“dapatkah kau lihat rasa
Di bawah hati sendu
tak semata hasrat rindu akan hadirmudapatkah kau lihat hasrat
di kanvas raut hati
yang perlu goresan tangan halusmu
hasrat ku tak mampu kau rasakan
dan cinta ini tak dapat kau lihat
bodohnya aku
yang selama ini..
Selalu mengharapkanmu
lebih dari sebuah sahabat.”
Eva terduduk kembali di kasur mamanya dengan tangan gemetar memegang kertas
yang dibacanya. Sungguh, dia bisa merasakan betapa sakitnya perasaan penulis
puisinya, mamanya sendiri. Siapapun Evan, pasti sangat berarti di hati mamanya.
“Segitu berartinya kah Evan untukmu,
Ma?” Gumamnya sambil membaca ulang puisi itu. Meresapi setiap sakit yang
dicurahkan penulisnya lewat kata – kata.
“Sayang... Kamu lagi ngapain di
kamar papah? Mau ikut gak keliling Kompleks?” Ajakan Papahnya membuat lamunan
Eva buyar seketika. Dengan menghapus air mata yang sempat menetes dan berdehem
kecil agar suaranya berubah normal, dia memasukkan buku diary itu dibalik
bajunya. Dia ingin membacanya lagi.
“Ikut!!!” Eva berlari keluar kamar
dan tersenyum ketika melihat ayahnya sudah berdiri di depan pintu.
“Yasudah. Mandi sana deh, bau.” Usir
papahnya sambil mendorong Eva pelan. Membuatnya manyun.
“Iya... iya...” Gerutunya pelan sambil berjalan masuk kekamarnya.
“Iya... iya...” Gerutunya pelan sambil berjalan masuk kekamarnya.
ghgh
Radith Syahreza, Papahnya Eva
sekarang duduk di atas kasur sambil memegang foto istri tercintanya, belahan
jiwanya yang pergi meninggalkannya dengan tatapan sedih. Dia mengusap figura itu perlahan, seolah
takut setiap sentuhannya, akan merusak figura itu.
“Re... Sedang apa kamu disana? Kau
liat anak kita kan? Dia sangat mirip dengan kamu, Re. Kadang, setiap aku
melihatnya, aku seperti melihat kamu hidup kembali dan duduk disampingku,Re.
Tapi... secepat itulah aku sadar, bahwa kau tak ada disini. Re...” Papahnya
mengusap air mata yang membasahi pipinya dan menarik napas. “Kamu lihat kan
bagaimana aku membesarkannya tanpa ada pengganti dirimu? Tanpa ada yang mengisi
relung hatiku? Kenapa? Karna, hanya kamulah yang aku cintai, Re. Walau...
sampai kamu pergi pun, Aku gagal membuatmu hanya menatapku.”
“Pah... gimana? Jadi gak? Eva udah
siap nih,” Teriakan Eva dibalik pintu membuat papahnya tersadar dan tersenyum
sambil memandang foto istrinya sekali lagi dan mengecupnya.
“Makasih, Re, kamu sudah memberikan malaikat kecil untukku
disaat kamu pergi meninggalkanku. Andai
aku boleh meminta lebih, aku ingin kita membesarkan malaikat kecil ini bersama,
menjaganya bersama. Aku sudah memberikan rahasiamu padanya. Tapi... aku tidak
tau apa alasannya, Re. Sebelum aku bertanya, kamu sudah pergi.”
“Pah... jadi gak nih? Kalo gak jadi,
Eva tinggal!” Ancam anaknya di balik pintu membuat papahnya tersenyum dan
menghapus air matanya.
“Dia mirip kamu kan, Re? Aku pergi
dulu yah, I love you,” Ucap papahnya tulus sambil meletakkan foto istrinya yang
disampingnya adalah sebuket bunga irish putih segar. Yang setiap 2 hari sekali.
Sebelum Eva siap – siap menggedor
pintu dengan kekuatan penuh, mendadak papahnya keluar dan tersenyum. “Yuk,”
Ajaknya sambil merangkul Eva turun ke lantai bawah.
ghgh
“Papah ngapain aja sih di kamar?
Lama banget!” Gerutunya ketika mereka mengeluarkan sepeda masing – masing dari
garasi. Papahnya hanya diam dan mengelus rambut Eva lembut.
“Ntar papah ceritain,” Ucapnya dan
menoleh ke belakang dan melihat Mpok Ijah, pembantu mereka berdiri di depan
pintu garasi. Siap menutup.
“Hati – hati yah Pak, Non Eva,”
Eva hanya mengacungkan jempol dan bersepeda duluan disusul oleh papahnya.
Eva hanya mengacungkan jempol dan bersepeda duluan disusul oleh papahnya.
Sepanjang jalan, mereka saling
bercerita tentang kesibukan masing – masing. Eva menceritakan sekolahnya dan
beberapa cowok yang berusaha mendekatinya. Dan papahnya menceritakan
kesibukannya. Tak ada rahasia diantara mereka.
“Papah belum cerita kenapa tadi lama
di kamar. Ada apaan sih pah?”
“Papah hanya kangen saja sama Mama.
Jadi sempat cerita sebentar bagaimana kamu sekarang. Yah.. walaupun papah tau,
mama kamu gak akan mendengarnya,”
Eva terdiam mendengarnya. Sungguh
dia bisa melihat betapa cintanya papahnya dengan mamanya. “Papah sayang yah
sama Mama?”
“Iya.. seperti sayang Papah ke
kamu,” Radith memandang anaknya lurus. Dia bisa melihat betapa mirip wajah
anaknya dengan istrinya.
Eva hanya tersenyum dan berkata.
“Balapan yuk pah? Siapa menang, ntar dapat hadiah!”
“Hadiahnya apaan, Va?”
“Bakal dimasakin sarapan sama yang
kalah, ayoooo!” Eva langsung mengayuh sepedanya cepat. Takut keduluan Papahnya
yang kata Tante Fira adalah Pembalap sepeda tingkat RT.
adad
“Eva menang!!!” Teriaknya puas
ketika mereka sudah di taman dan tertawa melihat papahnya yang selama ini susah
dikalahkan, akhirnya kalah juga.
“Yah... besok masak deh. Padahal
papah kan pengen makan masakan Eva sesekali. Yah... walaupun hangus dikit.
Hahaha...” Papahnya tertawa ketika melihat wajah senang anaknya berubah menjadi
manyun.
“Huh! Pah... Eva beli minum dulu
yah. Haus nih. Papah mau nitip?” Tawarnya ketika papahnya sekarang duduk di
kursi taman sambil mendengarkan musik di Ipodnya.
“Air mineral yah. Papah tunggu
disini.”
“Ok deh,” Eva mengacungkan jempol
dan bergegas bersepeda mencari warung disekitar taman.
Setengah jam berkeliling di taman
yang luasnya ampun – ampunan, akhirnya, Eva melihat sebuah warung kecil di
sudut taman. Dengan cepat da mengayuh sepedanya kesana.
“Paman, berapa?” Tanyanya ketika
sudah tiba dan langsung mengambil dua botol mineral dan mengangkatnya.
“6ribu, Mbak.” Jawab si empunya
warung.
Eva meletakkan kedua botol itu di
depannya sementara dia mengambil uang di dalam tasnya. Tanpa disadari, bagai
jin, Seorang cowok berdiri disampingnya dan langsung mengambil air mineral yang
hendak dibayarnya. Kaget, Eva menatap garang ke arah cowok yang menghabisi air
mineralnya dan mencubit keras di pinggang.
“Aduh! Lo apa – apaan sih?!” Gerutu
cowok itu sambil membalas tatapan Eva dengan tak kalah garangnya. Eva sempat
terpesona melihat gantengnya cowok di depannya itu. Dengan wajah agak kearab –
araban, badan tegap dan tingginya sekitar 180cm, Tatapan tajamnya di kedua bola
matanya yang hitam pekat dan alis tebal sempurna yang menjulang tinggi, semakin
sempurna fisiknya. Sadar bukan ini yang seharusnya dia lakukan, Eva menggeleng
kepala kuat – kuat dan melotot. “Lo ngapain ambil pesanan gue?!
“Pesanan apa?! Ngomong jangan ngasal
deh!” Jawab cowok itu dengan nada emosi namun tak berpengaruh oleh suara
baritonnya yang seksi.
“Air mineral yang lo habisin itu
punya gue! Lo dengan sengaknya berdiri disamping gue dan mengambilnya!”
“Yaudah... lo ambil aja lagi. Kan masih
banyak di depan lo ini. Gitu aja kok diributin! Heran deh!” dengan cueknya, dia
mengambil air mineral di depannya dan meletakkannya bersisian dengan air
mineral Eva yang melotot.
“Kenapa lo pelototin gue? Gue tau...
lo terpesona dengan kegantengan gue kan?” Lanjutnya bernada menggoda membuat
Eva tersadar dengan pesona suara dan wajahnya. Sambil beristighfar dalam hati
minta kekuatan, dia mencibir. “Sepersekian detik yang lalu, gue terpesona sama
lo! tapi sekarang?” Eva menatapnya dengan tatapan mengejek “Gue merasa lo cuma
keren tampang doang! Misi!” Usirnya ketika cowok itu berdiri di depannya.
Menghalangi langkahnya.
“Lo jujur banget deh jadi cewek.
Boleh kenalan gak? Nama gue Reno Adrian, Lo siapa?” Dia menyodorkan tangan ke
arah Eva dan tersenyum ketika gadis itu menatapnya galak.
“Cantik
– cantik kok galak Naudzubillah yah? Tapi gak papa deh, gue suka kayak ginian,”
Gumamnya dalam hati.
“Nama gue Manusia! Puas?!” Eva
menabrak tubuhnya kasar dan berjalan menghampiri sepedanya dan meninggalkannya.
Melihat gadis tanpa nama itu
meninggalkannya, dia tersenyum dan membayar beliannya dan meninggalkan warung
itu dengan harapan bisa bertemu lagi.
“Cih! Emangnya wajah gue kayak wajah
minta kenalan gitu jadi ngajak duluan?! Dia kira dirinya siapa?! Orang
penting?! Tapi...” Gerutu Eva terhenti dan dia berpikir “Kok dia ganteng sih?
Apalagi suaranya itu lo... sexy man voice! Aish! Gue apaan sih?!” Gerutunya
berlanjut dan bergegas menginjak cepat pedal sepedanya menghampiri papahnya
sebelum dia dianggap anak hilang.
ghgh
“Huh... Hah... Capek...” Eva
langsung duduk disamping papahnya dan menyodorkan air minuman pesanannya.
Melihat ada yang aneh dengan anaknya, dia melepas headsetnya.
“Ada apa? Kok wajah kamu kayak masam
gitu?”
Mendengar pertanyaan papahnya,
mengalirlah cerita dari mulut tipisnya bagai serangan air bah dari arah
selatan. Papahnya hanya mangut – mangut tanda merespon.
“Tapi kamu sempat terpesona kan
dengan gantengnya? Ayo... ngaku...” Papahnya menggoda sambil menggelitik
pinggang Eva. Membuatnya tertawa.
“Aduh... Duh... Ampun Pah. Iya
sih...” Eva mengangguk malu –malu. Namun wajahnya berubah masam kembali. “Cakep
kalo tingkahnya sengak gitu percuma, Pah! Pulang yuk, udah malam nih, Pah.”
Ajaknya sambil berdiri dan berjalan menghampiri sepedanya yang terparkir agak
jauh darinya.
Melihat itu, Papahnya segera
mengikuti Eva dari belakang dan mereka bersepeda pulang kerumah.
ïïïï
Sepanjang perjalanan, tak bosan –
bosannya Afgan menggoda anaknya. Membuat Eva semakin melaju meninggalkan
papahnya di belakang karna malu.
“Udahlah, Pah. Eva malu nih,”
Rajuknya ketika mereka sudah tiba di depan rumah.
Papahnya hanya tertawa mendengarnya.
Kemudian mengacak rambut Eva. “Iya... iya... Tapi... kalau kamu ketemu lagi,
gimana?” Godanya membuat pipi sang anak semakin merah.
“Gak tau!!!!!” Eva berteriak saking
malunya dan masuk dalam rumah dan berlari menuju kamarnya lalu terdengar suara
pintu kamar terbanting tanpa menghiraukan papahnya semakin tertawa dan Mpok
Ijah menatap bingung kearahnya.
“Kenapa, Pak?”
Radith hanya menggeleng. “Gak papa, Mpok. Biasa... anak muda,” Jawabnya maklum.
Radith hanya menggeleng. “Gak papa, Mpok. Biasa... anak muda,” Jawabnya maklum.
Mpok Ijah pun mengangguk paham dan
ikut memaklumi walau tak tau apa yang harus dimaklumi.
ùùùù
“Ah... Kenapa gue jadi blushing gini?! Papah sih! Godain gak
tanggung – tanggung! Gue kan malu...” Gerutunya sambil duduk di meja belajar
dan melihat foto mamanya sedang tersenyum, dia mengambilnya dan meletakkan di
depannya. “Ma... papah jahil banget deh! masa Eva digodain kayak gitu sama
cowok yang baru Eva kenal?! Eva kan malu, Ma! Tapi ma...” Ucapannya terhenti
dan tangannya menyusuri lekuk pigura foto mamanya. “Dia ganteng kok, Ma. Sukses
bikin Eva mangap seketika. Hahaha... tapi... masih gantengan papah kok.”
Lanjutnya sambil tersenyum lalu dia mengambil sesuatu di bawah lacinya dan
meletakkan di samping foto mamanya.
“Eva mau nulis dulu yah ma, biar
ntar kalo udah gede, buku diary ini akan jadi saksi apa yang Eva lakuin dulu.
Sama kayak mama,” Sambil berkata begitu, dia mengembalikan foto mamanya ke
tempat semula, lalu membuka halaman awal buku diarinya lalu membacanya.
“Langit menyimpan semua
Satu persatu warna dunia
Seperti pelangi senja
Yang tersimpan semu.
Warna indahnya
Menutup kesipuan
Bas warna senja
Mengikis kelam.
Bagai cerita pagi
Berujung di akhir mentari
Memulai rembulan
‘Tuk berpijar di kesepian.
Pelagi Senja
Seperti warna hidupku
Setiap warnamu
Ciri dari kisahku.”
“Biar dibaca berapa ratus kalipun, gue tetap senang
liatnya. Secara... buatan gue gitu loh,” Ucapnya narsis lalu mencari halaman
selanjutnya untuk dia isi.
12 agustus 2011
Hai teman... apa kabar? Baik kan? Baik dong. J
Hai teman... apa kabar? Baik kan? Baik dong. J
Friend.. tadi kan
gue kekamar nyokap. Ya... biasalah... “menyepi” sejenak untuk masalah gue
dengan Satya, sepupu rese gue yang tiada duanya itu! Terus... gue ketemu suatu
harta karun, Dear! Coba tebak apa? Buku diary Nyokap! 0_o
Gue asalnya takut
untuk baca, secara... rahasia nyokap Bok! Tapi... gue penasaran apa isinya,
secara... gue baru saja memegang saksi hidup nyokap gue! Seperti membuka pintu
masa lalu dan melihat bagaimana nyokap gue, walau lewat tulisan doang. Tapi itu
berarti buat gue yang seumur hidup hanya tau bagaimana nyokap lewat tante Fira.
Akhirnya gue
putusin untuk membaca dan lo tau apa yang terjadi?! Gue nangis hanya membaca
dua halaman doang?! Kenapa? Isinya nyesek!
Nyesek karna
nyokap suka sama sahabatnya sendiri, Evan Saputra dan sahabatnya itu, dari yang
gue baca, malah suka sama cewek lain. Sedangkan nyokap mendam perasaan itu
selama 3 tahun! Sungguh, nyokap gue kuat banget yah.
Cuma yang bikin
gue penasaran, kenapa gue gak pernah dengar tante Fira cerita soal Evan yah?
Kan dia sahabatnya juga. Sama kayak nyokap. Apa gue yang lupa yah?
Dear... tadi gue
kan keliling sepeda dengan bokap. Terus pas gue mau beli air mineral di taman
tempat biasa gue nongkrong, ada cowok cakep... banget! Cuma sengak!
Kenapa? Karna dia
ngambil air mineral yang udah gue bayar! Pas gue nuntut, dengan entengnya dia
mengambil air mineral yang lain sebagai pengganti punya gue!
Sungguh, Dear...
suaranya sexy! Wajahnya! Guanteng! Gue sempat terpesona dan ntah kliatan banget
atau gak, dia ngajak gue kenalan dan namanya adalah Reno Adrian. Pas dia nanya
nama gue, dengan songongnya gue malah jawab nama gue adalah manusia! Hahaha...
dodol banget kan?
Gara – gara
itu... gue jadi ledekan papah sampai didepan rumah, Dear. Gue malu...
Eva tersenyum malu membaca tulisannya dan membalik ke
halaman selanjutnya. Menulis puisi di setiap diarinya.
‘’Kini aku
tengah dalam
kegusaran perasaanku.
Saat ku temui
Penyesalan dalam diri ini.
kegusaran perasaanku.
Saat ku temui
Penyesalan dalam diri ini.
Ku acuhkanmu
Yang mengingkan mu mengenal diriku.
yang inginkan seuntai nama keluar dari mulutku.
Ku tak percaya,
Aku gundah
Akan keputusan tak terima
Salam hangat dari tanganmu.
Kini ku hanya bsa menyesal
Berharap waktu kembali ke masa itu ‘’
NF : Semoga besok ketemu dia lagi. Gue janji akan bilang nama asli gue esok, dan semoga, gue mimpi dia malam ini. Amien”
Yang mengingkan mu mengenal diriku.
yang inginkan seuntai nama keluar dari mulutku.
Ku tak percaya,
Aku gundah
Akan keputusan tak terima
Salam hangat dari tanganmu.
Kini ku hanya bsa menyesal
Berharap waktu kembali ke masa itu ‘’
NF : Semoga besok ketemu dia lagi. Gue janji akan bilang nama asli gue esok, dan semoga, gue mimpi dia malam ini. Amien”
“Akhirnya selesai juga, Ma... Eva tidur dulu yah, bye,
love you, Mom.” Eva mengecup figura mamanya dan pergi tidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar