Laman

Minggu, 03 Maret 2013

Past Time of The Story. Part 1 - Dear Diary


            Di sudut kamar, seorang gadis sedang melamun sambil bertopang dagu di kedua lututnya. Entah apa yang dipikirkannya, namun cukup membuatnya senewen berat. Dengan tatapan mata berat, dia melirik pintu kamarnya dan memutuskan keluar sebelum dirinya menjadi gila di kamar sendiri.
Reva maharani syahreza, itulah namanya. Kini dia masuk di kamar ibunya, memutar musik Jazz kesukaannya dan menutup matanya sambil duduk di dekat jendela yang mempunyai pandangan langsung ke arah pantai dan menikmati setiap alunan musiknya yang seolah – olah mengurai masalahnya secara perlahan – lahan. Sesekali mata Almond coklatnya yang berbinar itu terbuka dan entah kenapa, dia berdiri lalu melangkah ke arah balkon kamar ibunya yang selalu terbuka, menikmati semilir angin meniup lembut rambut ikalnya yang terurai panjang dan hitam pekat, membiarkan sinar matahari menyinari kulitnya yang putih bersih dan wajahnya yang mulus memerah karna sinarnya yang mengenai kulit wajahnya yang agak sensitif.
“Kamar mama memang is the best deh kalo urusan kayak gini! Gak kayak kamar gue, sumpek! Atau emang gue yang sumpek duluan yah?” Dia berbicara sendiri, bertanya kepada angin yang sama saja seperti bertanya kepada patung. tak dijawab.
Kemudian Eva, nama panggilannya, menoleh ke dalam kamar dan melihat foto ibunya yang sedang mengandung dirinya duduk di samping ayahnya. Membuatnya tersenyum sedih karna tak bisa mengenal ibunya lebih dekat lagi karna lebih dulu meninggalkannya pada saat dirinya masih berumur seminggu. Seumur hidupnya, dia hanya tau bagaimana Ibunya melalui Tante Fira, sahabat ibunya sejak SMA yang mengerti luar dalam ibunya. Walau dalam hatinya, dia menginginkan ibunya yang menceritakan semua itu padanya. Bukan orang lain.
Keningnya mendadak berkerut ketika melihat di samping pigura foto ibu dan ayahnya, ada sebuah buku diary lusuh seperti miliknya. Penasaran, dia meninggalkan balkon kamarnya dan berjalan menuju buku itu dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Past Time of the Story by Rere Maharani” Tulisan rapi di depan buku itu membuat Eva menjatuhkannya di kasur. Kaget karna itu punya mamanya, saksi hidup bahwa dulu ibunya ada dan pernah menulis semua yang dirasakannya disini. Membuat tangannya mendadak gemetar seperti disuruh memegang ular Piton.
“Baca... gak... baca... gak... Ah... gak usah deh, ntar kualat, gue kan anak baik,” Eva memutuskan tidak membaca dan buru – buru memasukkan buku itu di laci paling bawah meja ibunya dan duduk tegak.
Namun, penasaran ingin mengetahui apa rahasia ibunya lebih menggelitik hatinya daripada kualat yang mulai membayangi otaknya. Dia kemudian celingak – celinguk, takut tamu tak diundang seperti ayahnya hadir mendadak dan memergoki aksinya. Kemudian dia tiduran di ranjang sambil memegang buku ibunya.
“Baca... gak ... yah..? Pengen.. tapi... apa gak papa?” Eva bertanya pada dirinya sendiri.
“Ah... baca aja deh. sorry ma... Eva janji gak akan bocorin siapa – siapa kok. Suer. Pokoknya rahasia mama aman deh sama Eva,” dia membentuk tanda V seolah berjanji pada ibunya dan dia perlahan, membuka halaman pertama sampul itu dan sebuah surat langsung jatuh dihadapannya. Membuat Eva mengerut keningnya dan membaca.

*past time of my stories*
“Cinta tak ku duga
membawa ku dalam
jeram air mata yang tiada berujung

musim semi
tanda cintaku
kan berulang

tercerita muram berulam suram
suara terpendam dalam magma
kaki kehidupan ku”

“Astaga! Siapa yang bikin puisi segalau ini ke mama?! Sumpah keren! Atau... mama yang bikin? Tapi buat siapa? Untuk apa?” Sejuta pertanyaan tak ada habisnya meluncur bebas dari mulut tipisnya. Tanpa menyadari, ada seseorang dibalik pintu mendengar semua yang dia ucapkan, melihat apa yang dia lakukan. Dan hanya tersenyum pasrah melihatnya sekarang duduk tegak di tengah ranjang, siap membaca halaman selanjutnya.
“Re... aku udah melakukan apa yang kamu inginkan. Memberikan Diary itu untuk Eva. Tapi... untuk apa? Aku gak ngerti, Re.” Gumam ayahnya Eva dibalik pintu dan dia melihat sekilas, Eva masih membaca surat didalam buku itu. Kemudian tersenyum dan berjalan pelan meninggalkan kamarnya.
Eva tak menyadari siapa dibalik pintu. Pikirannya sibuk mengartikan kalimat demi kalimat yang tertulis dikertas yang dia pegang sekarang. Mengetahui perasaan penulisnya dan merasakan betapa sakitnya puisi ini. Kemudian, dia meletakkan surat itu disampingnya dan membuka halaman pertama buku diary ibunya.

8 januari.

Hai my dear, Sorry yah sudah lama gak curhat lagi. Biasa... sibuk.. hahaha...
Dear, lo kenal Evan Saputra kan? Itu loh... sahabat terbaik gue sepanjang masa yang paling gue cintai. Apa?! Lo gak kenal sama dia?! Apa artinya gue curhat  selama ini soal dia kalo lo gak tau soal dia?! Sudahlah teman... mungkin sudah saatnya lo harus gue kembalikan ke tempat lo berasal. Hahaha.. *Tertawa mulu yah gue, dear.*

Dear... Gak pernah bosan – bosannya gue bilang, kalo dia memang is the best! Kenapa? Karna, dia itu sudah cakep, *Dimata gue lo yah*, Baik banget sama gue, Care, dan dia tau bagaimana buat gue tersenyum, bahkan disaat gue badmood sekalipun. Dia ngerti gue, pokonya.. No words in the world can’t describe how perfect him in me! Dan... dia jago main gitar, Dear!
Dear.. gue pengen... banget dia tau kalo selama ini, selama 3 tahun kita sahabatan, perasaan gue bukan sebagai sahabat biasa doang, yak! Lo tau kan maksudnya? Gue sayang sama dia, cinta sama dia. Bukan cinta seperti gue ke Fira atau ke teman – teman yang lain. Bukan, dear. Tapi apa mungkin? Dia sahabat gue, mantan pacar Fira, sahabat yang paling gue sayangi, yah... walaupun gue tau mereka sudah lama putusan, tapi... ada perasaan... susah dijelaskan, tapi mengganggu gue banget. L dan... gue merasa bodoh banget karna naksir sama dia.
Dear... Lo tau kan prinsip persahabatan gue? No love! Just friends! Tapi nyatanya apa, gue malah jatuh di prinsip yang gue bikin sendiri! Dan itu menyakitkan. Pelik bener kan? Prinsip idup gue adalah ga bakal pacaran ma mantan pacar sahabat sendiri apalagi SUKA!!!! tapi akhirnya gue malah kemakan prinsip sendri !apa gak dodol, dear? Ok, lo boleh bilang sampai mulut berbusa – busa kalo mereka putus, tapi hati siapa yang tau? Kadang, gue sering memerrgoki Evan melirik Fira dengan tatapan yang gue gak tau apa artinya. Apa dia masih sayang sama Fira? Itu masih menari – nari di otak gue sampai saat ini dear. Ah... sudahlah... gue mau tidur dulu yah, siapa tau gue ketemu jawabannya dalam mimpi. Gud bye, Dear.

9 januari
Hy dear, We meet again. I wanna share with you about him. Dan gue mohon dengan sangat jangan pernah tersirat perasaan lo bosan dengan cerita gue yang selalu soal dia. Karna apa, lo dibeli untuk mendengarkan curhat gue. Hahaha...
Dear... tadi pagi gue entah kenapa pengen nyamperin dia kekelas, dan lo tau apa yang terjadi? Pas gue didepan kelas, dia lari – lari keluar kelas dan akhirnya apa? Gue sama dia tabrakan didepan pintu! Dan kami saling melotot dan menunjuk ke arah masing – masing! Hahaha... awkward banget kan?
*Flashback*
          “Woy... Re! Sadar!” Suara Evan seolah membangunkanku dari lamunan indah tentangnya. Dan dengan sekali mengerjap, aku sadar bahwa sekarang aku didepannya, bertatapan dengannya, dan melihat betapa bingungnya dia melihat aku sekarang. Andai waktu boleh ku putar ulang, bahkan ku hentikan sementara, aku ingin saat – saat seperti ini berhenti untuk sebentar saja. Untuk mengenang rasa ini lebih lama.
          “Gue tau lo terpesona dengan kegantengan gue yang tiada duanya ini, tapi... please deh Re, Mulut lo gak usah terbuka lebar gitu dong liatnya, gue kan.... Waddaw!” Suara Evan yang bernada narsis kumat berubah gerutu panjang – pendek ketika aku menoyor kepalanya cukup keras. Cukup untuk membuat otaknya kembali kejalur yang benar.
          “Lo narsis banget deh kalo ngomong! Heran gue! Nyokap lo ngidam apaan sih jadi keluarnya jenis lo kayak gini?” Aku tertawa ketika melihatnya manyun dan wajahnya terlihat berpikir, mungkin untuk membalas ledekanku.
          “Ngidam cowok ganteng, makanya gantengnya kayak gue. Hahaha... by the way, lo ngapain kesini? Nyari gue yah?” Evan sekarang berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri sambil tersenyum. Oh Tuhan... sungguh, senyumnya membuatku tenang.
          “Lo? Ganteng?!” Aku berdiri di depannya dan memasang wajah mengejek. Walau dalam hati membenarkan setiap ucapannya. “Gue mencari Resa. Lo liat gak?”
          “Bilang aja lo mau nyari gue, Re! Gue bisa terima kok,”
          “Astaga, Evan! Bisa gak sehariiii... aja lo gak usah narsis?! Bosen gue dengernya! Eneg!” sambil berkata begitu, aku menoyor kepalanya. Dan sukses, dia marah besar.
          “Lo bisa gak sih gausah noyor kepala gue?! Kepala gue mahal tauk! Lo mau sahabat lo yang paling ganteng ini mendadak ayan karna ada syaraf – syaraf penting di otak gue bergetar karna lo?!” Evan mengomel panjang – pendek sambil mencubit lenganku cukup keras. Aku hanya bisa meringis kesakitan yang ku tutupi dengan tertawa. Agar dia tak tau bahwa cubitannya nanti akan membuat lenganku membiru.
          “Palingan kalo lo ayan, gue ama Fira pura – pura gak kenal sama lo, hahahaa... habis lo ngeselin sih! Narsis mulu!”
          Evan tertawa mendengar ucapanku, tatapan matanya melembut dan aku hanya bisa terpaku melihatnya. Sungguh ku iri dengan Fira karna sempat bersamanya, merasakan cintanya walau hanya sebentar saja.
          “Re...” Panggilnya yang membuatku sejenak menghilangkan perasaan terpesonaku oleh tatapannya. “Besok ada acara gak? Kita ke taman yuk, udah lama gak kesana. Ada yang mau gue omongin,” Ajakan Evan sukses membuatku langsung merasa terbang ke langit ketujuh dan tanpa pikir panjang aku mengiyakan kuat – kuat. Apapun akan ku tinggalkan asal bisa bersamanya, walau harus berlindung di balik status sahabat.
          “Oke deh. Kita kesana naik apa?”
          “Ontel, Re! Ntar gue jemput deh jam 4 sore. Gimana? Lo gak ada acara kan? Kalo ada acara, ntar aja ketemuannya.”
          Aku menggeleng kuat – kuat. Aku tak ingin melepas kesempatan emas ini. Berdua dengannya, di taman dekat komplekku yang romantis, sungguh sangat bodoh bila dilewatkan. “Gak kok. gue gak sibuk, ok deh, gue tunggu.” Aku tersenyum saat bel masuk berbunyi. Membuatku harus menelan kecewa karna harus terpisah dengannya.
          “Gue duluan yah,” Dia pamit dan berjalan menjauhiku yang sekarang tersenyum sendiri sambil berjalan menuju kelas.

*Flashback OFF*
          Sungguh, Dear. Pengalaman pagi tadi sukses buat gue tersenyum sampai saat ini! Dear, coba tebak, kira – kira dia besok ngomong apa yah? Apa dia mau nembak gue? Ahahha... kalau itu terjadi, gue akan terima dia. Hahahaha... udah dulu yah dear, gue mau tidur dulu, biar besok wajah gue segar dan aura positif gue terpancar hingga cukup membuat Evan klepek – klepek. Hahaha.. :D



10 januari
*flashback*
“Re, Gue boleh curhat gak? Sudah lama nih kita gak ngobrol berdua dan saling curhat.” Evan berkata begitu sambil menyodorkan es krim kesukaanku. Aku tersenyum sambil menyambut ulurannya dan memakannya dengan penuh nikmat. Sekarang aku berada di Taman depan komplekku dengan Evan. Danau yang beriak tenang, suara kicauan burung bernyanyi seolah menyanyikan lagu cinta untukku. Membuatku tersipu saat mengkhayalnya. Namun aku tutupi agar dia tak curiga.
“Tentu saja boleh, Van! Lo ngomong gitu kayak kita baru kenal sehari aja! Biasanya mah, lo langsung nyerocos kayak kereta api lewat dan... ADUH!” Ucapanku terputus saat tanganku dicubit oleh Evan dengan gemas. Membuatku manyun.
“Lo bisa gak sih gausah cubit tangan gue?! Lo sadar kalo cubit tangan gue sediiikkiitt aja.... lo bisa mengganggu jalannya peredaran darah gue menuju otak! Lo itu nyubit gak pernah kira – kira! Pasti menimbulkan bekas!” Aku mengomelnya dan dia hanya tertawa sambil menghapus ujung es krim yang nangkring di ujung hidungku dengan tangannya yang besar dan lembut. Membuat omelanku berhenti seketika dan menatapnya.
“kok berhenti? Udah.. terusin aja omelannya. Gue siap dengar nih. Apa perlu gue bawa tape recorder supaya bisa rekam omelan lo itu?”
            “Tauk ah gelap!” Aku manyun kembali dan memakan eskrim berukuran paling besar itu dengan lahap. Membuat Evan semakin tertawa.
“Udahlah, Re. Gausah ngambek deh. wajah lo tambah jelek tuh. Tapi lo buat gue teringat sama bebek peliharaan gue di kampung, wajahnya 11 :12 sama lo. hahaha...”
Aku bangkit berdiri dengan kasar dan cukup membuat Evan berhenti tertawa. Aku menatapnya garang. Sungguh PMS membuatku emosi berat. “Kalo lo ngajak gue kesini hanya untuk mengejek gue, gue pulang!”
Sempat ku lihat dia tersenyum dan menarik tanganku pelan agar aku duduk kembali dan menyodorkan es krim pemberiannya yang ku letakkan disampingnya. “Lo lagi PMS yah? Maaf deh, gue lupa sekarang jadwal lo PMS.” Evan menatapku dengan tatapan minta maaf yang tulus. Aku kaget karna dia tau jadwal PMS ku. Sedangkan Fira yang lebih lama kenal aku dari dia saja tidak mengetahuinya. Spesial itukah aku dimatanya?
“Iya... gue maafin,” Aku tersenyum sebagai tanda aku memaafkannya dan menyuapkan es krim yang aku pegang ke mulutnya. Dan dia tak menolak.
“Re...” ucapnya di saat aku memakan es krimnya. Dan aku menoleh. “kamu kenal Ayu kan? Itu loh... yang anak SMADA yang beberapa hari ini ke sekolah kita untuk mengajukan proposal itu,” Aku mengangguk dan entah kenapa, mulai was – was. Pertanda apakah ini?
“Gue suka sama dia, Re. Entah kenapa, tatapan matanya saat pertama kali ketemu itu membius gue. Caranya menjelaskan maksud dia kesini dan memberikan proposalnya cukup membuat gue tak bisa berkata apa –apa. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Sedetik, aku terdiam sambil terus memakan es krim tanpa mencerna omongannya.
Dua detik, otakku mulai mencerna setiap ucapannya.
Lima detik kemudian, aku menatapnya dengan tatapan tak percaya. dan aku mendengar seperti ada suara yang pecah dan hancur berkeping – keping didalam hatiku. Yah... hatiku hancur.
“Apa?! Lo suka sama dia?! Sama cewek yang baru lo kenal beberapa hari yang lalu?!” Saking shock dan sakitnya, aku tak bisa mengendalikan ucapanku dan cukup membuatnya kaget.
“Re... lo kenapa?” tanyanya cemas ketika aku berteriak histeris mendengar pengakuannya yang seolah – olah dia baru saja mengaku sedang menghisap ganja. Sadar, aku berdehem sambil menarik napas agar air mata yang  hendak turun, tertahan. “Gak... gak... gue kaget aja. Kok lo... eh... maksudnya, kenapa bisa? Kan lo baru kenal ma dia beberapa hari yang lalu, gak tau dia udah punya pacar apa enggak, gimana bibit, bebet dan bobotnya.” Aku menjelaskan panjang lebar sambil terus menahan sakit dihati. Es krim ditanganku mendadak tak enak lagi rasanya. Pahit.
“Gue tau, Re. Ada sesuatu di balik senyumnya dia, ramahnya dia, yang buat gue penasaran dan selalu ingin dekat dengannya. Jadi, kemaren gue ngobrol sama dia di Kantin pas saat lo ngajak makan itu, gue pura – pura nanya proposal terus berujung tukeran nomor ponsel.” Evan menjelaskan dengan penuh semangat dan aku bisa melihat binar jatuh cinta di matanya yang tajam. Membuatku sakit, merasa tak ada artinya. Dan rupanya perubahan wajahku disadari olehnya.
“Lo kenapa, Re? Sakit? Muka lo pucat banget tuh,” dia menghentikan cerita cintanya dan memperhatikanku. Namun ku hanya menggelengkan kepala. “Gak kok. gue sehat aja. Terus, apa yang lo tau dari dia setelah berapa hari pedekate?”
“Banyak, gue tau semua tentang dia dan yakin bahwa dia adalah... loh kok, udah Re, lo gue antar pulang aja yah, wajah lo pucat banget tuh,” Evan menghentikan ceritanya dan bergegas menarikku meninggalkan taman. Mengantarku pulang.

*Flashback Off*
See, dear?! Apa artinya 3 tahun gue bersahabat dengannya, mengerti dia luar dalam, kalo dia kecantol sama cewek yang baru dia kenal BEBERAPA HARI LALU?! Bukankah ada pepatah mengatakan “cinta hadir karna terbiasa” kenapa gak berpengaruh sama gue, dear?! Gue yang lebih dulu kenal daripada Ayu! Gue Dear! Kenapa dia?! Kenapa? Sumpah dear, hati gue sakit banget! Gue gak tau apakah besok masih sanggup bertemu dengannya dengan perasaan kayak gini. L
Sudahlah... gue mau tidur dulu, Dear. Biar besok pagi saat gue bangun, ini hanyalah mimpi terburuk gue. Gud bye.
“Non Reva! Ayo mandi, Non! Udah jam 6 sore nih,” Suara Bik Inah mengagetkan Eva yang asyik membaca diary mamanya. Tanpa sadar, dia meneteskan air mata, padahal hanya membaca 2 lembar. Namun sakit mamanya bisa dia rasakan.
“Evan? Kenapa gue baru dengar namanya sekarang?  Tante Fira setau gue gak pernah cerita soal ini. Apa mama gak curhat sama dia? Gak mungkin deh. pasti ada sesuatu.” Batin Eva dalam hati.
“Ah... mending gue pikirin sambil mandi aja deh,” Putusnya dan menutup buku diary mamanya dan hendak meletakkan ke tempat asal, tiba – tiba secarik kertas entah dari halaman berapa jatuh. Membuat Eva berkerut kening dan membukanya...
dapatkah kau lihat rasa
Di bawah hati sendu
tak semata hasrat rindu akan hadirmu
dapatkah kau lihat hasrat
di kanvas raut hati
yang perlu goresan tangan halusmu

hasrat ku tak mampu kau rasakan
dan cinta ini tak dapat kau lihat

bodohnya aku
yang selama ini..
Selalu mengharapkanmu
lebih dari sebuah sahabat
.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar