Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Ku Curi Hatimu dengan 1000 cara Part 1 - Kamu.


          
“Percaya gak kalian dengan first love at first sight?  Kalo gue pribadi, gak percaya. Soalnya, masa kita pertama kali liat langsung jatuh hati? Bulshit. Menurut gue, cinta itu hadir karna terbiasa ada didekatnya dan kita tau kepribadiannya. Bukan karna pertama kali ketemu. Ketahuan banget naksir karna wajahnya doang. Bukan otaknya, apalagi hati. Kalau sampai virus first love at first sight nyasar ke gue lewat cowok yang baru PERTAMA KALI gue liat, akan gue kejar tuh cowok ntuk minta obat penangkalnya. Walau harus seribu cara gue lakuin.” – Renee Patricia Pratiwi.

            “Reneee....” Teriak Luthfia Assifa pelan, teman sebangkunya selama 3 tahun dia duduk di bangku SMA Budi Permata dan juga sahabatnya yang paling sabar. Bahkan melebihi sabar mamanya sendiri. Membuat Renee yang ketiduran di kelas saat jam Akuntasi, mengucek – ucek matanya yang besar dan menatap kesekelilingnya.
            “Apaaa...”  Renee menatap Ufi, nama panggilannya dengan tatapan masih mengantuk.
            “Lo tidur jam berapa sih jadi tidur mulu daritadi?!” Bisik Ufi dengan suara tajamnya dan tangan kanannya mencubit pinggang Renee pelan ketika kedua kelopak mata temannya hendak tertutup.
            “ADUH!” sebuah respon yang sangat tak sebanding dengan apa yang terjadi membuat Ufi pasang posisi memperhatikan pelajaran dan pasang wajah tak berdosa. Sedangkan Renee yang melek seketika karna cubitan pinggang, cengengesan ketika Ibu Yanti, Guru Akutansinya mendadak berhenti ceramah dan melotot kearahnya.
            “Kamu kenapa, Ren? Ketiduran?”
            Renee menginjak kaki Ufi keras dan menjawab pertanyaan gurunya tanpa mempedulikan tatapan marah sahabatnya. “Gak dong bu. Saya kan selalu memperhatikan pelajaran Ibu. Jadi gak mungkin deh seorang Renee ketiduran.” Sanjungnya membuat Ufi menoleh ke arah Vivian, sahabat mereka yang kebetulan duduk di sebelahnya dan nyengir kuda.
            “Lagak banget,” Ufi mencibir pelan dan Vivi mengangguk.
            “Biarin. Ini semua gara – gara lo yang nyubit gue,” Desisnya.
            Ibu Yanti hanya mengangguk. “Kalau begitu, kamu pasti bisa dong mengerjakan soal seperti ini? Kan kamu bilang selalu mendengarkan apa yang ibu katakan.” Ucapnya puas sambil menunjuk soal Akutansi yang ada di papan tulis. Berpotensi membuat orang normal menjadi ayan seketika.
            “Mampus gue,”
            Renee garuk – garuk kepala. Bisa dipastikan semua tatapan mata kearahnya sekarang. Menunggu setiap gerakannya. Dari sudut mata, dia melirik Ufi, “Bantuin gue, Nguk,” bisiknya ketika di sudut kanan matanya, Ibu Yanti meliriknya dengan wajah tak sabar.
            Ufi sama bingungnya, jadi dia hanya bisa berkata, “Good luck, ngek.”
            “Njirrr.. Gue bunuh lo.” Desisnya dan dengan langkah kaki seperti diseret segerombolan Sapi, dia nekat maju ke depan dengan otak kosong.
            Ibu Yanti memberikan spidolnya dan membiarkan Renee menjawabnya.


            Setengah jam berdiri bagai patung di depan papan tulis dengan wajah luas biasa berpikir serius, akhirnya semua soal selesai juga. Dia memandang hasil “lukisan” di papan tulis dan melirik ke arah Ibu Yanti. Siap menanti hukuman.
            Ibu Yanti geleng – geleng kepala prihatin melihat hasil jawabannya dan melirik Renee dengan tatapan putus asa. Pusing dia sekarang. “Yasudah, kamu duduk sana!” Perintahnya yang langsung diikutinya patuh.
            “Syuutt... gimana?” Bisik Vivi ketika dia sudah duduk disamping Ufi sambil melirik sesekali kalau – kalau Ibu Yanti memergoki aksinya.
            “Gimana apaan? Gue kayak orang bego berdiri disitu! Ini semua salah lo, Ufi.” Ucapnya sambil melirik sinis teman sebangkunya.
            Ufi hanya cengengesan dan dia fokus mencatat penjelasan lanjutan Ibu Yanti. “Udah lo diam aja, Ren. Ntar disuruh maju lagi baru tauk rasa.”
            Renee hanya mencibir dan mencatat pelajarannya sambil menguap berkali – kali.

OOOO

            “Gimana? Kita kursus kan hari ini?” Tanya Ufi membuka pembicaraan setelah diam cukup lama karna memperhatikan pelajaran. Bukan karna mereka rajin mendengarkan, Cuma karna takut kena nahas disuruh maju ke depan.
            Renee yang kepanasan hingga kulit wajahnya yang putih pucat merona kemerahan. Mata besarnya melirik Ufi kemudian mencibir. “Les apaan? Gue emang ada daftar les yah?” Tanyanya dengan wajah bego.
            Vivi yang mendengar itu, hanya menepuk kepalanya. Stres sendiri. “Lo emangnya gak nyadar kemaren kita bertiga ke Kursus Permata untuk daftar dan lo ngasih uangnya pendaftarannya sendiri ke mbak resepsionis itu! Lo nyadaarrr gak sihhh Ren?!!” Teriaknya sambil mengguncang – guncang tubuh sahabatnya dengan gemas. Habis sabarnya sudah. Kalau saja dia bukan sahabatnya sejak kelas 1 SMA, mungkin sahabatnya sekarang akan dia cincang hingga tak berwujud.
            “Masa? Kok gue gak nyadar yah? Lo berdua gak hipnotis gue kan?” Tanyanya dengan cengiran jahil. Membuat sahabatnya gemas adalah hobinya.
            Ufi menghela napas pelan – pelan dan melirik Vivi kemudian mereka seolah paham, melirik Renee. Tau apa yang akan diperbuatnya, Renee bangkit berdiri dari kursinya dan lari sambil tertawa terbahak – bahak dan napas ngos – ngosan ketika kedua sahabatnya mengejarnya. “Reneeee!!! Awas lo! Gue sumpahin amnesia beneran baru tau rasa lo!! Njirrrrrr!!!” Gerutu Vivi sambil mengejar Renee yang semakin nyaring tertawa.
            “Hahahhaa... Aaau.. Atut guee...” Ejeknya dan semakin bernafsu kawannya mengejarnya.

            Baginya, tidak ada yang membahagiakan hatinya selain bisa tertawa dan berkejaran dengan kedua sahabatnya sambil memutari lapangan sekolah. Karna, merekalah sumber bahagianya. Dan selamanya, takkan pernah ada yang menggantikan sumber itu. Walau pacar sekalipun.

♥ ♥

            “Lo percaya dengan cinta pandangan pertama gak, Ren? Tanya Vivi setelah mereka bertiga terkapar di bawah pohon karna kelelahan saling berkejaran. Renee yang sibuk mengipas – ngipas tubuhnya dengan tangan, melirik Vivi yang duduk disebelahnya. “Kenapa lo nanya gitu?”
            “Gak. Habis diantara kita bertiga, Cuma lo aja yang gak pernah naksir cowok. Lo gak lesbi kan?” Tuduh Vivi kejam yang membuat Renee mencubit tangannya gemas.
            “Sinting lo! kalo gue lesbian, salah satu dari kalian udah jadi pacar kalian kale! Hahahahahaa...” Tawanya meledak ketika melihat kedua temannya saling berpandangan lalu menatapnya ngeri.
            “Ogah gue pacaran sama lo. bikin ubanan dini!” Jawab Ufi yang sedari tadi diam dengan ketus.               
            “Apalagi gue, bisa mati berdiri kalo lo pacaran sama gue!” Imbuh Vivi sambil memasang wajah jijiknya.
            “Gue juga ogah pacaran sama salah satu dari kita. Bikin gila! Hahhaa... Balik ke topik awal, gue gak percaya ma cinta pertama, Vi. Kenapa?”
            “Lo gak percaya? Parah lo! pantesan gak punya pacar sampai saat ini.” Jawab Ufi kaget dengan jawaban polos sahabatnya.
            “Emang benar kok. karna bagi gue, cinta itu bukan kita pertama kali liat langsung gimanaa gitu.. cinta itu adalah kita menjalaninya dalam bentuk pertemanan terus kita menerima sifat baik dan buruknya dan menerima semuanya itu. Kalo misalnya lo liat cowok ganteng dan lo sudah klepek – klepek kayak ikan mas terus kalian sempat basa - basi bentar doang setelah itu lo bisikin ke gue “Gue rasa, dia cinta pertama gue. Buktinya, pertama liat semua fokus dunia gue hanya ke dia doang.” Lo akan mendapatkan bonus toyoran kepala dari gue.”
            “Gak ngerti gue sama teori lo. menurut buku psikologi yang pernah gue baca, hampir 50%  ke atas, cewek lebih mudah jatuh cinta pada pandangan daripada cowok.” Vivi mulai memaparkan hasil penelitian dari sebuah buku Psikologi  entah dari ilmuan mana, siapa pencetusnya, yang penting ngomong dulu.
            “Dari penampilannya kan? Lagipula, buku hanya teori, belum tentu hasil sebenarnya berkata gitu. Contohnya gue. Gue gak percaya sama cinta pertama. Lo berdua boleh nuntut gue habis – habisan kalau sampai dalam waktu kurang dari seminggu gue akan ngomong “Gue jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia.” Ucapnya penuh yakin.
            “Serius nih? Lo sering kejebak ama omongan sendiri loh, Ren.” Ucap Ufi mengingatkan.
            “Gue serius, bebeb Ufi.”
            “Entah kenapa, Feel gue ngomong kalo omongan lo gak akan berlaku lagi dalam waktu kurang dari 24 jam.” Vivi tersenyum miring dan menatap Renee yang merengut.
            “Maksud lo gue akan jilat ludah sendiri dalam waktu kurang 24 jam gitu? Gue yakin, omongan gue kali ini tahan lama deh. buktinya, lo berdua gak pernah dengar gue klepek – klepek sama cowok yang baru kenal kan?” Renee menyampaikan argumentasinya dengan wajah meyakinkan dan matanya yang melotot. Siapapun yang gak kebal, dijamin akan mengangguk takut – takut tanpa melirik mata besarnya yang menakutkan.
            “Iya sih... ah... pokoknya lo meragukan deh, Ren.” Putus Vivi dengan mata tak kalah melototnya. Membuat Ufi buru – buru menenangkan situasi. “Udahlah... jangan diributin lagi. Mending masuk kelas. Bel udah bunyi tuh.” Ucapnya tepat bunyi bel masuk terdengar nyaring.
            Renee nyengir kuda dan melirik mereka berdua. “Siap?”
            Sebelum ucapan Reenee tercerna sempurna oleh mereka yang berkerut kening, Renee mengambil langkah seribu. Membuatnya kedua sahabatnya berteriak dan memanggilnya diikuti sumpah serapah yang akan kelar ketika mereka sudah berada di depan pintu kelas.
 (Aura divone – friends)
♥ ♥

            “Akhirnya... pulang jugaa...” Renee menengadahkan wajahnya penuh ekspresi lega ketika mata pelajaran terakhir sudah selesai. Dia melirik jam tangan hitam pemberian hadiah ulang tahun Vivi dan jarum panjangnya menunjukkan pukul 12.00. masih ada waktu untuk istirahat, pikirnya. Renee menengadahkan wajahnya hingga menyentuh meja di belakangnya dan matanya menatap langit – langit kelas yang menjadi lahan luas untuk para laba – laba membangun istananya sendiri. Pembicaraan tadi siang dengan kedua sahabatnya tak urung membuatnya berpikir. “18 tahun gue hidup di Bumi yang tua ini, kenapa gue gak pernah pacaran  yah? Boro – boro pacaran, jatuh cinta aja gue gak pernah. Gue kan pengen ngerasain jatuh cinta, apalagi pacaran yang katanya sebagai penghias masa remaja. Kalo gue gak ngalamin itu, kasihan banget masa remaja gue yang datar aja kayak air tenang. Gak ada riak apalagi gelombang. Oh my...Tapi, gimana gue bisa merasakan dua hal itu kalo gue aja gak percaya sama first sight? Tapi... emangnya harus?”
            “Lama – lama leher lo bakal patah Ren kalo kayak gitu terus,” Suara Ufi memperingatkan membuat lamunan akan masa remajanya yang berakhir menyedihkan dan konfilik yang dia buat sendiri. Dia mengubah posisi tubuhnya tegak  dan menatap Ufi yang siap – siap mau keluar kelas dan mejanya sudah rapi sekarang. “Pulang?”
            “Gak.. gue mau jalan dulu sama Nico. Udah seminggu gak jalan. Bye...” Pamitnya dan Renee sempat melihat binar bahagia yang sering dia lihat di film – film romantis di mata sahabatnya. “Satu lagi yang bikin gue merasa hidup gue bakalan berakhir tragis adalah melihat binar cinta di mata sahabat gue . sedangkan binar mata gue penuh dengan melarat.” Dan dia menatap Ufi yang sibuk memainkan ponselnya dengan wajah merona. “wajar aja sih, Ufi biar kulitnya item, tapi wajahnya cantik dan manis khas  gadis jawa,  tipe muka innocent, baik, gak galak kayak gue, penyabar, modis, gak kayak gue. Amburadul. Pantes aja cowok seganteng dan sebaik Nico kelelep dengan Ufi.” Keluhnya dalam hati.
            “Lo kenapa Ren?” Ufi melambaikan tangannya di depan Renee. Membuatnya tersadar dan mengerjapkan matanya.
            “Gak apa – apa. Ke tempat kursus jam berapa?”
            “Jam 4 sore kan mulainya? Ntar gue jemput deh jam 3 sore. Gue bentar aja kok jalan ma Nico. Mau lepas kangen.”Ucapnya dengan nada bahagia. Kemudian melirik Renee yang tanpa ekspresi. “Makanya Ren, punya pacar dong. lo akan merasakan apa yang gue dan Vivi rasain ketika bersama cowok yang disayangi. Lo sih, punya prinsip aneh – aneh aja.”
            “Bukan aneh – aneh kok. tapi emang bener kan? When you meet someone, don’t look  by the cover. But, see what his or her have. Especially boy.”
            “Lo omong gitu kayak trauma sama cinta pada pandangan pertama aja.”
            “Bukannya trauma, gue belajar dari curhatan teman – teman gue yang ketipu pesona luarnya cowok tanpa melihat apa dia punya jauh dari diharapkan.” Renee mengeluarkan petuah andalannya dan membuat Ufi nyerah.
            “Berdebat sama lo gak ada gunanya. Gue cabut dulu yah. Bye.” Ufi keluar kelas dengan langkah anggun. Dan sempat dilihatnya, beberapa cowok menoleh kagum ke arahnya. Sebersit perasaan iri terlintas. Namun ditepisnya cepat – cepat.“Kayaknya gue perlu pake susuk emas made in Ki Joko Bodo deh biar semua cowok lirik ke gue.” Ucapnya ngawur dan memutuskan berjalan keluar kelas, sambil sesekali menyapa para cowok yang masih betah berdiri bak patung Singa penjaga di depan kelas dan tersenyum manis. Lalu berjalan ke parkiran tempat sepedanya teparkir untuk pulang kerumah.

♥ ♥

            Renee mengayuh sepedanya pelan dan menikmati segarnya udara dingin daerah Bandung yang belum terkontaminasi dengan asap – asap kendaraan bermotor. Dia berputar – putar sebelum memasuki komplek rumahnya.
            Renee menyebar senyum kepada siapa saja yang dia temui. Baik kenal atau tidak. Yang penting dia senyum. Sesekali mulut kecilnya menyapa beberapa orang yang dia kenal dan berhenti sebentar untuk mengobrol basa – basi.
            “I’m home...” Teriaknya ketika tiba di depan pagar. Tidak mendengar sahutan, dia membuka tasnya dan mengambil kunci rumah untuk membuka pagarnya yang tergembok. Setelah selesai, dia bergegas masuk untuk membuka pintu rumah dengan kunci yang dia bawa dan segera masuk.
            Sepi... yah... sejak papahnya pergi tanpa alasan 5 tahun yang lalu, hanya dia dan mamanya saja yang tinggal dirumah yang lumayan besar untuk tinggal berdua. Mamanya yang bekerja sebagai Kepala Cabang di sebuah Bank Swasta,  tak cukup waktu untuk memperhatikannya. Sampai saat ini, dia berusaha memahami kesibukan mamanya dengan ikut – ikutan sibuk agar tidak merasa kesepian di rumah sendiri.
            “Untung Mpok Sinta udah masakin makanan. Jadi tinggal makan aja gue,” Ucapnya penuh syukur ketika membuka tudung saji, dia melihat lauk – pauk dari pembantunya, Mpok Sinta sudah disiapkan. Dia menyiapkan peralatan makannya sendiri dan duduk untuk menikmati makannya.
            Asyik – asyiknya menikmati sarapan siangnya, tiba – tiba terdengar suara Pink – Family Portrait dari dalam tasnya. Buru – buru dia membuka tasnya untuk mengambil ponselnya kemudian berkerut kening karna tak biasanya mamanya menelpon. “Halo...”
            “Kamu dimana?” Mamanya langsung bertanya tanpa kata pembuka apalagi sapaan.
            “Di rumah. Lagi makan. Kenapa ma?”
            “Mama hari ini berangkat ke Surabaya selama seminggu. Jadi uang saku sudah mama taruh di kamar dan Mpok Sinta akan temanin kamu selama mama tidak ada. Gak papa kan?”
            “Pergi lagi deh. serasa terbuang gue,”
            “Gak papa kok ma. Hati – hati yah ma,” Ucapnya tulus dan sebagai balasannya, telpon langsung dimatikan mamanya tanpa ada ucapan selamat tinggal.
            Renee memandang ponselnya dan meletakkannya disamping. Kemudian dia melanjutkan makan dengan air mata yang menetes.

            Tiba – tiba ponselnya berbunyi nyaring dengan nada yang lain, seolah mengenal siapa yang menelponnya, dia menghapus air matanya, meminum air di sampingnya dan mengangkat telponnya. “Hai nguk... ada apa?”
            “Lo dimana?”
            “Lagi makan siang dirumah. Kenapa?”
            “Gue ama Vivi ke rumah yah. Jadi langsung bareng ke tempat kursus. Suara lo kenapa? Lo habis nangis yah?’Tebak Ufi yang tak bisa mendengar sedikitpun perubahan suara sahabatnya di telpon. Mungkin karna lamanya mereka bersahabat, membuatnya bisa mengenali kepribadian labil Renee. Luar dalam.
           
            “Gak kok. lo nya aja yang terlalu sensi. Lo sekarang dimana? Elaknya sambil mencoba mengalihkan pembicaraan. Bukannya dia tak percaya, hanya saja dia tak ingin sahabatnya tau betapa hancur keluarganya sekarang. Prinsipnya, hanya dirinya sendiri yang tau bagaimana masalah keluarganya sekarang. Orang lain hanya boleh tau masalah hatinya saja.

            Ufi menghela napas. Dia tau Renee sedang berbohong entah ke berapa ribu kali padanya. Karna sahabatnya yang satu ini tidak berbakat dalam akting membohongi orang. “Lagi di rumah Vivi. Oke deh. kami on the way yah.”
            “Sip...”
            “Ren...” Panggilnya sebelum menutup telpon.
            “Apa Fi?”
            “Lo kalo ada masalah, curhat sama kami yah. Jangan dipendam. Gue tau lo paling gak pandai dalam membohongi orang, apalagi kami. Ok?” Ucapnya dengan nada pelan dan lembut cukup membuat Renee terdiam.
            “Lo ngomong apaan sih? Gue gak papa kok. Suer deh. udah dulu yah, gue mau lanjutin makan nih. Lapar. Bye...” Ucapnya sambil tertawa dan mematikan telpon.
            “Renee kenapa?” Tanya Vivi ketika melihat sahabatnya baru saja selesai menelpon.
            “Gak papa kok. suara dia kayak selesai nangis gitu. Jadi gue khawatir aja. Pas gue tanyain, dia bilang gak papa. Ada apa yah? Apa masalah mamanya lagi?” Ufi memberondong temannya dengan pertanyaan. Membuat Vivi mengangkat bahu.
            “Gue gak tau. Kita sebagai sahabatnya diem aja, Fi. Nanti dia bisa cerita sendiri kok apa yang dia rasain. Justru semakin lo kayak gini, dia semakin menutup diri. Lo kayak gak tau Renee aja yang selalu menutup bibir rapat – rapat tentang keluarganya yang broken. Walaupun fakta mengatakan iya.” Vivi menjelaskan panjang lebar dan membuat Ufi terdiam.
            “Iya sih... udah yuk. Kita berangkat. Kasian tuan putri galau yang anti cinta pandangan pertama lumutan nungguin kita,” Putusnya sambil menarik Vivi keluar kamar untuk segera ke rumah Renee.

♥ ♥

            “Gue siaaappppp....” Teriak Renee sambil berlari keluar rumah ketika melihat sahabatnya berdiri di depan pagar rumahnya. Dengan tas ransel yang melekat seperti cangkang Kura – Kura di punggungnya, baju kaos dan celana jins serta sepatu kets. Dia siap.
            “Yakin gak dandan dulu nih? Tebar pesona gituh...” Canda Vivi sambil masuk dalam rumahnya tanpa dipersilahkan.
            “Ngapain? Gue kan niatnya belajar bukannya nyari cinta instan disitu. Udah, yuk.”
            “Cinta instan, kata lo?” Ufi tertawa mendengarnya. “Ntar kalo lo liat yang cakep disana, nyesal loh... udah kami tungguin deh, lo dandan deh. apa gitu yang perlu ditambahin biar dilirik gitu.” Mereka mendorong Renee masuk dalam rumah dan mendudukkannya di meja rias kamarnya. Namun Renee berdiri dan menatap garang ke arah mereka yang cengengesan.
            “Lo pada kenapa sih?! Ayoooo...” Dia menarik kedua temannya keluar dari kamarnya karna dia merasa hampir telat. Dan kedua temannya hanya pasrah diseret hingga keluar rumah dan membiarkannya mengunci pintu rumahdan mengambil sepeda motornya untuk pergi ke tempat les beriringan dengan mereka.

♥ ♥

            “Coba lo liat ke arah jam 12, duileee... tuh cowok cupu, mamen! Untung gue gak dandan,” Bisik Renee ketika tiba di parkiran tempat les dan melihat seorang cowok cupu yang entah berpakaian ala tahun 80-an kebawah itu sedang duduk di sudut sambil membaca buku dan sesekali membetulkan letak kacamatanya yang terlalu besar untuk bentuk wajahnya itu. Membuatnya merinding.
            “Emang apa hubungannya lo gak dandan dengan tuh cowok cupu?” Ufi bertanya dan melirik cowok itu.
            “Ntar kalau dia liat gue, naksir lagi.” Dia menjawab dengan nada PD yang sangat berlebihan. Ekspresi sahabatnya langsung pura – pura muntah.
            “Itu kan tipe lo, Ren. Suka cowok pake kacamata.” Ejek Vivi yang memarkir motor disebelahnya dan melirik ke objek tatapan sahabat sintingnya itu.
            Renee memasang wajah ngeri. “Tipe gue gak kayak gitu, Vi! Ngaco lo! itu kan tipe cowok lo!” Ejeknya dan tertawa melihatnya manyun.
            “Sejak kapan itu jadi tipe gue?” Vivi balik bertanya dan menggelitiki pinggangnya. Tawanya langsung melengking nyaring seperti nenek lampir. Membuatnya jadi pusat perhatian seketika.
            “Ud...dah Vi... amp...pun...” Ucapnya dengan napas terengah – engah. Gelitikan sahabatnya seperti digelitik oleh seribu tangan yang tak terlihat.
            “Masuk, yuk.” Ufi langsung menarik tangan Renee untuk masuk ketika dilihat wajah sahabatnya itu memasang ancang – ancang untuk balas dendam.

♥ ♥

            “Tuh kan, apa gue bilang, cowoknya cupu – cupu semua. Gak ada yang menarik hati gue.” Bisiknya pada kedua sahabatnya ketika mereka sibuk mencari kelas dengan wajah celingak celinguk.
            “Syuuttt..” Ufi memberi isyarat diam dan berhenti di ruangan 03. Ruangan kursus mereka. Dan menatap Renee yang matanya melirik setiap cowok – cowok yang keluar masuk ruangan lain dengan tatapan menilai. Kemudian mengernyit.
            “Ancur tuh selera cowok. Masa celana jins warna merah, bajunya warna hijau? Kayak lampu lalu lintas berjalan aja.” Bisiknya pada Vivi yang mengangguk setuju.
            Ufi menghela napas. Harus ada yang menarik mereka masuk ke dalam ruangan sebelum menghabiskan waktu untuk menilai penampilan cowok yang tak ada habisnya di depan pintu, dengan sigap dia menarik mereka berdua untuk masuk.

            “Maaf, bu, kami telat.” Dia menunduk malu karna telat masuk ruangan. Padahal murid baru. Guru itu hanya tersenyum dan mempersilahkan duduk.
            Ruangan yang sempit, dengan kursi seperti anak kuliahan, papan tulis yang besarnya ampun – ampunan, serta lemari khusus meletakkan helm tepat disamping dia berdiri sekarang akan menjadi tempat belajar tambahan mereka selama setahun untuk menyiapkan diri menghadapi UAN yang semakin menggila. Renee dan teman – temannya duduk di belakang dekat pintu dan memperhatikan penjelasan guru yang sempat terputus.

            Bosan, dia melirik di sekelilingnya dan melihat teman – teman barunya yang tak dikenal sambil sesekali mencatat penjelasan guru tentang akutansi yang membuat otaknya seperti neraca.
            Tiba – tiba, terdengar suara ketukan pelan di pintu. Dia menoleh ke belakang dan terdiam sejenak.
            Seorang cowok dengan tinggi hampir 170 cm, lebih tinggi darinya, berdiri di belakangnya, memakai baju kaos, tas ransel di pundak, dan wajah tertutup helm. Terlihat seperti astronot yang sedang berjalan di bulan. Ketika dia melepas helmnya, wajahnya membuatnya tertarik hingga lehernya hampir putus karna terlalu berputar. Hidung agak mancung, tatapan mata ramah yang dibingkai oleh kacamata, rambut acak – acakan dan kulitnya putih, sempat melirik ke arahnya dan tersenyum, lesung pipi sebelah kiri terlihat dalam. Renee langsung membalasnya dengan kikuk. Membuatnya entah kenapa, tak bisa melepaskan tatapan matanya sampai cowok itu duduk 2 baris depan darinya sekarang.

            “Tuh cowok siapa namanya yah? Kenapa gue jadi terpana gini?”
            Seolah gurunya bisa bertelapati atau membaca niatnya paling dalam, tiba – tiba berseru nyaring hingga jantungnya hampir copot. “Nah... semuanya, mari kita saling berkenalan. Kan gak lucu kalau satu kelas tapi gak tau satu sama lain, dimulai dari...” Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan tatapan jenaka, lalu menunjuk cowok yang diliriknya tadi. “Kamu.” Serunya dengan nada riang. Seolah – olah sedang menunjuknya untuk giliran lompat tali.
            Cowok itu, entah siapa namanya, membuat Renee duduk tegak dan mendengarkan sangat serius. Membuat kedua sahabatnya bingung . “Nama saya,” Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling, hingga bertatapan dengannya dan tersenyum. “Radith Dewantra, dipanggil Adith, Dari SMA 01 Bandung.” Jelasnya dan guru itu mengangguk.

            “Ok Adith, sekarang tunjuk lagi siapa yang kamu ingin tau,” dan Adith, mengedar pandangannya dan menunjuk Renee yang asyik menatapnya tanpa kedip. “Dia.” Tunjuknya. Membuat Renee melongo dan menunjuk dirinya sendiri.
            “gue?” Bisiknya bloon sambil melirik kedua temannya.
            “Ok, gadis manis berbaju merah, berambut pendek, silahkan perkenalkan dirimu.”
            Renee berdiri sambil menggaruk kepala. Matanya melirik panik kepada dua temannya yang hanya menatap seolah berkata sabar yah. Dia menghela napas. Jantungnya kebat – kebit karna tak bisa ngomong di depan umum. Lututnya terasa menjadi air ketika semua tatapan tertuju padanya. Termasuk cowok itu.
            “Nama saya, Renee Patricia Pratiwi, dipanggil Renee,”
            “Atau Enee.” Sambung Ufi pelan dengan cekikikan. Membuatnya harus menginjak kaki sahabatnya itu keras – keras. “dari SMA Budi Permata.”
            Ibu guru itu mangut – mangut. “Oke, ada yang mau bertanya lagi? Hobi misalnya, atau ekskul apa yang dia ikuti, apapun itu. Biar saling kenal. Merekat kayak keluarga besar.”
            Moga gak ada, moga gak ada, awas ada! Gue tabok!”
            Renee bersyukur karna gak ada yang bertanya lebih lanjut tentangnya dan dia sendiripun malas menceritakan dirinya sendiri lebih rinci. Lalu dia dipersilahkan duduk dan menunjuk siapa lagi yang ingin dia kenal, lalu di menunjuk gadis bertubuh mungil dengan wajah agak- agak arab yang dia tau namanya adalah Musdalifah, dipanggil Puput.
            Perkenalan pun memakan waktu satu jam. Dia hampir bisa mengingat semua nama teman sekelasnya, namun tentu saja yang paling dia ingat adalah si Adit. Cowok yang bikin jantungnya berdegup marathon. Dan selama itu pula, jantungnya selalu berdegup kencang bila melihat punggung Adith yang tegap itu.
            “Ren...” Bisik Ufi. Membuatnya kaget karna lamunannya pecah.
            “Apa?”           
            “Udah pulangan. Lo mau nginap disini? Ngelamun mulu sih.”
            “Pulang? Oh,,, iya.. iya...” dia gelagapan mencari tasnya dan langsung berdiri. “Aduh!” Teriaknya karna kaki kanannya terbentur kursi.
            “Lo kenapa, Ren? Kelabakan sendiri? Gak biasanya deh.” Vivi bingung melihat temannya seperti ini. Tak biasanya.
            “Gak papa. Gue duluan yah.” Dia berlari keluar kelas dan meningalkan teman – temannya yang melongo melihat kepergiannya dan saling angkat bahu.

            “Hai... Lo Renee, kan?” Tanyanya ketika dia duduk di atas kendaraannya. Dia menoleh ke samping dan kaget karna kendaraan dia bersebelahan dengannya.
            “Hai juga. Lo gak mungkin lupa, kan? kan kita baru aja kenalan karna lo nunjuk gue.” Jawabnya dengan senyum.
            Adith menggarukkan kepalanya dan tersenyum. Dia bisa melihat wajahnya lebih dekat, bahkan label Levi’s dari gagang kacamatanya pun terlihat jelas. Jantungya serasa ingin loncat dan ngumpet dalam tas saking gugupnya.”Ren,” Panggilnya sampai mengibas – ngibaskan tangan di depannya ketika melihat Renee melamun. Membuatnya kaget. “Gue duluan dulu, yah.” Adith pamit dan menjalankan motornya meninggalkannya yang senyum – senyum sendiri.
            “Ciieeee... yang deketan ama Radith. Katanya semua cowok disini cupu , gak ganteng, gaya bapak – bapak taun 70-an,” Ejek Vivi ketika melihat wajah Renee memerah malu.
            “Namanya Radith kan?” Dia bertanya dengan nada bloon. Kedua sahabatnya bingung.
            “Gue, jatuh cinta deh kayaknya sama dia.” Dia menjawab sambil tersenyum sendiri. Membuat kedua temannya saling melirik dan...

            “WHAT?! LO JATUH CINTA SAMA DIA, REN?!” Teriak Ufi keras dan dia hanya mengangguk malu.
            well, adith, gue akan kejar lo sampai ujung dunia karna bikin gue jumpalitan kayak gini.” Tekad Renee dalam hati. Semua ide konyol hadir di otaknya. Menunggu untuk dilaksanakan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar