Di sudut
kamar, seorang gadis sedang melamun sambil bertopang dagu di kedua lututnya.
Entah apa yang dipikirkannya, namun cukup membuatnya senewen berat. Dengan
tatapan mata berat, dia melirik pintu kamarnya dan memutuskan keluar sebelum
dirinya menjadi gila di kamar sendiri.
Reva maharani syahreza, itulah namanya. Kini dia masuk di kamar ibunya, memutar musik Jazz kesukaannya
dan menutup matanya sambil duduk di dekat jendela yang mempunyai pandangan
langsung ke arah pantai dan menikmati setiap alunan musiknya yang seolah – olah
mengurai masalahnya secara perlahan – lahan. Sesekali mata Almond coklatnya
yang berbinar itu terbuka dan entah kenapa, dia berdiri lalu melangkah ke arah
balkon kamar ibunya yang selalu terbuka, menikmati semilir angin meniup lembut
rambut ikalnya yang terurai panjang dan hitam pekat, membiarkan sinar matahari
menyinari kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang mulus memerah karna
sinarnya yang mengenai kulit wajahnya yang agak sensitif.
“Kamar mama memang is the best deh kalo urusan kayak
gini! Gak kayak kamar gue, sumpek! Atau emang gue yang sumpek duluan yah?” Dia
berbicara sendiri, bertanya kepada angin yang sama saja seperti bertanya kepada
patung. tak dijawab.
Kemudian Eva, nama panggilannya, menoleh ke dalam kamar
dan melihat foto ibunya yang sedang mengandung dirinya duduk di samping
ayahnya. Membuatnya tersenyum sedih karna tak bisa mengenal ibunya lebih dekat
lagi karna lebih dulu meninggalkannya pada saat dirinya masih berumur seminggu.
Seumur hidupnya, dia hanya tau bagaimana Ibunya melalui Tante Fira, sahabat
ibunya sejak SMA yang mengerti luar dalam ibunya. Walau dalam hatinya, dia
menginginkan ibunya yang menceritakan semua itu padanya. Bukan orang lain.
Keningnya mendadak berkerut ketika melihat di samping
pigura foto ibu dan ayahnya, ada sebuah buku diary lusuh seperti miliknya.
Penasaran, dia meninggalkan balkon kamarnya dan berjalan menuju buku itu dan
duduk di pinggir tempat tidur.
“Past Time of the Story by Rere Maharani” Tulisan rapi di
depan buku itu membuat Eva menjatuhkannya di kasur. Kaget karna itu punya
mamanya, saksi hidup bahwa dulu ibunya ada dan pernah menulis semua yang
dirasakannya disini. Membuat tangannya mendadak gemetar seperti disuruh
memegang ular Piton.
“Baca... gak... baca... gak... Ah... gak usah deh, ntar
kualat, gue kan anak baik,” Eva memutuskan tidak membaca dan buru – buru
memasukkan buku itu di laci paling bawah meja ibunya dan duduk tegak.
Namun, penasaran ingin mengetahui apa rahasia ibunya
lebih menggelitik hatinya daripada kualat yang mulai membayangi otaknya. Dia
kemudian celingak – celinguk, takut tamu tak diundang seperti ayahnya hadir
mendadak dan memergoki aksinya. Kemudian dia tiduran di ranjang sambil memegang
buku ibunya.
“Baca... gak ... yah..? Pengen.. tapi... apa gak papa?”
Eva bertanya pada dirinya sendiri.
“Ah... baca aja deh. sorry ma... Eva janji gak akan bocorin
siapa – siapa kok. Suer. Pokoknya rahasia mama aman deh sama Eva,” dia
membentuk tanda V seolah berjanji pada ibunya dan dia perlahan, membuka halaman
pertama sampul itu dan sebuah surat langsung jatuh dihadapannya. Membuat Eva
mengerut keningnya dan membaca.
*past time of my stories*
“Cinta tak ku duga
membawa ku dalam
jeram air mata yang tiada berujung
musim semi
tanda cintaku
kan berulang
tercerita muram berulam suram
suara terpendam dalam magma
kaki kehidupan ku”
membawa ku dalam
jeram air mata yang tiada berujung
musim semi
tanda cintaku
kan berulang
tercerita muram berulam suram
suara terpendam dalam magma
kaki kehidupan ku”
“Astaga! Siapa yang bikin
puisi segalau ini ke mama?! Sumpah keren! Atau... mama yang bikin? Tapi buat
siapa? Untuk apa?” Sejuta pertanyaan tak ada habisnya meluncur bebas dari mulut
tipisnya. Tanpa menyadari, ada seseorang dibalik pintu mendengar semua yang dia
ucapkan, melihat apa yang dia lakukan. Dan hanya tersenyum pasrah melihatnya
sekarang duduk tegak di tengah ranjang, siap membaca halaman selanjutnya.
“Re... aku udah melakukan
apa yang kamu inginkan. Memberikan Diary itu untuk Eva. Tapi... untuk apa? Aku
gak ngerti, Re.” Gumam ayahnya Eva dibalik pintu dan dia melihat sekilas, Eva
masih membaca surat didalam buku itu. Kemudian tersenyum dan berjalan pelan
meninggalkan kamarnya.
Eva tak menyadari siapa
dibalik pintu. Pikirannya sibuk mengartikan kalimat demi kalimat yang tertulis
dikertas yang dia pegang sekarang. Mengetahui perasaan penulisnya dan merasakan
betapa sakitnya puisi ini. Kemudian, dia meletakkan surat itu disampingnya dan
membuka halaman pertama buku diary ibunya.
8 januari.
Hai my dear, Sorry yah sudah lama gak curhat lagi. Biasa... sibuk.. hahaha...
Dear, lo kenal Evan Saputra kan? Itu loh... sahabat terbaik gue sepanjang
masa yang paling gue cintai. Apa?! Lo gak kenal sama dia?! Apa artinya gue
curhat selama ini soal dia kalo lo gak
tau soal dia?! Sudahlah teman... mungkin sudah saatnya lo harus gue kembalikan
ke tempat lo berasal. Hahaha.. *Tertawa mulu yah gue, dear.*
Dear... Gak
pernah bosan – bosannya gue bilang, kalo dia memang is the best! Kenapa? Karna,
dia itu sudah cakep, *Dimata gue lo yah*, Baik banget sama gue, Care, dan dia
tau bagaimana buat gue tersenyum, bahkan disaat gue badmood sekalipun. Dia
ngerti gue, pokonya.. No words in the world can’t describe how perfect him in
me! Dan... dia jago main gitar, Dear!
Dear.. gue
pengen... banget dia tau kalo selama ini, selama 3 tahun kita sahabatan,
perasaan gue bukan sebagai sahabat biasa doang, yak! Lo tau kan maksudnya? Gue
sayang sama dia, cinta sama dia. Bukan cinta seperti gue ke Fira atau ke teman
– teman yang lain. Bukan, dear. Tapi apa mungkin? Dia sahabat gue, mantan pacar
Fira, sahabat yang paling gue sayangi, yah... walaupun gue tau mereka sudah
lama putusan, tapi... ada perasaan... susah dijelaskan, tapi mengganggu gue
banget. L dan... gue merasa bodoh banget karna naksir sama dia.
Dear... Lo tau kan prinsip persahabatan gue? No love! Just friends! Tapi nyatanya
apa, gue malah jatuh di prinsip yang gue bikin sendiri! Dan itu menyakitkan. Pelik
bener kan? Prinsip idup gue adalah ga bakal pacaran ma mantan pacar sahabat sendiri
apalagi SUKA!!!! tapi akhirnya gue malah kemakan prinsip sendri !apa gak dodol, dear? Ok, lo boleh bilang sampai mulut berbusa – busa kalo mereka putus,
tapi hati siapa yang tau? Kadang, gue sering memerrgoki Evan melirik Fira
dengan tatapan yang gue gak tau apa artinya. Apa dia masih sayang sama Fira?
Itu masih menari – nari di otak gue sampai saat ini dear. Ah... sudahlah... gue
mau tidur dulu yah, siapa tau gue ketemu jawabannya dalam mimpi. Gud bye, Dear.
9 januari
Hy dear, We meet again. I wanna share with you about him. Dan gue mohon dengan
sangat jangan pernah tersirat perasaan lo bosan dengan cerita gue yang selalu
soal dia. Karna apa, lo dibeli untuk mendengarkan curhat gue. Hahaha...
Dear... tadi pagi
gue entah kenapa pengen nyamperin dia kekelas, dan lo tau apa yang terjadi? Pas
gue didepan kelas, dia lari – lari keluar kelas dan akhirnya apa? Gue sama dia
tabrakan didepan pintu! Dan kami saling melotot dan menunjuk ke arah masing –
masing! Hahaha... awkward banget kan?
*Flashback*
“Woy... Re! Sadar!” Suara Evan seolah membangunkanku dari
lamunan indah tentangnya. Dan dengan sekali mengerjap, aku sadar bahwa sekarang
aku didepannya, bertatapan dengannya, dan melihat betapa bingungnya dia melihat
aku sekarang. Andai waktu boleh ku putar ulang, bahkan ku hentikan sementara,
aku ingin saat – saat seperti ini berhenti untuk sebentar saja. Untuk mengenang
rasa ini lebih lama.
“Gue tau lo terpesona dengan kegantengan gue yang tiada
duanya ini, tapi... please deh Re, Mulut lo gak usah terbuka lebar gitu dong
liatnya, gue kan.... Waddaw!” Suara Evan yang bernada narsis kumat berubah
gerutu panjang – pendek ketika aku menoyor kepalanya cukup keras. Cukup untuk
membuat otaknya kembali kejalur yang benar.
“Lo narsis banget deh kalo ngomong! Heran gue! Nyokap lo
ngidam apaan sih jadi keluarnya jenis lo kayak gini?” Aku tertawa ketika
melihatnya manyun dan wajahnya terlihat berpikir, mungkin untuk membalas
ledekanku.
“Ngidam cowok ganteng, makanya gantengnya kayak gue.
Hahaha... by the way, lo ngapain kesini? Nyari gue yah?” Evan sekarang berdiri
dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri sambil tersenyum. Oh
Tuhan... sungguh, senyumnya membuatku tenang.
“Lo? Ganteng?!” Aku berdiri di depannya dan memasang wajah
mengejek. Walau dalam hati membenarkan setiap ucapannya. “Gue mencari Resa. Lo
liat gak?”
“Bilang aja lo mau nyari gue, Re! Gue bisa terima kok,”
“Astaga, Evan! Bisa gak sehariiii... aja lo gak usah
narsis?! Bosen gue dengernya! Eneg!” sambil berkata begitu, aku menoyor
kepalanya. Dan sukses, dia marah besar.
“Lo bisa gak sih gausah noyor kepala gue?! Kepala gue mahal
tauk! Lo mau sahabat lo yang paling ganteng ini mendadak ayan karna ada syaraf
– syaraf penting di otak gue bergetar karna lo?!” Evan mengomel panjang –
pendek sambil mencubit lenganku cukup keras. Aku hanya bisa meringis kesakitan
yang ku tutupi dengan tertawa. Agar dia tak tau bahwa cubitannya nanti akan
membuat lenganku membiru.
“Palingan kalo lo ayan, gue ama Fira pura – pura gak kenal
sama lo, hahahaa... habis lo ngeselin sih! Narsis mulu!”
Evan tertawa mendengar ucapanku, tatapan matanya melembut
dan aku hanya bisa terpaku melihatnya. Sungguh ku iri dengan Fira karna sempat
bersamanya, merasakan cintanya walau hanya sebentar saja.
“Re...” Panggilnya yang membuatku sejenak menghilangkan
perasaan terpesonaku oleh tatapannya. “Besok ada acara gak? Kita ke taman yuk,
udah lama gak kesana. Ada yang mau gue omongin,” Ajakan Evan sukses membuatku
langsung merasa terbang ke langit ketujuh dan tanpa pikir panjang aku
mengiyakan kuat – kuat. Apapun akan ku tinggalkan asal bisa bersamanya, walau
harus berlindung di balik status sahabat.
“Oke deh. Kita kesana naik apa?”
“Ontel, Re! Ntar gue jemput deh jam 4 sore. Gimana? Lo gak
ada acara kan? Kalo ada acara, ntar aja ketemuannya.”
Aku menggeleng kuat – kuat. Aku tak ingin melepas
kesempatan emas ini. Berdua dengannya, di taman dekat komplekku yang romantis,
sungguh sangat bodoh bila dilewatkan. “Gak kok. gue gak sibuk, ok deh, gue
tunggu.” Aku tersenyum saat bel masuk berbunyi. Membuatku harus menelan kecewa
karna harus terpisah dengannya.
“Gue duluan yah,” Dia pamit dan berjalan menjauhiku yang
sekarang tersenyum sendiri sambil berjalan menuju kelas.
*Flashback OFF*
Sungguh, Dear. Pengalaman pagi tadi sukses buat gue
tersenyum sampai saat ini! Dear, coba tebak, kira – kira dia besok ngomong apa
yah? Apa dia mau nembak gue? Ahahha... kalau itu terjadi, gue akan terima dia.
Hahahaha... udah dulu yah dear, gue mau tidur dulu, biar besok wajah gue segar
dan aura positif gue terpancar hingga cukup membuat Evan klepek – klepek.
Hahaha.. :D
10 januari
*flashback*
“Re, Gue boleh curhat gak? Sudah lama nih kita gak ngobrol berdua dan
saling curhat.” Evan berkata begitu sambil menyodorkan es krim kesukaanku. Aku
tersenyum sambil menyambut ulurannya dan memakannya dengan penuh nikmat.
Sekarang aku berada di Taman depan komplekku dengan Evan. Danau yang beriak
tenang, suara kicauan burung bernyanyi seolah menyanyikan lagu cinta untukku.
Membuatku tersipu saat mengkhayalnya. Namun aku tutupi agar dia tak curiga.
“Tentu saja boleh, Van! Lo ngomong gitu kayak kita baru kenal sehari aja!
Biasanya mah, lo langsung nyerocos kayak kereta api lewat dan... ADUH!”
Ucapanku terputus saat tanganku dicubit oleh Evan dengan gemas. Membuatku
manyun.
“Lo bisa gak sih gausah cubit tangan gue?! Lo sadar kalo cubit tangan gue
sediiikkiitt aja.... lo bisa mengganggu jalannya peredaran darah gue menuju
otak! Lo itu nyubit gak pernah kira – kira! Pasti menimbulkan bekas!” Aku
mengomelnya dan dia hanya tertawa sambil menghapus ujung es krim yang nangkring
di ujung hidungku dengan tangannya yang besar dan lembut. Membuat omelanku
berhenti seketika dan menatapnya.
“kok berhenti? Udah.. terusin aja omelannya. Gue siap dengar nih. Apa perlu
gue bawa tape recorder supaya bisa rekam omelan lo itu?”
“Tauk ah gelap!” Aku manyun kembali
dan memakan eskrim berukuran paling besar itu dengan lahap. Membuat Evan
semakin tertawa.
“Udahlah, Re. Gausah ngambek deh. wajah lo tambah jelek tuh. Tapi lo buat
gue teringat sama bebek peliharaan gue di kampung, wajahnya 11 :12 sama lo.
hahaha...”
Aku bangkit berdiri dengan kasar dan cukup membuat Evan berhenti tertawa.
Aku menatapnya garang. Sungguh PMS membuatku emosi berat. “Kalo lo ngajak gue
kesini hanya untuk mengejek gue, gue pulang!”
Sempat ku lihat dia tersenyum dan menarik tanganku pelan agar aku duduk
kembali dan menyodorkan es krim pemberiannya yang ku letakkan disampingnya. “Lo
lagi PMS yah? Maaf deh, gue lupa sekarang jadwal lo PMS.” Evan menatapku dengan
tatapan minta maaf yang tulus. Aku kaget karna dia tau jadwal PMS ku. Sedangkan
Fira yang lebih lama kenal aku dari dia saja tidak mengetahuinya. Spesial
itukah aku dimatanya?
“Iya... gue maafin,” Aku tersenyum sebagai tanda aku memaafkannya dan
menyuapkan es krim yang aku pegang ke mulutnya. Dan dia tak menolak.
“Re...” ucapnya di saat aku memakan es krimnya. Dan aku menoleh. “kamu
kenal Ayu kan? Itu loh... yang anak SMADA yang beberapa hari ini ke sekolah
kita untuk mengajukan proposal itu,” Aku mengangguk dan entah kenapa, mulai was
– was. Pertanda apakah ini?
“Gue suka sama dia, Re. Entah kenapa, tatapan matanya saat pertama kali
ketemu itu membius gue. Caranya menjelaskan maksud dia kesini dan memberikan
proposalnya cukup membuat gue tak bisa berkata apa –apa. Gue jatuh cinta pada
pandangan pertama.”
Sedetik, aku terdiam sambil terus memakan es krim tanpa mencerna
omongannya.
Dua detik, otakku mulai mencerna setiap ucapannya.
Lima detik kemudian, aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. dan aku
mendengar seperti ada suara yang pecah dan hancur berkeping – keping didalam
hatiku. Yah... hatiku hancur.
“Apa?! Lo suka sama dia?! Sama cewek yang baru lo kenal beberapa hari yang
lalu?!” Saking shock dan sakitnya, aku tak bisa mengendalikan ucapanku dan
cukup membuatnya kaget.
“Re... lo kenapa?” tanyanya cemas ketika aku berteriak histeris mendengar
pengakuannya yang seolah – olah dia baru saja mengaku sedang menghisap ganja.
Sadar, aku berdehem sambil menarik napas agar air mata yang hendak turun, tertahan. “Gak... gak... gue
kaget aja. Kok lo... eh... maksudnya, kenapa bisa? Kan lo baru kenal ma dia
beberapa hari yang lalu, gak tau dia udah punya pacar apa enggak, gimana bibit,
bebet dan bobotnya.” Aku menjelaskan panjang lebar sambil terus menahan sakit
dihati. Es krim ditanganku mendadak tak enak lagi rasanya. Pahit.
“Gue tau, Re. Ada sesuatu di balik senyumnya dia, ramahnya dia, yang buat
gue penasaran dan selalu ingin dekat dengannya. Jadi, kemaren gue ngobrol sama
dia di Kantin pas saat lo ngajak makan itu, gue pura – pura nanya proposal
terus berujung tukeran nomor ponsel.” Evan menjelaskan dengan penuh semangat
dan aku bisa melihat binar jatuh cinta di matanya yang tajam. Membuatku sakit,
merasa tak ada artinya. Dan rupanya perubahan wajahku disadari olehnya.
“Lo kenapa, Re? Sakit? Muka lo pucat banget tuh,” dia menghentikan cerita
cintanya dan memperhatikanku. Namun ku hanya menggelengkan kepala. “Gak kok.
gue sehat aja. Terus, apa yang lo tau dari dia setelah berapa hari pedekate?”
“Banyak, gue tau semua tentang dia dan yakin bahwa dia adalah... loh kok,
udah Re, lo gue antar pulang aja yah, wajah lo pucat banget tuh,” Evan
menghentikan ceritanya dan bergegas menarikku meninggalkan taman. Mengantarku
pulang.
*Flashback Off*
See, dear?! Apa artinya 3 tahun gue bersahabat dengannya, mengerti dia luar
dalam, kalo dia kecantol sama cewek yang baru dia kenal BEBERAPA HARI LALU?!
Bukankah ada pepatah mengatakan “cinta hadir karna terbiasa” kenapa gak
berpengaruh sama gue, dear?! Gue yang lebih dulu kenal daripada Ayu! Gue Dear!
Kenapa dia?! Kenapa? Sumpah dear, hati gue sakit banget! Gue gak tau apakah
besok masih sanggup bertemu dengannya dengan perasaan kayak gini. L
Sudahlah... gue mau tidur dulu, Dear. Biar besok pagi saat gue bangun, ini
hanyalah mimpi terburuk gue. Gud bye.
“Non Reva! Ayo mandi,
Non! Udah jam 6 sore nih,” Suara Bik Inah mengagetkan Eva yang asyik membaca
diary mamanya. Tanpa sadar, dia meneteskan air mata, padahal hanya membaca 2
lembar. Namun sakit mamanya bisa dia rasakan.
“Evan? Kenapa gue baru dengar namanya sekarang? Tante Fira setau gue gak pernah cerita soal
ini. Apa mama gak curhat sama dia? Gak mungkin deh. pasti ada sesuatu.” Batin
Eva dalam hati.
“Ah... mending gue
pikirin sambil mandi aja deh,” Putusnya dan menutup buku diary mamanya dan
hendak meletakkan ke tempat asal, tiba – tiba secarik kertas entah dari halaman
berapa jatuh. Membuat Eva berkerut kening dan membukanya...
“dapatkah
kau lihat rasa
Di bawah hati sendu
tak semata hasrat rindu akan hadirmu
Di bawah hati sendu
tak semata hasrat rindu akan hadirmu
dapatkah kau lihat hasrat
di kanvas raut hati
yang perlu goresan tangan halusmu
hasrat ku tak mampu kau rasakan
dan cinta ini tak dapat kau lihat
bodohnya aku
yang selama ini..
Selalu mengharapkanmu
lebih dari sebuah sahabat.”
di kanvas raut hati
yang perlu goresan tangan halusmu
hasrat ku tak mampu kau rasakan
dan cinta ini tak dapat kau lihat
bodohnya aku
yang selama ini..
Selalu mengharapkanmu
lebih dari sebuah sahabat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar