membuka kaca helm Gwen dan melihat wajah gadis itu yang putih merona berubah menjadi putih pucat. “Lo gak pa-pa?” Tanyanya cemas ketika Gwen langsung menyandarkan kepalanya di dada Andrew yang bidang.
“Jam berapa sekarang?” Gwen mengabaikan pertanyaan Andrew dan melirik jam tangan yang dikenakan cowok itu.
“Jam 7.00 pas. Lo gak telat Gwen.” Andrew tersenyum dan membuat Gwen nyengir.
“Gwen gitu loh… Gue ampe ngebut dan hampir aja nabrak ayam dan nenek-nenek di pasar pagi. Tapi untungnya gak ketabrak. Serasa sport jantung gue…,” keluhnya.
Andrew tertawa mendengar nasib sahabatnya yang tak pernah akrab dengan keberuntungan, kemudian mengelusnya. “Lo udah sarapan? Gue bawa roti tuh. Soalnya gue kan tau lo gak pernah sarapan kalo telat gini. Ntar kendaraan gue yang parkirin deh. Lo masuk kelas aja, taroh tas, terus ada PR matematika dibawah laci gue, ambil aja.” Andrew berkata dengan lembut membuat Gwen duduk tegak dan tersenyum ke arahnya.
Thanks. Tapi gue mau kerjain matematika sendiri aja, Ndrew. Gue gak mau ngerepotin lo lebih jauh lagi. Gue ingin mandiri. Gue masuk kelas dulu yah. Parkirin yang rapi yah, Mas,” ucapnya sambil turun dari motornya dan berlari masuk kelas meninggalkan Andrew yang melongo melihatnya.
“Kunci kendaraan mana, Gwen? Kendaraan lo beraat ...,” gerutunya membuat Gwen berpaling dan tersenyum manis. Untuk sesaat lamanya, Andrew tertegun. “Baru sadar sahabat sableng gue satu ini manis banget senyumnya,” batinnya.
“Nih .…” Gwen melempar kunci kendaraannya dan melanjutkan lari masuk kelas meninggalkan Andrew yang mendorong kendarannya.

***

“Tiaraaa ….”
Gwen berteriak ditengah bisingnya kelas 12 IPA yang kasak-kusuk mencari jawaban PR matematika. Merasa dipanggil, Tiara melambaikan tangannya bak orang hilang dan Gwen langsung menghampirinya.
“PR lo mana? Gue mau nyontek.” Gwen langsung duduk disamping Tiara dan menagih PR, membuat kepalanya ditoyor sahabat labilnya itu.
“Lo itu nyontek mulu kerjaannya! Usaha dikit napa?” Ucap Tiara jengkel melihat kelakuan sahabatnya namun tetap aja buku PR berpindah tangan kearah Gwen.
Thanks sayang. Love you deh.” Gwen mengucap penuh syukur dan mendekatkan tubuhnya ingin mencium Tiara, namun cepat-cepat didorong.
“Jiakh… Lo bikin ancur image imut gue aja! Udah sono kerjain PR!” Perintah Tiara sambil mendorong Gwen agar kembali ke habitatnya, duduk disamping Andrew yang juga sahabatnya, namun tak sedekat Gwen.
            Terkadang, Tiara selalu berpikir. Apa benar diantara Gwen dan Andrew, kedua sahabatnya itu, benar-benar tidak ada hubungan apa-apa lagi selain sahabat? Sejujurnya, semenjak mengenal Gwen dan Andrew di bangku kelas 2, Tiara merasa bahwa hubungan kedua makhluk ajaib itu lebih dari sekedar sahabat. Gwen yang tomboy, selalu terlibat masalah dengan siapa saja yang membuatnya marah. Kalau sudah begitu, mau tidak mau, Andrew akan selalu siap siaga. Apalagi kalau lawan yang dihadapi oleh Gwen adalah seorang cowok. Meskipun tomboy, Andrew tentu tidak akan membiarkan Gwen dilukai oleh cowok, bukan?
            “Gwen ….” Tiara memanggil sahabatnya itu pelan. Gwen yang sibuk menyalin PR, hanya menggumam tidak jelas.
            “Gwen ….”
            “Hmm ….”
            “Lucy!”
            “Iih!” Gwen langsung berhenti menyalin dan memandang Tiara dengan dongkol. “Kan udah gue bilang Tiara, jangan panggil gue Lucy! Itu nama bikin gue merinding, tau gak?”
            Tiara terkekeh. “Lagian, udah gue panggil berulang kali, nggak mau nengok-nengok. Lagian, kenapa sih lo gak suka dipanggil Lucy? Lucy kan nama lo juga, Gwen. Bagus malah kata gue ….” Tiara malah mengomentari ketidaksukaan Gwen akan nama tengahnya itu. Cewek itu benar-benar tidak tahu, kenapa Gwen paling tidak suka kalau ada yang memanggil dia dengan sebutan Lucy.
            “Emang lo belom gue kasih tau, ya?”
            Tiara menggeleng polos. Dari sudut matanya, cewek itu menangkap sosok Andrew yang sedang memasuki ruangan kelas, sambil bercengkrama dengan Roy, cowok gebetan Tiara selama dua tahun ini.
            “Gwen, ada Andrew tuh ….” Tiara menunjuk Andrew dengan dagunya. Gwen hanya mengangkat bahu tak acuh, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada salinan PR nya. “Tadi udah ketemu di parkiran. Kan dia yang markirin motor gue,” jawab Gwen singkat. Tiara hanya mengangguk pelan. Pertanyaannya tentang nama tengah Gwen jadi terlupakan. Ya iyalah, kan sekarang ada topik yang lebih bagus lagi.
            “Mmm … Gwen ….”
            “Duh, apalagi sih Ra? Kalau gak selesai, gue bisa dibacok sama Bu Arny!” Gwen berkata cemas.
            “Woy, Gwen!”
            Tiara mendelik kesal ke arah Andrew, ketika cowok itu datang dan langsung membuatnya berhenti bicara pada Gwen. “Kunci motor lo, nih!”
            “Taruh aja di tas gue. Di depan, ya,” ucap Gwen lembut.
            “Ck, Ndrew! Ganggu aja deh lo! Sono ah, gue mau ngomong sama Gwen ….” Tiara mengomel sambil melotot ganas kepada Andrew. Cowok itu mengerutkan kening, dan menyelesaikan tugasnya menaruh kunci motor Gwen di dalam tas. “Ngomong aja kali, Ra. Gue kan sahabat lo juga, ngapain pake rahasia-rahasiaan sih?”
            Tiara memutar kedua bola matanya gemas. “Elo emang sahabat gue sama Gwen, tapi masa iya lo mau ikutan nimbrung obrolan gue sama Gwen, sih?”
            “Lah? Emang kenapa?” Andrew garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sementara Gwen lebih memilih diam dan kembali menyalin PR mematikan itu.
            “Girl things, and girl talk, Andrew Janson Maynard!” pekik Tiara kesal.
            “Apa sih obrolan cewek lo sama Gwen itu? Palingan juga gak jauh-jauh dari ‘eh, si Roy cakep ya Gwen? Aduh, gue kesemsem banget sama dia!’ atau ‘Lo tau gak tas yang dipajang di etalase depan toko Alfina’s Shop? Sumpah ya, keren banget!’”
            “ANDREW! GUE MAU OMONGIN MASALAH PMS TAUUUUUU!!!”
            Siiiinnggggg ….
            Andrew melongo, Gwen mangap, seisi kelas memasang tampang tolol, tinggal Tiara yang menatap seisi kelas dengan wajah merah padam akibat malu. Duh, gara-gara si Andrew sialan nih! Dasar setan-jelek-muka-bloon-cap-bule-kampung!!!
            “Hehehe … itu … itu … maksud gue … PMS itu … proses makan sop ayam pedes! Iya, itu … lomba di deket rumahnya Gwen! Iya kan, Gwen?” tanya Tiara meminta kerja sama dari Gwen. Dengan tampak yang masih shock dan tolol abis itu—mana mulutnya mangap kayak ikan mas koki megap-megap lagi—Gwen mengangguk polos.
            Meskipun cowok-cowoknya cuman mengangguk bingung sambil mengerutkan kening, namun yang cewek-cewek tahu pasti apa maksud dari omongan Tiara barusan. Begitu juga dengan Andrew. Tiga tahun bersahabat dengan Gwen, membuat cowok itu tahu apa yang dimaksud dengan PMS. Karena, pada tanggal-tanggal tertentu, Gwen selalu mengomel tanpa sebab, marah-marah nggak jelas, dan berbagai macam aksi aneh lainnya.
            “Puas lo?!” desis Tiara tajam ke arah Andrew. Yang ditanya malah cengengesan. “Pantes lo ngomel-ngomel mulu dari kemaren, ternyata lagi ditilang sama pak polisi di lampu merah, ya? Uups! Keceplosan … hahahaha ….”
            Sepeninggal Andrew, Tiara berkomat-kamit ria, sibuk mengutuk dan menyumpah-serapah Andrew dalam hati. “Cowok bule sinting! Kenapa gue bisa sobatan sama dia, ya?!” Tiara melengos ke arah Gwen. “Gwen! Lo gak sinting mendadak apa sahabatan sama cowok model Andrew?”
            Gwen menggeleng. “Nggak tuh. Udah ah, dari tadi lo ganggu gue terus. Keburu Bu Arny nyampe kelas, ni tugas belom kelar.”
            Tiara mingkem. Bibirnya terkatup rapat. Ini nih, pasangan ajaib tahun ini. Yang cowok kalem, nyolot, rame, asik, ramah, tapi bisa berubah segalak singa gak dikasih makan setahun, trus yang cewek tomboy, selebor, ceroboh, tukang berantem, keras kepala, dan selalu nyusahin! Emang sih dua-duanya cakep, tapi buat apa cakep kalau sifatnya pada aneh semua? Iya nggak? Heran juga Tiara, dengan sikap yang benar-benar bertolak belakang itu, Gwen dan Andrew bisa bersahabat sampai saat ini.
            Dan untuk sementara, pertanyaan yang akan diajukan oleh Tiara pada Gwen terlupakan akibat insiden yang diciptakannya sendiri karena ulah Andrew!

***

“Di sini sekolahnya?”
            Seorang pria paruh baya mengangguk hormat sambil tersenyum lewat kaca spion tengah. Mobil sedan berwarna hitam mengkilat itu terparkir rapih di depan gerbang sekolah mewah.
            “Iya Mas Jo. Ini dia sekolah baru Mas Jo yang didaftarkan oleh Nyonya dan Tuan ….” Pria paruh baya itu menjawab sopan. Cowok yang duduk di kursi belakang sedan itu, yang beberapa saat dipanggil Jo oleh si pria paruh baya, tersenyum kecil.
            “Hmm … not bad ….” Jo berkomentar. “Seenggaknya bangunannya megah dan luas. Pak Min nggak usah nunggu saya, ya? Pak Min nanti ke sini lagi aja pas jam pulang sekolah.”
            Pria yang dipanggil Pak Min itu mengangguk patuh. Kemudian, pak Min turun dari kursi pengemudi, berjalan memutar, lalu membuka pintu mobil untuk anak majikannya.
            Jo turun dengan gagahnya. Tingginya mencapai 170 cm, dengan warna kulit yang cokelat dan mata tajam yang dinaungi dua alis tebal. Warna matanya cokelat terang. Hidungnya mancung, sedang bibirnya tipis berwarna merah, hingga siapapun yang melihatnya pasti mengira bahwa pemilik bibir seksi itu tidak bersahabat.
            Jo melangkah pelan menuju ruangan kepala sekolah. Dalam perjalanannya menuju ruang kepsek, cowok itu terus-menerus menjadi objek perhatian dari siswa-siswa yang masih mengobrol di halaman sekolah karena guru mata pelajaran yang mengajar di jam pertama belum hadir. Dan, selama itu pula, Jo mendengar komentar-komentar memuja dari kalangan cewek yang melihatnya datang.
            “Anjiiirrr … cakep banget sih?” ucap Tanya, si seksi yang selalu jadi bahan obrolan menarik bagi para cowok.
            “Mana? Mana?” disampingnya, Shabrina menimpali. “Wah, iya ya? Cakep! Indo gitu deh mukanya.”
            “Masa sih?” kali ini, Puput yang angkat bicara. “Aah, masih kalah kalau dibandingin sama Andrew! Gue sih tetap Andrewholic sejati!”
            Dan berbagai macam komentar serta pujian bertebara dari bibir para cewek-cewek itu. Jo hanya tersenyum sinis dan berdecak.
            “Cewek-cewek norak!”

***

“Tau gini, gue gak usah pake acara ngebut-ngebut segala tadi! Mana hampir nabrak ayam sama nenek-nenek pula!” Gwen mendengus sebal dan mengerucutkan bibirnya. Pasalnya, beberapa menit yang lalu, Bu Lulu, guru BP sekolah Gwen masuk ke kelas Gwen dan memberitahu bahwa hari ini Bu Arny berhalangan untuk mengajar. Sebagai gantinya, Bu Arny mewanti-wanti anak-anak kelas Gwen untuk belajar karena besok akan diadakan ulangan mengenai bab matriks.
            Andrew mengunyah roti bakarnya dengan lahap sambil mengacak rambut Gwen yang langsung ditepis oleh cewek itu. “Nyantai aja kali Gwen … itung-itung, elo gak ngerepotin gue hari ini.”
            Gwen berdecak sebal. “Jadi gue ngerepotin lo selama ini?”
            “Yah, nggak nyadar dia.” Andrew tertawa renyah dan menawarkan roti bakarnya. “Mau Gwen?”
            “Ogah! Gue mogok makan!”
            “Ngambek?”
            “Iya!”
            “Yakin sanggup ngambek sama gue???”
            Asli, pertanyaan Andrew benar-benar menggoda iman Gwen banget! Sejak kapan sih sahabatnya ini berubah jadi kayak gini?
            “Lo lagi kesambet, Ndrew?” tanya Gwen polos. Otomatis, kegiatan makan roti bakarnya Andrew terhenti. “Maksud lo?” tanya cowok itu dengan alis yang terangkat satu.
            “Sejak kapan sih lo jadi kayak gini? Omongan lo barusan kayak cowok-cowok playboy yang lagi ngerayu ceweknya buat nggak ngambek atau marah lagi sama mereka, tau gak?”
            Andrew meringis. “Emang ya?”
            “He-eh!” Gwen mengangguk tegas. “Apa lo lagi suka sama cewek …?”
            Andrew menoleh dan tersenyum. Senyum yang maniiiis banget. Gwen tidak pernah melihat senyum Andrew yang seperti ini sebelumnya. Trus, kenapa kayak ada sesuatu yang menggelitik perut Gwen, ya? Aneh banget deh ….
            “Iya ….”
            “Hah?”
            Andrew menarik napas panjang dan memutar tubuhnya. Kini cowok itu berhadap-hadapan dengan Gwen. “Iya! Gue lagi naksir cewek ….”
            Gwen bengong. Lututnya terasa sedikit lemas. Matanya menerawang menyelami kedua mata hitam legam milik Andrew. Jantungnya berdetak cepat. Dadanya sedikit bergemuruh. Kupingnya panas. Aneh, dia kenapa sih?
            “Gwen? Gwen? Heh!”
            Gwen tersentak ketika mendengar nada keras dari Andrew juga lambaian tangan cowok itu di depan mukanya. Gwen gelagapan dan langsung masang tampang aneh. “Kenapa Ndrew?”
            Andrew tersenyum kecil. “Kok nanya ke gue? Yang harusnya nanya itu gue. Elo kenapa? Kok bengong barusan?”
            Gwen garuk-garuk kepala sambil cengengesan. “Ng … Nggak pa-pa kok. Gue tadi cuman shock aja ternyata lo bisa naksir cewek juga.”
            “Ya iyalah Gwen sayang … gue kan cowok normal.”
            “Siapa?” bisik Gwen pelan. Beruntung jantung dan dadanya sudah kembali normal. Mungkin tadi dia hanya terkejut ketika mengetahui bahwa sahabatnya ini naksir sama cewek.
            “Ada deh ….” Andrew sok misterius. Gwen cemberut.
            Saat sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba suasana berubah hening. Pak Beno, kepsek SMA PELITA HARAPAN memasuki kelas 12 IPA 2 dengan langkah pelan. Dibelakangnya, sosok seorang cowok dengan wajah tampan mengikuti. Semua cewek di kelas Gwen menatap takjub dan terpesona pada cowok itu. Beberapa bahkan menahan napas mereka saking terpesonanya.
            “Perhatiannya sebentar anak-anak ….” Pak Beno memecah kesunyian yang mendadak tercipta di kelas tersebut. “Hari ini kalian kedatangan teman baru. Dia pindahan dari Surabaya.”
            Pak Beno memberi isyarat pada cowok itu untuk memperkenalkan dirinya. Dengan patuh, cowok tersebut segera membuka suara.
            “Salam kenal semuanya. Nama gue Joey Putra Pramana. Kalian bisa panggil gue Jo.” Jo berkata dengan nada datar. Jo melihat semua cewek di kelas itu sibuk cari perhatian dirinya. Mereka memasang tampang manis dan memikat untuk dilirik Jo. Hanya Tiara dan Gwen yang tidak mengikuti tingkah teman-teman mereka. Ya iyalah, soalnya kan Tiara udah punya gebetan, si Roy. Meskipun Roy nggak secakep Jo-Jo itu, tapi di mata Tiara, Roy jauh lebih cakep dan keren. Namanya juga jatuh cinta, orang jadi lupa diri alias mendadak sarap!
            Sementara Gwen tidak peduli dengan siapapun yang sekarang sedang memperkenalkan diri di depan kelas. Samar sih, dia denger nama murid baru itu. Jo. Cuman itu. Gwen sibuk ngobrol dan bercanda sama Andrew. Andrew sampai setengah melotot pada Gwen karena cewek itu terus-terusan tertawa. Meskipun dalam skala pelan, alias berusaha ditahan mati-matian sama Gwen, tetap aja Andrew takut kalapnya Gwen kumat, trus dia ngakak kenceng banget. Buntut-buntutnya kan dia juga yang kena omelan maut Pak Beno. Andrew mana tega sih ngebiarin Gwen kena masalah?
            Ternyata bencana buat Gwen akan segera tiba. Jo paling tidak suka kalau ada cewek yang nggak merhatiin dia. Itu namanya cari mati! Dimana-mana, Jo selalu jadi pusat perhatian para cewek-cewek. Dari yang jelek sampai cakep. Dari yang muda sampai tua. Dari yang dada rata sampai dada model Pamela Anderson. SEMUANYA! Berani bener cewek itu nggak ngelirik dia sama sekali, batin Jo emosi!
            Jo meneliti keseluruhan fisik Gwen. Tampang oke, tapi terkesan tomboy. Mmm, bukan kesan lagi ding, emang udah keliatan tomboy dari sikap tubuhnya. Putih, hidung pesek, bibir mungil dan merah. Bibir kesukaan Jo. Seksi, pikir cowok itu dalam hati. Dadanya, okelah, 36B. tubuh langsing, lehernya jenjang. Asli, dari skala 10 sampai 100, cewek itu menempati angka 85.
            Jo menyeringai kecil. Santapan baru, kudapan yang asik!

***

Gwen sedikit gelisah karena Andrew lagi ke kamar mandi. Cewek itu juga tidak bisa sepenuhnya konsen sama ocehan Pak Anto di depan kelas yang menerangkan semua tetek-bengek tentang ramuan ini, dicampur ramuan itu, dan sebagainya. Kenapa? Jawabannya cuman satu ….
            Gwen risih diliatin terus sama Jo!
            Ya, murid baru itu terus-terusan melihat Gwen. Dari atas, sampai bawah, trus balik lagi ke atas dan begitu terus dari tadi. Sempat Gwen menoleh hanya untuk menangkap basah Jo yang sedang ‘mengeksploitasi’ tubuhnya itu, supaya Jo malu dan akhirnya berhenti ‘menjelajahi’ tubuh Gwen. Tapi, boro-boro malu trus buang muka, si Jo malah makin ngeliatin Gwen. Cowok itu bahkan mengedipkan sebelah matanya ke arah Gwen dan menancapkan tatapannya pada dada Gwen. Uuggh! What a jerk guy!
            “Kenapa lo?”
            Gwen menoleh dan menatap Andrew yang baru saja duduk di sebelahnya dengan tatapan lega. Andrew bisa melihat bahwa tindak-tanduk dan mata sahabatnya itu menyiratkan kegelisahan dan ketakutan.
            “Kenapa lo?” tanya Andrew sekali lagi. Tatapannya dan nada suaranya sarat ketegasan.
            Gwen menelan ludah susah payah. “Mmm, itu ….”
            “Itu apa?” bisik Andrew pelan. Sengaja intonasinya dibuat serendah mungkin, supaya macan tidurnya Pak Anto nggak bangun. Bisa-bisa guru yang satu itu membuat ramuan Avada Kedavra buat menghancurkan Andrew dan Gwen.
            “Tapi lo janji jangan ngamuk, ya?” pinta Gwen pelan. Dia emang tomboy, tapi dia paling takut kalau ada cowok yang mulai menunjukan tanda-tanda kurang senonoh terhadap dirinya. Walaupun tomboy, Gwen kan tetep aja cewek. Cuman mungkin hormone cowoknya lebih dominan daripada hormone ceweknya. Nggak bisa disalahin juga sih, mungkin mamanya Gwen yang salah ngidam waktu hamil Gwen :P
            “Tergantung ….” Andrew mengedarkan pandangannya ke seisi kelas, mencari tahu apa yang membuat Gwen sebegitu gelisahnya.
            “Dari tadi … pas lo ke WC, si Jo ngeliatin gue terus.” Gwen berkata pelan.
            “Maksudnya ngeliatin?” selidik Andrew. Nada suaranya mulai berubah ganas. Waduh, kacau nih, pikir Gwen. Andrew emang kalem, baik, ramah, dan semua-muanya yang bagus-bagus. Tapi, berdasarkan pengalaman Gwen, Andrew itu paling mengerikan kalau lagi kalap! Asli, sumpah itu gak bohong! Gwen pernah cerita sama Andrew kalau dia disekap sama tetangganya yang dua tahun lebih tua dari dia, dan dipegang-pegang gitu. Waktu itu Gwen hampir nangis. Gwen juga heran kenapa sikap tomboy dan jago berantemnya itu hilang kalau dia di kurang-ajarin sama cowok. Apalagi sampai dipegang-pegang trus di grepe-grepe. Wuih, serasa surut entah kemana sikap tomboynya itu. Karena nggak terima Gwen dilecehkan kayak gitu, besoknya Andrew langsung datengin tetangganya Gwen trus hajar dia habis-habisan!
            Kayaknya Andrew nggak bakalan berenti kalau Gwen nggak manggil papanya sama Pak RT waktu itu. Tetangganya Gwen yang sempat masuk rumah sakit karena babak belur kabarnya trauma dan pindah entah kemana.
            “Gwen,” panggil Andrew pelan. Gwen tersadar dari lamunannya. “Maksudnya dia ngeliatin lo, apaan?”
            “Ng … itu … dia ngeliatin gue dari atas sampai bawah terus, Ndrew ….” Gwen terpaksa jujur. Mau bohong juga percuma, Andrew udah terlanjur hapal semua kelakuan Gwen. “Trus, dia sempet … mmm … ngeliatin dada gue, sama ngedipin matanya ke gue.”
            Tangan Andrew mengepal. Tatapannya tajam, terarah lurus pada Jo. Sementara Jo hanya tersenyum sinis, dan mengalihkan pandangannya pada papan tulis.
            “Bangsat!” umpat Andrew. Cowok itu hendak berdiri, namun ditahan oleh Gwen. “Eh … Eh … Ndrew, lo mau ngapain?” tanya Gwen panik. Andrew mengerutkan keningnya dan menatap Gwen heran.
            “Gue mau nyamperin cowok itu lah, mau gue kasih peringatan!”
            Gwen menggeleng. “Aduuh … jangan deh, jangan bikin ribut. Ini ada Pak Anto loh! Nanti elo yang kena masalah.”
            “Tapi kan dia ….”
            Gwen makin mengeratkan cekalan tangannya. “Udahlah, yang penting kan dia nggak ngapa-ngapain gue. Cuman ngeliatin gue aja. Kalau dia macem-macem, baru lo bertindak.”
            Andrew terdiam. Ditatapnya Gwen yang sedang menatapnya balik dengan memelas. Andrew akhirnya mengalah dan menghela napas.
            “Kalau dia mulai berbuat yang aneh-aneh ke lo, langsung lapor ke gue! Paham?”
            Gwen mengangguk dan tersenyum.

***

Cewek itu ngadu ….
            Itulah pikiran pertama yang muncul di benak Jo. Beberapa menit yang lalu, Jo melihat cewek yang bernama Gwen itu berbicara serius dengan teman sebangkunya. Cowok tinggi berkacamata minus dengan tampang indo. Dan, Jo sempat melihat teman sebangku Gwen itu menatapnya tajam. Jadi, asumsi Jo kalau Gwen mengadu pada temannya itu memang benar.
            Siapa suruh punya tubuh oke, iya nggak? Batin Jo lagi.
            “Lo tau siapa nama cowok yang duduk sebangku sama Gwen?”
            Firman, cowok teman sebangku Jo menolah dan mengangguk. “Andrew … kenapa?”
            “Andrew siapanya Gwen?” tanya Jo lagi.
            “Sahabat … lo hati-hati aja sama Andrew. Dia nggak akan segan-segan ngehajar cowok manapun yang berani kurang ajar sama Gwen.” Firman mengingatkan. Jo tertawa kecil. “Begitu?” tantangnya.
            Andrew dan Gwen ….
            Jo manggut-manggut kayak pajangan yang ada di dashboard mobilnya. Kita liat, sepenting apa Gwen buat cowok yang bernama Andrew itu!

***

Panas matahari siang ini berhasil membuat Gwen mengipas-ngipas tubuhnya dengan buku catatan Kimia-nya. Waktu sudah menunjukan pukul dua siang, tapi Gwen harus menunda untuk pulang ke rumah karena Andrew memintanya untuk menemaninya ke toko buku. Tapi sekarang, sahabatnya itu malah ngacir ke kamar mandi. Siapa suruh makan bakso sambelnya hampir semangkok!
            Gwen menunggu Andrew di dalam kelasnya yang sudah kosong melompong. Tadi dia meminta Tiara untuk menemaninya menunggu sampai Andrew kembali ke kelas dan menjemputnya. Tapi cewek itu malah menolak dengan halus karena alasan sakit perut. FOR THE GOD’S SAKE, emang hari ini hari sakit perut nasional, ya?!
            “Hai, Gwen ….”
            Satu suara berat itu berhasil mengagetkan Gwen, dan cewek itu langsung memutar kepalanya untuk melihat si pemilik suara. Di ambang pintu, Gwen melihat si murid baru, Jo, sedang bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Senyumnya terlihat menakutkan di mata Gwen. Cewek itu langsung memasang sikap waspada.
            “Duh, tegang banget ….” Jo mulai melangkah perlahan mendekati Gwen. Gwen refleks memundurkan kakinya. “Biasa aja dong. Gue nggak gigit kok, cuman nerkam!”
            Ucapan Jo barusan berhasil membuat ketakutan Gwen keluar melewati batas maksimal. Usahanya untuk mundur terhenti karena sekarang di belakang Gwen terdapat tembok kokoh yang menghalanginya. Tadinya Gwen ingin berlari ke samping, tapi Jo lebih cepat. Cowok itu merentangkan kedua tangannya, menutupi tubuh Gwen dengan kedua tangannya dan menghalangi akses jalan keluar bagi cewek itu.
            Wajah Gwen kini pucat. Tubuhnya gemetar. Tatapannya mulai meliar. Namun Jo tidak merasa kasihan sama sekali. Jo justru menikmati ketakutan cewek di depannya ini.
            Jo mulai mengelus pipi mulus Gwen. “Gwen … Gwen … Gwen … siapa suruh lo nggak ngelirik gue sama sekali tadi. Semua cewek berebut nyari perhatian gue pas gue memperkenalkan diri gue di depan kelas, tapi lo malah asyik ngobrol sama teman semeja lo si Andrew itu!”
            Gwen berusaha keras menahan agar tangisnya tidak keluar. Kalau dia menangis sekarang, itu sama saja dia menyatakan kalau dia kalah dari Jo.
            Tangan Jo mulai mengelus leher jenjang Gwen. Gwen menelan ludah susah payah. Andrew … lo dimana?! Gue takut!
            “Jadi sekarang, lo harus rasain pembalasan dari gue!”
            Jo menahan kedua tangan Gwen dengan kuat ke dinding. Cowok itu kemudian memajukan kepalanya ke arah Gwen. Gwen ingin teriak, tapi suaranya mendadak tercekat di tenggorokan. Dia berontak sekuat tenaga agar dirinya terlepas dari cengkraman Jo, namun tenaga cowok itu lebih kuat.
            Sedikit lagi, Jo berhasil melumat bibir mungil Gwen. Namun tiba-tiba saja, bahunya diputar dengan keras dari belakang. Disusul kemudian sebuah kepalan tangan melayang dengan kencang ke wajah Jo. Jo jatuh tersungkur ke lantai dengan mulut dan hidung mengeluarkan darah. Disekanya darah itu, kemudian Jo mendongak untuk melihat siapa orang yang berani menghajarnya dan mengganggu aktivitasnya!
            Orang itu menatap sangar Jo. Sementara Jo, hanya terkekeh pelan begitu tahu siapa orang yang baru saja menghajarnya. Mata orang itu berkilat-kilat penuh amarah. Dadanya naik-turun, tanda bahwa dia berusaha meredam kuat emosinya agar tidak sepenuhnya tumpah keluar.
            “Berani lo sentuh lagi dia seujung rambut pun,” ucap orang itu penuh penekanan. “Akan gue buat lo nyesel udah pernah dilahirin ke dunia!”
***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar