“Percaya gak kalian dengan first love at first sight? Kalo gue pribadi, gak percaya. Soalnya, masa kita pertama kali liat langsung jatuh hati? Bulshit. Menurut gue, cinta itu hadir karna terbiasa ada didekatnya dan kita tau kepribadiannya. Bukan karna pertama kali ketemu. Ketahuan banget naksir karna wajahnya doang. Bukan otaknya, apalagi hati. Kalau sampai virus first love at first sight nyasar ke gue lewat cowok yang baru PERTAMA KALI gue liat, akan gue kejar tuh cowok ntuk minta obat penangkalnya. Walau harus seribu cara gue lakuin.” – Renee Patricia Pratiwi.
“Reneee....”
Teriak Luthfia Assifa pelan, teman sebangkunya selama 3 tahun dia duduk di
bangku SMA Budi Permata dan juga sahabatnya yang paling sabar. Bahkan melebihi
sabar mamanya sendiri. Membuat Renee yang ketiduran di kelas saat jam Akuntasi,
mengucek – ucek matanya yang besar dan menatap kesekelilingnya.
“Apaaa...” Renee menatap Ufi, nama panggilannya dengan
tatapan masih mengantuk.
“Lo
tidur jam berapa sih jadi tidur mulu daritadi?!” Bisik Ufi dengan suara
tajamnya dan tangan kanannya mencubit pinggang Renee pelan ketika kedua kelopak
mata temannya hendak tertutup.
“ADUH!”
sebuah respon yang sangat tak sebanding dengan apa yang terjadi membuat Ufi
pasang posisi memperhatikan pelajaran dan pasang wajah tak berdosa. Sedangkan
Renee yang melek seketika karna cubitan pinggang, cengengesan ketika Ibu Yanti,
Guru Akutansinya mendadak berhenti ceramah dan melotot kearahnya.
“Kamu
kenapa, Ren? Ketiduran?”
Renee
menginjak kaki Ufi keras dan menjawab pertanyaan gurunya tanpa mempedulikan
tatapan marah sahabatnya. “Gak dong bu. Saya kan selalu memperhatikan pelajaran
Ibu. Jadi gak mungkin deh seorang Renee ketiduran.” Sanjungnya membuat Ufi menoleh
ke arah Vivian, sahabat mereka yang kebetulan duduk di sebelahnya dan nyengir
kuda.
“Lagak
banget,” Ufi mencibir pelan dan Vivi mengangguk.
“Biarin.
Ini semua gara – gara lo yang nyubit gue,” Desisnya.
Ibu
Yanti hanya mengangguk. “Kalau begitu, kamu pasti bisa dong mengerjakan soal
seperti ini? Kan kamu bilang selalu mendengarkan apa yang ibu katakan.” Ucapnya
puas sambil menunjuk soal Akutansi yang ada di papan tulis. Berpotensi membuat
orang normal menjadi ayan seketika.
“Mampus gue,”
Renee garuk – garuk kepala. Bisa
dipastikan semua tatapan mata kearahnya sekarang. Menunggu setiap gerakannya.
Dari sudut mata, dia melirik Ufi, “Bantuin gue, Nguk,” bisiknya ketika di sudut
kanan matanya, Ibu Yanti meliriknya dengan wajah tak sabar.
Ufi
sama bingungnya, jadi dia hanya bisa berkata, “Good luck, ngek.”
“Njirrr..
Gue bunuh lo.” Desisnya dan dengan langkah kaki seperti diseret segerombolan
Sapi, dia nekat maju ke depan dengan otak kosong.
Ibu
Yanti memberikan spidolnya dan membiarkan Renee menjawabnya.
Setengah
jam berdiri bagai patung di depan papan tulis dengan wajah luas biasa berpikir
serius, akhirnya semua soal selesai juga. Dia memandang hasil “lukisan” di
papan tulis dan melirik ke arah Ibu Yanti. Siap menanti hukuman.
Ibu
Yanti geleng – geleng kepala prihatin melihat hasil jawabannya dan melirik
Renee dengan tatapan putus asa. Pusing dia sekarang. “Yasudah, kamu duduk
sana!” Perintahnya yang langsung diikutinya patuh.
“Syuutt...
gimana?” Bisik Vivi ketika dia sudah duduk disamping Ufi sambil melirik
sesekali kalau – kalau Ibu Yanti memergoki aksinya.
“Gimana
apaan? Gue kayak orang bego berdiri disitu! Ini semua salah lo, Ufi.” Ucapnya
sambil melirik sinis teman sebangkunya.
Ufi
hanya cengengesan dan dia fokus mencatat penjelasan lanjutan Ibu Yanti. “Udah
lo diam aja, Ren. Ntar disuruh maju lagi baru tauk rasa.”
Renee
hanya mencibir dan mencatat pelajarannya sambil menguap berkali – kali.
OOOO
“Gimana?
Kita kursus kan hari ini?” Tanya Ufi membuka pembicaraan setelah diam cukup
lama karna memperhatikan pelajaran. Bukan karna mereka rajin mendengarkan, Cuma
karna takut kena nahas disuruh maju ke depan.
Renee
yang kepanasan hingga kulit wajahnya yang putih pucat merona kemerahan. Mata
besarnya melirik Ufi kemudian mencibir. “Les apaan? Gue emang ada daftar les
yah?” Tanyanya dengan wajah bego.
Vivi
yang mendengar itu, hanya menepuk kepalanya. Stres sendiri. “Lo emangnya gak
nyadar kemaren kita bertiga ke Kursus Permata untuk daftar dan lo ngasih
uangnya pendaftarannya sendiri ke mbak resepsionis itu! Lo nyadaarrr gak sihhh
Ren?!!” Teriaknya sambil mengguncang – guncang tubuh sahabatnya dengan gemas.
Habis sabarnya sudah. Kalau saja dia bukan sahabatnya sejak kelas 1 SMA,
mungkin sahabatnya sekarang akan dia cincang hingga tak berwujud.
“Masa?
Kok gue gak nyadar yah? Lo berdua gak hipnotis gue kan?” Tanyanya dengan
cengiran jahil. Membuat sahabatnya gemas adalah hobinya.
Ufi
menghela napas pelan – pelan dan melirik Vivi kemudian mereka seolah paham,
melirik Renee. Tau apa yang akan diperbuatnya, Renee bangkit berdiri dari
kursinya dan lari sambil tertawa terbahak – bahak dan napas ngos – ngosan ketika
kedua sahabatnya mengejarnya. “Reneeee!!! Awas lo! Gue sumpahin amnesia beneran
baru tau rasa lo!! Njirrrrrr!!!” Gerutu Vivi sambil mengejar Renee yang semakin
nyaring tertawa.
“Hahahhaa... Aaau.. Atut guee...” Ejeknya dan semakin bernafsu kawannya mengejarnya.
“Hahahhaa... Aaau.. Atut guee...” Ejeknya dan semakin bernafsu kawannya mengejarnya.
Baginya,
tidak ada yang membahagiakan hatinya selain bisa tertawa dan berkejaran dengan
kedua sahabatnya sambil memutari lapangan sekolah. Karna, merekalah sumber
bahagianya. Dan selamanya, takkan pernah ada yang menggantikan sumber itu.
Walau pacar sekalipun.
♥ ♥
“Lo
percaya dengan cinta pandangan pertama gak, Ren? Tanya Vivi setelah mereka
bertiga terkapar di bawah pohon karna kelelahan saling berkejaran. Renee yang
sibuk mengipas – ngipas tubuhnya dengan tangan, melirik Vivi yang duduk
disebelahnya. “Kenapa lo nanya gitu?”
“Gak.
Habis diantara kita bertiga, Cuma lo aja yang gak pernah naksir cowok. Lo gak
lesbi kan?” Tuduh Vivi kejam yang membuat Renee mencubit tangannya gemas.
“Sinting
lo! kalo gue lesbian, salah satu dari kalian udah jadi pacar kalian kale!
Hahahahahaa...” Tawanya meledak ketika melihat kedua temannya saling
berpandangan lalu menatapnya ngeri.
“Ogah
gue pacaran sama lo. bikin ubanan dini!” Jawab Ufi yang sedari tadi diam dengan
ketus.
“Apalagi
gue, bisa mati berdiri kalo lo pacaran sama gue!” Imbuh Vivi sambil memasang
wajah jijiknya.
“Gue
juga ogah pacaran sama salah satu dari kita. Bikin gila! Hahhaa... Balik ke
topik awal, gue gak percaya ma cinta pertama, Vi. Kenapa?”
“Lo
gak percaya? Parah lo! pantesan gak punya pacar sampai saat ini.” Jawab Ufi
kaget dengan jawaban polos sahabatnya.
“Emang
benar kok. karna bagi gue, cinta itu bukan kita pertama kali liat langsung
gimanaa gitu.. cinta itu adalah kita menjalaninya dalam bentuk pertemanan terus
kita menerima sifat baik dan buruknya dan menerima semuanya itu. Kalo misalnya
lo liat cowok ganteng dan lo sudah klepek – klepek kayak ikan mas terus kalian sempat
basa - basi bentar doang setelah itu lo bisikin ke gue “Gue rasa, dia cinta
pertama gue. Buktinya, pertama liat semua fokus dunia gue hanya ke dia doang.”
Lo akan mendapatkan bonus toyoran kepala dari gue.”
“Gak
ngerti gue sama teori lo. menurut buku psikologi yang pernah gue baca, hampir
50% ke atas, cewek lebih mudah jatuh
cinta pada pandangan daripada cowok.” Vivi mulai memaparkan hasil penelitian
dari sebuah buku Psikologi entah dari
ilmuan mana, siapa pencetusnya, yang penting ngomong dulu.
“Dari
penampilannya kan? Lagipula, buku hanya teori, belum tentu hasil sebenarnya
berkata gitu. Contohnya gue. Gue gak percaya sama cinta pertama. Lo berdua
boleh nuntut gue habis – habisan kalau sampai dalam waktu kurang dari seminggu
gue akan ngomong “Gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia.” Ucapnya
penuh yakin.
“Serius
nih? Lo sering kejebak ama omongan sendiri loh, Ren.” Ucap Ufi mengingatkan.
“Gue
serius, bebeb Ufi.”
“Entah
kenapa, Feel gue ngomong kalo omongan lo gak akan berlaku lagi dalam waktu
kurang dari 24 jam.” Vivi tersenyum miring dan menatap Renee yang merengut.
“Maksud
lo gue akan jilat ludah sendiri dalam waktu kurang 24 jam gitu? Gue yakin,
omongan gue kali ini tahan lama deh. buktinya, lo berdua gak pernah dengar gue
klepek – klepek sama cowok yang baru kenal kan?” Renee menyampaikan
argumentasinya dengan wajah meyakinkan dan matanya yang melotot. Siapapun yang
gak kebal, dijamin akan mengangguk takut – takut tanpa melirik mata besarnya
yang menakutkan.
“Iya
sih... ah... pokoknya lo meragukan deh, Ren.” Putus Vivi dengan mata tak kalah
melototnya. Membuat Ufi buru – buru menenangkan situasi. “Udahlah... jangan
diributin lagi. Mending masuk kelas. Bel udah bunyi tuh.” Ucapnya tepat bunyi
bel masuk terdengar nyaring.
Renee
nyengir kuda dan melirik mereka berdua. “Siap?”
Sebelum
ucapan Reenee tercerna sempurna oleh mereka yang berkerut kening, Renee
mengambil langkah seribu. Membuatnya kedua sahabatnya berteriak dan
memanggilnya diikuti sumpah serapah yang akan kelar ketika mereka sudah berada
di depan pintu kelas.
(Aura
divone – friends)
♥ ♥
“Akhirnya...
pulang jugaa...” Renee menengadahkan wajahnya penuh ekspresi lega ketika mata
pelajaran terakhir sudah selesai. Dia melirik jam tangan hitam pemberian hadiah
ulang tahun Vivi dan jarum panjangnya menunjukkan pukul 12.00. masih ada waktu
untuk istirahat, pikirnya. Renee menengadahkan wajahnya hingga menyentuh meja
di belakangnya dan matanya menatap langit – langit kelas yang menjadi lahan
luas untuk para laba – laba membangun istananya sendiri. Pembicaraan tadi siang
dengan kedua sahabatnya tak urung membuatnya berpikir. “18 tahun gue hidup
di Bumi yang tua ini, kenapa gue gak pernah pacaran yah? Boro – boro pacaran, jatuh cinta aja gue
gak pernah. Gue kan pengen ngerasain jatuh cinta, apalagi pacaran yang katanya
sebagai penghias masa remaja. Kalo gue gak ngalamin itu, kasihan banget masa
remaja gue yang datar aja kayak air tenang. Gak ada riak apalagi gelombang. Oh
my...Tapi, gimana gue bisa merasakan dua hal itu kalo gue aja gak percaya sama
first sight? Tapi... emangnya harus?”
“Lama – lama
leher lo bakal patah Ren kalo kayak gitu terus,” Suara Ufi memperingatkan
membuat lamunan akan masa remajanya yang berakhir menyedihkan dan konfilik yang
dia buat sendiri. Dia mengubah posisi tubuhnya tegak dan menatap Ufi yang siap – siap mau keluar
kelas dan mejanya sudah rapi sekarang. “Pulang?”
“Gak.. gue mau jalan dulu sama Nico. Udah seminggu gak jalan. Bye...” Pamitnya dan Renee sempat melihat binar bahagia yang sering dia lihat di film – film romantis di mata sahabatnya. “Satu lagi yang bikin gue merasa hidup gue bakalan berakhir tragis adalah melihat binar cinta di mata sahabat gue . sedangkan binar mata gue penuh dengan melarat.” Dan dia menatap Ufi yang sibuk memainkan ponselnya dengan wajah merona. “wajar aja sih, Ufi biar kulitnya item, tapi wajahnya cantik dan manis khas gadis jawa, tipe muka innocent, baik, gak galak kayak gue, penyabar, modis, gak kayak gue. Amburadul. Pantes aja cowok seganteng dan sebaik Nico kelelep dengan Ufi.” Keluhnya dalam hati.
“Gak.. gue mau jalan dulu sama Nico. Udah seminggu gak jalan. Bye...” Pamitnya dan Renee sempat melihat binar bahagia yang sering dia lihat di film – film romantis di mata sahabatnya. “Satu lagi yang bikin gue merasa hidup gue bakalan berakhir tragis adalah melihat binar cinta di mata sahabat gue . sedangkan binar mata gue penuh dengan melarat.” Dan dia menatap Ufi yang sibuk memainkan ponselnya dengan wajah merona. “wajar aja sih, Ufi biar kulitnya item, tapi wajahnya cantik dan manis khas gadis jawa, tipe muka innocent, baik, gak galak kayak gue, penyabar, modis, gak kayak gue. Amburadul. Pantes aja cowok seganteng dan sebaik Nico kelelep dengan Ufi.” Keluhnya dalam hati.
“Lo
kenapa Ren?” Ufi melambaikan tangannya di depan Renee. Membuatnya tersadar dan
mengerjapkan matanya.
“Gak
apa – apa. Ke tempat kursus jam berapa?”
“Jam
4 sore kan mulainya? Ntar gue jemput deh jam 3 sore. Gue bentar aja kok jalan
ma Nico. Mau lepas kangen.”Ucapnya dengan nada bahagia. Kemudian melirik Renee
yang tanpa ekspresi. “Makanya Ren, punya pacar dong. lo akan merasakan apa yang
gue dan Vivi rasain ketika bersama cowok yang disayangi. Lo sih, punya prinsip
aneh – aneh aja.”
“Bukan
aneh – aneh kok. tapi emang bener kan? When you meet someone, don’t look by the cover. But, see what his or her have.
Especially boy.”
“Lo
omong gitu kayak trauma sama cinta pada pandangan pertama aja.”
“Bukannya
trauma, gue belajar dari curhatan teman – teman gue yang ketipu pesona luarnya
cowok tanpa melihat apa dia punya jauh dari diharapkan.” Renee mengeluarkan
petuah andalannya dan membuat Ufi nyerah.
“Berdebat
sama lo gak ada gunanya. Gue cabut dulu yah. Bye.” Ufi keluar kelas dengan
langkah anggun. Dan sempat dilihatnya, beberapa cowok menoleh kagum ke arahnya.
Sebersit perasaan iri terlintas. Namun ditepisnya cepat – cepat.“Kayaknya gue
perlu pake susuk emas made in Ki Joko Bodo deh biar semua cowok lirik ke gue.”
Ucapnya ngawur dan memutuskan berjalan keluar kelas, sambil sesekali menyapa
para cowok yang masih betah berdiri bak patung Singa penjaga di depan kelas dan
tersenyum manis. Lalu berjalan ke parkiran tempat sepedanya teparkir untuk
pulang kerumah.
♥ ♥
Renee
mengayuh sepedanya pelan dan menikmati segarnya udara dingin daerah Bandung
yang belum terkontaminasi dengan asap – asap kendaraan bermotor. Dia berputar –
putar sebelum memasuki komplek rumahnya.
Renee
menyebar senyum kepada siapa saja yang dia temui. Baik kenal atau tidak. Yang
penting dia senyum. Sesekali mulut kecilnya menyapa beberapa orang yang dia
kenal dan berhenti sebentar untuk mengobrol basa – basi.
“I’m
home...”
Teriaknya ketika tiba di depan pagar. Tidak mendengar sahutan, dia membuka
tasnya dan mengambil kunci rumah untuk membuka pagarnya yang tergembok. Setelah
selesai, dia bergegas masuk untuk membuka pintu rumah dengan kunci yang dia
bawa dan segera masuk.
Sepi...
yah... sejak papahnya pergi tanpa alasan 5 tahun yang lalu, hanya dia dan
mamanya saja yang tinggal dirumah yang lumayan besar untuk tinggal berdua.
Mamanya yang bekerja sebagai Kepala Cabang di sebuah Bank Swasta, tak cukup waktu untuk memperhatikannya. Sampai
saat ini, dia berusaha memahami kesibukan mamanya dengan ikut – ikutan sibuk
agar tidak merasa kesepian di rumah sendiri.
“Untung
Mpok Sinta udah masakin makanan. Jadi tinggal makan aja gue,” Ucapnya penuh
syukur ketika membuka tudung saji, dia melihat lauk – pauk dari pembantunya,
Mpok Sinta sudah disiapkan. Dia menyiapkan peralatan makannya sendiri dan duduk
untuk menikmati makannya.
Asyik
– asyiknya menikmati sarapan siangnya, tiba – tiba terdengar suara Pink –
Family Portrait dari dalam tasnya. Buru – buru dia membuka tasnya untuk
mengambil ponselnya kemudian berkerut kening karna tak biasanya mamanya
menelpon. “Halo...”
“Kamu
dimana?” Mamanya langsung bertanya tanpa kata pembuka apalagi sapaan.
“Di
rumah. Lagi makan. Kenapa ma?”
“Mama
hari ini berangkat ke Surabaya selama seminggu. Jadi uang saku sudah mama taruh
di kamar dan Mpok Sinta akan temanin kamu selama mama tidak ada. Gak papa kan?”
“Pergi
lagi deh. serasa terbuang gue,”
“Gak papa kok
ma. Hati – hati yah ma,” Ucapnya tulus dan sebagai balasannya, telpon langsung
dimatikan mamanya tanpa ada ucapan selamat tinggal.
Renee
memandang ponselnya dan meletakkannya disamping. Kemudian dia melanjutkan makan
dengan air mata yang menetes.
Tiba
– tiba ponselnya berbunyi nyaring dengan nada yang lain, seolah mengenal siapa
yang menelponnya, dia menghapus air matanya, meminum air di sampingnya dan
mengangkat telponnya. “Hai nguk... ada apa?”
“Lo
dimana?”
“Lagi
makan siang dirumah. Kenapa?”
“Gue
ama Vivi ke rumah yah. Jadi langsung bareng ke tempat kursus. Suara lo kenapa?
Lo habis nangis yah?’Tebak Ufi yang tak bisa mendengar sedikitpun perubahan
suara sahabatnya di telpon. Mungkin karna lamanya mereka bersahabat, membuatnya
bisa mengenali kepribadian labil Renee. Luar dalam.
“Gak kok. lo nya aja yang terlalu sensi. Lo sekarang dimana? Elaknya sambil mencoba mengalihkan pembicaraan. Bukannya dia tak percaya, hanya saja dia tak ingin sahabatnya tau betapa hancur keluarganya sekarang. Prinsipnya, hanya dirinya sendiri yang tau bagaimana masalah keluarganya sekarang. Orang lain hanya boleh tau masalah hatinya saja.
Ufi
menghela napas. Dia tau Renee sedang berbohong entah ke berapa ribu kali
padanya. Karna sahabatnya yang satu ini tidak berbakat dalam akting membohongi
orang. “Lagi di rumah Vivi. Oke deh. kami on the way yah.”
“Sip...”
“Ren...”
Panggilnya sebelum menutup telpon.
“Apa
Fi?”
“Lo
kalo ada masalah, curhat sama kami yah. Jangan dipendam. Gue tau lo paling gak
pandai dalam membohongi orang, apalagi kami. Ok?” Ucapnya dengan nada pelan dan
lembut cukup membuat Renee terdiam.
“Lo
ngomong apaan sih? Gue gak papa kok. Suer deh. udah dulu yah, gue mau lanjutin
makan nih. Lapar. Bye...” Ucapnya sambil tertawa dan mematikan telpon.
“Renee
kenapa?” Tanya Vivi ketika melihat sahabatnya baru saja selesai menelpon.
“Gak
papa kok. suara dia kayak selesai nangis gitu. Jadi gue khawatir aja. Pas gue
tanyain, dia bilang gak papa. Ada apa yah? Apa masalah mamanya lagi?” Ufi
memberondong temannya dengan pertanyaan. Membuat Vivi mengangkat bahu.
“Gue
gak tau. Kita sebagai sahabatnya diem aja, Fi. Nanti dia bisa cerita sendiri
kok apa yang dia rasain. Justru semakin lo kayak gini, dia semakin menutup
diri. Lo kayak gak tau Renee aja yang selalu menutup bibir rapat – rapat
tentang keluarganya yang broken. Walaupun fakta mengatakan iya.” Vivi
menjelaskan panjang lebar dan membuat Ufi terdiam.
“Iya
sih... udah yuk. Kita berangkat. Kasian tuan putri galau yang anti cinta
pandangan pertama lumutan nungguin kita,” Putusnya sambil menarik Vivi keluar
kamar untuk segera ke rumah Renee.
♥
♥
“Gue
siaaappppp....” Teriak Renee sambil berlari keluar rumah ketika melihat
sahabatnya berdiri di depan pagar rumahnya. Dengan tas ransel yang melekat
seperti cangkang Kura – Kura di punggungnya, baju kaos dan celana jins
serta sepatu kets. Dia siap.
“Yakin
gak dandan dulu nih? Tebar pesona gituh...” Canda Vivi sambil masuk dalam
rumahnya tanpa dipersilahkan.
“Ngapain?
Gue kan niatnya belajar bukannya nyari cinta instan disitu. Udah, yuk.”
“Cinta
instan, kata lo?” Ufi tertawa mendengarnya. “Ntar kalo lo liat yang cakep
disana, nyesal loh... udah kami tungguin deh, lo dandan deh. apa gitu yang
perlu ditambahin biar dilirik gitu.” Mereka mendorong Renee masuk dalam rumah
dan mendudukkannya di meja rias kamarnya. Namun Renee berdiri dan menatap
garang ke arah mereka yang cengengesan.
“Lo
pada kenapa sih?! Ayoooo...” Dia menarik kedua temannya keluar dari kamarnya
karna dia merasa hampir telat. Dan kedua temannya hanya pasrah diseret hingga
keluar rumah dan membiarkannya mengunci pintu rumahdan mengambil sepeda
motornya untuk pergi ke tempat les beriringan dengan mereka.
♥
♥
“Coba
lo liat ke arah jam 12, duileee... tuh cowok cupu, mamen! Untung gue gak
dandan,” Bisik Renee ketika tiba di parkiran tempat les dan melihat seorang
cowok cupu yang entah berpakaian ala tahun 80-an kebawah itu sedang duduk di
sudut sambil membaca buku dan sesekali membetulkan letak kacamatanya yang
terlalu besar untuk bentuk wajahnya itu. Membuatnya merinding.
“Emang apa hubungannya lo gak dandan dengan tuh cowok cupu?” Ufi bertanya dan melirik cowok itu.
“Emang apa hubungannya lo gak dandan dengan tuh cowok cupu?” Ufi bertanya dan melirik cowok itu.
“Ntar
kalau dia liat gue, naksir lagi.” Dia menjawab dengan nada PD yang sangat
berlebihan. Ekspresi sahabatnya langsung pura – pura muntah.
“Itu
kan tipe lo, Ren. Suka cowok pake kacamata.” Ejek Vivi yang memarkir motor disebelahnya
dan melirik ke objek tatapan sahabat sintingnya itu.
Renee
memasang wajah ngeri. “Tipe gue gak kayak gitu, Vi! Ngaco lo! itu kan tipe
cowok lo!” Ejeknya dan tertawa melihatnya manyun.
“Sejak
kapan itu jadi tipe gue?” Vivi balik bertanya dan menggelitiki pinggangnya.
Tawanya langsung melengking nyaring seperti nenek lampir. Membuatnya jadi pusat
perhatian seketika.
“Ud...dah
Vi... amp...pun...” Ucapnya dengan napas terengah – engah. Gelitikan sahabatnya
seperti digelitik oleh seribu tangan yang tak terlihat.
“Masuk,
yuk.” Ufi langsung menarik tangan Renee untuk masuk ketika dilihat wajah
sahabatnya itu memasang ancang – ancang untuk balas dendam.
♥
♥
“Tuh
kan, apa gue bilang, cowoknya cupu – cupu semua. Gak ada yang menarik hati
gue.” Bisiknya pada kedua sahabatnya ketika mereka sibuk mencari kelas dengan
wajah celingak celinguk.
“Syuuttt..”
Ufi memberi isyarat diam dan berhenti di ruangan 03. Ruangan kursus mereka. Dan
menatap Renee yang matanya melirik setiap cowok – cowok yang keluar masuk ruangan
lain dengan tatapan menilai. Kemudian mengernyit.
“Ancur
tuh selera cowok. Masa celana jins warna merah, bajunya warna hijau? Kayak
lampu lalu lintas berjalan aja.” Bisiknya pada Vivi yang mengangguk setuju.
Ufi
menghela napas. Harus ada yang menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelum
menghabiskan waktu untuk menilai penampilan cowok yang tak ada habisnya di
depan pintu, dengan sigap dia menarik mereka berdua untuk masuk.
“Maaf,
bu, kami telat.” Dia menunduk malu karna telat masuk ruangan. Padahal murid
baru. Guru itu hanya tersenyum dan mempersilahkan duduk.
Ruangan
yang sempit, dengan kursi seperti anak kuliahan, papan tulis yang besarnya
ampun – ampunan, serta lemari khusus meletakkan helm tepat disamping dia
berdiri sekarang akan menjadi tempat belajar tambahan mereka selama setahun
untuk menyiapkan diri menghadapi UAN yang semakin menggila. Renee dan teman –
temannya duduk di belakang dekat pintu dan memperhatikan penjelasan guru yang
sempat terputus.
Bosan,
dia melirik di sekelilingnya dan melihat teman – teman barunya yang tak dikenal
sambil sesekali mencatat penjelasan guru tentang akutansi yang membuat otaknya
seperti neraca.
Tiba
– tiba, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Dia menoleh ke belakang dan
terdiam sejenak.
Seorang
cowok dengan tinggi hampir 170 cm, lebih tinggi darinya, berdiri di
belakangnya, memakai baju kaos, tas ransel di pundak, dan wajah tertutup helm.
Terlihat seperti astronot yang sedang berjalan di bulan. Ketika dia melepas
helmnya, wajahnya membuatnya tertarik hingga lehernya hampir putus karna
terlalu berputar. Hidung agak mancung, tatapan mata ramah yang dibingkai oleh
kacamata, rambut acak – acakan dan kulitnya putih, sempat melirik ke arahnya
dan tersenyum, lesung pipi sebelah kiri terlihat dalam. Renee langsung
membalasnya dengan kikuk. Membuatnya entah kenapa, tak bisa melepaskan tatapan
matanya sampai cowok itu duduk 2 baris depan darinya sekarang.
“Tuh
cowok siapa namanya yah? Kenapa gue jadi terpana gini?”
Seolah
gurunya bisa bertelapati atau membaca niatnya paling dalam, tiba – tiba berseru
nyaring hingga jantungnya hampir copot. “Nah... semuanya, mari kita saling
berkenalan. Kan gak lucu kalau satu kelas tapi gak tau satu sama lain, dimulai
dari...” Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan tatapan jenaka, lalu
menunjuk cowok yang diliriknya tadi. “Kamu.” Serunya dengan nada riang. Seolah
– olah sedang menunjuknya untuk giliran lompat tali.
Cowok
itu, entah siapa namanya, membuat Renee duduk tegak dan mendengarkan sangat
serius. Membuat kedua sahabatnya bingung . “Nama saya,” Dia mengedarkan
pandangan ke sekeliling, hingga bertatapan dengannya dan tersenyum. “Radith Dewantra,
dipanggil Adith, Dari SMA 01 Bandung.” Jelasnya dan guru itu mengangguk.
“Ok
Adith, sekarang tunjuk lagi siapa yang kamu ingin tau,” dan Adith, mengedar
pandangannya dan menunjuk Renee yang asyik menatapnya tanpa kedip. “Dia.”
Tunjuknya. Membuat Renee melongo dan menunjuk dirinya sendiri.
“gue?”
Bisiknya bloon sambil melirik kedua temannya.
“Ok,
gadis manis berbaju merah, berambut pendek, silahkan perkenalkan dirimu.”
Renee
berdiri sambil menggaruk kepala. Matanya melirik panik kepada dua temannya yang
hanya menatap seolah berkata sabar yah. Dia menghela napas. Jantungnya
kebat – kebit karna tak bisa ngomong di depan umum. Lututnya terasa menjadi air
ketika semua tatapan tertuju padanya. Termasuk cowok itu.
“Nama
saya, Renee Patricia Pratiwi, dipanggil Renee,”
“Atau
Enee.” Sambung Ufi pelan dengan cekikikan. Membuatnya harus menginjak kaki
sahabatnya itu keras – keras. “dari SMA Budi Permata.”
Ibu
guru itu mangut – mangut. “Oke, ada yang mau bertanya lagi? Hobi misalnya, atau
ekskul apa yang dia ikuti, apapun itu. Biar saling kenal. Merekat kayak
keluarga besar.”
Moga
gak ada, moga gak ada, awas ada! Gue tabok!”
Renee
bersyukur karna gak ada yang bertanya lebih lanjut tentangnya dan dia
sendiripun malas menceritakan dirinya sendiri lebih rinci. Lalu dia
dipersilahkan duduk dan menunjuk siapa lagi yang ingin dia kenal, lalu di
menunjuk gadis bertubuh mungil dengan wajah agak- agak arab yang dia tau
namanya adalah Musdalifah, dipanggil Puput.
Perkenalan
pun memakan waktu satu jam. Dia hampir bisa mengingat semua nama teman
sekelasnya, namun tentu saja yang paling dia ingat adalah si Adit. Cowok yang
bikin jantungnya berdegup marathon. Dan selama itu pula, jantungnya selalu
berdegup kencang bila melihat punggung Adith yang tegap itu.
“Ren...”
Bisik Ufi. Membuatnya kaget karna lamunannya pecah.
“Apa?”
“Udah
pulangan. Lo mau nginap disini? Ngelamun mulu sih.”
“Pulang?
Oh,,, iya.. iya...” dia gelagapan mencari tasnya dan langsung berdiri. “Aduh!”
Teriaknya karna kaki kanannya terbentur kursi.
“Lo kenapa, Ren? Kelabakan sendiri? Gak biasanya deh.” Vivi bingung melihat temannya seperti ini. Tak biasanya.
“Lo kenapa, Ren? Kelabakan sendiri? Gak biasanya deh.” Vivi bingung melihat temannya seperti ini. Tak biasanya.
“Gak
papa. Gue duluan yah.” Dia berlari keluar kelas dan meningalkan teman –
temannya yang melongo melihat kepergiannya dan saling angkat bahu.
“Hai...
Lo Renee, kan?” Tanyanya ketika dia duduk di atas kendaraannya. Dia menoleh ke
samping dan kaget karna kendaraan dia bersebelahan dengannya.
“Hai
juga. Lo gak mungkin lupa, kan? kan kita baru aja kenalan karna lo nunjuk gue.”
Jawabnya dengan senyum.
Adith
menggarukkan kepalanya dan tersenyum. Dia bisa melihat wajahnya lebih dekat,
bahkan label Levi’s dari gagang kacamatanya pun terlihat jelas. Jantungya
serasa ingin loncat dan ngumpet dalam tas saking gugupnya.”Ren,” Panggilnya
sampai mengibas – ngibaskan tangan di depannya ketika melihat Renee melamun.
Membuatnya kaget. “Gue duluan dulu, yah.” Adith pamit dan menjalankan motornya
meninggalkannya yang senyum – senyum sendiri.
“Ciieeee...
yang deketan ama Radith. Katanya semua cowok disini cupu , gak ganteng, gaya
bapak – bapak taun 70-an,” Ejek Vivi ketika melihat wajah Renee memerah malu.
“Namanya Radith kan?” Dia bertanya dengan nada bloon. Kedua sahabatnya bingung.
“Namanya Radith kan?” Dia bertanya dengan nada bloon. Kedua sahabatnya bingung.
“Gue,
jatuh cinta deh kayaknya sama dia.” Dia menjawab sambil tersenyum sendiri.
Membuat kedua temannya saling melirik dan...
“WHAT?!
LO JATUH CINTA SAMA DIA, REN?!” Teriak Ufi keras dan dia hanya mengangguk malu.
“well,
adith, gue akan kejar lo sampai ujung dunia karna bikin gue jumpalitan kayak
gini.” Tekad Renee dalam hati. Semua ide konyol hadir di otaknya. Menunggu
untuk dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar